Sulit dipungkiri, Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Sejak masa kolonial hingga kemerdekaan, label “wilayah kaya sumber daya” terus melekat di wilayah ini. Sebelum dinikmati seperti sekarang, sumber daya alam Indonesia melewati proses eksplorasi cukup panjang, salah satunya adalah batu bara. Sejarah tambang batu bara di Indonesia dimulai dari Ombilin di Sawahlunto. Pada masa kolonial Ombilin menjadi pemasok utama kebutuhan batu bara Hindia-Belanda.
Revolusi Industri dan Penemuan Tambang Batu Bara Ombilin
Penemuan mesin uap di Eropa Barat pada abad ke-18 membawa perubahan dramatis dalam pemanfaatan batu bara. Ekspansi industri yang semakin masif mendorong peningkatan batu bara. Batu bara yang sebelumnya hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga, dalam waktu singkat menjelma menjadi kebutuhan pokok kegiatan industri.
Penemuan teknologi baru berupa mesin uap mendorong banyak negara di dunia untuk mencari ladang batu bara baru. Negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan China pun tidak ketinggalan membuka tambang batu bara dan membangun jalur kereta api.
Pada abad ke-19 dan 20, Cina menjadi salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, sementara Jepang tidak hanya mengeksploitasi tambang miliki sendiri, tetapi memperluas proyek tambangnya hingga ke Cina. Sementara itu,negara-negara Asia lainnya, seperti India, Vietnam, Malaya, dan Hindia-Belanda, pembukaan tambang batu bara dapat dianggap berkontribusi dalam menegaskan ekspansi imperialisme dan kapitalisme Barat.
Negara-negara Barat seperti Inggris, Prancis, dan Belanda saling bersaing dalam eksplorasi dan eksploitasi tambang batu bara di koloni Asia mereka. Pada akhir abad ke-19, Inggris mengeksplorasi dan membuka tambang batu bara di India.
Sedangkan Belanda yang ingin mengurangi ketergantungan pada batu bara impor, terutama dari Inggris, sejak pertengahan abad ke-19 telah meluncurkan beberapa ekspedisi ke Hindia-Belanda untuk mengeksplorasi cadangan batu bara (Erman, 1999 : 13).
Cadangan batu bara pertama ditemukan di Pengaron, Kalimantan pada tahun 1848. Meskipun awalnya terlihat menjanjikan, namun upaya awal Belanda untuk mengeksploitasi batu bara di Pengaron menuai kegagalan.
Walaupun tambang itu beroperasi menggunakan tenaga kerja murah yang terdiri dari para narapidana, tetapi biaya transportasi dari pusat produksi ke pelabuhan terlalu mahal. Selain itu cadangan batu bara di tambang itu tidak lebih dari 80.000 ton dan produksi maksimal per tahun hanya sebesar 15.000 ton (De Grave, 1907: 20).
Setelah kegagalan di Pengaron, ahli geologi Belanda mencari deposit batu bara yang lebih menguntungkan di lokasi lain. Pencarian batu bara mulai menemukan titik terang setelah WH. de Greeve, seorang ahli geologi muda Belanda, menemukan deposit batu bara di Ombilin pada Januari 1868 (Lier, 1918: 6). Ombilin diperkirakan menyimpan cadangan batu bara dalam jumlah besar, yakni sekitar 2 juta ton.
Penemuan tambang batu bara Ombilin menghebohkan berbagai pihak, perusahaan swasta yang mendengar penemuan itu segera mengajukan proposal kepada pemerintah Belanda, namun Ombilin akhirnya diputuskan dikelola oleh pemerintah.
Sementara itu, de Grave yang berjasa menemukan cadangan batu bara Ombilin menemui nasib malang. Dalam eksplorasi kedua di Sumatera Barat pada 1872, kapal yang ditumpangi tenggelam di Sungai Indragiri.
Sebelum meninggal de Grave telah memperkirakan terdapat 100.000 ton batu bara yang dapat diproduksi setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan batu bara di Hindia Belanda (De Grave, 1907).
Sejak ditemukannya batu bara di Sawahlunto, beberapa insinyur dan tenaga ahli terus dikirim oleh pemerintah kolonial untuk mempersiapkan sarana dan prasarana penunjang pengembangan batu bara.
Pembukaan dan eksploitasi batu bara Ombilin di Sawahlunto membawa berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat Hindia-Belanda kala itu. Proyek ini membutuhkan banyak tenaga kerja, biaya, sarana transportasi, jalan, rel kereta api, pelabuhan, kapal laut, peralatan pertambangan, gedung perkantoran, tempat tinggal pekerja dan rumah untuk pejabat harus disediakan.
Terdapat tiga komponen utama dalam pembangunan tambang Ombilin. Pertama, eksploitasi tambang batu bara; kedua, pembangunan rel kereta api dengan tujuan membawa batu bara dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur; ketiga, pembangunan pelabuhan Teluk Bayur di Padang untuk mendistribusikan batu bara ke negara-negara Eropa. Seluruh proyek pembangunan tambang ini dibiayai oleh Kerajaan Belanda.
Buruh Tambang Batu Bara
Pada awal pengoperasian tambang, pemerintah kolonial kesulitan memperoleh tenaga kerja yang cukup. Tenaga kerja yang murah tidak dapat diperoleh dengan merekrut warga setempat.
Penduduk setempat mayoritas merupakan orang Minangkabau dan penduduk Nias. Mereka hanya mencari pekerjaan secara sporadis, ketika panen padi mereka gagal atau saat mereka membutuhkan uang untuk mengikuti upacara adat. Karena itu rekrutmen pekerja lepas tidak memuaskan karena pasokannya tidak teratur dan tidak menentu. Akibatnya, manajemen terus mengeluh kekurangan tenaga kerja.
Untuk memastikan angkatan kerja tetap dan teratur, pemerintah kolonial merekrut narapidana dan buruh kontrak dari luar. Narapidana yang terdiri dari narapidana politik dan bandit direkrut dari penjara-penjara di Jawa seperti Cipinang dan Glodok di Batavia untuk bekerja sebagai buruh narapidana di tambang batu bara Ombilin.
Namun jumlah pekerja masih tidak cukup, karena banyak buruh narapidana dari Sawahlunto yang dibawa ke Pidie di Aceh untuk mengangkut barang keperluan perang (Erman, 2002: 6).
Untuk mengatasi masalah tenaga kerja, perusahaan juga merekrut tenaga kontrak, pertama dari China kemudian dari Jawa. Mereka bekerja setidaknya selama tiga tahun dan dikenakan sanksi pidana yang ditetapkan dalam koeli ordonantie.
Buruh narapidana akan dihukum cambuk jika melarikan diri, melalaikan pekerjaan, ikut serta dalam protes terhadap mandor, atau berkelahi dengan buruh lain atau dengan mandor. Untuk mencegah para buruh narapidana ini lari, mereka dirantai satu sama lain.
Buruh kontrak yang tercakup dalam Ordonansi Kuli juga dihukum cambuk jika tidak memenuhi persyaratan kontrak (misalnya melarikan diri atau melalaikan pekerjaan).
Seluruh pekerja tambang di Ombilin diawasi oleh petugas polisi yang bisa dibilang semi militer. Para perwira itu mengenakan seragam hitam dan direkrut dari daerah Minangkabau dan Batak.
Pejabat kolonial menggunakan kontrol negara yang ketat untuk melawan pekerja yang dianggap memiliki “mentalitas malas” dan tidak memiliki “orientasi kerja” yang layak. Sebagian besar penambang dipandang sebagai penjahat yang hanya bisa produktif di bawah kontrol dan disiplin yang ketat.
Pada tahun 1896 terdapat 1.234 buruh yang semuanya narapidana. Seiring dengan bertambahnya jumlah tambang, jumlah angkatan kerja juga bertambah. Pada tahun 1921 jumlah buruh naik menjadi 11.046 orang, mayoritas adalah buruh kontrak dan narapidana.
Perusahaan lebih memilih merekrut narapidana daripada buruh kontrak karena biayanya lebih murah dan produktivitasnya lebih tinggi daripada buruh kontrak. Biaya harian buruh narapidana rata-rata 34,9 sen per hari, sedangkan buruh kontrak 60 sen per hari (Erman, 2002).
Hingga dasawarsa ketiga abad ke-20, sangat sedikit perempuan bekerja di lingkungan tambang, baik sebagai buruh atau istri yang menemani suaminya. Perempuan-perempuan ini berfungsi sebagai pekerja tambang, istri, atau ‘penghibur’. Ada pun buruh perempuan di Ombilin direkrut sebagai buruh kontrak. Tidak ada tahanan perempuan yang direkrut sebagai buruh narapidana di tambang ini.
Kegiatan penambangan dibagi menjadi 3 shift. Shift pertama dimulai pukul 06.00 hingga 14.00, shift kedua dimulai pukul 14.00 sampai jam 22.00 dan shift ketiga dari jam 22.00 sampai pukul 06.00.
Setiap dua minggu sekali, tim penambang diganti dengan komposisi anggota yang tidak berubah (satu tim terdiri dari 5 sampai 7 anggota) dipimpin oleh seorang mandor.
Bagi buruh narapidana yang bekerja shift pertama harus bangun pada pukul 04.00 agar bisa berkemas lebih awal untuk mandi, beribadah dan sarapan pagi. Setelah persiapan selesai tangan dan kaki mereka dirantai lagi oleh polisi tambang.
Pembagian kerja penambang dilihat dari penampilan fisiknya, mereka yang fisiknya kuat dan gemuk diperintahkan untuk bekerja di lubang, memecahkan arang, membawa kayu gelondongan yang berat ke dalam lubang untuk menopang lubang tambang. Sementara buruh yang fisiknya lemah diminta menjadi perawat bagi temannya yang sakit dan memilih arang sesuai ukurannya (Rosmiati, 2020: 1345).
Selain bekerja di tambang, para buruh narapidana seringkali memperoleh tugas tambahan untuk membangun rel kereta yang menghubungkan tambang di Sawahlunto dengan pelabuhan Teluk Bayur. Pembangunan rel kereta dimulai pada tahun 1891 dan selesai pada 1894.
Topografi Sumatera Barat yang banyak perbukitan menyebabkan jalur kereta memiliki banyak tanjakan dan belokan, sehingga membutuhkan waktu hingga 10 jam untuk membawa batu bara dari area produksi ke pelabuhan.
Daftar Pustaka
Erman, Erwiza. “Hidden Histories: Gender, Family And Community In The Ombilin Coal Mines (1892-1965)”. CLARA Working Paper, No. 13, 2002.
___________. “Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996.” Disertasi: University of Amsterdam, 1999.
Greve, W.H. de,”Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra’s Westkust.”. Landsdrukkerij,1907.
Lier, R.J. van,”De mijnbouw in Nederlandsch-Indië.”. Koloniaal Instituut,1918.
Rosmiati, Rosmati, dkk. “Ombilin Coal Mine Site: History and Potential as a Learning Source for the History of the Economy Based on Outdoor Learning.” Budapest International Research and Critics in Linguistics and Education (BirLE) Journal, Vol. 3 No. 3, 2020. https://doi.org/10.33258/birle.v3i3.1176.