Garam merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari garam, menjadikan komoditas ini sulit dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika berbicara mengenai sejarah garam di Indonesia maka sulit dilepaskan dari Madura yang menjadi salah satu daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Industri garam di Madura telah lama dikenal dengan kualitas garam yang dihasilkan, sejak masa VOC hingga saat ini garam-garam Madura dipercaya sebagai salah satu garam dengan kualitas baik.
Daerah tempat pembuatan garam berada di sepanjang pantai selatan, yaitu kabupaten Sampang di bagian barat pulau, Pamekasan di bagian tengah dan Sumenep di bagian paling timur. Daerah itu disebut sebagai daerah garam, yang pada jaman VOC dikenal dengan zoutnegorizen, dan pada jaman Hindia Belanda zoutlanden.
Meskipun demikian, sebelum terkenal ternyata garam pernah dianggap sebagai komoditas tidak menguntungkan oleh penduduk Madura. Akan tetapi, berkat modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, garam Madura berubah menjadi salah satu komoditas bernilai yang mendominasi perdagangan Nusantara pada abad ke-19 hingga 20 Garam di Madura telah lama dikenal dengan kualitas mutunya.
Dimulainya Industri Garam di Madura
Garam telah lama menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan baik untuk kebutuhan industri pengolahan ikan yang sederhana sejak abad ke-9 maupun untuk keperluan bumbu makanan yang telah menjangkau seluruh Nusantara.
Antony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, mengatakan bahwa sejak dulu wilayah pesisir Jawa Timur (termasuk Madura) sudah dikenal sebagai wilayah penghasil garam dengan mutu baik.
Melalui pelabuhan-pelabuhan di antara Jawana dan Surabaya, garam yang berasal dari Madura didistribusikan ke seluruh wilayah Nusantara (Reid, 2014: 33).
Pada abad ke-17, selain tembakau dan beras, garam merupakan komoditas utama perdagangan di Jawa. Sebagai salah satu komoditas penting di Madura, garam telah lama diperdagangkan.
Sejak Pemerintah Lokal Madura hingga kekuasaan Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC), garam di Madura diproduksi berdasarkan sistem sewa.
Melihat perdagangan garam yang mulai menunjukkan potensinya, VOC mulai tertarik untuk ikut masuk dalam perdagangan garam. Namun VOC tidak langsung melakukan intervensi langsung dalam proses produksi dan distribusi, melainkan melalui sebuah sistem yang disebut sistem lisensi pajak.
Melalui sistem ini, VOC memasrahkan kewenangan dalam menarik pajak keuntungan dari garam dari pihak ketiga yang dipilih karena kemampuannya untuk menyetor keuntungan dari perdagangan garam.
Pihak ketiga tersebut biasanya dipegang para pedagang Cina yang biasanya berinteraksi langsung dengan petani garam, sekaligus mengatur pola distribusi garam.
Sistem tersebut diterapkan sebab VOC tidak memiliki kemampuan finansial administratif dan sumber daya manusia untuk mengelola langsung perdagangan garam.
Lewat sistem ini, VOC dapat meningkatkan keuntungan, meski secara keseluruhan tingkat keuntungan dari garam masih di bawah keuntungan dari perdagangan rempah-rempah dan opium yang mengisi 75% kas VOC (Wahid, 2005: 105). Sistem ini cukup berhasil, karena ekspor garam mengalami kenaikan pada akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-18 (Dick, 2002: 50).
VOC maupun pemborong atau pemegang kontak lisensi memperoleh keuntungan yang besar. Namun, sistem borongan tidak berjalan dengan baik. Para pemborong jarang memenuhi persyaratan dalam kontrak, mereka melakukan penyelundupan dan mengeksploitasi rakyat yang memproduksi garam (Jonge, 2012: 32).
Modernisasi Industri Garam
Saat Hindia Belanda jatuh pada kekuasaan Inggris pada 1811-1816, pemerintah berupaya memberantas penyelewengan perdagangan garam dengan mengenalkan sistem monopoli yang disebut zoutregi. Raffles meyakini sistem itu dapat mengatasi penyelewengan dan meningkatkan produksi garam.
Melalui sistem itu, ia menyingkirkan orang-orang Cina yang dulu menempati posisi penting dalam perdagangan garam. Sebagai imbalan atas persetujuan raja Madura, Raffles memberikan kompensasi f5000 dan 50 koyang garam yang dibayarkan setiap tahun (Ibid: 33; Wisnu, 2017:3).
Setelah Inggris meninggalkan Hindia Belanda, dan kekuasaan kembali ke Belanda, sistem tersebut dipertahankan dan bahkan diluaskan. Pengelolaan garam dilakukan secara desentralisasi dan dikordinasi langsung oleh Direktur Keuangan dan pengawasan Dewan Keuangan (Raad van Financiën) (Wahid, 2005: 105).
Kenaikan harga garam pada tahun 1861 menyebabkan orang-orang yang tadinya menyepelekan aktvitas ekonomi ini, mulai melirik perdagangan garam. Akibat kenaikan ini, terjadi pertambahan luas tanah pegaraman. Penduduk lokal yang dulu menyewakan tanahnya pun, mulai mencoba mengklaim kembali tanahnya.
Baca juga: Industri Tekstil di Majalaya Abad ke-20
Kondisi ini menciptakan ketidakteraturandalam produksi garam. Untuk mengatasi ini pemerintah Belanda mulai mengatur hak kepemilikan tanah pegaraman, sehingga setiap orang yang berhak dapat mengklaimnya. Selain itu, pada tahun 1870 produksi garam dipusatkan di Madura.
Pada awal abad ke-20, ketika pemerintahan lokal Madura dihapuskan dan sistem Pemerintahan Kolonial Belanda diterapkan, secara bersamaan dimulailah sistem monopoli garam di Madura pada tahun 1936.
Kebijakan ini sekaligus mengesahkan pengambilalihan produksi garam dari kendali orang-orang Cina. Peraturan ini menjadikan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai produsen utama garam di Hindia Belanda (Kuntowijoyo, 2002: 8).
Kebijakan monopoli garam tersebut semakin menjadikan aktivitas pembuatan garam memiliki nilai ekonomi penting di Pulau Madura. Sebagai produsen utama, garam-garam Madura didistribusikan ke seluruh wilayah-wilayah yang dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara. Penunjukan Madura sebagai pusat pembuatan garam tidak terlepas dari pertimbangan geografis.
Wilayah Madura terbentuk dari konfigurasi tanah kapur dan memiliki musim kemarau cukup panjang, oleh sebab itu Madura berpotensi menjadi penghasil garam dengan mutu baik (Memori Residen Madura Timur J. G. van Heyst tahun 1928: CLXV).
Pada awal abad ke-20, setidaknya terdapat tiga wilayah penting industri garam di Madura yaitu: Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Ketiga daerah tersebut semuanya terletak di wilayah selatan pulau Madura.
Tempat pembuatan garam yang terdapat di Sampang, Pamekasan dan Sumenep dinamakan zoutnegorizen atau zoutlanden yang berarti tempat pembuatan garam.
Masing-masing tempat itu memiliki jumlah empang (plot) garam yang beragam. Sampang memiliki sekitar 1. 377 empang, Pamekasan memiliki 1. 547 empang dan Sumenep memiliki 1. 648 empang.
Produksi garam mencapai puncaknya pada awal 1900-an, diperkirakan ribuan orang di Madura bergantung pada produksi garam sebagai mata pencaharian utama mereka (Smith, 2011: 37).
Aktivitas produksi garam tidak dilepaskan dari keberadaan pembuatnya. Pembuat garam atau dapat disebut sebagai produsen garam adalah kelompok-kelompok penghasil garam. Produsen garam ini dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, pemilik-pemilik ladang dan pembuat garam yang terkadang keduanya merupakan orang yang sama.
Kedua, adalah para buruh industri garam yang bekerja dari awal produksi sampai pemasaran (Kuntowijoyo, 2002: 396). Para buruh ini bernasib seperti buruh-buruh lainnya pada masa kolonial, mereka mengalami eksploitasi karena rendahnya harga garam dan upah yang mereka dapatkan terlalu sedikit. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan keresahan sosial yang meliputi pencurian garam, pembakaran gudang-gudang garam pemerintah, dll.
Proses Distribusi Garam Madura
Keberhasilan produksi garam Madura menjadi aktivitas ekonomi yang menguntungkan tidak dapat dilepaskan dari sistem distribusinya yang efektif. Pendistribusian garam sebagian besar dilakukan dengan menggunakan kapal atau perahu.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda sebagian besar pendistribusian garam dilakukan oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Pada awal abad ke-20, perusahaan milik Kerajaan Belanda ini praktis memonopoli, kendati tidak sepenuhnya mematikan aktivitas pelayaran Nusantara termasuk yang terkait dengan perdagangan (Lapian: 91).
Selain KPM, perusahaan Kereta Api swasta yang beroperasi di Madura sejak 1896, Madoera-Stoomtram Maatschappij (MSM), juga turut ambil bagian dalam aktivitas distribusi garam. Selain melakukan pengangkutan garam di darat, MSM juga memiliki armada pengangkutan laut untuk penumpang maupun barang (Kuntowijoyo, 2012: 341).
Pada perkembangannya, selain pelayaran yang diusahakan KPM, MSM dan penduduk lokal, pendistribusian garam juga dilakukan oleh Oost-Java Zeetransport (OJZ). OJZ merupakan armada pengangkutan resmi milik perusahaan garam yang dibentuk karena biaya pengangkutan garam oleh KPM dan MSM sangat mahal.
Sebelumnya, pada tahun 1908 perusahaan garam mengeluarkan kebijakan sistem tender terbuka. Kebijakan ini pada akhirnya melatarbelakangi persaingan dalam distribusi garam antara KPM, MSM, OJZ dan pelayaran perahu..
Kombinasi distribusi garam lewat laut dan darat menjadikan perusahaan garam Belanda memperoleh profit besar. Sayangnya keberhasilan perusahaan garam itu, tercoreng karena praktek tidak jujur beberapa pegawainya. Untuk mengatasi itu, pada tahun 1924 dibentuk badan pengawasan tempat penjualan garam.
Mantri garam di Sampang, Omben, Torjun, dan Kedungdung sekarang diawasi secara periodik oleh mantri garam Pamekasan untuk menghindari penyelewengan.
Selain itu tempat penjualan di Ketapang diawasi oleh kontrolir garam di Surabaya secara langsung (Memori Kontrolir Sampang Memori Kontrolir Sampang (F. Van Mourik), 6 Mei 1924, hlm. CLII).
Selama tahun-tahun krisis 1931-1940, pendapatan garam melebihi pendapatan dari Opium. Meskipun krisis ekonomi telah menyebabkan pendapatan garam turun dari sekitar 180 juta gulden menjadi sekitar 155 juta, jumlah itu terbilang masih cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa pendapatan dari monopoli garam relatif stabil, sehingga garam menjadi komoditas yang cukup bisa diandalkan dalam menopang keuangan negara kolonial (Wahid, 2013: 228).
Daftar Pustaka
Houben, Vincent J.H. “The Pre-Modern Economies of the Archipelago” dalam Howard Dick, dkk. The Emergence of a National Economy: An economic history of Indonesia, 1800–2000. Honolulu: University of Hawai Press, 2002.
Jonge, Huub de. Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi: Esai-esai tentang Orang Madura dan Kebudayaan Madura, Tejm. Arief B. Prasetyo. Yogyakarta: LKiS Group, 2012.
Jonge, Hubb de. “State and Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund (1937–1941)”. A.J.S.S. 32:1, 2004.
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Lapian. A. B. “Nusantara: Silang Bahari”, dalam Loir, Henri Chambert (Ed), Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Memori Kontrolir Sampang (F. Van Mourik), 6 Mei 1924.
Memori Residen Madura Timur J. G. van Heyst tahun 1928 dalam ANRI. 1978. Memori Serah Jabatan 1921-1930: Jawa Timur dan Tanah Kerajaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014.
Smith, Wilson Glenn. Ecological Anthropology of Households in East Madura, Indonesia. Thesis, Wageningen University, 2011.
Wahid, Abdul. “Dari Sistem Lisensi ke Monopoli Politik Ekonomi Garam di Indonesia pada Masa Kolonial 1850–1940”. Jejak Nusantara, vol. 3, 2005.
Wahid, Abdul. From Revenue Farming to State Monopoly: The Political Economy of Taxation in Colonial Indonesia, Java c. 1816-1942. Thesis: Universiteit Utrecht, 2013.
Don’ forget to justified. I think u forget it, but actually it’s important to make reader more comfort to read.