Biografi Syafruddin Prawiranegara

Setelah Indonesia merdeka, kondisi negara tidak serta merta menjadi stabil dan kondusif. Para pahlawan, masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih, tetes keringat dan darah mereka korbankan untuk membela kelangsungan NKRI. Pada kesempatan penulis akan membahas salah satu tokoh pejuang NKRI, dia adalah Syafruddin Prawiranegara.

Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara

Syafruddin Prawiranegara adalah salah seorang pejuang Republik Indonesia yang banyak memberikan kontribusi untuk bangsa. Sayangnya, tidak begitu banyak disinggung sejarah kepahlawanannya untuk Republik Indonesia.

Ia merupakan tokoh yang banyak ikut andil dalam perjuangan mempertahankan Republik Indonesia yang beberapa di antaranya dilakukan melalui pemikirannya. Dari sekian perjuangannya, salah satu yang paling berjasa dan mendapat mandat penting adalah ketika Syafruddin menjadi Ketua/Pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Syafruddin Prawiranegara Pemimpin yang Terlupakan

Syafruddin bersama Soekarno
Syafruddin bersama Soekarno

Syafruddin Prawiranegara merupakan salah seorang tokoh pejuang Indonesia yang lahir pada tanggal 28 Februari tahun 1911. Ia merupakan seorang priyayi Banten yang masih meiliki darah keturunan dari Sultan Banten. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara dari hasil pernikahan Raden Arsyad Prawiraatmaja dan Nur’aini.

Raden Arsyad masih merupakan keturunan Sultan Banten sehingga tidak diragukan lagi kebangsawanannya di Banten. Anak pertama dari hasil pernikahan ini adalah seorang perempuan bernama Siti Maria. Raden Arsyad dan Nur’aini merupakan pasangan sederajat karena Nur’aini juga berasal dari kalangan strata atas dari Minangkabau.

Ayah Syafruddin, Raden Arsyad, mulai diangkat sebagai pegawai pangreh praja ketika usianya baru sekitar 19 tahun, yaitu pada tahun 1907. Kemudian dengan cepat ia diangkat jabatannya menjadi asisten wedana atau camat dan ditempatkan di Anyar Kidul, yang masih termasuk dalam Kawedanan Anyar, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten.

Bisa dibilang kenaikan jabatannya yang begitu cepat itu disebabkan oleh kedudukan keluarganya. Ia adalah anak dari Raden Haji Chatab Aria Prawiranegara atau yang lebih dikenal sebgai Patih Haji karena pernah menjadi Patih Kabupaten Serang (1879-1884). Arsyad merupakan anak pertama dari istri kedua Patih Haji, Nyi Mas Hajjah Salbiyah. Patih Haji meninggal tahun 1899.

Arsyad merupakan orang yang berpendidikan tinggi. Hal ini juga merupakan salah satu sebab mengapa dirinya dapat menduduki posisi camat. Namun tak lama kemudian, Raden Arsyad turun dari jabatannya menjadi mantri kabupaten di Serang; jabatan ini merupakan jabatan satu tingkat di bawah asisten wedana atau camat. Ia turun dari jabatannya karena berkonflik dengan seorang Kontrolir.

Sejak saat itu konduitenya sebagai priyayi selalu mendapat sorotan dari pemerintah kolonial dan kenaikan pangkatnya menjadi terhambat. Dari surat keputusan yang membuatnya turun jabatan itu, Raden Arsyad dipindahkan ke Serang, wilayah ini lebih ramai daripada di Anyer Kidul.

Di wilayah Serang, Raden Arsyad mulai mengikuti budaya yang ada di situ, seperti Tayuban. Tayuban adalah semacam tarian pasangan-pasangan laki-laki dengan wanita dengan iringan gamelan.

Raden Arsyad harus selalu ikut serta ketika acara seperti Tayuban itu diadakan karena para priyayi-priyayi atasannya yang harus dipatuhi kebiasaan-kebiasaan hidupnya itu suka dengan Tayuban ini.

Akan tetapi, Nur’aini, sebagai seorang istri, sangatlah tidak menyukai kebiasaan tersebut yang sampai mengakibatkan suaminya itu sering pulang dalam keadaan mabuk.

Nur’aini pun meminta untuk bercerai. Nur’aini meminta cerai melalui kantor urusan agama (rapa’), sehingga pada akhirnya mereka bercerai saat Syafruddin berusia satu tahun.

Kendati demikian, Siti Maria dan Syafruddin pun tetap diasuh oleh Raden Arsyad yang kemudian menikah lagi dengan Ratu Suwela (Epoh), putri bangsawan Banten asli, Tubagus Anglingkusumah dan Ratu Suwelaningrat.

Syafruddin dan kakaknya masih terlalu kecil untuk mengetahui perceraian dan pernikahan kembali itu. Mereka baru mengetahui yang sebenarnya ketika Syafruddin berusia tujuh tahun, yakni ketika Syafruddin tertimpa kecelakaan jatuh dari sebuah pohon dan Nur’aini dengan cemasnya datang menemui Syafruddin di rumah uanya Syafruddin, Haji Fatimah, di Serang.

Ketika itu, ayahnya telah diangkat kembali sebagai Camat Anyer Kidul, Muncang, Banten Selatan, Kabupaten Lebak. Syafruddin dan kakaknya pun menyadari bahwa mereka memiliki dua orang ibu yang sangat menyayangi mereka.

Syafruddin memiliki tiga adik, yakni Remi, Bey Sandimaya, dan Drajat Demokrat. Namun Remi meninggal ketika dia masih kecil. Kemudian ibu Epoh juga meninggal dunia karena wabah flu yang amat berat. Hal ini terjadi ketika Syafruddin beranjak  dewasa. Namun, Syafruddin tetap merasa memiliki seorang ibu, yakni ibu kandungnya sendiri.

Sepeninggal Ibu Epoh, Raden Arsyad pun merasa membutuhkan seorang ibu baru bagi anak-anaknya untuk mengasuh dan mendidik mereka. Maka terpilihlah Zubaedah (yang biasa dipanggil Tutah), salah seorang kemenakan ibu Epoh, yang dipilih oleh mertua Raden Arsyad sendiri (ibunya ibu Epoh). Umur Zubaedah sekitar 15 tahun lebih muda daripada Raden Arsyad. Namun ia telah ikhlas menerima Raden Arsyad sebagai  suaminya.

Dari ibu Zubaedah, Syafruddin memperoleh tiga orang adik lagi, yakni Kartini, Abdurrachman Prawirakusumah, dan Mohammad Basar. Dengan demikian Raden Arsyad memiliki tiga orang isteri dan delapan orang anak dan Syafruddin adalah anak laki-laki yang paling tua.

Syafruddin sudah belajar Al Qur’an sejak kecil setelah dikhitan. Meskipun ia tidak mengerti isinya karena ia tidak diajari bahasa Arab dan tidak diberi terjemahannya. Ia sudah mulai berpuasa dari umur empat atau lima tahun.

Ketika tiba usianya untuk bersekolah, oleh ayahnya dia dimasukkan ke ELS (Europeesche Lagere School) dan tidak ke pesantren. Di sekolah itu ia harus menggunakan bahasa Belanda karena bahasa itulah yang menjadi bahasa pengantar di sekolah itu.

Pada tahun 1924, ia pindah ke Ngawi mengikuti ayahnya yang kemudian segera dimasukkan ke ELS juga. Namun tidak lama, hanya beberapa bulan saja, karena ia sudah kelas tujuh. Setelah tamat dari ELS, awalnya Syafruddin akan melanjutkan ke HBS (Hoogere Burger School), tetapi tidak jadi karena tempatnya yang jauh, yakni hanya di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, selain itu biayanya juga mahal.

Karena itu, ayahnya memilih untuk memasukkan Syafruddin ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun. Setelah tamat dari MULO, ia melanjutkan pelajarannya ke AMS (Algemeene Middlebare School) Bagian A di Bandung karena ia memiliki minat besar dalam bidang kesusastraan dan gemarnya dalam membaca buku.

Setelah tamat dari AMS pada tahun 1931,  ia melanjutkan ke RHS (Rechts Hoge School: Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Awalnya Syafruddin ingin melanjutkan ke perguruan tinggi sastra.

Namun karena tempatnya itu ada di negeri Belanda dan ia tidak mungkin pergi ke sana, maka Syafruddin tidak jadi memilih perguruan tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi keuangan keluarganya yang sedang terperosok. Akhirnya Syafruddin harus merasa puas dengan masuk di RHS.

Raden Arsyad meninggal pada bulan Maret tahun 1939 dengan tiba-tiba ketika sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al Qur’an. Setelah mendengar berita duka itu, Syafruddin pun langsung berangkat menggunakan kereta api, meskipun tidak dapat melihat jenazah ayahnya.

Syafruddin datang terlambat dua jam. Jenazah ayahnya dibawa dari Kediri ke Blitar dan dimakamkan di sana.

Sepeninggal ayahnya, kehidupan ekonomi Syafruddin dan keluarganya makin merosot. Gaji pensiunan dari ibu tirinya, Teh Tutah, hanya separo dari gaji ayahnya dulu.

Akhirnya ia sesegera mungkin menyelesaikan skripsinya agar kemudian dapat melamar perkerjaan untuk membantu keluarganya termasuk membiayai sekolah adik-adiknya. Ia akhirnya lulus sebagai Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada bulan September tahun 1939, enam bulan setelah ayahnya meninggal.

Setamatnya dari RHS, Syafruddin melamar pekerjaan ke Perikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) dan diterima. Di PPRK ia menempati jabatan sebagai administrator PPRK yang merangkap sebagai redaktur Soeara Timoer (majalah PPRK).

Namun pekerjaan ini hanya beberapa bulan saja. Karena tak lama kemudian, Syafruddin beserta tiga kawannya yang sama-sama dari RHS diterima di Departement van Financien (Departemen Keuangan). Syafruddin ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak di Kediri, Jawa Timur.

Dengan jabatan yang cukup tinggi dan umur yang matang, yakni hampir tiga puluh tahun, Syafruddin pun merasa bahwa sudah saatnya ia berumah tangga. Ia pun berencana untuk meminang Tengku Halimah, salah seorang gadis anak dari Ibu Sabaruddin yang mana masih memiliki tali persaudaraan dengan Ibu Nur’aini.

Pernikahan mereka pun berlangsung di Buahbatu, Bandung pada tanggal 31 Januari 1941. Kemudian resepsinya diselenggarakan pada tanggal 9 September 1941.

Pada tanggal 9 Juni 1942, lahirlah anak pertama Syafruddin atas pernikahannya itu. Anak itu adalah anak perempuan yang diberi nama Aisyah. Kemudian diikuti dengan lahirnya ketujuh adik Aisyah. Mereka adalah Salvyah (perempuan, lahir di Bandung tanggal 26 Juli 1943), Chalid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 26 Maret 1946), Farid (laki-laki, lahir di Yogyakarta tanggal 6 Maret 1948), Chalidah (perempuan, lahir di Jakarta tanggal 6 Mei 1951), Faridah (perempuan, lahir di Jakarta tanggal 10 November 1952), Rasyid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 2 April 1954), dan Yazid (laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 27 Agustus 1955).

Pemikiran Syafruddin Prawiranegara

Sebagai anak dari keluarga yang Islami, Syafruddin tentulah terdidik untuk benar-benar menjalankan syariat Islam. Perpindahannya dari Banten ke Ngawi pada 1924 untuk mengikuti ayahnya disebutnya sebagai peristiwa yang menyadarkannya akan sifat Islam orang dan masyarakat Banten yang berlainan dengan orang dan masyarakaat Ngawi.

Pernyataan ini ia sampaikan pada kuliah Ramadhan di kampus Universitas Indonesia tahun 1977. Syafruddin menyatakan bahwa kehidupan di Banten dengan di Ngawi itu sangat berbeda bahkan berbalik.

Diketahui pada akhir tahun 1926 di daerah Banten terjadi pemberontakan komunis (seperti yang diberitakan pada surat-surat kabar) yang segera digagalkan oleh pemerintah Belanda. Namun Syafruddin tahu benar bahwa mereka itu bukan komunis. Mereka adalah kyai-kyai yang sangat teguh memegang dan menjalankan agama Islam.

Mereka juga diantaranya merupakan anggota Syafruddin. Namun mereka tetap saja dijatuhi hukum buang ke Digul Atas. Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya pada diri Syafruddin soal komunisme, seperti Mengapa orang-orang yang taat itu melakukan pemberontakan komunis? Apakah Islam sama dengan komunis? Apakah sebenarnya komunis itu? Sehingga membuat ia merasa penasaran dan ingin membaca lebih banyak lagi buku-buku tentang sosialisme dan komunisme, termasuk bukunya Karl Marx yang berjudul Manifesto Komunis.

Buku-buku ini menimbulkan kegoncangan sendi-sendi kepercayaan agamanya hingga pada tahun 1934 ia mendapatkan terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Belanda yang dapat ia pahami dan saat itu pula ia sadari bahwa suatu hal yang mutlak untuk menghayati kedalaman dan kebenaran ajaran Al Qur’an.

Syafruddin melihat bahwa Islamlah sebagai jalan tengah di antara kapitalisme dengan sosialisme-komunisme.

Syafruddin merupakan golongan kooperatif, yakni golongan yang beranggapan bahwa untuk memeperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia haruslah bekerja sama dengan Belanda. Pandangannya lebih banyak dipengaruhi oleh guru-guru besarnya di RHS yang termasuk orang Belanda dan menganut Politik Etis.

Untuk mencapai kemerdekaan itu, bangsa Indonesia haruslah maju dalam segala bidang melalui pendidikan. Pendidikan ini bisa didapatkan secara berangsur-angsur dalam wakttu yang cukup lama. Dengan demikian  kemerdekaan itu akan diperoleh secara evolusi dan bukan revolusi.

Ketika Syafruddin ditugaskan sebagai Pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), ia menamakan dirinya sebagai “ketua” bukan “presiden” karena sebuah alasan. Hal ini ia terangkan dalam surat kabar Pelita yang dimuat pada 6 Desember 1978. Ia menerangkan bahwa hal ini dikarenakan ia belum mengetahui adanya mandat Presiden Soekarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.

Kedudukan Syafruddin sebagai Menteri Keuangan cukup merepotkannya, karena masalah-masalah ekonomi negara yang menumpuk, seperti hutang yang melilit pemerintah Hindia-Belanda sampai tahun 1949, dan beragamnya macam mata uang yang tersebar di masyarakat.

Hal ini mengakibatkan munculnya peraturan baru seperti Sertifikat Devisa yang diikuti dengan Gunting Syafruddin, beserta keputusan-keputusan lain, yakni penggantian uang yang bermacam-macam itu dengan mata uang baru (ORI), mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.

Di Indonesia, salah seorang yang berpendapat bahwa bunga bank dibolehkan karena tidak sama dengan riba adalah Syafruddin Prawiranegara. Ia berpendapat bahwa riba berbeda dengan bunga bank. Bunga bank merupakan rente, yakni tingkat bunga yang wajar dan boleh dipungut berdasarkan undang-undang, sedangkan riba adalah tiap-tiap laba abnormal yang diperoleh dari jual beli bebas.

Sebagai ahli hukum, Syafruddin memang selalu berusaha untuk merumuskan kritiknya terhadap penguasa sedemikian rupa sehingga tidak dapat mudah dituduh melanggar suatu pasal hukum pidana atau UU Antisubversi.

Peran Syafruddin dalam Memperjuangkan NKRI

Sebagai salah seorang pahlawan penting dalam sejarah kepahlawanan Indonesia, Syafruddin tentu banyak berperan dalam hal kaitannya dengan pertahanan Republik Indonesia. Seperti halnya:

  1. Bandung Lautan Api

Syafruddin ikut berperan ketika terjadi genjatan senjata antara Inggris dengan Bandung pada 1946. Ia bersama Mayor Jenderal Didi Kartasasmita menemui para pejuang (TRI) di Bandung  untuk menyampaikan kebijaksanaan pemerintah pusat bahwa agar pasukan TRI meninggalkan kota Bandung seluruhnya.

  1. Oeang Repoeblik Indonesia

Karena sibuknya pertempuran antara tentara Sekutu dengan para pemuda Indonesia pada 10 November 1946, maka pembuatan mata uang Republik Indonesia menjadi tertunda. Syafruddin sebagai pegawai Kementerian Keuangan dan terutama sebagai salah seorang pencetus gagasan tentang pencetakan uang Republik Indonesia itu, turut serta dalam usaha-usaha pelaksanaan dalam pencetakan tersebut.

  1. Memimpin Pemerintah Darurat Indonesia

Situasi Jawa pada tahun 1948 yang sudah diduduki Belanda di banyak tempat, bahkan hampir menyeluruh, membuat Sumatera, terutama Aceh, direncanakan untuk  dijadikan sebagai pusat kedudukan pemerintahan. Ditambah dengan posisi Aceh yang terletak di ujung barat wilayah Republik Indonesia sehingga melalui radio mudah berhubungan dengan luar negeri, terutama India.

Pada pertengahan November 1948, Moh. Hatta beserta beberapa anggota pembesar militer dan sipil, termasuk Syafruddin, berangkat ke Bukittinggi untuk melerai persengketaan antara Mayor Bejo dengan Mayor Malau di Tapanuli yang dapat selesai dalam lima hari saja. Kemudian mereka kembali ke Jawa, Yogyakarta, untuk melakukan perundingan lagi dengan Belanda, kecuali Syafruddin beserta pembantu-pembantunya. Mereka ditugaskan untuk mengatur keuangan di Provinsi Sumatera sembari menunggu kembalinya Moh. Hatta.

Serangan Belanda di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 membuat Presiden dan Wakil Presiden membuat kawat kepada Syafruddin dan A.A. Maramis. Isi kawat yang ditujukan untuk Syafruddin adalah agar ia membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera, dan isi kawat yang ditujukan untuk A.A. Maramis adalah apabila Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil maka ia dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi.

  1. Pembentukan Provinsi Aceh

Setelah kembali dari perundingannya dengan Belanda melalui pernyataan Roem-van Royen, Moh. Hatta melakukan penyegaran kabinet. Syafruddin Prawiranegara menduduki jabatan sebagai Wakil Perdana Menteri untuk Sumatera yang tempat kedudukannya ditetapkan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Ia membentuk Provinsi Aceh yang kemudian ditentang oleh uleebalang.

  1. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

Dalam hal ini, Syafruddin berusaha menyadarkan Soekarno agar lepas dari tangan-tanagn komunis. Menurut Syafruddin, situasi Indonesia semakin memburuk karena sikap Soekarno yang selalu ingin menumpuk kekuasaannya di tangannya sendiri dengan bantuan orang-orang komunis dan tanpa disadari sewaktu-waktu orang komunis akan menyingkirkannya juga.

  1. Himpunan Usahawan Muslim Indonesia (husami)

Syafruddin merupakan ketua umum husami. Husami di sini memiliki  peran sebagai usahawan swasta yang berdasarkan Islam dan yang aktif serta tidak menggantungkan diri kepada fasilitas pemerintah seperti kebanyakan usahawan swasta di zaman Orde Lama.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia

rumah syafruddin prawiranegara dijadikan kantor PDRI
Kantor PDRI

Perundingan antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Belanda tentang pelaksanaan Persetujuan Renville pada Juni 1948 mendapati jalan buntu.

Selain itu, terdapat tanda-tanda bahwa Belanda akan melakukan aksi militer lagi yang ujungnya akan menduduki Yogyakarta, di mana Yogyakarta kala itu menjadi ibukota negara Republik Indonesia.

Untuk menghadapi situasi tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan untuk mengambil siasat. Di pertemuan ini mereka membicarakan tentang langkah-langkah yang akan diambil jika Belanda benar-benar melakukan aksi militer lagi dan berhasil menduduki Yogyakarta. Termasuk membahas tentang kemungkinan Sumatra dijadikan sebagai pusat kedudukan pemerintahan semasa perang berlangsung.

Pulau Sumatera yang wilayahnya jauh lebih luas daripada Jawa menjadi salah satu daerah yang ideal bagi aktivitas gerilya. Salain itu, Pulau Sumatera terutama Aceh, terletak di ujung barat wilayah Republik Indonesia sehingga melalui radio dapat mudah berhubungan dengan luar negeri.

Dari rencana kabinet, Moh. Hatta beserta pembesar sipil dan militer akan pergi ke Sumatera dan akan membentuk Pemerintah Darurat jika Pulau Jawa sudah diduduki oleh Belanda seluruhnya.

Atas permintaan Teuku Moh. Hasan, pada November 1948, Moh. Hatta beserta beberapa anggota pembesar militer dan sipil, termasuk Syafruddin, berangkat ke Bukittinggi untuk melerai persengketaan antara Mayor Bejo dengan Mayor Malau di Tapanuli.

Di sana mereka juga mempersiapkan Sumatera sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia. Dalam lima hari perselisihan tersebut selesai dan kemudian Moh. Hatta kembali ke Yogyakarta.

Namun sebelum Moh. Hatta terbang ke Yogyakarta, ia mengangkat Letnan Kolonel Kawilarang menjadi Panglima daerah Sumatera, Kolonel Hidayat menjadi Panglima seluruh Sumatera, dan Menteri Kemakmuran Syafruddin beserta pembantu-pembantunya untuk sementara di Bukittinggi mengatur keuangan di Provinsi Sumatera. Moh. Hatta pergi untuk melakukan perudingan lagi dengan Belnada.

Perundingan yang dilaksanakan pada 30 Novemebr 1948 tersebut gagal. Hal ini disebabkan oleh sikap Dr. Sassen, Menteri Seberang Lautan Belanda, yang menyatakan bahwa agar TNI djadikan sebagai pengawal keamanan saja, bukan sebagai tentara nasional Republik Indonesia yang akan dibentuk.

Kemudian pada 19 Desember 1948, tepatnya pada pukul 05.30, Yogyakarta dengan tiba-tiba diserang oleh pasukan Belanda. Dalam situasi seperti ini pun Moh. Hatta masih sempat mengadakan persidangan kabinet di Kepresidenan yang membahas tentang sikap dan tidakan yang akan diambil oleh pemerintahan Indonesia.

Sidang Kabinet tersebut menghasilkan keputusan, yang salah satunya, adalah Presiden  dan Wakil Presiden mengirimkan pesan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

Apabila ikhtiar Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat tidak berhasil, maka Mr. A. A. Maramis dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi.

Setelah itu, pada 18 Desember, pasukan Belanda melancarkan aksi militernya di daerah Sumatera, terutama Bukittinggi. Tujuan dari aksi ini adalah untuk merebut kota Bukittinggi secepat mungkin, karena kota tersebut merupakan tempat kedudukan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera (Mr. Teuku Moh. Hasan), Residen Sumatera Tengah (Mr. S. M. Rasyid), dan Panglima Sumatera (Kolonel Hidayat).

Namun pada tanggal 22 Desember 1948, pasukan Belanda berhasil masuk dan menguasai kota Bukittinggi. Tujuan utama dari serangan serentak ini (Yogyakarta dan Bukittinggi) adalah untuk menyingkikan Republik pemimpin Soekarno-Hatta dari peta bumi Indonesia.

Penyerangan Belanda di Bukittinggi membuat kota ini tidak dapat dipertahankan. Maka Syafruddin mengambil keputusan utuk Teuku Moh. Hasan bersama pejabat tinggi lainnya, kecuali Residen S. M. Rasyid, agar menyingkir ke luar kota menghindari penangkapan Belanda.

Mereka kemudian menuju ke sebuah perkebunan teh bernama Halaban. Halaban terletak di pegunungan sehingga diperkirakan akan sulit dicapai oleh Belanda. Tak lama kemudian Residen S. M. Rasyid datang dari Bukittinggi untuk melaporkan keadaan Bukittinggi dan Sumatera Tengah dalam sebuah perundingan.

Setelah mendengar laporan dari Residen S. M. Rasyid, maka pembicaraan dipusatkan pada pembentukan Presiden Darurat yang sudah dikemukakan oleh Syafruddin di Bukittinggi.

Kesepakatan pembentukan Pemerintah Darurat Republk Indonesia semata-mata berdasakan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap perjuangan bangsa agar jangan sampai terjadi kekosongan dalam pemerintahan.

Atas kesepakatan bersama, maka ditentukanlah bahwa PDRI dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua. Ia merangkap sebagai presiden dan perdana menteri (wakil presiden).

Untuk mengadapi Belanda di Sumatera, maka dibentuklah gubernur-gubernur dan komisaris-komisaris di Sumatera. Susunan PDRI pun berangsur-angsur dilengkapi dan jika perlu dilakukan perubahan-perubahan.  Mr. A. A. Maramis yang sedang berada di New Delhi pun diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Eksistensi PDRI diakui dan keputusan-keputusannya dipatuhi oleh para pemimpiin dan rakyat Indonesia.

Belanda mengira bahwa dengan menangkap Soekarno dan para pembesar Indonesia itu sudah melenyapkan Republik Indonesia. Namun mereka salah karena adanya pembentukan PDRI yang menjalankan fungsinya sebagai pemerintah Republik Indonesia yang bersifat mobile.

Pada bulan Januari 1949, para pemimpin PDRI meninggalkan Halaban dan pergi ke Bidar Alam untuk kemudian Bidar Alam sebagai tempat kedudukan pimpinan pusat PDRI. Karena tempatnya yang terpencil maka akan lebih sulit Belanda menemukan mereka di sana.

Pada bulan dan tahun itu juga, ada sebuah konferensi negara-negara Asia di New Delhi yang dihadiri oleh 19 negara yang mendesak agar Belanda menarik kembali pasukannya dari daerah Keresidenan Yogyakarta.

Pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang kabinet yang dipimpin oleh Moh. Hatta di Yogyakarta. Dalam sidang itu Syarifuddin selaku Ketua PDRI menyerahkan kembali mandat kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno.

Sidang ini sekaligus mengakhiri secara formal masa hidup Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Dengan demikian PDRI berdiri selama enam bulan dua belas hari saja namun mempunyai makna yang besar dalam menentukan jalannya perjuangan bangsa dan negara Republik Indonesia.

BIBLIOGRAFI

Rosidi, Ajib. 1986. Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah. Jakarta: Inti Idayu       Press.

Zed, Mestika. 1997. Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia,   Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

6 Comments

  1. Foto Pemerintah Darurat Republik Indonesia di atas sangat keliru, seharusnya itu foto PRRI. Perhatikan baik-baik dalam foto tersebut dari kiri ke kanan Kol. Dahlan Djambek, Burhanuddin Harahap, Ahmad Husein, Sjafruddin Prawiranegara, Kol. Maludin Simbolon dan Muhammad Sjafei.

  2. Kok beda dengan yg ini ya Ceritanya:
    Pemerintahan Darurat Indonesia,
    Dengan tidak bermaksud mengkultuskan seseorang manusia karena kiprahnya dalam perjuagan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,sebagaimana halnya tidak bermaksud pula untuk menyingkirkan peranan penting para bapak -ibu bangsa lainnya yang juga sangat berjasa dalam proses mewujudkan Indonesia merdeka dan berdaualat.Namun mereka itu masing-masingnya memiliki keunikan-keunikan yang tidak di miliki oleh yang lainnya,sebagaimana juga keunikan Mr.Syafruddin Prawiranegara itu. Tokoh yang satu ini memang sangat unik dalam kancah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI),yang tidak dimiliki oleh para pendiri bangsa dan negara lainnya.Ia lahir di Serang,Propinsi banten tanggal 28 Februari 1911 dan wafat tanggal 15 Februari 1989 di Jakarta ,yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Pertama Indonesia tahun 1946,lalu berikutnya menjadi Menteri Kemakmuran tahun berikutnya pula. Mr.Syafruddin Prtawiranegara ketika masih menjabat sebagai Menteri Kemakmuran sering melakukan kunjungan keberbagai daerah untuk mendorong tumbuh berkembangnya perekonomian rakyat yang masih sangat parah dampak blokade yang dilakukan rejim Kolonial Belanda yang hendak memulihkan kekuasaannya kembali di Indonesia.Berbagai provokasi dilakukan Belanda untuk di jadikan”casus belli”sebagai alasan bagi invasinya ke berbagai wilayah Indonesia,yang oleh negeeri kincir angin itu disebutnya”aksi polisional”. Karenanya para bapak bangsa dengan sanagat lugas dengan berbagai strategi politik yang memang mereka miliki itu beberapa kali berhasil” menyeret” Belanda kemeja perundingan ,meskipun sering pula pemerintah Belanda mencoba mengingkarinya dengan berbagai aksi militernya keberbagai wilayah Indonesia.Dalam mkonteks ini Mr.Syaruddin Prawiranegara ,sebagai pejuang,politikus dan muslim yang taat kepada agamanya hasil didikan ayahnya bernama Arsyad dan ibunya Nuraini yang berasal dari Priyayi ,dan berasal dari leluhurnya berasal dari Minangkabau, Sumatera barat. Syafruddin mulai mengenyam pendidikan formal dari sekolah rendah Europeesche Lagere School(ELS) di Seranag tahun 1924,lalu pindah ke Ngawi mengikuti tugas orang tuanya dan usai ELS ia melanjutkan pendidikannya dengan memasuki sekolah lanjutan pertama di Madiun,MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).Kemudian beliau melanjutkan studinya ke Algemeene Middelbare School(AMS) bagian A di Bandung.Pada tahun 1934 melanjutkan studinya ke Recht Hoge School(sekolah Tinggi hukum)di Jakarta,dan Syafruddin Prawiranegara berhasil meraih gelar akademiknya ,Meester in de Rechten(Mr) bulan September tahun 1939 sehingga sejak saat itu pula gelar” Mr ” senantiasa terpatri melekat di depan namanya. Kemudian beliau bekerja sebagai salah seorang anggota Perkumpulan Radio Ketimuran,dan setahun kemudian ia diterima sebagai pegawai di Kementerian Keuangan dan ditempatkan pada bahagian Kantor Inspeksi Pajak Kediri. Lalu dipindahkan ke Bandung sampai Indonesia diprolklamirkan kemerdekaaannya tanggal 17 Agustus 1945. Karir politiknya mulai terlihat ketika Indonesia dikuasai Jepang,karena sejak saat itu pula beliau mulai sering mendiskusikan masa depan bangsa dan tanah air Indonesia. Untuk menyalurkannya,maka Syafruddin bergabung dengan Masyumi(Majlis Syura Muslimin Indonesia)dan menjadi salah seorang tokoh dalam partai politik yang meraih suara terbanyak dalam pemilu pertama Indonesia tahun 1955 itu.Karena wawasan kebangsaannya yang luas,maka beliau juga di percayakan untuk menjabat sebagai pimpinan Sekretariat Komite Nasional Indonesia(KNI)tanggal 24 Agustus 1945 di Keredenan Priangan dan pada bulan berikutnya ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat(KNIP). Karir poloitiknya semakin meningkat,maka Syafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Muda Keuangan dalam Kabinet Syahrir ke 2 yang di bentuk pada tanggal 3 Maret 1946 .Selanjutnya beliau menjabat Menteri Keuangan dalam Kabinet Syahrir ke 3 yang di bentuk tanggal 2 Oktober 1946.Kemudian pada masa inilah Syafruddin menyampaikan gagasannya kepada Wapres,Muhammad Hatta agar Indonesia mencetak mata uangnya sendiri untuk mengaganti uang kolonial Belanda dan Jepang,sehingga dicetak uang Indonesia pertama yang dikenal dengan ORI itu.Sejak tanggal 30 Oktober tahun 1946,ORI mulai secara resmi dijadikan sebagai alat pembayaran yang sah. Oleh karena keahliannya dalam bidang keuangan,maka dalam Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949) Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Menteri Kemakmuran,yang sering mengunjungi berbagai daerah di Indonesia.Ketika beliau berada di Pulau Sumatra,terdengar kabar bahwa Yogyakarta beserta Presiden,Wakil Presiden dan anggota kabinetnya sudah ditangkap oleh Belanda menyusul angresi militernya yang ke 2 tanggal 19 Desember 1948. Sebagai politikus ulung cepat menyadari apa dampaknya bagi Indonesia,sekiranya pemimpin dan wilayahnya seluruhnya sudah dikuasai Belanda.Ini berati Indonesia sudah lenyap,karena berbagai unsur -unsur pokok sebuah negara ,seperti pemerintahnya yang berdaulat ,wilayahnya,dan rakyatnya sudah sirna.Semuanya sudah dikuasai oleh Belanda. Dalam hal ini dengan sangat darurat,beliau berinisiatif untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat republik Indonesia(PDRI) mulai 22 Desember 1948 yang mulanya berpusat di Halaban Payakumbuh,dan beliau menjadi Presiden PDRI.Pusat pemerintahannya bergerak dinamis dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari sergapan Belanda,yang selalu ingin melenyapkan PDRI.Teraakhir sekali pusat PDRI berada di Banda Aceh,karena Aceh merupakan wilayah yang merdeka dan berdaulat penuh yang tidak mampu dikuasai oleh belanda.Dari sinilah kemudian Mr.Syafruddin Prawiranegara yang lebih layak disebut juga sebagai Presiden NKRI ke 2 itu mengendalikan pemerintahan dalam melawan Belanda.Dan PDRI berakhir tanggal 13 Juli tahun 1949 menyusul penyerahan kekuasaanya kepada Sukarno di Yoyakarta ,pasca Belanda mengembalikan Sukarno dan kabinetnya kembali ke Yoyakarta. Dalam konteks inilah,tidak bisa dianggap enteng peranagan Aceh dan Yogyakarta dalam menyelamatkan NKRI,karenanya semestinya kedua wilayah tersebut yang bergabung dengan NKRI bukan konsekuwensi dari KMB.,perlu dihormati berbagai keistimewaannya yang tidak dimiliki oleh wilayah Indonesia lainnya.

    Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/m.nurdin/mr-syafruddin-prawiranegara-sosok-pejuang-penyalamat-nkri_5509247aa33311b8522e392e

Leave a Reply to Rifai Shodiq FathoniCancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *