Caligula: sang Kaisar Problematik dari Romawi

Dalam sejarah Romawi, muncul sosok-sosok pemimpin tangguh yang kisahnya mendunia. Namun, tidak serta membuat sejarah Romawi bersih dari noda hitam. Noda hitam tersebut dimunculkan penguasa-penguasa yang mempunyai pikiran kejam dan gila akan kekuasaan. Kegilaan penguasa Romawi itu tergambar jelas pada kepribadian Caligula.

Ia naik takhta sebagai anak kesayangan bangsa Roma dan mengakhiri empat tahun masa pemerintahannya sebagai tiran yang kejam dan gila. Tidak bisa ditebak, tidak mempunyai kemampuan politik, dan tidak kompeten dalam bidang militer.

Keburukannya tidak berakhir di sana, ia juga dikenal mempunyai kelainan seksual dan melakukan hubungan sedarah dengan saudara perempuannya. Caligula berubah dari pangeran yang dicintai menjadi psikopat dalam sebuah pemerintahan yang penuh dengan kegilaan.

Lahirnya sang Kaisar Problematik

Caligula
Patung Caligula. Wikimedia

Gaius Julius Caesar Germanicus atau yang biasa dikenal dengan Gaius Caligula lahir di Antium pada 12 SM. Ia adalah anak ketiga dari Germanicus dan Agrippina. Sebagian besar tahun-tahun pertamanya dihabiskan bersama keluarganya di perbatasan Rhine. Popularitas ayah dan legiunnya diturunkan ke dia, dan tentara dengan sayang memanggilnya dengan nama Caligula (sepatu bot kecil).

Nama kecilnya itu diperoleh dari miniatur sandal tentara yang dikenakan olehnya semasa kecil, ketika ia menemani ayahnya dalam sebuah kampanye militer. Ia kecil tumbuh menjadi maskot favorit pasukan Germanicus.

Setelah kematian Germanicus pada tahun 19 M (banyak yang menduga Germanicus diracuni Tiberius, karena dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya), Caligula bertolak dari Syria untuk kembali ke Roma. Di Roma ia tinggal bersama ibu dan nenek buyutnya, Livia (istri Augustus yang dikenal dengan kelicikannya). Setelah Livia meninggal pada tahun 29 M., ia pindah dengan neneknya, Antonia.

Antonia bisa melindungi Caligula dari Sejanus yang mencoba menyingkirkan calon-calon pengganti Tiberius. Sayangnya, Antonia tidak dapat melindungi menantunya dan kedua anaknya yang lain. Penghancuran keluarga dan teman-teman Germanicus oleh Sejanus disambut oleh Caligula dengan kepasifan.

Ia tidak melakukan apapun untuk melawan pengasingan ibunya dan penangkapan saudara laki-lakinya. Sebagai gantinya, ia menyatukan dirinya dengan Tiberius dan bertahan untuk melihat jatuhnya Sejanus di tahun 31 M.

Sisi Gelap Caligula

Pada tahun 31/32 Sm, Caligula tinggal bersama Tiberius di vilanya di Capri, tempat sang kaisar diduga melakukan berbagai praktik menyimpang. Saat di Caprilah sisi gelapnya mulai tampak.

Sejarawan Roma, Suetonius, menceritakan bahwa Caligula tidak bisa mengendalikan kekejaman dan kebengisan alaminya. Ia sangat suka menonton penyiksaan dan eksekusi mereka yang dihukum.

Pada malam hari, ia menyamar dengan rambut palsu dan jubah panjang untuk berpesta dalam perzinaan. Kabar juga menyebutkan bahwa iamelakukan hubungan sedarah dengan saudara perempuannya, Drusilla.

Pada tahun 37 M, Tiberius meninggal karena suatu penyakit. Ia membutuhkan waktu yang lama untuk menghembuskan nafas terakhirnya dan seseorang akhirnya mencekiknya (rumor menyebutkan Caligula yang membunuh Tiberius).

Sebelum Tiberius meninggal, ia telah memilih pewarisnya yaitu putra Germanicus yang masih tersisa, Caligula muda. Dalam surat, Tiberius menyebutnya sebagai pewaris gabungan bersama dengan Tiberius Gemellus, salah satu putra-putra Drusus, tetapi Caligula menyatakan bahwa surat wasiat itu kosong dan beberapa bulan kemudian menyuruh orang untuk membunuh Gemellus. Sejak saat itu, ia menjadi princeps tunggal Roma.

Caligula mengawali kekuasaannya dengan melepaskan kecurigaan-kecurigaan suram yang masih menghantui orang Romawi, selama masa pembersihan penentang Tiberius. Ia mengampuni semua tahanan, mengundang semua orang buangan untuk kembali ke kota, dan membuat beberapa pembaharuan pajak yang membantu penduduk miskin Romawi.

Akan tetapi awal dari kebaikannya hanyalah tipuan belaka. Kurangnya pengalaman politiknya justru membawa Roma ke kemunduran.

Kisah-kisah kuno berbeda-beda dalam menceritakan awal dari kegilaan tingkah laku sang kaisar. Beberapa mengatakan bahwa ia sudah bengis dari awal, tetapi menutupi kebengisannya itu cukup lama untuk memperkuat kekuasaanya. Sementara yang lain menuduhnya menderita sakit keras pada awal masa berkuasanya dan kemudian muncul dengan kepribadian baru.

Semua cerita itu menggambarkan daftar kejahatan yang mengerikan: ia membunuh sepupunya, neneknya, dan ayah mertuanya; tidur dengan ketiga saudara perempuannya; terlibat skandal dengan pelacur pria atau wanita; dan perselingkuhan. Ia juga pernah membuat seorang senator dicabik-cabik dan serpihan tubuhnya diseret-seret ke jalan-jalan. Tidak jarang ia memaksa pengawal pribadinya untuk bermain perang-perangan dengannya, dan membunuh mereka ketika mereka ragu-ragu untuk membalas pukulannya.

Terdapat banyak contoh lain dari megalomania Caligula. Untuk menolak ramalan bahwa ia mempunyai kesempatan menjadi kaisar sama kecilnya dengan berkuda melintasi Teluk Naples, ia membangun jembatan di atas kapal-kapal yang berbaris, dan berkuda melewatinya dengan bangga sambil mengenakan pelindung dada Alexander Agung.

Pada saat lain, ketika di Galia, ia memerintahkan pasukannya mengalahkan Neptunus dengan cara mengumpulkan kerang dari tepi pantai, sebagai jarahan dari laut. Ada pula cerita yang mengatakan ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang air laut sebagai bentuk perang melawan Neptunus.

Kegilaannya juga berdampak pada sektor ekonomi dan pemerintahan. Ia menaikkan pajak dan kemudian menghambur-hamburkan uang untuk kesenangannya. Rumor mengatakan ia menjadikan kudanya  sebagai konsul, dan tentu saja ia tidak menghargai jabatan itu. Pada tahun 39 M, ia memecat kedua konsul dan membubarkan senat dengan paksa.

Di bawah kepemimpinannya, Roma jatuh ke dalam jurang kehancuran. Situasi diperparah dengan munculnya para penjilat yang mencoba mencari simpati Caligula, karena selain dikenal suka memboroskan kas negara, ia juga dikenal sering menghadiahi hak-hak istimewa kepada mereka yang setia kepadanya. Sehingga, selalu saja ada lidah-lidah yang menyampaikan laporan tentang pengkhianatan kepada sang princeps.

Hukuman yang diberikan Caligula kepada para penentangnya sangat kejam, oleh karena itu jarang ada yang mau mengambil resiko untuk menentangnya.

Akhir Hidup

Pada tahun 40 M, Caligula memutuskan bahwa ia mempunyai sifat kedewaan. Ia memerintahkan patung-patung dirinya untuk disembah. Dekrit tersebut kemudian meluas ke seluruh wilayah kekuasaan Roma.

Akan tetapi di Yerusalem, orang-orang Yahudi yang dilarang untuk menyembah dewa-dewa, meminta pada komandan Romawi setempat untuk tidak memaksa mereka menyembah patungnya.

Si komandan adalah seorang yang berpikiran jernih bernama Petronius,  ia setuju mengirimkan surat ke Roma untuk mengklarifikasi dekrit penyembahan patung sang kaisar. Namun, balasan yang diterima kembali dari ibu kota sangat tidak terduga; Caligula telah mati. Pengawal Praectoria telah membunuhnya. Kemudian  mereka juga membunuh pula istri dan bayi perempuannya.

Dengan terbunuhnya Caligula, berakhir pemerintahan yang penuh kegilaan selama tiga tahun sepuluh bulan.

Kendati sang tiran kejam telah mati, namun Roma tidak bisa langsung mencapai ketenangan. Masalah suksesi-suksesi justru kian memanas setelah kematian Caligula.

Kehidupan Caligula menunjukkan bahwa sistem kerajaan yang dibuat Augustus, walau tetap mempertahankan bentuk republik, sejatinya menempatkan kekuasaan mutlak di tangan satu orang. Caligula menanggalkan semua tabir kendali konstitusi dan menunjukkan kekuasaan total atas rakyatnya dengan pemerintahan yang mengerikan. Caligula mewakili kebejatan, kehasuan darah, dan kegilaan dari sebuah kekuasaan mutlak.

BIBLIOGRAFI

Bauer, Susan Wise. 2010. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Montefiore, Simon Sebag. 2008. Tokoh Kontroversial Dunia : Mereka yang Menggores Sejarah Kemanusiaan Dunia. Jakarta: Erlangga.

Bunson, Matthew. 2002. Encyclopedia of the Roman Empire. New York: Facts on File.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *