Di negara-negara dengan penduduk mayoritas penduduk Islam, membicarakan kesetaraan gender masih merupakan hal yang tabu dan sensitif. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari kuatnya budaya patriarki yang telah lama mengakar di wilayah-wilayah itu. Akibatnya, seringkali penindasan dan kekerasan atas nama gender terjadi di wilayah-wilayah itu. Tentu kondisi ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi persamaan derajat dan kemanusiaan (Badran, 2001: 50; Hashim, 1999: 9). Di tengah kondisi ini, muncul beberapa tokoh feminis muslim yang bergerak melawan arus penindasan atas nama gender, salah satunya adalah Shirin Ebadi.
Sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di wilayah yang menganut budaya patriarki yang kuat, ia paham betul bagaimana getirnya hidup sebagai perempuan. Diskriminasi dan kekerasan atas nama gender bukanlah pemandangan yang asing baginya. Sebagai perempuan terdidik, ia mencoba melawan kondisi ini. Meski beberapa kali diancam oleh pemerintah Islam Iran, namun ia tetap melanjutkan perjuangannya untuk membela kemanusiaan.
Latar Belakang Keluarga
Shirin Ebadi lahir pada 21 Juni 1947 di Hamedan, Iran, sebuah provinsi yang terletak 180 mil dari Teheran. Ia terlahir dari keluarga menengah dan terdidik yang menganut pola pemikiran cukup modern pada masanya. Ayah Ebadi, Mohammad Ali Khan, merupakan seorang pengacara yang bekerja di beberapa posisi penting pemerintahan selama hidupnya.
Namun ibu Ebadi, Minu, menderita gangguan mental yang cukup serius, sehingga mudah cemas hingga terkadang membuatnya menderita penyakit fisik seperti asma. Ebadi menggambarkan kondisi ibunya saat itu dengan mengatakan “Aku tidak bisa mengingat satu hari pun ketika ibuku terlihat benar-benar bahagia”. Meskipun demikian, ibu Ebadi tetap mengabdikan dirinya untuk membesarkan anak-anaknya. Bagi Minu, menjadi ibu yang baik merupakan tugas terpenting perempuan.
Ebadi beruntung memiliki seorang ayah yang memperlakukan putrinya dengan cara yang sama seperti ia memperlakukan putranya. Padahal biasanya sejak usia dini, seorang anak laki-laki lebih diistimewakan oleh orang tuanya dibanding saudara perempuannya. Anak perempuan belajar untuk tidak mempertanyakan fakta bahwa anak laki-laki “lebih istimewa” (Hubbard-Brown, 2007: 18).
Ebadi tumbuh dalam rumah tangga yang demokratis. Ayahnya selalu memperjuangkan kemerdekaan anak-anaknya, ia selalu mendukung keputusan anaknya sejak dari taman kanak-kanak hingga dewasa. Meskipun demikian, keluarga Ebadi tetap menjalankan lima rukun Islam dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam bidang pendidikan, Ebadi beruntung tumbuh pada saat keterbukaan dan akses terhadap pendidikan masih mudah untuk perempuan. Mohammad Reza Pahlavi, penguasa Iran saat itu, memang memimpikan Iran menjadi negara modern layaknya negara-negara Barat. Untuk itu, ia memberi porsi lebih terhadap perempuan untuk bisa tampil di ruang publik.
Shah memang secara simbolis menciptakan peluang bagi wanita, tetapi mereka masih menganut budaya patriarki yang telah mendarah daging. Dalam wawancaranya dengan jurnalis Oriana Fallaci pada tahun 1976, Mohammad Reza Shah berkata, “saya hanya menghormati wanita selama mereka cantik, feminin, dan cukup pintar. Anda (wanita) adalah sama di mata hukum, tetapi tidak, maafkan saya mengatakan demikian, dalam kemampuan. Anda tidak menghasilkan apa pun yang hebat, tidak ada apa pun!” ((Hubbard-Brown, 2007: 18). Pernyataan itu menunjukkan, bahwa impian modernisasi di Iran saat itu masih semu, karena belum bisa lepas dari budaya patriarki yang menjerat.
Menjadi Hakim Perempuan Pertama
Tumbuh di keluarga akademisi merupakan keberuntungan tersendiri untuk Ebadi, karena kebanyakan perempuan di Iran pada masa itu lebih sering dirumahkan setelah dewasa, namun orang tua Ebadi begitu memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ebadi disekolahkan di dua sekolah menengah, sekolah Anoshiravn Dadgar dan Reza Shah Kabir, tempat ia lulus pada tahun 1965.
Setelah lulus dari sekolah menengah, Ebadi masuk sekolah hukum di Universitas Tehran pada usia 18 tahun. Dari awal masuk kuliah, ia telah bercita-cita untuk menjadi hakim.
Pada saat yang bersamaan, pengaruh westernisasi dan industrialisasi di Iran sedang mengalami peningkatan akibat kebijakan Revolusi Putih 1963 (Ahmad, 2004: 260). Gedung-gedung tinggi, pabrik-pabrik dibangun dimana-mana dan majalah Barat pun dapat dengan mudah ditemukan di pinggir jalan.
Di bangku kuliah, Ebadi menemukan hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ia temukan. Mulai dari gaya berpakaian hingga pergaulan. Namun yang membuatnya paling tertarik adalah mengkaji isu-isu konflik dan ikut berdemonstrasi. Meskipun aksi-aksi mereka selalu diawasi oleh SAVAK (polisi rahasia Iran).
Ebadi lulus dari sekolah hukum pada tahun 1969. Ia menjadi salah satu dari dua siswa terbaik di kelasnya. Setelah lulus, Ebadi menjalani magang selama dua tahun di Kementerian Kehakiman, kemudian menjadi hakim pada Maret 1970 tepatnya pada usianya yang ke-23. Selain berhasil menjadi hakim, ia menorehkan prestasi sebagai perempuan petama yang memimpin sebuah pengadilan. Pada tahun 1971, ia menerima, gelar doktor dalam hukum swasta dari Universitas Teheran dengan kehormatan.
Di saat kariernya cepat melejit, ternyata kehidupannya sebagai seorang perempuan intelektual menyebabkan banyak pria menjauhinya. Para pria yang terbiasa hidup dalam budaya patriarki itu takut apabila seorang perempuan memiliki pendidikan dan karier lebih tinggi dari mereka. Di sisi lain, Ebadi juga tidak mau jatuh ke dalam budaya patriarki yang mengharuskan penyerahan seorang wanita terhadap pria.
Hingga pada akhirnya Ebadi bertemu seorang pria bernama Javad Tavassolian, seorang insinyur kelistrikan, pada 1975. Suaminya berlatarbelakang konservatisme sosial, namun sangat fleksibel dan toleran. Sejak awal pernikahan, Suaminya membiarkan Ebadi tetap menjadi perempuan independent dan terus mendukungnya untuk berkarier sebagai hakim (Ebadi, 2007: 24).
Revolusi Iran dan Jalan Perjuangan Baru Shirin Ebadi
Kendati pendidikan dan karier Ebadi terbilang mulus, namun kariernya sebagai hakim tidaklah lama seiring dengan perubahan yang terjadi di Iran. Modernisasi yang begitu cepat yang terjadi di Iran, ternyata tidak disukai oleh para ulama-ulama yang merasa pengaruhnya di pasar tradisional dan pedesaan terkikis. Ditambah dengan hadirnya televisi yang bisa dinikmati berbagai kalangan, ketimpangan sosial dan pudarnya budaya asli pun tampak jelas di mata masyarakat.
Revolusi Iran 1979 yang sempat memberikan harapan baru, ternyata justru memperburuk posisi perempuan dan penegakan hukum. Ayatullah Khomeini membuat kebijakan yang mewajibkan para perempuan kembali ke rumah (domestikasi), memangkas hak politik perempuan dan mereka juga diwajibkan kembali memakai cadar. Seolah-olah satu orang memutar waktu kembali ke zaman 1.000 tahun yang lalu.
Ebadi termasuk salah satu korban kebijakan itu, para ulama Khomaeni melarang para perempuan untuk menjadi hakim, sehingga Ebadi dan hakim perempuan lainnya diberhentikan dari jabatannya dan diberi tugas baru sebagai pegawai di pengadilan yang pernah dipimpinnya.
Kebijakan ini menunjukkan menguatnya gelombang patriarki di Iran. Fatimah Mernissi dalam bukunya Veil and the Male Elite..(1991:ix) menyatakan, “Apabila hak perempuan menjadi masalah bagi pria muslim modern, ini bukan karena al-Quran, Nabi, atau pun tradisi Islam, tetapi karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum pria” .
Ebadi bersama rekan-rekannya memprotes kebijakan itu, Pemerintah Iran kemudian mempromosikan mantan hakim perempuan menjadi tenaga ahli di Departemen Kehakiman. Kendati demikian, Ebadi bersikeras tidak menerima ketidakadilan ini dan memutuskan untuk mengajukan permohonan pensiun dini.
Hukum di Iran benar-benar mati suri, setelah digantikan oleh hukum periode Islam klasik yang penuh bias terhadap perempuan (Ebadi: 2016). Untuk membela hak-hak perempuan, Ebadi pun mengajukan izin untuk praktek hukum sebagai pengacara. Namun permohonan itu baru diterima pada tahun 1992. Selama menunggu izin itu turun, Ebadi menggunakan waktunya untuk menulis beberapa buku dan artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal Iran.
Setelah menerima lisensi pengacaranya, Ebadi dikenal karena menangani kasus-kasus secara pro bono. Beberapa kasus besar yang pernah ia tangani adalah kasus pembunuhan berantai terhadap pasangan politikus oposisi pemerintah Dariush dan Parvaneh Foruhar dan seorang mahasiswa Ezzat Ebrahiminejad yang terbunuh dalam serangan di asrama universitas. Selain dua kasus besar itu, Ebadi juga berpartisipasi dalam beberapa kasus terkait pers dan kasus-kasus sosial yang terkait perempuan dan anak-anak.
Kiprahnya sebagai pengacara pro bono ini bahkan menyeretnya masuk ke penjara selama tiga minggupada tahun 2000. Ia dituduh menyebarkan bukti keterlibatan negara dalam kasus penyerangan terhadap asrama mahasiswa di tahun sebelumnya (Ebadi, 2016).
Selain kesibukannya sebagai pengacara, Ebadi juga mendirikan dua organisasi non-pemerintah yaitu the Society for Protecting the Rights of the Child (SPRC) (1994) and the Defenders of Human Rights Center (DHRC) pada 2001 (Ebadi, 2016). Melalui dua organisasi itu, ia memperjuangkan kemanusiaan di Iran.
Tentu kiprahnya sebagai aktivis kemanusiaan mempunyai banyak resiko. Ia sering mendapat ancaman pembunuhan, bahkan saat ia sedang membela kasus keluarga Foruhar, ia mendapati satu file rahasia pemerintah yang terkait perintah untuk membunuh Ebadi.
Penghargaan Nobel Perdamaian
Tidak dapat dipungkiri teradapat perbedaan yang cukup tajam antara Shirin Ebadi dan Pemerintah Islam Iran. Ebadi terkenal dengan pandangan Islamnya yang pasifis, pluralis, dan toleran. Ia mengatakan bahwa penafsirannya bersifat pasifis karena ia percaya bahwa Islam adalah agama damai dan nilai-nilai Islam sesuai dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia.
Gagasannya tentang Islam adalah pluralis karena ia percaya bahwa Islam menghormati berbagai agama dan mengajarkan kesetaraan gender, keadilan sosial, dan kehidupan yang demokratis. Ebadi percaya bahwa Islam mengajarkan penghormatan terhadap kehidupan, kebebasan, keadilan, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan martabat manusia.
Ebadi selalu menganggap bahwa agama tidak pernah mengikat wanita, namun interpretasi dari budaya patriarkilah yang selama ini membelenggu perempuan muslim. Tentu pandangan ini sangat bertentangan dengan rezim Khomeini yang ingin menerapkan hukum Islam absolut dalam kehidupan bernegara.
Pada saat yang sama, Ebadi mengekspresikan rasa nasionalismenya terhadap Iran dan pandangan kritisnya terhadap dunia Barat. Menurutnya dunia Barat telah terlalu banyak ikut campur dalam permasalahan dalam negeri Iran. Ia mengatakan “Perjuangan untuk hak asasi manusia dilakukan di Iran oleh rakyat Iran, dan kami menentang intervensi asing di Iran.”
Ebadi memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian pada 10 Oktober 2003, atas usahanya dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia, terutama untuk hak perempuan dan anak-anak. Panitia acara itu memujinya sebagai seorang yang “pemberani yang tidak pernah mengindahkan ancaman atas keselamatannya sendiri.”
Terpilihnya Ebadi tentu mengejutkan dunia, karena ia berhasil mengalahkan kandidat lain Paus Paulus Yohanes II yang digadang-gadang akan memenangkan hadiah itu (Nobel winner’s plea to Iran, http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/3181428.stm). Keberhasilan ini menjadikan Shirin Ebadi sebagai wanita muslim pertama yang memenangkan nobel.
Di Iran, para pejabat Republik Islam Iran membisu seribu bahasa atas penghargaan Ebadi. Tidak ada pujian yang dilayangkan untuk aktivis perempuan itu, malahan mereka mengkritik Ebadi yang tidak menggenakan Jilbab saat upacara penghargaan berlangsung (Haeri, http://www.iran-press-service.com/articles_2003/Dec-200/khatami_interview_121203.html, diakses 11 Maret 2020). Tidak hanya pejabat yang diam, media-media Iran pun sama sekali tidak memasang headline tentang penghargaan itu, mereka hanya menyelipkan berita tersebut di kolom kecil halaman akhir koran.
Meskipun mendapat cibiran dari pejabat Iran, namun sepertinya tidak berefek apa pun terhadap Ebadi. Ia melanjutkan kariernya sebagai pengacara dan aktivis kemanusiaan, sesekali ia mengajar di universitas.
Daftar Pustaka
Badran, Margot. “Understanding Islam, Islamism, and Islamic Feminism.” Journal of Women’s History, vol. 13 no. 1, 2001.
Ebadi, Shirin. Until We are Free: My Fight for Human Rights in Iran. New York: Random House, 2016.
Haeri, Safa. “Iranian Muslim Women are Free To Wear or Not the Hejab”. http://www.iran-press-service.com/articles_2003/Dec-2003/khatami_interview_121203.html, Desember 2003, diakses 11 Maret 2020.
Hashim, Iman. “Reconciling Islam and Feminism”. Gender & Development, 7:1, 7-14, 1999.
Hubbard-Brown, Janet. Shirin Ebadi: Champion for Human Rights in Iran. New York: Chelsea House, 2007.
Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite : a Feminist Interpretation of Women’s rights in Islam. New York: Perseus Book Publishing, 1991.
Nobel winner’s plea to Iran, http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/3181428.stm.