Kesultanan Ternate

Share your love

Masuknya pengaruh Islam ke Nusantara membawa pengaruh yang signifikan terhadap perubahan budaya di kerajaan-kerajaan Nusantara. Kerajaan Nusantara sebelum masuknya pengaruh Islam, menganut budaya Hindu-Budha dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Salah satu kerajaan yang terpengaruh ajaran Islam adalah Kesultanan Ternate. Kesultanan Ternate terletak di pulau yang kaya akan rempah-rempah, Maluku.

Seringnya kontak dengan para pedagang Muslim ternyata membawa Islam masuk ke daerah ini. Di kepulauan Maluku sendiri terdapat empat kerajaan yaitu: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Namun, pada pembahasan kali ini kita akan memfokuskan pembahasan pada kesultanan Ternate, karena merupakan kesultanan yang mempunyai pengaruh paling besar jika dibandingkan dengan  3 kerajaan lainnya.

Masuknya Islam di Kesultanan Ternate

kesultanan Ternate
Bendera Kesultanan Ternate

Ternate masa pra-Islam sudah mempunyai pemerintahan yang terstruktur sejak abad ke-8. Raja yang pertama memerintah adalah Cico (1257-1277). Keturunan raja non-Islam ini menjadi yang menjadi raja di Ternate sebanyak 8 keturunan.  Islam masuk ke daerah Maluku mulai abad ke-9, yang pada waktu itu dibawa oleh para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan juga orang Melayu. Kedatangan Islam ke Indonesia Timur khususnya Maluku tidak dapat kita pisahkan dengan pusat lalu lintas pelayaran dan perdagangan Internasional, yaitu Malaka, Jawa, dan Maluku. Sejak dulu Maluku terkenal sebagai pusat rempah-rempah Nusantara, khususnya komoditi bunga cengkehnya. Karena itulah para pedagang dari Barat ataupun Timur berdatangan.

Para pedagang Muslim yang datang ke pulau Maluku tidak hanya bertujuan untuk berdagang. Sama seperti di Malaka ataupun Jawa, mereka juga mempunyai tujuan lain yaitu mendakwahkan Islam. Bedanya, tantangan yang dihadapi oleh orang-orang Islam tidak lagi menghadapi kerajaan yang sedang mengalami  perpecahan karena perebutan kekuasaan. Melainkan mereka hanya datang dan fokus mennyebarkan Islam melaui perdangangan, dakwah, dan melalui perkawinan.

Ketika Tome Pires dan Gallevo datang ke daerah tersebut, daerah itu masih banyak yang menganut kepercayaan animisme-dinamisme dan mereka hidup dalam kelompok masyarakat yang dipimpin oleh para ketua adat masing-masing. Maka muslim yang berada di daerah itu mulai bergerak melakukan Islamisasi. Salah satu hasil dari Islamisasi tersebut adalah masuknya raja Ternate ke dalam Islam. Raja tersebut adalah Kolani Gapi Baguna II (1465-1486) yang setelah masuk Islam merubah namanya menjadi  Marhum.

Perkembangan Islam di Kesultanan Ternate

Sultan Marhum merupakan raja pertama Ternate yang memeluk Islam, dia memeluk Islam setelah berkenalan dengan Maulana Husain, salah satu murid Sunan Giri. Maulana Husain datang ke Ternate pada tahun 1466, tulisan-tulisannya mengenai al-Qur’an sangat lah menarik bagi orang-orang yang ingin tau maksud dari huruf-huruf yang asing bagi mereka. Atas permintaan mereka Maulana Husain mengajarkan tentang huruf Arab dan juga mengajarkan Tauhid. Dengan cara ini dia berhasil mengislamkan banyak orang. Setelah kematian Marhum, semangat keagamaan merosot, khususnya ketika Maulana Husain menghilang.

Raja pertama yang benar-benar Muslim adalah Zayn al-‘Abidin (1486-1500). Pada masanya terdapat gelombang pedagang-pedangan Muslim yang terus meningkat, yang mengakibatkan raja menyerah kepada tekanan mereka dan memutuskan belajar tentang Islam langsung pada sumbernya yaitu Madrasah Giri di pulau Jawa. Di madrasah Giri dia dikenal sebagai Raja Ballawa yang artinya Raja Cengkeh, dia mendapatkan julukan ini karena membawa cengkeh sebagai hadiah.  Sekembalinya dari Giri, dia mengajak seorang pendakwah yang bernama Tuhubahalul untuk menyebarkan Islam di Ternate.

Sultan Zainal Abidin merupakan sultan yang masyhur dalam sejarah perkembangan Islam di Maluku. Selain giat menorganisasikan dakwah di kalangan penduduk, dia juga bersikap ramah terhadap mubaligh-mubaligh yang datang dari Arab, Jawa, dan Melayu. Pada awalnya kemajuan Islam berjalan lambat dan mendapat oposisi yang kuat dari penduduk yang masih terikat kepercayaan nenek moyang. Penaklukan Portugis juga memperlambat gerakan dakwah. Mereka menangkap dan memecat Qadi yang mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk.

Kedatangan Portugis ke Ternate mebawa misi lain untuk melakukan Kristenisasi di daerah tersebut. Meskipun Islam di Ternate masih berusia muda, namun usaha yang dilakukan oleh Portugis tidak berhasil. Karenam hanya sedikit dari mereka yang mau dibaptis, meskipun benar salah satu yang mau dibaptis berasal dari anggota keluarga kerajaan. Keluarga kerajaan yang mau dibatis itu adalah Tabariji seorang sultan Ternate yang memerintah antara tahun 1537-1538.

Tabariji awalnya adalah pemeluk Islam, namun atas tuduhan Portugis ia dikirim ke Goa untuk diadili. Setelah sepuluh tahun karena tidak terbukti bersalah dia dikembalikan ke Ternate, namun tahta sudah diduduki sultan Hairun, rakyat Ternate tidak menghendaki dipimpin oleh Tabariji karena dia telah dibaptis, dan mendapat gelar Dom Manuel.  Bahkan seorang penyebar Kristen terkenal Francis Xavier yang berada di Maluku dari tahun 1546-1547, tidak dapat melepaskan pengaruh Islam di sana. Dakwah Islam mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh unsur politik untuk mengusir para penjajah dari tanah Maluku.

kesultanan Ternate
masjid Sultan Ternate

Sebagai kerajaan Islam, Kesultanan Ternate memiliki masjid sebagai tempat beribadah, disamping itu juga dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi kerajaan. Para ulama tidak ketinggalan untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membina rakyat, memberikan pengetahuan serta wejangan-wejangan kepada para pejuang untuk mengusir penjajah dari tanah mereka.

Masuknya Portugis ke Ternate

Dalam catatan sejarah raja-raja Ternate disebutkan sultan-sultan yang memegang peran penting dalam Islamisasi dan menghadapi Portugis adalah Sultan Zainal Abidin (sultan pertama dan perintis Islamisasi), Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada tahun 1512 Portugis yang berada di Malaka mengirimkan utusan yang terdiri dari pedagang-pedangang Melayu ke Ternate untuk memberikan kabar bahwa kedatangan Portugis bukan untuk menaklukkan Ternate, tetapi untuk melakukan persahabatan dan akan berniaga secara damai. Ini merupakan salah satu usaha Portugis agar kedatangan mereka dapat diterima baik oleh Sultan Bayanullah.

Pada tahun 1513 Portugis kembali datang ke Maluku dan mendapat sambutan hangat dari Sultan, baik Sultan Ternate atau Tidore. Dari dua perlawatan ini akhirnya Portugis mengadakan ekspedisi tetap antara Malaka-Jawa-Maluku-Timor. Kedatangan Portugis menyebabkan harga rempah-rempah naik dengan pesat, karena itu sultan-sultan di Maluku berlomba menjual rempah-rempah kepada Portugis dan bersaing untuk menjalin hubungan dekat dengan Portugis. Dengan persaingan itu Portugis seakan mendapatkan  durian runtuh, karena mendapat tawaran dari Ternate maupun Tidore untuk mendirikan benteng di daerahnya.

Akhirnya Portugis lebih memilih Ternate dan pada tahun 1521 mereka mendirikan bentengnya di Santo Paolo. Ternate bekerjasama dengan Portugis dengan maksud untuk mengikat pembeli dan mengalahkan Tidore. Kesultanan Tidore yang gagal menjalin kerjasama dengan Portugis, menerima kedatangan Spanyol. Adanya dua bangsa Eropa di Ternate dan Tidore menyebabkan konflik antara kedua kesultanan tidak dapat dihindarkan.

Permusuhan antara Portugis dan Tidore terjadi bukan semata-mata untuk mendukung Ternate. Tetapi secara khusus permusuhan dimulai ketika Antonio de Broto kapten Portugis mendengar kedatangan jungjung dari Banda yang hendak membeli cengkeh. Ia mengirim sebuah galai untuk melawan jung ini. Galai ini kemudian tenggelam di dekat Tidore. Orang Tidore kemudian memenggal kepala 16-17 orang Portugis. Peristiwa ini yang sebenarnya dimulainya perang melawan Tidore.

Pada tahun 1529 Dom Jorge de Menese dengan sekutu-sekutunya Ternate dan Bacan menyerbu Tidore dan mengalahkan Tidore dan Orang Spanyol. Kekalahan Spanyol ini mencetuskan sebuah perjanjian baru dengan Portugis. Perjanjian ini dinamakan pernjanjian Zaragoza yang ditandatangi 22 April 1529, perjanjian ini berisi bahwa belahan timur dibagi di antara kedua kerajaan tersebut dengan batas garis bujur yang melalui 297,5 marine leagues atau 17° sebelah timur kepulauan Maluku. Dengan munculnya perjanjian ini maka Spanyol mengangkatkan kakinya dari Maluku untuk kemudian menuju Filipina, dan Portugis menjadi penguasa tunggal Maluku.

Konfrontasi Kesultanan Ternate dengan Portugis

Konfrontasi antara Kesultanan Ternate melawan Portugis dimulai pada tahun 1533.Kapten Portugis Tristoa de Altaida karena tindakannya yang kasar dan semena-mena menimbulkan pemberontakan, sehingga raja Ternate yang biasanya menjadi sekutu sekarang memusuhinya dan meminta bantuan penduduk dari Irian sampai Jawa untuk mengusir kapten Portugis beserta pasukannya. Orang-orang Ternate kemudian membakar benteng Portugis dan sebagian kota Ternate. Ternate juga melakukan konsolidasi kekuatan dengan kerajaan Tidore dan Bacan. Sehingga bisa dikatakan seluruh Maluku bangun melawan Portugi. Sebuah bigantine dirampas dan Balthasar Vogado beserta pasukannya dibunuh. Mereka juga berhasil merampas senjata ai dan senjata-senjata lainnya dari Portugis.

Mereka berjanji jika tidak berhasil mengusir Portugis, mereka akan menebang pohon cengkeh dan meruskan negerinya. Perang ini sangat sengit bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu pertempuran terbesar selama pendudukan Portugis di Maluku. Kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Altaida menyebabkannya harus meminta bantuan ke Antonio Galvao di Malaka yang pada saat itu sedang menderita sakit.

Ketika Antonia Galvao mendengar berita tersebut, ia langsung menyiapkan dua buah kapal kuat, senjata dan peledak dalam jumlah banyak. Di samping itu atas biaya sendiri ia melengkapi  suatu kapal untuk memuat banyak pasukan. Galvao tiba di Maluku pada tanggal 27 Oktober 1536, ketiba tiba di Maluku ia mendapati benteng orang-orangnya dalam kondisi yang mengenaskan. Orang Ternate pun telah meninggalkan pulaunya.

Pihak Maluku ternyata sedang menghimpun kekuatannya di Tidore. Mereka mempersiapkan diri dengan sejumlah besar pasukan, senjata api, meriam yang berjumlah antara 500-600. Untuk melindungi tubuh mereka memakai laoisan kulit, baju zirah, jas dari lepeng tembaga, dan topi baja. Untuk persenjataan mereka menggunakan pedang, tombak,. Perlengkapan tempur tersebut mereka dapatkan dari hasil rampasan senjata dari orang Portugis atau yang diberi orang Spanyol.

Kemudian Antonio Galvao membawa armadanya mendekat kota Tidore, di sana ia mengatakan bahwa datang tidak untuk berperang.  Namun, pasukan Maluku tidak mempercayai begitu saja perkataan Galvao, dan mulai meyerang armada Portugis dengan tembakan. Serangan dari pasukan Maluku tersebut tidak langsung dibalas Galvao.

Hari kedua Galvao memberanikan diri untuk mendarat di Tidore. Pada saat pertempuran terjadi, Galvao berhadapan dengan Sultan Baheyat atau dikenal juga dengan Dajalo, Sultan Ternate. Baheyat bersenjata lengkap dan memkai baju zirah. Namun, nasib berkata lain ia dikalahkan dalam suatu duel pedang, sehingga Gavalo dapat memasuki benteng Tidore. Setelah berhasil menguasai situasi di Tidore, Gavalo mendapatkan pengakuan atas kemenangannya dari raja-raja Maluku.

Ketika Galvao berkuasa di Maluku antara 1537-1540, daerah tersebut kembali menjadi korban kolonialisme Portugis sehingga membuat rakyat tertindas. Akibatnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melancarkan pemberontakan terhadap praktek kolonialisme yang  dilakukan Portugis. Sultan memimpin rakyatnya dengan melancarkan serangan-serangan terhadap benteng-benteng Portugis, serangan ini dilakukan dengan gencar terutama tahun 1565. Portugis merasa terancam atas serangan yang dilancarkan Sultan Hairun, maka mereka menyiapkan siasat untuk meredakan perlawanan ini. Pada 27 Februari tahun 1570, Portugis mengundang Sultan Hairun untuk berunding di suatu jamuan perdamaina. Namun, ketika menghadiri jamuan tersebut dia wafat karena ditikam pengawal gubernur Lopez de Masquito.

Penghianatan gubernur de Masquitto terhadap Sultan Hairun, memicu perlawanan yang lebih besar. Seluruh umat Islam mengangkat senjata di bawah pimpinan putra Sultan Hairun yang bernama Sultan Baabullah. Baabullah kemudian melanjutkan perjuangan ayahnya untuk menumpas Portugis dari tanah Maluku. Perlawanan rakyat Ternate membuahkan hasil, mereka dapat merebut benteng-benteng Portugis. Pada tanggal 28 Desember 1577, rakyat Ternate berhasil Portugis dari negerinya. Orang-orang Portugis pindah ke pulau lain dekat Tahula. Di sini mereka terus menerus diganggu oleh para pedagang Jawa dan Melayu, maupun oleh orang-orang Ternate sendiri.

Pada masa Baabullah Kerajaan Ternate mengalami kemajuan luar biasa. Pada tahun 1580 sultan mengadakan ekspedisi terakhir sehingga hampir seluruh daerah Maluku berada di bawah naungannya, ini membuktikan keterampilan politik dari Baabullah sendiri. Kesultanan ini terdiri dari 72 pulau yang terbentar dari Mindau di sebelah utara sampai Bima di sebelah selatan. Irian meruapakan batas di sebelah timur dan kepulauan Marthao di bagian barat.

kestultanan Ternate
wilayah kesultanan Ternate

Wilayah ini masih utuh hingga pertengahan abad ke-17. Setelah abad ke-17 seluruh kekuasaan atas Maluku dikuasai oleh Belanda dan tidak perlawanan yang signifikan, Meski  Sultan Ternate telah kehilangan kekuasaan, beberapa sultan Ternate tetap berjuang melepaskan Ternate dari tangan pemerintah kolonial. Dengan kemampuan yang terbatas akibat pengawasan yang ketat dari pemerintah kolonial mereka hanya mampu mendukung perjuangan rakyat secara sembunyi-sembunyi.

Penutup

Menurut catatan resmi lingkungan istana Ternate, silsilah sultan Ternate berjumlah 47 orang sultan, sultan yang terakhir yang mempunyai wewenang memerintah kesultanan adalah sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah, dia dinobatkan pada tahun 1930 dan wafat di Jakarta dengan pangkat Residen yang diperbantukan sebagai pegawai tinggi Departemen dalam Negeri tahun 1974. Sejak itu Kesultanan Ternate tidak lebih dari simbol budaya di Ternate. Demikian pembahasan mengenai sejarah Kesultanan Ternate, sebuah kesultanan yang berada di kawasan yang kaya akan rempah-rempah sehingga memunculkan banyak konflik dengan bangsa luar.

BIBLIOGRAFI

Azra, Asyumardi. (ed). 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor.

Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang.

Harun, M. Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.

Pusponegoro, Marwati Junet & Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka

Yusuf, Mudzirin, dkk. (ed). 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *