Biografi Muhammad Abduh (1849-1905)

Share your love

Muhammad Abduh ibn Hasan Khayr merupakan salah satu figur penting Islam pada abad ke-20. Di tempat asalnya, Mesir ia dikenal sebagai ilmuwan besar dan seorang pembaharu dalam dunia Islam. Selama masa hidupnya ia menggiatkan modernisme Islam dengan cara menyintesiskan ajaran Islam dengan pemikiran modern.

Keluarga Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir dari keluarga petani pada 1849 di desa Mahallat Nasr, Delta Nil.

Meskipun tidak berasal dari keluarga kaya, ayahnya, Abduh ibn Hasan Khaurallah mampu mendatangkan guru mengaji ke rumahnya.  Abduh pun mampu menyelesaikan hafalan alquran pada usia 12 tahun.

Ketika menginjak usia 13 tahun atau tepatnya tahun 1862, ia memutuskan belajar di masjid-akademi Ahmadi di kota provinsi Tanta (kota asal ibunya). Namun Abduh kurang begitu betah di Tanta karena sistem pendidikan yang ia anggap kaku, oleh sebab itu ia memutuskan untuk kembali ke desa asalnya.

Di Mahallat Nasr ia menjadi petani sama seperti ayahnya. Memasuki usia 16 tahun ia memutuskan untuk menikah.

Pengaruh Sufiisme Pamannya

Setelah menghabiskan 40 hari berbulan madu, Muhammad Abduh memutuskan kembali ke Tanta. Dalam perjalanannya ia berhenti untuk tinggal sementara dengan pamannya bernama Darwish yang seorang sufi.

Paman Abduh merupakan  penganut Tarekat Maddaniya, sebuah tarekat yang aktif dalam pergerakan revitalisasi dan reformasi Islam. Berkat hubungan dengan pamannya itu, benih-benih reformis mulai berkembang di pikiran Abduh.

Abduh kembali ke Tanta sebagai seorang yang berbeda, tidak hanya karena telah menikah tetapi juga sebagai seorang Sufi.

Belajar di al-Azhar

Pada 1866 atau di usianya yang ke-17 tahun, Abduh meninggalkan Tanta untuk melanjutkan studi di Kairo.

Pada masa itu Azhar dipimpin oleh seorang rektor bernama Mustafa al-Arusi. Ia merupakan sosok yang menggiatkan reformasi di sekolah itu. Namun, ia mendapatkan tantangan keras, sehingga ia akhirnya diberhentikan.

Di sekolah barunya itu, Muhammad Abduh masih melanjutkan jalan sufinya. Ia begitu mendalami ajaran sufi, bahkan sampai memutuskan untuk membatasi hubungan sosialnya dengan orang lain. Pada 1871, pamannya memperingatkan bahwa yang dilakukannya melampaui batas, Abduh pun menuruti nasehat pamannya.

Pertemuan Muhamamd Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani

biografi muhammad abduh
Jamaluddin al-Afghani

Salah satu titik balik dalam kehidupan Abduh adalah ketika mengikuti diskusi dengan kelompok kecil yang dipimpin Jamuluddin al-Afghani (seorang aktivis politik yang gencar menyuarakan persatuan Islam) di Kairo pada 1872. Saat keduanya bertemu usia Abduh baru menginjak 23 tahun, sementara Jamal berusia 33 tahun.

Bersama dengan beberapa temannya seperti Saad Zaghlul dan Abdullah al-Nadim, Abduh dengan tekun mengikuti pembelajaran di kelompok itu. Jamal mengenalkan buku-bukur filsafat kepada murid-muridnya, seperti karya Ibnu Sina, Aristoteles, dan al-Farabi. Pembelajaran filsafat merupakan hal yang ganjil dalam pendidikan di Mesir saat itu.

Tidak hanya itu, Jamal juga mengajarkan para muridnya untuk mengkritisi karya-karya itu dan mengajukan pertanyaan. Sebuah sistem yang berbeda dari model pembelajaran di Tanta.

Selain belajar filsafat, Abduh juga mempelajari konsep kebebasan berpikir yang mirip seperti konsep Mu’tazillah. Namun, ia menolak dikatakan sebagai penganut Mu’tazillah, karena ia tidak pernah taqlid dalam satu kelompok.

Berkat pertemuannya dengan Jamal, Abduh pun menjadi sosok yang berbeda dibanding sebelumnya. Visinya pun tidak hanya mencakup Mesir tetapi juga dunia Islam.

Profesi Muhammad Abduh Sebagai Guru dan Jurnalis

Setelah menyelesaikan studinya pada 1877, Abduh menjadi guru di al-Azhar dan Dar al-Ulum (tempat belajar) baru. Di sekolah-sekolah tersebut Abduh mengajar filsafat, sejarah, dan sosiologi.

Pada 1880 ia diminta untuk mengedit Al-Waqai al-Misriyah (Peristiwa Mesir), lembaran resmi. Di bawah kepemimpinannya, Al-Waqai al-Misriyah menjadi model untuk standar baru prosa yang modern dan lugas serta media untuk opini liberal.

Kehidupan Abduh tidak dapat dikatakan tenang tanpa permasalahan. Ketika pemberontakan Kolonel Urabi terjadi pada tahun 1882, Abduh terlibat dan diasingkan.

Baca juga: Gerakan Pembaruan di Turki Utsmani

Ia lalu tinggal di Beirut dan kemudian pergi ke Paris, di mana Jamaluddin telah menetap di sana terlebih dahulu. Bersama-sama mereka mengedit jurnal yang  cukup berpengaruh, Al-Urwa al-Wuthqa (The Strongest Bond). Jurnal itu menyerukan pembaharuan Islam dan mengecam kolonialisme di dunia muslim.

Tidak seperti mentornya, Jamaluddin al-Afghani, Abduh mencoba memisahkan politik dari reformasi agama. Abduh menganjurkan reformasi Islam dengan membawanya kembali ke keadaannya yang murni dan menyingkirkan apa yang dilihatnya sebagai dekadensi dan perpecahan kontemporer. Pandangannya ditentang oleh tatanan politik dan agama yang telah mapan, tetapi kemudian dianut oleh nasionalisme Arab setelah Perang Dunia I.

Abduh menghabiskan tahun 1884 dan 1885 untuk melakukan pengembaraan sebelum akhirnya menetap di Beirut. Di kota itu ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar.

Setelah namanya tersohor, pada tahun 1888, Abduh kembali ke tanah kelahirannya Mesir. Di kampung halamannya, ia bekerja sebagai hakim di pengadilan tradisional, ia mengawali pekerjaannya di provinsi dan kemudian pada tahun 1890 di Kairo. Selain aktif di pengadilan, ia juga menjadi juru bicara bagi orang-orang Mesir yang kala itu berada di bawah Pemerintahan Kolonial Inggris.

Menjadi Mufti Mesir
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh

Pada 1899 khedive menunjuk Abduh Kepala Mufti Mesir dan pada tahun yang sama ia juga ditunjuk untuk dewan legislatif penasehat. Masa jabatannya sebagai mufti ditandai oleh liberalismenya dalam menafsirkan hukum dan dengan reformasi pengadilan agama.

Jabatan tinggi yang ia peroleh juga memberinya kesempatan untuk melakukan reformasi pendidikan. Pada 1895 Khedive Abbas II mengangkatnya ke komisi yang baru dibentuk yang bertugas mereformasi al-Azhar. Di dalam komisi itu, Abduh mampu menerapkan paling tidak sebagian dari ide-ide modernismenya di sekolah itu.

Abduh berusaha menengahi antara ajaran Islam dan budaya Barat. Untuk tujuan ini ia tak henti-hentinya mendesak para tradisionalis di Mesir. Selain mengusahakan pembaharuan, ia juga berupaya menangkis tulisan para penulis Barat yang menurutnya salah dalam memahami Islam. Setelah kembali ke Mesir, ia menggiatkan kemajuan  pendidikan sebagai landasan utama pembaharuan di Mesir dan dunia Islam.

Karya-Karya Muhammad Abduh

Tulisan-tulisan Abduh cukup banyak. Di antara kitab-kitab religius ada beberapa judul yang sangat dikenal seperti Risalat al-Tauhid terbitan tahun 1897, sebuah karya yang merangkum pandangan-pandangan teologinya; Al-Islam wa-al-Nasraniyah maal-Ilm wa-al-Madaniyah (Islam dan Kristen dalam kaitannya dengan Sains dan Peradaban) terbitan tahun 1902; dan Al-Islam wa-al-Radd ala Muntaqidih (Islam dan Bantahan terhadap Kritiknya)  tahun 1909.

Di bidang bahasa dan sastra Abduh menulis komentar-komentar yang luas tentang beberapa karya sastra Arab klasik dan menyalurkannya pada sebuah karya 17 volume pada filologi Arab; di bidang duniawi ia menuliskan Taqrir fi Islah al-Mahakim al-Shariyah (Laporan tentang Reformasi Pengadilan Syariah).

Di antara karya-karya itu, karya Abduh yang paling ambisius adalah Tafsir al-Quran al-Hakim. Sayangnya proyek besar tidak pernah selesai, tetapi 12 volume yang ia tulis adalah ekspresi paling penting dalam pandangan modernis tentang kitab suci Islam.

Setelah kematiannya pada tahun 1905, pemikiran Abduh disebarluaskan oleh muridnya Rasid Ridha.

Tidak dapat dipungkiri Ide-ide Abduh dipenuhi dengan antusiasme yang besar, tetapi juga harus menghadapi tantangan besar. Bahkan ide-ide modernisme yang diusungnya masih menjadi perdebatan khususnya dalam modernisme dunia Islam sekarang.

BIBLIOGRAFI

Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazillah. Jakarta: UI Press.

Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Sedgwick, Mark. 2010. Muhammad Abduh. London: Oneworld Publications.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *