Siapa yang tidak kenal Jalan Malioboro? Sebuah jalan yang telah menjadi ikon Daerah Istimewa Yogyakarta. Berkunjung ke Yogyakarta rasanya kurang lengkap tanpa ke Malioboro. Terlepas dari semua itu, jalan satu ini ternyata juga menyimpan kisah panjang sebelum menjadi seperti sekarang.
Asal-Usul Nama Malioboro
Bila mengacu pada catatan kolonial, Jalan Malioboro membentang sejauh 2 km dari Sitinggil utara keraton hingga ke Tugu. Jalan tersebut dibagi ke dalam beberapa ruas jalan Kadasterstraat (Pangurakan); Residentielaan dan Patjinan (Margo Mulyo); Malioboro; dan Toegoeweg atau Toegoe Kidul (Margo Utomo).
Terkait asal-usul nama Malioboro terdapat beberapa versi. Menurut pujangga keraton nama Malioboro diambil dari pesanggrahan yang digunakan oleh Jayengrana yang termuat dalam roman Jawa-Islam Amir Hamzah.
Sementara sebagian turis asing menganggap nama itu berasal dari gelar Jenderal John Churchill, First Duke of Marlborough (1650-1722).
Namun, pendapat itu disanggah oleh Dr. O.W. Tichelaar lewat tulisannya The Derivation (from Sanskrit) of the Streetname Malioboro in Yogyakarta. Menurutnya, posisi jalan Malioboro terlalu penting untuk diberi nama dari gelar orang Inggris.
Tichelaar mengutip penjelasan Prof. C.C. Berg yang mengatakan bahwa asal-usul kata Malioboro dapat ditelusuri dari bahasa Sansekerta, yakni malyhabara (dihiasi oleh untaian bunga).
Sementara itu, Peter Carey menduga jalan ini sejak awal telah dikenal dengan nama jalan Malioboro. Kendati istilah “maliabara” baru mulai umum digunakan setelah Perjanjian Giyanti.
Terlepas dari perdebatan soal nama, jalan ini telah ada sejak berdirinya Keraton Yogyakarta. Bahkan, bisa jadi lebih tua, karena jalan ini dahulu dipercaya sebagai jalan penghubung ke Pesanggrahan Gerjitawati (lokasi yang sekarang dijadikan keraton). Dahulu jalan ini sering dilalui rombongan dari Kesultanan Mataram di Kartasura yang singgah di pesanggrahan, sebelum meneruskan perjalanan menuju pemakaman di Imogiri.
Secara filosofis, Malioboro dilambangkan sebagai penghubung antara tugu dan keraton. Garis filosofi antara Panggung Krapyak— Keraton Yogyakarta—Tugu melambangkan konsep sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan).
Posisi Malioboro dulunya bukan sekedar sebagai tempat wisata seperti sekarang, tetapi sebagai rajamarga atau jalan kerajaan. Jalan ini merupakan tempat digelarnya berbagai upacara seremonial. Malioboro telah menjadi saksi bisu kedatangan para gubernur jenderal dan pejabat Eropa yang datang dari arah utara menuju keraton.
Menurut Carey, upacara seremonial melewati Jalan Malioboro mengandung dua makna tersirat, yakni sebagai penghormatan dan untuk melunakkan kekuasaan yang besar.
Transformasi Jalan Malioboro
Di samping sebagai jalan kerajaan, Malioboro juga menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian penduduk Yogyakarta. Kepatihan dan Pasar Gedhe (kini Beringharjo) merupakan bagian dari kesatuan tata ruang catur gatra tunggal.
Konsepsi tersebut meliputi empat elemen penting, yakni politik (Keraton dan Kepatihan), ekonomi (Pasar Gedhe), sosial (Alun-Alun), dan keagamaan (Masjid Gedhe).
Kompleks Kepatihan dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bangunan ini mengusung gaya arsitektur tradisional Jawa dan terletak di sisi timur ruas Malioboro.
Kepatihan berfungsi sebagai kantor dan kediaman pepatih dalem (rijkbestuurder). Patih sendiri diangkat oleh Sultan atas persetujuan pemerintah kolonial untuk membantu Sultan menjalankan aktivitas pemerintahan.
Sementara itu, Pasar Gedhe berjarak sekitar 450 meter ke selatan dari Kompleks Kepatihan. Awalnya pasar ini hanya berupa tanah lapang, tetapi akhirnya digunakan untuk kegiatan ekonomi sejak tahun 1758. Selepas diresmikan oleh Sultan, penduduk mulai mendirikan atap peneduh untuk berjualan.
Seiring berjalannya waktu, penjual di Pasar Gedhe semakin bertambah banyak. Untuk mengakomodasi penjual dibangunlah los-los limasan sederhana dari tiang kayu jati pada 1830. Los-los pasar berjajar dari selatan hingga utara.
Satu abad kemudian, Sultan HB VIII berinisiatif merombak los-los kayu menjadi bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk menyelesaikan proyek ini, Keraton menggandeng Hollandsche Beton Maatschappij. Setelah proyek selesai, Pasar Gedhe menjelma menjadi pasar yang megah hingga dijuluki Een der Mooiste Passers op Java (Pasar Terindah di Jawa).
Tidak lama setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX naik takhta, muncul kebijakan untuk memberikan nama-nama Jawa bagi seluruh instansi di bawah pemerintahan Kasultanan. Nama Pasar Gedhe sendiri dirubah menjadi Pasar Beringharjo dan bertahan hingga saat ini.
Selain Kompleks Kepatihan dan Pasar Gedhe, terdapat pula penjara di selatan Alun-Alun Utara; benteng, kediaman residen beserta kantornya di ruas Residentielaan; pemakaman Eropa di timur Pasar Gedhe; dan Sositet di ruas Malioboro.
Benteng menjadi salah satu bangunan ikonik Malioboro. Bangunan benteng mulai dibangun pada 1756 sebagai tindak lanjut dari kesepakatan dengan VOC. Konstruksi bangunan awal sangatlah sederhana, yakni dari tanah yang diperkuat dengan pohon-pohon kelapa dan palem, sedangkan pada bagian dalam dibuat dari bambu.
Atas usulan Gubernur Pesisir Utara Jawa di Semarang, W.H. Ossenberch, rencana untuk merenovasi benteng mulai dicanangkan. Proyek yang dikerjakan pada 1767-1787 itu dipimpin oleh Frans Haak selaku arsitek.
Selepas renovasi, bangunan ini dikenal dengan nama Benteng Rustenburg yang berarti benteng peristirahatan. Namun, masyarakat sekitar lebih sering menyebutnya sebagai Loji Besar karena ukuran bangunannya memang lebih besar dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Di dalamnya terdapat barak tentara, gudang, penjara, hingga gereja.
Nama benteng ini baru diubah menjadi Benteng Vredeburg (benteng perdamaian) pada 1867, setelah dilakukan pemugaran akibat gempa.
Di dekat benteng, berdiri kediaman residen (kini Gedung Agung) dan kantor residen (Mirota Batik). Kediaman residen dibuat sangat megah dengan halaman taman yang luas sehingga sering disebut sebagai Loge Tuin/Loji Kebon. Selama periode kolonial bangunan ini sempat mengalami dua kali renovasi, yakni pada 1824 dan 1869.
Baca juga: Eksistensi Rumah Sakit Petronella (Bethesda) di Yogyakarta
Tidak jauh dari Kediaman Residen, berdiri bangunan sositet di ruas Residentielan. Bangunan itu awalnya difungsikan sebagai geneverhuis atau bar. Seiring dengan semakin banyaknya orang-orang Eropa yang berkumpul di bar tersebut, lambat laun bangunan berubah menjadi klub eksklusif bernama Societeit de Vereeniging.
Setiap weekend, Societeit de Vereeniging selalu ramai dikunjungi oleh para pejabat kolonial dan pengusahaa perkebunan Eropa. Di tempat ini, mereka menghabiskan waktunya dengan bermain biliar dan bowling, berjudi, menikmati orkestra hingga menonton teater.
Orang-orang Tionghoa juga memiliki klub eksklusif mereka sendiri. Klub ini bernama Chinese Societeit Hwa Kiauw dan berdiri di ruas Kadasterstraat No. 4 (sekarang Perpustakaan Museum Sonobudoyo).
Menurut Siti Mahmudah dalam artikelnya, “Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941,” selama periode cultuurstelsel (1830-1870), bangunan-bangunan modern semakin banyak berdiri di seputar Malioboro. Sebuah gereja Protestan (kini GPIB Margo Mulyo) diresmikan pada 15 Oktober 1857 untuk menggantikan gereja di benteng.
Beberapa tahun kemudian, F.W. Wieseman dan beberapa orang Eropa lainnya mendirikan Loji Mason di ruas jalan Malioboro No. 16 (sekarang DPRD DIY). Selama Loji Mataram eksis, para anggotanya aktif dalam menyelenggarakan pendiidikan bagi penduduk bumiputra.
Menjadi Jalan Paling Ramai di Yogyakarta
Seiring dengan dimulainya periode liberal 1870, Malioboro menjadi semakin ramai. Banyak pemegang modal swasta melirik jalan itu sebagai tempat usaha baru.
Sejumlah fasilitas juga didirikan di sekitar jalan ini, seperti Stasiun Yogyakarta/Tugu pada 1887; De Javasche Bank Cabang Yogyakarta (sekarang kantor Bank Indonesia) pada 1879; Post- , Telegraaf-, en Telefoonkantoor (sekarang Kantor Pos Yogyakarta); dan gedung Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij atau Perusahaan Asuransi Jiwa dan Anuitas Hindia-Belanda (sekarang Bank BNI).
Memasuki abad ke-20, Yogyakarta mendapat julukan baru sebagai kota transit karena posisinya yang strategis. Stasiun Tugu yang terletak di kawasan Malioboro menjadi penghubung kota-kota besar di Jawa (Jakarta, Semarang, dan Surabaya). Karena dahulu tidak semua perjalanan kereta api bisa ditempuh dalam waktu satu hari, maka banyak kantor-kantor dibangun sebagai tempat singgah para pegawai.
Kemudahan transportasi turut mendorong peningkatan kunjungan wisata ke Yogyakarta. Pada awal abad ke-20 organisasi kepariwisataan Hindia-Belanda, Vereeniging Touristen Verkeer (VTV), membuka kantor cabang Official Tourist Bureau di Jalan Malioboro No. 6. Sejumlah biro perjalanan swasta juga mulai membuka kantor cabang, di antaranya Eastern Travel Bureau di Malioboro No. 8B.
Meningkatnya jumlah wisatawan merangsang pertumbuhan penginapan, toko, dan tempat rekreasi. Warung-warung semi-permanen dirombak menjadi toko-toko dengan bangunan permanen yang berjajar rapi di tepi jalan.
Pada masa itu, pertokoan didominasi oleh orang Eropa dan Tionghoa. Toko-toko Eropa banyak terdapat di ruas Malioboro serta Toegoeweg, sedangkan toko-toko Tionghoa berdiri di ruas Pecinan.
Sebagai pusat perekonomian, hampir semua barang dan jasa tersedia di Malioboro. Mulai dari toko fashion Eropa, toko batik, toko kain India, toko roti, percetakan, bengkel motor, tukang servis, hingga warung opium.
Sementara itu, hotel-hotel bergaya Eropa berjajar di sekitar Malioboro, seperti Hotel Mataram, Hotel Tugu, Hotel Centrum, dan Grand Hotel de Djokja (sekarang Grand Inna Malioboro). Keempat hotel tersebut menawarkan berbagai fasilitas untuk mengakomodasi wisatawan Eropa.
Begitulah kisah perjalan Malioboro menjadi jalan paling ramai dan ikonik di Yogyakarta. Meskipun zaman telah berganti, tetapi kita masih bisa menemukan sisa-sisa kenangan era kolonial bila berkunjung ke jalan ini.
Daftar Pustaka
Carey, P. (1984). Jalan Maliabara (‘Garland Bearing Street’): The etymology and historical origins of a much-misunderstood Yogyakarta street name. Archipel, 27(1), 51-62.
Fauziah, S.M.N. (2019). Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941. Lembaran Sejarah, 14(2), 171-193. doi:http://dx.doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.45438.
Gupta, D. (Ed.). (2007). Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Yogyakarta.
Kwartanada, D. (2002). Competition, Patriotism and Collaboration: The Chinese Businessman of Yogyakarta between the 1930s and 1945, Journal of Southeast Asian Studies 33.
Noorduyn, J. (1986). The etymology of the name of Yogyakarta. Archipel, 31(1), 87-96.
Nurhajarini, D.R. (Ed.). (2012). Yogyakarta: Dari Hutan Beringan ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Priyono, U. (Ed.). (2015). Buku Profil Yogyakarta “City of Philosophy”. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.