Tradisi Rampogan di Jawa

Apabila di Romawi memiliki pertunjukan gladiator, maka di Jawa mempunyai pertunjukan yang tidak kalah menegangkan yang bernama Rampogan. Pertunjukan ini menampilkan pertarungan antara  binatang buas, atau binatang buas melawan manusia.

Gladiator Jawa, Rampogan

Rampogan pertama kali dilaksanakan pada tahun 1693, tepatnya pada masa Amangkurat II di Keraton Mataram Kartasura. Sama halnya dengan Gladiator, Rampogan juga merupakan hiburan paling disukai para raja Jawa. Biasanya acara ini diadakan untuk menyambut tamu penting, contohnya Gubernur Jenderal.

Namun setelah menjadi kebiasaan keraton, maka Rampogan berubah menjadi pertunjukan yang rutin digelar satu tahun sekali. Pada perkembangannya hiburan ini juga lazim dipertunjukan di Kabupaten Mancanegara Wetan seperti Kediri dan Blitar. Kedua daerah ini menurut catatan memang termasuk daerah yang banyak terdapat harimau, bahkan kraton Surakarta terkadang juga memperoleh harimau dari kedua wilayah ini.

Hiburan brutal yang digemari raja dan rakyat itu biasanya mempertarungkan harimau (macan) melawan banteng.

rampogan
Tradisi Rampogan

Petunjukan Rampogan digelar di alun-alun, tepatnya di depan Pagelaran. Ketika pertunjukan diadakan, rakyat antusia untuk menyaksikan dan berbondong-bondong menuju alun-alun.

Pada saat hiburan ini digelar, biasanya diperaturangkan tidak krang empat harimau loreng dan dua harima tutul dengan seekor banteng dewasa. Sebelum diadu binantang-binantang itu dimasukan ke dalam kerangkeng besar dan dibawa ke alung-alun.

Agar kekacauan atau kejadian yang tidak diharapkan terjadi, maka di sekliling alun-alun dijaga ketat oleh para prajurit keraton dengan tomnbak yang diarahkan mendatar. Upaya ini dilakukan supaya jika ada hewan yang berupaya melarikan diri, maka langsung mati seketika terkena tombak. Sebuah gambaran yang tidak kalah brutal dibandingkan pertarungan Gladiator.

Ketika pertarungan dimulai, banteng yang akan pertama kali dilepas. Namun sebelum dilepas punggung banteng itu digosok terlebih dahulu dengan daun, sehingga dapat menimbulkan peradangan di kulitnya. Akibatnya, banteng itu keluar dari tempatnya dengan posisi mengamuk.

Sementara itu, harimau juga dibiarkan lapar terlebih dahulu agar lebih beringas di arena. Tetapi ada seorang gandhek yang mengatur pertarungan ini, sehingga harimau tidak dibiarkan langsung menerkam. Caranya dengan menaruh api di muka pintu agar harimau itu keluar dengan hati-hati.

Penonton yang baru pertama kali menonton pertarungan ini, biasanya akan memprediksi bahwa sang raja hutan dapat dengan mudah menerkam leher banteng tersebut. Namun, sesungguhnya pertarungan ini adalah sebuah ada strategi di antara hewan buas itu.

Dalam pertarungan ini siapa yang gagal mempergunakan kesempatan sekecil apapun dapat berakibat fatal. Pada kenyataannya, pertarungan ini lebih banyak dimenangkan oleh banteng, sekaligus mematahkan prediksi para penonton.

Di sisi lain, nasib tragis selalu menimpa harimau. Meskipun ia tidak mati karena tandukan banteng, pada akhirnya ia akan mati juga akibat dirajah beramai-ramai dengan tombak para prajurit. Pada akhir pertunjukan, para prajurit harus merampog si raja hutan. Prosesi itu adalah inti dari pertunjukan, oleh sebab itu dinamakan Rampogan.

rampogan

Pada umumnya Rampogan merupakan pertarungan antar binatang, tetapi tidak jarang binantang itu juga diadu dengan manusia. Menurut penuturan pengelana Inggris, Stockdale di bukunya Eksotisme Jawa, bahwa suatu ketika harimau itu diadu dengan penjahat yang tengah dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum pertarungan dimulai, penjahat itu terlebih dahulu diolesi dengan kunyit yang disebut borri dan diberi kain berwarna kuning, serta sebilah keris untuk bertarung melawan harimau.

Oleh sebab itu, pertarungan Rampogan bisa disamakan dengan pertarungan Gladiator di Romawi. Sebuah pertarungan mengerikan dan penuh darah yang dijadikan hiburan oleh raja dan rakyatnya. Tidak dapat dipungkiri pula tradisi Rampogan turut menyumbang peran terhadap kepunahan harimau di Jawa pada tahun 1930. Pertarungan ini terakhir kali dilaksanakan di alun-alun Surakarta pada 1898 pada masa Pakubuwana X.

Daftar Pustaka

Aben-Aben Sima Saha Ngampok Sima. Narpawandawa 3 Januari 1929.

Kartawibawa, R. Bakda Mawi Rampog. Batavia: Balai Pustaka.

Stockdale, Joseph. 2010. Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa 1768-1806. Yogyakarta: Progresif Book.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *