Pada akhir pendudukan Jepang dan masa awal kemerdekaan, Indonesia diterpa krisis ekonomi yang hebat. Hiperinflasi menimpa negara yang baru berumur beberapa bulan ini. Sumber utama inflasi adalah beredarnya mata uang rupiah Jepang secara tidak terkendali.
Para pemimpin Republik Indonesia menyadari masalah ini, khususnya dalam masalah moneter dan upaya mencetak uang sendiri. Hanya saja, pemerintah Indonesia saat itu juga dihadapkan pada masalah-masalah yang lebih kritis, yakni krisis peperangan dan keterbatasan sumber daya manusia dan sarana.
Sementara itu, Republik Indonesia belum mampu menerbitkan mata uang sendiri dan terpaksa memberlakukan uang Jepang yang sudah beredar sebelumnya sebagai alat tukar yang sah. Situasi ini diperparah dengan blokade ekonomi yang dilakuan oleh Belanda, yang mengakibatkan pemerintah Indonesia kesulitan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka.
Krisis Moneter Pertama
Invasi Jepang pada tahun 1942, tidak hanya ingin melakukan pendudukan dan mengeruk kekayaan daerah yang dikuasainya. Akan tetapi, di setiap wilayah yang didukinya, pasuka n Jepang juga membawa mata uang tersendiri untuk diedarkan di daerah-daerah yang didudukinya.
Mata uang tersebut dikenal dengan kode JIM (Japan invation money) atau banana money karena pada lembaran mata uang tersebut terdapat gambar pohon pisang. Uang ini kemudian dirubah oleh pemerintah Jepang untuk menarik simpati pemimpin dan rakyat Indonesia kepada Jepang. Secara berangsur mata uang invasi itu diganti dengan mata uang pendudukan dengan satuan rupiah.
Dengan demikian, selama tiga setengah tahun masa pendudukan Jepang ada tiga jenis mata uang yang beredar, yaitu mata uang Japanche Regeering sewaktu invasi dan kemudian berubah setelah masa pendudukan, mata uang Nippon Teikoku Seihu, dan mata uang pemerintah Dain Nipppon. Sejak saat itu uang Jepang pun beredar secara masif di Indonesia. Sampai pada bulan Agustus 1945, mata uang yang beredar di Jawa saja, berjumlah 1,6 milyar.
Pada tahun pertama kemerdekaan beredar tiga jenis mata uang, yaitu uang gulden Javasche Bank (uang gulden Hindia Belanda), uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang Jepang. Beredarnya alat tukar yang berbeda-beda ini telah menimbulkan kebingungan di kalangan penduduk. Tercatat 3.900.000 uang asing masih beredar di Indonesia.
Oleh karena itu, ekonomi Indonesia bertambah merosot. Pemerintah NKRI sendiri belum bisa menyatakan bahwa mata uang pendudukan Jepang tidak berlaku. Hal ini disebabkan negara sendiri belum memliki mata uang penggantinya.
Kas pemerintah kosong, pajak-pajak dan bea masuk lainnya sangat kurang, sebaliknya pengeluaran negara semakin bertambah. Untuk sementara waktu kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengeluarkan penetapan yang menyatakan berlakunya beberapa mata uang sebagai tanda pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Sebagai akibat inflasi yang paling menderita adalah petani, karena pada zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan dan memiliki mata uang Jepang. Di samping penderitaan yang dialami petani, situasi ekonomi yang sulit diperparah dengan blokade laut yang dilakukan oleh Belanda.
Blokade itu menutup pintu masuk perdagangan RI. Tindakan blokdae ini dimulai sejak bulan November 1945. Akibatnya, barang-barang dagang Indonesia tidak dapat diekspor dan tidak dapat mengimpor barang untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Di pihak lain, Belanda mengharapkan blokade terhadap Indonesia, memperburuk kondisi negara yang baru merdeka itu. Inflasi yang tidak terkendali juga diharapkan menimbulkan keresahan sosial, sehingga menimbulkan pemberontakan internal NKRI. Belanda waktu itu sangat optimis ekonomi RI akan segera ambruk. Namun, kenyataannya apa yang diharapkan Belanda tidak kunjung terjadi.
Usaha untuk Mengatasi Krisis Moneter Pertama
Usaha pemerintah untuk mengatasi krisis moneter pertama adalah dengan melakukan pinjaman nasional. Melalui persetujuan dari badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), Menteri Keuangan Ir. Surachman melaksanakan pinjaman itu. Pinjaman yang direncanakan berjumlah 1 milyar rupiah itu akan dibagi ke dalam dua tahap, dana akan dilunasi selambat-lambatnya dalam waktu 40 tahun.
Pada bulan Juli 1946, seluruh penduduk Jawa dan Madura diharuskan menyetor uangnya kepada Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah pegadaian. Pinjaman Nasional tahap pertama berhasil mengumpulkan uang sejumlah 500 juta. Sukses yang dicapai pemerintah di tahap pertama dapat dijadikan tolak ukur dukungan rakyat terhadap pemerintah. Tanpa dukungan dan kesadaran rakyat yang tinggi, pemerintah pasti akan mengalami kebangkrutan. Sementara ditinjau dari segi politik, sukses ini menunjukkan kekeliruan perhitungan Belanda mengenai kekuatan intern NKRI.
Sebelum permasalahan ekonomi dapat teratasi sepenuhnya, pihak Sekutu di bawah Panglima AFNEI, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford, memberlakukan uang baru di daerah yang diduduki Sekutu. Uang baru ini dikenal sebagai uang NICA. Uang Nica ini dimaksudkan untuk mengganti mata uang Jepang yang nilainya semakin menurun.
Perdana Menteri RI, Sutan Syahrir memprotes keras tindakan AFNEI itu, karena Sekutu secara terang-terangan melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam perjanjian itu dinyatakan bahwa selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, maka tidak akan dikeluarkan mata uang baru untuk menghindari kekacauan ekonomi dan keuangan.
Untuk menghadapi taktik ekonomi Sekutu, pemerintah menghimbau masyarakat bahwa di wilayah RI hanya berlaku tiga macam mata uang seperti yang telah diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 1 Oktober 1945. Penduduk tidak dibenarkan menggunakan mata uang NICA sebagai alat pembayaran. Sementara tindakan sekutu dianggap sebagai usaha untuk merusak ketahanan ekonomi RI.
Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI mengeluarkan uang kertas baru yang dikenal dengan nama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) untuk menggantikan mata uang Jepang. Kurs mata uang Jepang dengan ORI adalah satu per seribu, sehingga setiap seribu rupiah mata uang Jepang ditukar dengan 1 Rupiah ORI. Namun, untuk sementara pemerintah hanya mengizinkan setiap keluarga memiliki Rp. 300, dan yang belum berkeluarga Rp. 100.
Sebagai kelanjutan program ORI, pemerintah melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, yakni dengan membentuk Bank Negara Indonesia (BNI).
BNI diresmikan pada tanggal 1 November 1946. Bank ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini diberi tugas untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia.
Situasi perang sangat mempengaruhi situasi ekonomi. Pendapatan pemerintah yang tidak sebanding dengan pengeluaran, dan blokade yang dilakukan musuh membuat pemerintah hanya bergantung kepada produksi petani.
Produksi petani waktu itu menjadi satu-satunya penopang ekonomi Indonesia, sehingga dapat bertahan di situasi ekonomi yang sangat buruk. Dengan produksi petani, pemerintah berhasil menganggulangi dampak dari blokade Belanda.
Usaha untuk Menembus Blokade Ekonomi Belanda
Usaha-usaha untuk menembus blokade musuh dengan tujuan guna mematahkan isolasi ekonomi dilakukan dengan berbagai cara. Usaha pertama pemerintah lebih bersifat politis daripada ekonomis. Pemerintah saat itu menyatakan kesediannya untuk membantu pemerintah India dengan mengirimkan 500.000 ton beras ketika India sedang kekurangan pangan. Pemerintah beralasan produksi beras tahun 1946 diperkirakan akan mengalami surplus sebesar 200.000 sampai 400.000 ton.
Sebagai imbalannya, pemerintah India berjanji akan mengirimkan bahan pakaian yang saat itu sangat dibutuhkan rakyat Indonesia.
Harga Beras yang ditawarkan RI kepada India adalah yang terendah dibanding lainnya. Bagi pemerintah Indonesia yang terpenting bukanlah harga, akan tetapi aspek politik yang berhubungan dengan pelaksanaan Persetujuan Linggarjati.
Dalam Linggarjati, RI diharuskan mengirim dan menjual surplus berasnya kepada daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda. Pemerintah RI menganggap lebih menguntungkan untuk menjual berasnya kepada negara sahabat daripada menjual kepada Belanda.
Perhitungan pemerintah terbukti tepat, karena India adalah negara Asia yang palik aktif membantu perjuangan diplomatik di forum internasional.
Usaha lain dari pemerintah adalah mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri. Usaha ini dirintis oleh Banking and trading Corporation (BTC), suatu badan perdagangan semi pemerintah yang didirikan oleh Sumitro Djojohadikusumo dan Ong Eng Die.
BTC bertindak sebagai agen perusahaan pemerintah untuk mengawasi semua kegiatan perdagangan keluar atau masuk daerah Republik Indonesoa. Semua perusahaan yang ingin melakukan transaksi perdagangan harus memiliki lisensi pembelian dan penjualan barang impor/ekspor melalui BTC.
BTC berhasil mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika Serikat (Isbransten Inc,). Dalam transaksi pertama pihak Amerika Serikat bersedia untuk membeli barang-barang ekspor dari Indonesia seperti gula, karet, teh, dll. Kapal Isbransten, Inc, Martin Behrmann yang mengangkut barang-barang pesanan BTC masuk wilayah RI melalui pelabuhan Cirebon. Akan tetapi kapal ini dihadang Angkatan Laut Belanda dan dibawa ke pelabuhan Tanjungpriuk. Di Tanjungpriuk seluruh muatan disita Belanda.
Kuatnya blokade Belanda, menyebabkan usaha ekspor/impor perdagangan dipusatkan di Sumatra. Pemilihan Sumatra lebih disebabkan letaknya yang dekat dengan Malaysia dan Singapura. Oleh karena jarak perairan yang dekat, maka usaha ini dapat dilakukan dengan menggunakan perahu layar atau kapal motor cepat.
Usaha-usaha untuk melewati blokade kapal Belanda pun secara sistematis dilakukan sejak tahun 1946 sampai akhir perang kemerdekaan. Pelaksana penembusan blokade ini dilakukan oleh Angkatan Laut RI dibantu oleh pemerintah penghasil barang-barang ekspor.
Pada awal tahun 1947, Pemerintah Indonesia membentuk perwakilan resmi di Singapura dengan nama Indonesia Office (Indoff). Indoff merupakan badan yang memperjuangkan kepentingan politik di luar negerii, namun secara rahasia juga mengendalikan usaha untuk menembus blokade dan usaha perdagangan barter. Badan perwakilan ini dipimpin oleh Mr. Oetojo Ramlean dan dibantu oleh beberapa anggota stafnya.
Selain Indoff, Kementerian Pertahanan juga membentuk perwakilannya di luar negeri yang disebut Kementerian Pertahanan Usaha Luar Negeri (KPULN) yang dipimpin oleh Ali Jayengprawiro. Tugas pokok KPULN adalah membli senjata dan perlengkapan Angkatan Perang serta memasukannya ke Indonesia.
Selama tahun 1946, hanya pelabuhan Belawan yang diduduki dan dikuasai oleh Belanda di Sumatra. Perairan Sumatra yang luas menyebabkan pihak Belanda tidak dapat melakukan pengawasan ketat. Hasil ekspor Sumatra terutama karet yang diselundupkan ke luar, terutama ke Singapura mencapai puluhan ribu ton.
Kebijakan moneter Republik Indonesia yang semakin efektif menjadi sumber ketidakpuasan pihak Belanda dan sekaligus penyebab dilancarkannya agresi militer Belanda pada bulan Juli 1967 M.
BIBLIOGRAFI
Imran, Amrin. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Poeponegoro, Marwati Djoned. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Wiharyanto, Kardiyat A. 2011. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Ingin tahu sejarahnya atau sesuatu tentang bp ali jayengprawiro.
Terimakasih.