Perang Salib Kedua adalah peperangan yang melibatkan pasukan Salib pimpinan Raja Louis VII, Kaisar Conrad III, dan Raja Baldwin III, melawan gabungan pasukan muslim pimpinan Nuruddin dan Saifuddin di Damaskus. Perang tersebut sering dikatakan sebagai periode kebangkitan umat Islam pasca kekalahan telak dari kaum Frank di Perang Salib Pertama.
Pasca terebutnya banyak wilayah Islam di Perang Salib Pertama, tidak lantas membuat umat Islam melakukan perlawanan balik. Akan tetapi justru banyak pemimpin muslim Suriah yang licik dan terpecah malah melakukan genjatan senjata dan bekerjasama dengan kaum Frank.
Kaum Frank semakin mendominasi wilayah Timur Dekat, lantaran lawannya tengah mengalami perpecahan hebat. Semangat fanatisme agama masih menjadi motivasi tinggi mereka dalam memperluas wilayahnya. Dekade pertama abad ke-12 merupakan dekade penaklukan sebagian besar pelabuhan di kawasan Mediterania timur oleh kaum Frank. Penaklukan ini dapat menjamin pasokan bantuan lewat jalur laut.
Pihak muslim sendiri sesekali berusaha memerangi Tentara Salib di awal abad ke-12, namun tanpa koordinasi. Meskipun demikian tanda-tanda kebangkitan Islam telah terlihat, ketika Il-Ghazi dibantu oleh ulama Ibn al-Khasysyab yang mengobarkan semangat jihad, berhasil mengalahkan pasukan Salib di pertempuran Balath atau dikenal juga sebagai pertempuran Ladang Darah (1119M).
Walaupun demikian kemenangan Il-Ghazi hanya terjadi di satu pertempuran tersebut, ia tidak mampu melanjutkan kemenangan di Balath, karena ia merayakannya secara berkepanjangan sehingga memberikan waktu kepada Tentara Salib untuk berkonsolidasi. Kebangkitan yang sebenarnya baru benar-benar terlihat pada masa Imaddudin Zengi (1085-1146 M).
Story Guide
Latar Belakang Perang Salib Kedua: Zengi dan Penaklukan Eddesa
Imaduddin Zengi ibn Aq-Sunqur ibn Abdullah Alu Targhan adalah gubernur Mosul yang mempelopori kebangkitan Islam sebelum meletusnya Perang Salib Kedua. Zengi masih termasuk ke dalam kabilah as-Sabayu at-Turkmani. Aq-Sunqur, ayah dari Zengi, merupakan salah satu panglima Seljuk yang menjadi sahabat dan orang kepercayaan Sultan Seljuk, Malik Shah. Salah satu bukti terpenting tentang kedudukan Aq-Sunqur di hadapan Sultan Malik Shah, adalah gelar Qasimuddaulah (sekutu) yang diberikan Sultan kepadanya.
Zengi berbeda dengan pemimpin militer muslim di awal abad ke-12, seperti Il-Ghazi atau Tughtegin, yang hadir terlebih dahulu dan memerangi kaum Frank secara tidak terorganisir. Ia dikenal memiliki kualitas kepemimpinan yang brilian. Ia berasal dari keluarga yang terbiasa dengan tugas militer dan pemerintahan. Oleh sumber-sumber masa lalu Zengi dipuji karena kecakapannya dalam militer dan pemerintahan.
Namun, di berbagai sumber ia juga digambarkan sebagai pemimpin bertangan besi yang disiplin dan tidak pandang bulu. Zengi menerapkan disiplin yang ketat terhadap pasukannya, layaknya disiplin para panglima Mongol. Apapun itu, Zengi tetap lah salah satu tokoh penting dalam masa transisi Perang Salib Pertama menuju Perang Salib Kedua.
Pada tahun 1127 M, Sultan Mahmud mengangkat Zengi sebagai gubernur Mosul, dan atabeg atau wali bagi kedua putra sultan. Dari kedudukannya di Mosul, Zengi melakukan ekspansi ke beberapa wilayah kekuasaan Tentara Salib, di antaranya: Aleppo, Sarja, Dara, dan Benteng al-Atsarib. Zengi bahkan sempat ingin menaklukkan Damaskus pada tahun 1137, namun aliansi yang dibentuk Gubernur Damaskus Mu’inuddin Unur menggagalkan usaha tersebut. Setelah upayanya gagal, Zengi memutuskan untuk mengalihkan fokus penaklukannya ke wilayah kaum Frank lainnya, yakni Eddesa.
Edessa atau Ar-Ruha adalah negara Salib pertama yang berdiri, sekaligus negara Salib pertama yang direbut oleh umat Islam. Edessa menjadi negara yang paling mungkin direbut kembali saat itu, setelah selama empat dekade, wilayah tersebut digempur oleh para penguasa Mosul. Gempuran tersebut perlahan-lahan melemahkan garis pertahanan Eddesa.
Pada waktu yang sama pasukan Salib sedang mengalami perpecahan, menyusul konflik antara penguasa Eddesa, Joscelin II, dengan penguasa Antiokhia, Raymond de Poitiers. Ketika pasukan yang dikomandai Zengi mulai mendekati kota Eddesa, pasukan Salib tidak mampu menyatukan kekuatan, dan mereka juga tidak mungkin meminta bantuan Byzantium, akibat perselisihan pembagian wilayah pasca Perang Salib Pertama.
Dalam upaya membebaskan Eddesa, Zengi melakukan berbagai usaha. Salah satu yang terpenting adalah menanamkan semangat jihad kepada pasukannya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Zengi adalah ahli strategi, ia berkali-kali melakukan serangan mendadak terhadap Eddesa. Setelah empat minggu mengepung Eddesa, Zengi melakukan serangan terakhir pada tanggal 28 November 1144 yang menjadikan kota tersebut masuk kembali ke dalam kekuasaan muslim.
Penaklukan Edessa di bawah komando Imaduddin Zengi pada 1144 M, menjadi titik balik yang menentukan bagi umat Islam. Penaklukan tersebut sekaligus menandai perubahan pola gerakan umat Islam yang di Perang Salib Pertama cenderung defensif berubah menjadi ofensif.
Pasca penaklukan Eddesa, Zengi yang sebelumnya telah melihat persekutuan tersembunyi antara Pasukan Salib di Suriah dan Bani Artaq di Damaskus, kembali merencanakan serangan ke Damaskus. Zengi kemudian menyiapkan penyerbuan ke Damaskus, ia sangat terusik atas tindakan yang dilakukan penguasa Damaskus saat itu. Akan tetapi misi tersebut tertunda karena pemberontakan yang terjadi di Eddesa.
Setelah pemberontakan di Eddesa diatasi, Zengi melanjutkan perjalan perjalanan menuju benteng Ja’bar, untuk menaklukan benteng Pasukan Salib yang terletak di Sungai Eufrat. Pada tanggal 14 September 1146 M, ketika Zengi sedang mengepung Benteng Ja’bar, pihak Frank melakukan kesepakatan dengan sekelompok anggota Assassin. Setelah kesepakatan mengenai imbalan tercapai, maka anggota Assassin mulai melaksanakan infiltrasi ke dalam perkemahan pasukan Imaduddin Zengi. Setelah berhasil masuk ke dalam tenda, mereka langsung membunuh Zengi yang saat itu sedang tertidur.
Dengan meninggalnya Zengi maka pihak muslim mengalami kehilangan besar, usaha penaklukan wilayah Salib kemudian dilanjutkan oleh putra dari Zengi yang bernama Nuruddin Mahmud ibn Zengi.
Periode Kepemimpinan Nuruddin Mahmud ibn Imaduddin Zengi
Nuruddin Mahmud ibn Imaduddin Zengi lahir paada tanggal 11 Februari 1118. Ia adalah anak kedua dari Imaduddin Zengi, setelah Saifuddin Ghazi. Pasca Zengi meninggal, kedua putranya saling berbagi wilayah pemerintahan. Nuruddin memerintah di Aleppo, sementara Ghazi memerintah di Mosul.
Kedua putra Zengi mewarisi keahlian ayah mereka dalam berperang. Akan tetapi terdapat satu keistimewaan dari Nuruddin, ia memiliki kecenderungan untuk menyatukan kaum muslimin, sehingga ia dapat menggalang kekuatan untuk melancarkan serangan ke wilayah-wilayah kekuasaan Tentara Salib.
Masa pemerintahan Nuruddin di Suriah diisi dengan beberapa usaha penyerangan ke Antiokhia, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Tentara Salib. Nuruddin berhasil menguasai beberapa benteng di sebelah utara Syam dan kawasan pesisir Suriah. Selain itu, Nuruddin juga berhasil mengambil alih Eddesa, yang sebelumnya sempat diduduki kembali oleh Joscelin II dan para pengkhianat Armenia.
Meskipun Joscelin II, mendapatkan tambahan pasukan dari Antiokhia, Tripoli, dan Yerusalem, ia tidak mampu mempertahankan kota tersebut. Berkat taktik brilian Nuruddin, pasukan Salib dapat dikalahkan, tidak kurang dari setengah dari keseluruhan pasukan Joscelin tewas dalam pertempuran tersebut.
Nuruddin dikenal sebagai pemimpin yang selalu berusaha memanfaatkan potensi kekuatan Islam. Kekuatan tersebut tersebar di kawasan Syam dan Irak Utara. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai wilayah tersebut, dengan tujuan agar umat Islam dapat bersatu menghadapi kaum Frank.
Pada tahun 1147 M, Nuruddin melakukan perjanjian dengan penguasa Damaskus Mu’inuddin Unur. Sebelum itu, Mu’iniddin telah menjalin hubungan persahabatan dengan Tentara Salib. Namun, ia segera sadar akan bahaya yang dapat ditimbulkan pasukan salib, sehingga ia memutuskan untuk bekerjasama dengan Nuruddin.
Pecahnya Perang Salib Kedua
Bagi para pemeluk agama Kristen saat itu, kota Eddesa memiliki posisi spiritual yang penting, karena di kota tersebut terdapat banyak kapel dan gereja. Bahkan, pemeluk Kristen meyakini bahwa di gereja utama kota Eddesa tersimpan sapu tangan milik Yesus. Oleh sebab itu, orang-orang Eropa sangat khawatir pasca direbutnya kembali Eddesa oleh pasukan muslim, semua wilayah pendudukan Tentara Salib lainnya juga akan mengalami hal yang sama.
Tokoh utama penyeru Perang Salib Kedua adalah seorang pendeta Prancis bernama Saint Bernard Calixtus II. Pada saat itu, yang menjadi Paus di Roma adalah Paus Eugenius III. Calixtus mengadakan pertemuan di kota Vezelay dengan para pemimpin gereja pada tanggal 31 Maret 1146 M. Pertemuan yang membahas rencana Perang Salib kedua itu disambut langsung oleh Raja Prancis Louis VII dan Kaisar Jerman Conrad III.
Satu tahun pasca pertemuan tersebut, pasukan Salib di bawah komando Raja Louis VII dan Kaisar Conrad III, mulai bergerak menuju Asia Kecil. Conrad III dan pasukannya menuju Asia Kecil melalui jalur yang digunakan pada Perang Salib Pertama. Dalam perjalanannya ia dihadang oleh pasukan Seljuk di kota Konya. Conrad mengalami kekalahan pada pertempuran tersebut, sehingga memaksanya menarik mundur pasukannya kembali ke Nicea lalu ke Konstantinopel, untuk menggunakan jalur laut menuju Baitul Maqdis (tujuan awal mereka).
Sementara itu, Raja Louis VII menggunakan jalur pesisir Anatolia. Kemudian, dari Antiokhia bergerak menuju Baitul Maqdis untuk bergabung dengan pasukan Conrad III, sebelum mereka tiba di Baitul Maqdis. Di Baitul Maqdis diadakan pertemuan antara pemimpin Pasukan Salib, Raja Prancis Louis VIII, Raja Jerman Conrad III, Raja Yerusalem Baldwin III, para penguasa kawasan Baitul Maqdis, dan sejumlah pemimpin gereja. Peserta pertemuan tersebut sepakat akan menyerang Mu’inuddin Unur, penguasa Damaskus yang sebelumnya pernah bersekutu dengan kaum Frank.
Pada Juni 1148, pasukan Salib telah mengepung kota Damaskus. Akan tetapi pengepungan pasukan Salib mendapatkan perlawanan sengit dari penduduk Damaskus yang dibantu oleh para sufi dan ahli fiqih. Akibat dari pengepungan itu, seorang imam mazhab Maliki bernama ‘Abd al-Rahmand Yusuf al-Fundalawi dan seorang sufi yang bernama ‘Abd al-Rahman al-Halhuli, meninggal sebagai syahid ketika mempertahankan kota.
Kondisi perang berbalik ketika pasukan pertahanan Damaskus memperoleh bantuan yang berasal Nuruddin dari Aleppo dan saudaranya Saifuddin dari Mosul. Kedatangan pasukan tersebut langsung merubah posisi kaum Frank dari posisi menyerang menjadi posisi membela diri. Kondisi ini semakin diperparah dengan konflik internal yang muncul terkait pembagian hak setiap kelompok jika Damaskus berhasil dikuasai.
Pemimpin Pasukan Salib mulai panik ketika mereka melihat barisan pasukan Nuruddin dan Saifuddin databg. Perpecahan internal pun semakin bertambah parah, Conrad III menuduh Raja Baldwin III, pemimpin keluarga Fulcher, dan Master of The Knight of The Hospital mengkhianati pasukan Salib, dengan memberikan nasehat buruk bagi strategi pengepungan mereka.
Pada akhir pertempuran tersebut, gabungan pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukan kaum Frank. Pasukan Salib yang tersisa melarikan diri menuju ke pantai. Louis VII dan Conrad III sebagai pemimpin tertinggi dari Perang Salib II juga memutuskan untuk mundur, sebelum akhirnya kembali ke Eropa.
Perang Salib Kedua dapat dikatakan tidak menghasilkan apapun bagi kaum Frank, selain kerugian besar yang mereka derita. Sementara bagi muslim kemenangan di Damaskus menjadi tanda kebangkitan persatuan Islam di bawah komando Nuruddin.
Mekipun telah menang dalam Perang Salib Kedua, perjalanan karier Nuruddin tidak berhenti begitu saja. Nuruddin melanjutkan penaklukannya dengan memperoleh kemenangan gemilang melawan kaum Frank, pimpinan Raymond de Pointiers di Benteng Inab pada tahun 1149 M. Raymond de Pointiers tewas dalam pertempuran tersebut.
Karier Nuruddin terus naik, setelah pada tahun 1154 Nuruddin berhasil mempersatukan Suriah. Seiring dengan berkuasanya pemimpin Tentara Salib, Amalric, pada tahun 1163 M, sekaligus dimulainya fase baru dalam karier Nuruddin.
Amalric memfokuskan perhatiannya ke Daulah Fatimiyah di Mesir, yang tengah sekarat dan melemah pasca terbunuhnya wazir Tala’i pada 1161 M, dan Nuruddin sebagai pemimpin pasukan muslim dituntut untuk lebih tegas dalam menghadapi kaum Frank. Sejak saat itu, Nuruddin mulai melakukan intervensi dalam masalah internal Mesir dengan mengirimkan panglimanya, Shirkuh dan keponakannya Salahuddin (Saladin).
Selama Mesir belum dikuasai, kaum Frank masih dapat mendatangkan bantuan melalui negeri itu. Oleh sebab itu, Mesir akan menjadi salah satu tempat penting dalam pembahasan Perang Salib selanjutnya.
BIBLIOGRAFI
Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Hamka. 2016. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Hillendbrand, Carole. 2015. Perang Salib Sudut Pandang Islam. Terj. Heryadi. Jakarta: Serambi.
Harun, M. Yahya. 1987. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa. Yogyakarta: Bina Usaha.
Hitti, Phillip K. 2006. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Richard, Jean. 1999. The Crusaders c. 1071-c. 1291. Cambridge: Cambridge University Press.
Sami bin Abdullah al-Maghlouth. 2010. Atlas Perang Salib: Mengungkap Peristiwa Berdarah Abad Pertengahan. Terj. Abdul Rasyid Masykur. Jakarta: Almahira.
Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2015. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah. Terj. Masturi Irham dan M. Abidun Zuhri. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
bismillah,
pengen share 🙂
Silahkan
Disini kenapa anda langsung menuliskan nama keponakannya ialah Salahuddin?? Bukankah pada saat penugasan oleh Sulthan Nuruddin, namanya ialah Yusuf , keponakan si Sirkuh?? Setelah masa masa yg sukses barulah dia bergelar Salahuddin…