Selama periode kolonial, Hindia Belanda (Indonesia sekarang) tidak dapat dilepaskan dari berbagai wabah yang datang silih berganti. Terbatasnya teknologi medis saat itu, ditambah kondisi lingkungan yang kotor, serta kebiasaan masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan menjadi beberapa faktor mengapa Hindia Belanda sulit lepas dari wabah. Selain wabah pes dan flu Spanyol yang menggemparkan wilayah ini, terdapat wabah lain yang juga menjadi momok cukup serius yaitu wabah kolera.
Wabah kolera bukanlah penyakit yang muncul mendadak layaknya flu spanyol, namun wabah ini telah menyita perhatian pemerintah kolonial sejak abad ke-19. Akan tetapi karena keterbatasan teknologi dan kurangnya kesadaran warga menyebabkan penyakit ini baru mulai dapat diatas pada awal abad ke-20.
Penanganan Wabah Kolera pada Akhir Abad ke-19
Pandemi pertama kolera muncul pada Agustus 1817, di Jessore, India (Hamlin, 2009: 34). Kemudian menyebar dengan cepat melalui jalur perdagangan dan pelayaran hingga akhirnya mencapai Hindia Belanda. Kolera sendiri merupakan penyakit golongan gastroenteritis, yang membuat penderitanya mengalami muntaber hebat dan apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian dalam waktu .
Sejak awal abad ke-19 dan seterusnya, para pekerja kesehatan berjuang mencegah wabah ini, namun usaha mereka disulitkan dengan belum adanya diagnosis klinis yang jelas terhadap penyakit ini.
Pada 1867, A.E. Waszklewicz (1867: 77-78), kepala Jawatan Kesehatan, mengkritik diagnosis klinis terhadap pasien kolera, karena menurutnya memiliki banyak kemiripan dengan gangguan lambung dan penyakit diare. Denngan demikian, tidak ada yang bisa mengatakan apakah pasien itu terkena kolera atau tidak, sehingga para dokter pun bagai meraba-raba dalam gelap.
Belum mutakhirnya ilmu diagnosis saat itu, diperparah dengan terus munculnya penderita kolera dalam jumlah banyak. Kondisi lingkungan yang menyedihkan di kota-kota besar Hindia Belanda, terutama di Batavia, menyebabkan penyakit ini terus muncul.
Langkah preventif diupayakan pemerintah kolonial dan para tenaga medis untuk mengurangi penyebaran penyakit ini. Langkah ini mulai dilakukan sejak wabah kolera di Batavia tahun 1851.
Sebuah komite krisis dibentuk, terdiri atas dokter, direktur rumah sakit, dan perwakilan pemerintah setempat serta polisi atau militer. Komiter tersebut bertugas memberi rekomendasi kepada pemerintah daerah tentang langkah-langkah yang harus diambil.
Pertama, pemerintah setempat perlu mengedarkan peraturan kebersihan melalui surat kabar lokal dan para kepala kampung. Kedua, pemerintah setempat perlu menyediakan pasokan larutan kolera, yang dapat diberikan langsung pada orang-orang yang memperlihatkan gejala kolera. Ketiga, pemerintah setempat perlu melakukan pengaturan untuk pengadaan bangsal khusus terpisah di rumah sakit-rumah sakit sipil dan militer (Waszklewicz, 1867: 78-80).
Kendati demikian, para dokter tidak tahu apakah intervensi yang mereka lakukan memberi efek yang baik atau tidak selama terjadi epidemi kolera. Oleh sebab itu, C.H. Stratz (1858-1924), peneliti di Lembaga Patologi, mencirikan perang melawan kolera di Hindia Belanda pada 1889 sebagai “perang melawan musuh yang tidak terlihat”.
Pada waktu itu, kolera dianggap menular lewat udara, sehingga peraturan mewajibkan bahwa feses dan jasad kolera harus segera didisinfektasi dengan cairan sublimat dan dikubur di lubang dengan kalsium klorida. Keputusan untuk menghilang materi penelitian yang berharga ini juga turut menyebabkan penanganan terhadap kolera terus abu-abu.
Jawatan Intelijen, Vaksinasi dan Pengendalian Kolera
Penanganan dan pengendalian kolera baru menemukan angin segar setelah seorang ahli bakteorologi, Robert Koch (1843-1910), berhasil mengidentifikasi bakteri penyebab kolera yang dinamai Vibrio Cholera pada 1884 (Aberth, 2011: 101; Huber, 2006: 465).
Bakteri ini biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum yang telah terkontaminasi karena sanitasi yang tidak memenuhi standar. Selain melalui minuman, bakteri Vibrio Cholerae masuk ke dalam saluran pencernaan melalui makanan yang tidak dimasak dengan benar.
Baca juga: Musim Kematian: Pandemi Flu Spanyol di Hindia-Belanda 1918-1919
Walaupun kabar penemuan ini sudah mencapai tenaga medis profesional di Hindia Belanda, dibutuhkan satu dasawarsa lagi sebelum perubahan serius dalam pengendalian kolera dilakukan.
Tenaga medis profesional baru berhasil mengendalikan kolera mulai 1910-an. Kepatuhan warga untuk menjaga kebersihan dan pemasangan pipa air di area pemukiman memperbaiki kondisi higienis sekaligus memperkecil jangkauan penyebaran bakteri (Krediet, 1917: 253-254).
Namun ada tiga faktor utama yang menjadikan pengendalian kolera di Hindia berhasil. Pertama, keberhasilan kerjasama antara Jawatan Kesehatan setempat, Laboratorium Medis, dan pemerintah lokal. Kedua, kehadiran jawatan intelijen yang terorganisasi dengan baik yang berhasil mengidentifikasi kolera sebelum menyebar luas.
Menurut G.J. Krediet (1917: 256-257) kepala Jawatan Kesehatan di Jakarta, tiga faktor inilah yang berkontribusi dalam keberhasilan pengendalian kolera di Batavia. Kerja sama erat antara dinas-dinas pemerintah bukanlah hal baru dalam pengendalian kolera di Batavia. Namun, pembentukan jawatan intelijen khusus kolera dan pengenalan program vaksinasi massal adalah hal baru dan memiliki dampak besar terhadap pengendalian kolera
Jawatan intelijen kolera sendiri didirikan oleh C. D. Ouwehand, pengajar di Stovia sekaligus dokter kota di Batavia, pada tahun 1909. Jawatan intelijen ditugaskan untuk memantau kasus kolera secara mandiri di rumah sakit, mengumpulkan data di kampung-kampung—sehingga meliputi korban kolera yang tidak dirawat di rumah sakit—dan mulai melaporkan apa yang disebut kasus sporadis. Hasilnya, angka-angka memperlihatkan bahwa pada periode antara dua wabah, kolera tidak pernah betul betul lenyap dari Batavia.
Pada 1911-1912, jawatan intelijen sepenuhnya beroperasi di bawah dukungan Jawatan Kesehatan Sipil yang baru saja didirikan, yang memiliki tujuan untuk mengendalikan penyakit umum dan menular .
P. C. Flu (1884-1945), asisten direktur di Laboratorium Medis di Batavia, memuji jawatan intelijen atas peran pentingnya dalam mendeteksi kasus kolera sporadis pada periode antara dua wabah, yang tidak akan pernah ditemukan jika tidak ada jawatan tersebut. Sementara Krediet juga menyatakan bahwa berkat hadirnya jawatan intelijen ini, potensi wabah dapat ditemukan sejak tahap awal sehingga mencegah skenario yang lebih buruk menjadi nyata (Flu, 1915: 874-876).
Selain pembentukan jawatan intelijen kesehatan, instrumen lain untuk memerangi kolera diperkenalkan pada awal 1910-an, yaitu vaksinasi massal. Terlepas dari keberhasilan eksperimen itu di negara-negara lain jauh sebelum 1900, baru pada 1910 eksperimen pertama dengan vaksin kolera dilakukan di Hindia.
Direktur Institut Pasteur, A.H. Nijland (1868-1922), adalah orang yang paling optimis dalam memperjuangkan keberhasilan vaksin kolera ini. Ia beralasan vaksin kolera menyebabkan perubahan darah yang berujung pada kekebalan terhadap kolera; vaksinasi massal mudah dilakukan; vaksin bisa disimpan lama, memungkinkan layanan kesehatan fokus pada produksi, penyimpanan, dan peredaran vaksin; dan vaksin ini hampir tidak punya efek samping (Nijland, 1910: 624).
Namun usaha Nijland untuk mempromosikan vaksin kolera tersebut sering terganjal dengan respon penduduk pribumi terhadap program vaksinisasi. Seringkali ia menemukan penduduk bumiputra yang enggan untuk mengikuti program vaksin dengan mengaku sudah divaksin padahal belum, ada pula yang malah membayar orang lain agar mewakili mereka, atau tidak dapat membedakan vaksinasi kolera dengan cacar air (Nijland, 1911: 476). Realitas ini membuat program vaksinisasi pada masa awal tidak begitu lancar. Bahkan rekan sejawatnya pun ada yang meragukan keampuhan vaksin itu.
Menanggapi keraguan itu, Nijland mengutip hasil vaksinasi selama pecahnya wabah dari Agustus hingga November 1912 di Batavia. Pada periode ini, penduduk mendapatkan vaksinasi di Institut Pasteur, Rumah Sakit Cikini, Rumah Sakit Cina. Saat mempelajari angka-angka orang Eropa yang divaksinasi dan tidak divaksinasi, Nijland memperhatikan bahwa kematian relatif di kalangan kelompok kedua adalah 53,8%, sementara di kalangan orang Eropa yang divaksinasi di Jakarta adalah 0%.
Klaim itu membuktikan bahwa vaksin kolera efektif untuk menekan presentase pasien kolera. Sejak saat itu vaksinasi massal dilakukan pada tahun-tahun berikutnya.
Pada 1917, Von Römer (1917: 295) menyimpulkan bahwa pada periode 1913-1916, terjadi penurunan tajam dalam jumlah kasus kolera. Jumlah kasus di kalangan orang Eropa sudah memperlihatkan kecenderungan menurun selama beberapa tahun setelah vaksin diperkenalkan. Kecenderungan yang sama juga diikuti kalangan penduduk bumiputra dan Cina di Batavia.
Daftar Pustaka
Aberth, John. 2011. Plagues in World History. Plymouth: Rowman & Littlefield Publisher.
Waszklewicz, A. E. 1867. “Cholera-Epidemie In 1864”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië.
Flu, P. C.. 1915. “Epidemiologische studiën over de cholera te Batavia 1909-1915”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië.
Hamlin, Christopher. 2009. Cholera : The Biography. Oxford: Oxford University Press.
Huber, Valeska. 2006. “The Unification of the Globe by Disease? The International Sanitary Conferences on Cholera, 1851-1894”. The Historical Journal, Vol. 49, No. 2.
Krediet, G.J. 1917. “Choleravaccinatie te Batavia in 1914”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië.
Nijland, A. H. 1910. “Vaccinatie tegen Cholera”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië.
Nijland, A. H. 1911. Eenige resultaten met het choleravaccin verkregen”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië.
Römer, L. S. A. M. von. 1917. “Over de Cholera te Batavia in 1915 en 1916”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië.
ternyata penyakit kolera bisa dihambat pertumbuhannya dengan ekstrak kulit delima loh. penasaran? yuk kunjungi link berikut ya, terima kasih :
http://news.unair.ac.id/en/2018/07/15/fk-unair-student-innovation-pomegranate-skin-extracts-inhibit-growth-cholera-bacteria/