Peradilan dan Perhajian Hindia Belanda

Share your love

Praktik kolonialisme di Nusantara menimbulkan dominasi Belanda di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dominasi ini mengakibatkan Belanda banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihaknya saja. Hal ini terlihat jelas pada kerja paksa dan pajak yang ditetapkan oleh Belanda. Dominasi ini sampai juga ke bidang keagamaan. Meskipun pada awalnya mereka enggan mencampuri urusan keagamaan, pada akhirnya bidang ini menjadi perhatian mereka. Belanda mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyentuh bidang keagamaan, khususnya persoalan peradilan dan perhajian.

Selanjutnya, dalam pembahasan ini akan disentuh mengenai pandangan pemerintah Hindia Belanda di bidang peradilan dan perhajian abad ke-19, kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang peradilan dan perhajian, serta reaksi umat Islam terhadap kebijakan-kebijakan tersebut.

Pandangan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Peradilan dan Perhajian

Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam di Indonesia dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara ketakutan dan pengharapan yang berlebihan. Di satu sisi mereka takut akan kefanatikan Islam dan di sisi lain mereka optimis akan keberhasilan kristenisasi.[1]

Sebelum Snouck datang, pemerintah Hindia Belanda sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan di bidang peradilan dan perhajian, meski kebijakan itu seolah tidak jelas dan bersifat sementara serta kebijakan ini harus tunduk pada rust en orde. Snouck membagi Islam kepada dua, yakni Islam religious dan Islam politik. Dari sini, kemudian Islam dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu :

  1. Bidang agama atau ibadah.
  2. Bidang sosial kemasyarakatan.
  3. Bidang politik.

Konsep yang dikemukakan oleh Snouck ini dikenal sebagai Islam Politiek atau kebijaksanaan pemerintah Belanda dalam menangani masalah Islam.[2] Pandangan Belanda, khususnya setelah kemunculan konsep Snouck, bahwa Islam sebagai agama sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintahan Belanda diberi kemerdekaan untuk melaksanakan ajarannya. Oleh karena itu, pihak Belanda dilarang campur tangan dalam masalah agama atau lebih dikenal dengan sebutan netral agama.

perhajian
Snouck Hurgronje

Dalam perkembangannya, pemerintah Hindia Belanda tetap ikut campur dalam masalah-masalah agama, di antaranya dalam bidang peradilan dan perhajian, sehingga kebijakan netral agama yang dicanangkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dianggap telah berakhir.

Kebijakan dalam Bidang Peradilan

Di Hindia Belanda dahulu tidak ada peraturan yang seragam tentang urusan hukum, terdapat berbagai tatanan hukum yang sangat meruwetkan.[3] Eksistensi Pengadilan Agama pada masa penjajahan dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan, karena penjajahan telah merebut kekuasaan raja-raja termasuk pula lembaga dibawahnya, salah satunya adalah Peradilan.[4]

Dalam bidang pengadilan disebutkan empat orang yang berhak bertindak, namun dalam praktiknya hanya dua orang yang melaksanakan tugas pengadilan, yaitu penghulu dan jaksa. Namun, pemisahan tugas secara perlahan masuk dalam kegiatan praktik peraturan dan undang-undang abad ke-19. Perkembangan ini terjadi sejalan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam memisahkan pelaksanaan perundang-undangan dan kehakiman dari kekuasaan penuh bupati sebagai bawahan sultan.

Pemerintah kolonial memang berusaha menciptakan suatu kelompok bupati yang independen dari sultan dan hanya terikat pada pemerintah di Batavia dan Bogor. Kekuasaan para bupati awalnya sangat besar khususnya dalam perkara pribumi namun lama-kelamaan berkurang karena sebagian tugasnya diambil alih oleh pegawai pemerintahan pusat. Kekuasaan bupati lenyap  setelah pemerintah pusat langsung mengangkat para penghulu dan langsung mengawasi mereka. Raffles dalam bukunya berulang kali menyebutkan “the court of the penghulu” tetapi dalam peraturannya tentang pengadilan di daerah Jawa, dinyatakan status penghulu sebagai penasehat pengadilan negeri tanpa menyinggung pengadilan agama.[5]

Kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda mengenai persoalan peradilan, kas masjid, juga perkawinan, di antaranya :

  • Peraturan Bt. 19 Mei 1820 no.1 berisi tentang kewajiban para bupati di Jawa dan Madura. Bupati harus mengawasi semua permasalahan agama Islam dan mengusahakan agar para ulama bebas melaksanakan tugasnya menurut adat dan kebisaan orang Jawa, baik dalam perkara perkawinan, pembagian warisan, dan masalah hukum lainnya.
  • Peraturan pertama tentang pengadilan agama di Jawa dikeluarkan pada tahun 1835 dengan Bt. 7 Desember 1835 no. 6 (stb. 1835 no. 58), yang intinya persoalan tentang perkawinan, pembagian warisan, dan lain sebagainya yang harus diputuskan menurut undang-undang Islam, keputusan hukum diberikan oleh para penghulu/kyai/ulama tetapi pelaksanaan atau pembayaran harus diajukan kepada pengadilan biasa.
  • Peraturan tahun 1843 tentang pengadilan agama untuk daerah Rembang dan Blora yang khusus menetapkan tarif pengadilan agama dan tugas para penghulu. Peraturan ini diikuti daerah-daerah lain, namun belum mencakup seluruh Jawa dan Madura.
  • Pengadilan Negeri pada 7 November 1865 memutuskan bahwa pengadilan agama tidak berhak mengambil keputusan dalam masalah hak milik tanah.
  • 5 April 1877, Mahkamah Agung membatasi kompetensi pengadilan agama.
  • Tahun 1895, diterbitkan Ordonansi khusus dalam rangka mengawasi kas masjid dan tertib perkawinan.
  • Tahun 1866, dikeluarkan peraturan (bijblad 1892) yang melarang keras kepala desa sampai bupati turut campur dalam pengumpulan zakat.

Penghulu tingkat kabupaten harus melaksanakan lima fungsi, yaitu :

  1. Sebagai mufti
  2. Sebagai Qadi atau hakim dalam pengadilan agama.
  3. Sebagai imam masjid
  4. Sebagai wali hakim.
  5. Sebagai pengumpul zakat.

Mengenai kebijakan pengangkatan penghulu baru, ada tiga pendapat, yaitu pertama, bersikap pasif, yakni mayoritas pegawai pemerintah yang menganggap jabatan  penghulu adalah jabatan agama sehingga harus bebas dari campur tangan pemerintah Belanda. Kedua, dari Holle yang berpendapat bahwa pemerintah harus memperhatikan agar para penghulu baru tidak diangkat dari kelompok orang Islam yang fanatik atau turut dalam suatu aliran. Ketiga, dipelopori Snouck yang menyatakan penghulu harus diangkat oleh pemerintah dan pemerintah harus bertindak tegas pada penghulu yang korup atau sama sekali tidak mengetahui hukum Islam.

Kebijakan dalam Bidang Perhajian

perhajian
perhajian zaman kolonial

Sebelum abad ke-19, muslim Indonesia mengalami kesulitan dalam melakukan ibadah haji, meski hal itu terlihat tidak konsisten dijalankan.[6] Situasi ini berubah pada 1810, ketika Herman Daendels (Gubernur Jenderal saat itu) mengeluarkan peraturan bahwa para haji harus memakai pas jalan jika ingin pergi dari satu tempat ke tempat lain.

Rentang waktu 1811-1814, Inggris mengambil alih Indonesia di bawah pimpinan Thomas Raffles. Dalam bukunya, History of Java, Raffles berpandangan bahwa para haji dianggap orang istimewa dan suci oleh rakyat sederhana, sehingga dipercayai memiliki kekuatan gaib. Konsekuensi logisnya, para haji mempunyai pengaruh politik dan sering berperan sebagai pemimpin pemberontakan. Oleh karena itu, menurutnya seorang haji tidak sesuai untuk menjadi seorang bupati.[7]

Peraturan mengenai perhajian telah mengalami perubahan sedemikian rupa, dengan rincian[8] :

  • Tahun 1825, ditetapkan bahwa setiap calon haji harus membayar 110 gulden untuk pembayaran pas jalan dan para calon haji yang tidak membeli pas jalan akan dikenakan denda 1000 gulden.
  • Tahun 1831, peraturan dari tahun 1825 sedikit diubah, yakni dalam denda dari sebesar 110 gulden menjadi dua kali lipat harga pas jalan, 220 gulden.
  • Tahun 1852, keputusan Bt 3 Mai 1852 no. 9, pas jalan tetap diwajibkan, tetapi diberikan secara gratis, sedangkan denda dihapuskan sama sekali.
  • Tahun 1859, peraturan baru berisi, calon haji meminta pas jalan pada bupati tanpa ongkos resmi; calon haji membuktikan kepada bupati mempunyai uang yang cukup; sesudah pulang, jemaah haji harus diuji oleh bupati.
  • Tahun 1902, masih sama dengan peraturan tahun 1859, hanya saja ujian oleh bupati dihapuskan.

Selanjutnya, terdapat pula beberapa kebijakan yang masih ada kaitan dengan masalah perhajian, seperti dalam circulaire (surat edaran) secretaries government tanggal 6 Juni 1882 no. 906, menyatakan, pertama, para bupati boleh menerima uang dari agen maskapai pelayaran sebanyak 2 setengah gulden untuk setiap calon haji. Kedua, para bupati menerima setoran uang dari para calon haji dan mengirimkan ke Batavia. Ketiga, para bupati diizinkan mengadakan propaganda untuk agen maskapai pelayaran tersebut. Namun kemudian izin ini dihapuskan berdasarkan circulaire secretaries government no 2134 tanggal 14-9-1889.

Residen Banten pada Maret 1890, mengusulkan kepada gubernur jenderal untuk melarang pakaian haji. Ketika usulan ini dikirim kepada Snouck, selaku penasehat ahli bidang ini, usulan ini ditolak.[9] Meski pada akhirnya, gubernur jenderal memutuskan bahwa yang diizinkan memakai pakaian haji hanya yang sudah naik haji dan lulus ujian haji.

  1. Zakat Haji

Persoalan lain yang menyangkut masalah perhajian adalah pungutan zakat haji sebesar 2,5 % oleh penghulu dari ongkos naik haji. Para penghulu berdalih, jika zakat ini tidak dibayar, maka uang hajinya tidak halal dan hajinya tidak sah.

Dalam hal ini, Snouck mengusulkan pelarangan, karena dalam fiqih zakat 2,5 % harus dibayarkan jika sudah cukup nishab dan haul. Sedangkan para calon haji pada umumnya menjual tanahnya menjelang haji dan pasti tidak sampai satu tahun sebelum berangkat.[10]

  1. Konsul Belanda di Jeddah dan Koloni Jawa

Jumlah jemaah haji yang setiap tahun selalu ada, meskipun pasang surut, menjadikan pemerintah Hindia Belanda menempatkan konsulnya di Jeddah untuk mengatur dan mengawasi mereka di tanah suci.[11]

Konsul ini selama abad ke-19 adalah seorang pegawai Departemen Luar Negeri, yaitu seorang dari dinas diplomatik. Para calon haji, pada dasarnya sudah merasa gembira setibanya di Mekkah. Mereka hanya menghubungi kantor konsul jika ada pengaduan yang akan disampaikan.

Sejarah Konsulat Belanda di Jeddah merupakan kumpulan cerita cukup menyedihkan.[12] Baru pada abad ke-20, konsul ini diorganisasi lebih baik. Staf diambil dari pegawai Belanda yang berpengalaman di Indonesia dan menguasai beberapa bahasa Indonesia.

Konsul ini memiliki tugas untuk mengawasi perkembangan Koloni Jawa (istilah di dunia Arab untuk semua orang dari daerah yang sekarang meliputi Malaysia, Indonesia, Filippina dan Muang Thai) di Mekkah. Konsul ini ditempatkan di bawah Departemen Luar Negeri dan harus mengirim laporan ke Den Haag. Dari Deplu, laporan ini dikirim ke Departemen Koloni, diteruskan ke Gubernur Jenderal.

Reaksi Umat Islam terhadap Kebijakan Hindia Belanda

Banyaknya campur tangan pemerintah Belanda terhadap bidang peradilan dan perhajian, memunculkan berbagai reaksi dari umat Islam. Reaksi dimunculkan oleh organisasi-organisasi seperti Sarikat Islam (SI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS).

Reaksi dari organisasi-organisasi tersebut, dimunculkan lewat berbagai tulisan-tulisan dalam buku atau surat kabar. Selain itu, rencana kerja SI pada tahun 1924 sampai 1937 menggariskan agar semua peraturan tentang Islam ditarik dari wewenang Belanda.

Reaksi paling tajam ditujukan kepada Ordonansi Perkawinan, datang dari PSII yang berusaha membentuk front bersama dengan organisasi-organisasi lainnya. Hal ini disebut oleh Pijper sebagai “bukti kekuatan Islam”.[13] PSII juga menegaskan bahwa semua hal yang menyangkut paut dengan agama Islam hendaknya diserahkan kepada agama Islam itu sendiri.

Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS) dalam kongresnya di Bogor tahun 1926 mengungkapkan kemarahannnya terhadap campur tangan pemerintah kolonial dalam masalah agama. Dalam kongresnya Pekalongan tahun 1937, organisasi ini bahkan mengajukan pertanyaan terbuka kepada pemerintah: atas dasar hukum apa pemerintah kolonial mencampuri urusan agama Islam, padahal meenyatakan diri netral terhadap agama.

[1] Hal ini lahir dari kekurangan pengetahuan dari pemerintah Hindia Belanda saat itu terhadap Islam, khususnya di Indonesia. Di satu sisi mereka khawatir timbulnya pemberontakan Islam fanatik dan di sisi lain mereka optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan menyelesaikan semua persoalan. Lebih lanjut lihat Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 38-39 dan H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, cet. 1, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 9.

[2] Ibid., hlm. 12.

[3] R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 38.

[4]http://pa-kalianda.go.id/gallery/artikel/196-eksistensi-hakim-pengadilan-agama-diindonesia-sebelum-kemerdekaan-ri.pdf. diakses pada 19 Mei 2015.

[5] Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 215

[6] Pada tahun 1661, umumnya VOC melarang para calon haji ikut kapal VOC dan kadang juga melarang para haji yang pulang dari Mekkah mendarat di Batavia. Namun kadang-kadang para haji dan calon haji juga diberikan fasilitas. Lebih lanjut lihat Karel, Beberapa …, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 234.

[7] Pada 1813, seorang pegawai Raffles melaporkan wafatnya bupati, dengan mengatakan, bahwa dua dari anaknya tidak sesuai menggantikan, karena yang satu telah haji dan satu lagi sedang haji. Ibid., hlm. 236.

[8] Lihat Ibid., hlm. 235-237

[9] Usulan ini ditolak oleh Snouck Hurgronje dengan dua alas an, yaitu 1. Tidak ada pakaian seragam untuk pakaian haji; 2. Larangan ini hanya akan menimbulkan kehebohan. Di samping itu Snouck mengusulkan agar ujian haji dihapuskan, gelar dan pakaian haji dibebaskan. Lihat Ibid., hlm. 243.

[10] Ibid.

[11] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Cet. 1, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 93.

[12] Beberapa konsul ada yang korup, mencari uang dengan visa, dan bekerjasama dengan agen perusahaan pelayaran untuk menambah gaji mereka. Pernah suatu waktu, ketika para haji akan pulang, konsulat melakukan kecerobohan menghilangkan paspor, tiket, sehingga para haji menyerbu kantor konsul. Karel, Beberapa …, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 245.

[13] Ordonansi Perkawinan menurut umat Islam merupakan campur tangan pemerintah dalam masalah Islam yang tidak dapat diterima dan ditolerir. Umat Islam yang diwakili organisasi-organisasi melakukan protes yang penuh amarah, sehingga Kementerian Kehakiman menarik kembali Ordonansi tersebut. Lihat Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 118-119.

BIBLIOGRAFI

A Steenbrink, Karel. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

J Benda, Harry. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suminto, Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. cet. 1. Jakarta: LP3ES.

Tresna. 1978. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad. Jakarta: Pradnya Paramita

 

Web:

http://pa-kalianda.go.id/gallery/artikel/196-eksistensi-hakim-pengadilan-agama-diindonesia-sebelum-kemerdekaan-ri.pdf. diakses pada 19 Mei 2015.

Thanks to: Nurul Hidayah.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *