Musim Kematian: Pandemi “Flu Spanyol” di Hindia Belanda 1918-1919

Share your love

Tahun 1918 menjadi tahun genting dalam sejarah umat manusia. Bukan hanya karena pada tahun ini Perang Dunia I memasuki babak akhir, tetapi karena pada tahun ini umat manusia tengah dilanda pandemi flu ganas yang sering juga disebut flu Spanyol.

Meskipun pandemi flu 1918-19 adalah salah bencana demografis terburuk pada abad ke-20, namun tidak diketahui jumlah persis korban jiwa akibat virus ini. Sebuah perhitungan yang muncul akhir-akhir ini memperkirakan bahwa sekitar 30 juta orang meninggal akibat virus ini. Angka yang luar biasa mengingat jumlah lebih besar dari korban jiwa yang diakibatkan Perang Dunia I (Philips: 4). Beberapa point tersebut menjadi landasan kita untuk menyelami sejarah flu Spanyol, khususnya yang terjadi di Hindia Belanda.

Kemunculan Flu Spanyol

Tidak diragukan bahwa pandemi influenza 1918-19 merupakan salah satu pandemi dahsyat yang menyerang dunia sejak wabah pes atau black death yang menghancurkan populasi Asia dan Eropa pada pertengahan abad ke-14 (Ibid.). Hanya dalam waktu 24 minggu, pandemi Influenza membunuh lebih banyak manusia dibandingkan dengan penyebaran AIDS selama 24 tahun.

Wabah influenza 1918-19, termasuk ke dalam kategori pandemi karena dua alasan. Pertama, infeksi dimulai di satu tempat dan menyebar ke seluruh dunia yang menghasilkan angka morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Kedua, virus ini adalah tipe A subtipe H1N1 yang tergolong sebagai virus baru dan tidak terkait dengan virus influenza yang sudah diketahui sebelumnya (Taubenberger, 2006: 81).

Akan tetapi sebelum kita berbicara lebih banyak mengenai flu Spanyol, kita perlu meluruskan penamaan dari virus ini. Meskipun diberinama flu Spanyol, tetapi sebenarnya virus tersebut bukan berasal dari negara ini.

Pada masa Perang, negara-negara peserta perang seperti Jerman, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis menyensor medianya dengan begitu ketat. Seluruh berita yang berpotensi menurunkan moral pasukan dicekal.

Di lain pihak, Spanyol tidak menerapkan kebijakan sensor seperti negara Eropa lainnya, sehingga berita pertama kemunculan flu ini disiarkan pertama kali oleh media Spanyol. Pada masa ini, Raja Spanyol diberitakan menjadi salah satu korban paling awal dari flu ini. Oleh sebab itu, flu ini lebih terkenal dengan sebutan flu Spanyol.

Meskipun demikian, virus ini muncul pertama kali justru di daerah Amerika Serikat. Menurut sejarawan Alfred W. Crosby (2003: 19), virus ini pertama kali tercatat di kamp Funston, Kansas pada 4 Maret 1918. Kemunculan flu ini ditandai dengan banyaknya tentara yang sakit akibat flu yang diukuti dengan epidemi pneumonia (Oliver, 1918: 356).  

Flu kemudian menyebar ke instalasi pelatihan militer di beberapa Negara bagian barat tengah dan tenggara pada akhir bulan. Selama bulan April, virus menyebar secara luas di seluruh Amerika Serikat, menyerang penduduk sipil maupun militer

Flu mencapai Prancis melalui perantara kapal pasukan Amerika pada awal April, dan penyakit itu menyebar dengan cepat di negara-negara yang terlibat perang. Portugal dan Spanyol yang netral baru terserang virus pada bulan Mei.

Setelah hampir seluruh Eropa terjangkiti, virus juga merambah ke daratan Asia. Virus masuk ke India dan Cina melalui jaringan laut dan darat. Pada masa ini Cina sempat dituduh sebaga wilayah pertama yang menyebarkan virus ini ke wilayah Amerika Serikat dan Eropa melalui buruh-buruhnya. Kendati demikian, tidak ada bukti yang mendukung tuduhan ini.

Virus terus menyebar ke seluruh penjuru dunia, hingga akhirnya sampai pada Hindia Belanda, Australia, dan Selandia Baru pada bulan Juni (Patterson, 1991: 8).

flu spanyol
Para korban Flu Spanyol

Tidak adanya antibiotik untuk menangkal virus ini menyebabkan ribuan korban terus berjatuhan di berbagai penjuru dunia. Virus ini turut memicu pneumonia yang menyerang paru-paru, sehingga rata-rata korban flu Spanyol disebabkan oleh kegagalan pernapasan (Taubenberger, 2006: 91).

Penyebaran Pandemi Flu di Hindia Belanda

Setelah virus ini mulai memasuki Asia, Konsulat Belanda segera menghubungi pemerintah Hindia Belanda agar mewaspadai masuknya wabah flu ini melalui jalur transportasi laut.

Pengawasan lebih ketat pun mulai diterapkan di pelabuhan laut Batavia. Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan kepada kapalkapal dari Hongkong yang merapat di pelabuhan wilayah Hindia Belanda untuk menurunkan penupang. Pengawasan difokuskan terhadap kapal-kapal yang datang dari Hongkong dan telah transit di Singapura.

Kewaspadaan ini sangat beralasan, karena  beberapa negara di Asia telah terserang virus influenza dan korban yang ditimbulkan tidak sedikit. Apabila hal ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan nanti akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Hindia Belanda.

Namun pengawasan di Batavia, tidak dapat diterapkan di wilayah lain. Luasnya wilayah Hindia Belanda saat itu menyebabkan virus tetap masuk.  Kasus kemunculan influenza pertama kali dilaporkan terjadi di pelabuhan Banjarmasin, Makassar, dan Buleleng di Pulau Bali. Buleleng menjadi salah satu pelabuhan utama yang menjadi tempat masuknya virus influenza ke Jawa.

Dalam waktu dua pekan, wabah influenza telah menyebar di Surabaya. Pada akhir November 1918, Pemerintah Hindia Belanda telah menerima laporan bahwa penyakit itu telah melanda Jawa Tengah dan memasuki wilayah Jawa Barat. Pasar dan jalur transportasi menjadi sarana masuk dan menyebarnya penyakit influenza, sehingga penderita penyakit ini terus mengalami peningkatan (Steenis, 1919: 914).

flu spanyol

Menurut catatan R. Slamet Iman Santoso (1992: 23), virus ini mengamuk di Jawa dan menyebar dengan begitu cepat hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Banyaknya korban yang berjatuhan menyebabkan toko kain kafan menutup tokonya karena takut tidak dapat mencukupi permintaan pembeli. Sebagian besar korban dari virus influenza ini adalah anak-anak, sehingga banyak sekolah yang diliburkan dan ditutup untuk sementara.

Baca juga: Dilema Karantina Wilayah Masa Kolonial

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Umum, wabah influenza yang terjadi di Hindia melalui dua periode. Gelombang pertama terjadi pada bulan Juli sampai Oktober dan diikuti oleh gelombang kedua yang lebih besar dan mematikan selama bulan November.

Pada bulan November 1918, jumlah korban jiwa mencapai 486.000 orang. Angka kematian ini juga jauh lebih besar dari jumlah angka kematian tahun-tahun sebelumnya yang disebabkan penyakit lain (Het nieuws van den voor Nederlandsch-Indie, 13 Januari 1919). Besarnya jumlah korban jiwa akibat pandemi ini turut menandakan gagalnya pemerintah dalam menghadang penyebaran virus melalui pelabuhan.

Upaya Pencegahan dan Pengobatan

Sebelum obat medis ditemukan, masyarakat telah mencoba melakukan pengobatan dengan menggunakan obat-obat tradisional seperti temulawak. Jamu ini dipercaya dapat menghangatkan tubuh dan mengobati influenza.

Di samping pengobatan tradisional , masyarakat masa itu juga menghubungkan dengan kepercayaan metafisik. Mereka yang menderita sakit sering dianggap telah melanggar pantangan adat. Oleh karena itu langkah yang perlu diambil untuk memulihkan keadaan adalah dengan mendatangi makam­-makam suci di tempat terjadinya wabah dan melaksanakan ritual adat. Selain itu, ada juga yang meyakini bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh gangguan hantu penunggu lokasi tertentu (Priyanto, 2009: 110).

Di lain pihak, Kepala Dinas Kesehatan Sipil membentuk sebuah komite yang bertugas menyelediki penyakit ini mulai asalnya, penyebarannya, dan pengobatannya (Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie, 1920: 101). Namun karena luasnya wilayah Hindia Belanda, komite ini tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam waktu cepat sehingga korban terus berjatuhan.  

Saat pemerintah Hindia-Belanda masih bingung untuk menangani penyakit ini, lembaga Nederlandsch Zending Genootschap mengambil inisiatif untuk menanggulangi virus influenza. Dengan memanfaatkan fasilitas rumah sakityang seadanya, para ahli kesehatan zending berupaya mencegah tersebarnya wabah itu dan sedapat mungkin mengobati para pasien yang telah terjangkit. Untuk mencegah semakin menyebarnya penyakit, para pendeta dan dokter zending juga aktif menyebarkan informasi mengenai gejala dan penanganan penyakit ini.

Pada tahun 1919, laboratorium kedokteran di Batavia telah berhasil menemukan obat untuk menyembuhkan pasien influenza. Obat influenza ini dibuat dalam bentuk tablet. Komposisi tablet ini adalah 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri dan 0,100 camphora.Dinas kesehatan rakyat dalam masa produksi pertamanya menghasilkan hampir 100 ribu butir (Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie, 1922: 101). Tablet-tablet ini kemudian didistribusikan kepada masyarakat secara gratis. Penyediaan tablet obat influenza ini sangat membantu dalam upaya mengobati pasien influenza. Masker juga diberikan secara gratis untuk mencegah meluasnya virus.

Untuk memudahkan penyebaran informasi, pemerintah kolonial melalui Balai Pustaka menerbitkan sebuah buku pedoman mengenai penyakit influenza yang berjudul Lelara Influenza. Buku ini terbit dalam bahasa Jawa dan ditulis dalam huruf Jawa.  Buku ini disusun dalam bentuk percakapan di antara tokoh-tokoh wayang (punakawan) yang telah populer dikenal oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan (Priyanto, 2009: 115).

Daftar Pustaka

Crosby, Alfred W.  America’s Forgotten Pandemic: The Influenza of 1918. Cambridge, Cambridge University Press, 2003.

Het nieuws van den voor Nederlandsch-Indie, 13 Januari 1919.

Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie, 1920

Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie, 1922.

Oliver, Wade W. “Spanish Influenza”. Scientific American, Vol. 119, No. 18, 1918.

Patterson, K. David dan Pyle, Gerald F. “The Geography And Mortality Of The 1918 Influenza Pandemic”. Bulletin of the History of Medicine, Vol. 65, No. 1, 1991.

Philips, H dan Killingray, D.  The Spanish Influenza Pandemic of 1918–19 New Perspectives. London: Routledge, 2003.

Santoso, R. Slamet Iman.Warna-warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso.

Jakarta: UI Pres, 1992.

Steenis, P.B. van. “Enkele epidemiologische opmerkingen aangaande de Griep in de Afdeeling Magelang 1918” dalam Geneedkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1919.

Taubenberger, Jeffery K. “The Origin and Virulence of the 1918 “Spanish” Influenza Virus”. Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 150, No. 1, 2006.

Wibowo, Priyanto. Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia-Belanda. Depok: Kerjasama antara departemen sejarah fakultas ilmu Pengetahuan budaya universitas indonesia, unicef Jakarta dan Komnas fbPi, 2009.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *