Beberapa waktu lalu, Lembaga Eijkman menyita perhatian publik. Kabar peleburan lembaga itu ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan pemberhentian peneliti di dalamnya menimbulkan pro-kontra di dalam masyarakat. Sebagian mendukung langkah tersebut, tetapi sebagian menentang kebijakan itu.
Apabila menengok sejarahnya Lembaga Eijkman bukanlah lembaga yang baru berdiri kemarin sore. Lembaga ini telah berdiri sejak masa kolonial. Nama Eijkman sendiri berasal dari nama ahli bakteriologi berkebangsaan Belanda, Christiaan Eijkman. Siapa Christiaan Eijkman? Mengapa namanya dijadikan nama lembaga biologi molekuler Indonesia? Di artikel kali ini penulis ingin mengajak pembaca mengenal tokoh ini lebih dekat.
Perjalanan Pertama Eijkman di Hindia-Belanda
Christiaan Eijkman lahir pada 11 Agustus 1858 di sebuah desa bernama Nijkerk di Belanda. Ia merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara.
Sejak awal, Eijkman telah menaruh ketertarikan untuk belajar ilmu kedokteran. Meskipun terkendala biaya, ia tetap berusaha mewujudkan mimpinya belajar ilmu medis dengan mendaftar di Sekolah Kedokteran Militer Universitas Amsterdam yang dibiayai oleh Departemen Perang Belanda pada 1875 (Jansen, 1950: 3).
Christiaan Eijkman bergabung dengan tentara di Hindia Belanda setelah menyelesaikan studi kedokterannya untuk memperoleh gelar Ph.D. gelar dalam fisiologi.
Pada tahun 1883, Eijkman berlayar menuju Hindia-Belanda. Di saat yang bersamaan Perang Aceh tengah berkobar. Setibanya di Hindia-Belanda, Eijkman segera dikejutkan oleh banyaknya jumlah tentara yang lumpuh akibat penyakit beri-beri, yang dikenal di kalangan medis kolonial sebagai polyneuritis endemica perniciosa. Beri-beri adalah penyakit saraf tepi yang menyebabkan rasa sakit dan kelumpuhan, apabila dibiarkan dapat menimbulkan kematian.
Di tempatnya bertugas, ia menemukan bahwa beri-beri telah menjadi endemik. Baik tentara lokal atau Eropa terserang penyakit ini. Penemuannya ini membawa pada kesimpulan awal bahwa penyakit beri-beri pasti berasal dari infeksi. Karena itu, ia memutuskan melakukan studi lebih lanjut untuk menemukan sumber bakterinya.
Penelitian Penyakit Beri-Beri
Setelah 2 tahun di Hindia-Belanda, Eijkman memperoleh izin untuk kembali ke Belanda lantaran istrinya tengah sakit. Namun sekembalinya ia ke Belanda, istrinya meninggal dunia (Verhoef, 1999: 185).
Pasca kepergian sang istri, Eijkman mengerahkan energinya untuk meneliti penyebab beri-beri. Ia mengunjungi Robert Koch di Berlin untuk belajar beberapa teknik bakteriologikal dasar.
Di tempat tersebut, ia bertemu dengan bakteriologis, Profesor Cornelis Pekelharing dan neurologis, Profesor Cornelis Winkler yang tengah ditugaskan meneliti penyakit beri-beri (Carpenter, 2012: 220).
Pada 1885,Eijkman kembali ke Hindia-Belanda sebagai asisten Pekelharing dan Winkler. Setelah satu tahun penelitian, Pekelharing dan Winkler kembali ke Belanda.
Keduanya meyakini beri-beri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri mikrokokus yang menyebabkan degenerasi sel saraf. Selama penelitian mereka, mereka telah mengisolasi mikrokokus dari darah pasien dan mengklaim bahwa mikroorganisme ini menjadi agen penyebab beri-beri. Untuk itu keduanya menyarankan pemerintah kolonial untuk menerapkan langkah desinfeksi.
Meskipun demikian, Pekelharing tidak yakin masalah beri-beri telah teratasi. Karena itu, ia menyarankan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mempermanenkan fasilitas laboratorium yang selama ini mereka gunakan dan menunjuk Eijkman untuk melanjutkan penelitian penyakit beri-beri (Jansen, 1950: 4). Pemerintah kolonial setuju usulan tersebut, Eijkman yang masih tinggal di Hindia-Belanda dibebaskan dari dinas militer dan ditunjuk menjadi direktur pertama Geneeskundig Laboratorium hingga tahun 1896.
Eijkman sendiri belum puas dengan hasil penelitian yang telah dilakukan kedua rekannya tersebut. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan penelitian terkait penyakit beri-beri.
Dalam penelitian dua rekannya menggunakan anjing dan monyet sebagai hewan percobaan, sementara Eijkman memilih ayam karena lebih ekonomis untuk digunakan dalam jumlah besar. Keputusan menggunakan ayam ternyata membawanya ke dalam penemuan yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Eijkman (1929) menjelaskan bahwa sebagian ayam di laboratorium itu tiba-tiba menderita polineuritis, penyakit yang gejalanya mirip beri-beri. Ayam itu mengalami kelumpuhan otot-otot tubuh. Dalam beberapa hari kondisi ayam menjadi memburuk hingga tidak bisa lagi makan tanpa bantuan.
Ia mengira kelumpuhan itu akibat bakteri mencoba memisahkan ayam yang sehat dan yang sakit. Namun semua ayam tersebut tetap terkena gejala yang sama. Tidak ada mikroorganisme spesifik atau parasit yang lebih tinggi ditemukan.
Kemudian tiba-tiba penyakit itu sembuh. Semua ayam yang terjangkit sembuh dan tidak ada kasus baru.
Eijkman pun mulai menaruh kecurigaan terhadap makanan yang dikonsumsi. Penjaga laboratorium melaporkan bahwa pada tanggal 17 Juni-27 November, ayam-ayam itu diberi makan nasi putih yang diperoleh dari rumah sakit militer tempat laboratorium berada. Pada akhir November juru masak diganti dan penggantinya menolak memberikan nasi untuk pakan ayam, sehingga pakan ayam pun diganti beras merah.
Laporan ini sejalan dengan peristiwa penyakit pada ayam, yakni muncul pada tanggal 10 Juli dan sembuh pada akhir November (Eijkman, 1929).
Eksperimen lebih lanjut pun dilakukan untuk memeriksa keterkaitan antara diet dan penyakit benar-benar ada. Hasilnya polineuritis yang dialami ayam terkait dengan pola makan nasi yang diberikan. Ayam yang diberi pakan nasi putih terserang penyakit penyakit setelah 3-4 minggu, sedangkan ayam yang diberi makan beras merah tetap sehat. Eijkman pun menyimpulkan terdapat kandungan antineuritik yang terletak di bagian-bagian biji beras merah yang tidak dimiliki beras putih.
Hasil penelitian Eijkman kemudian dibaca oleh Kepala Jawatan Kesehatan Sipil Hindia-Belanda, Adolphe Vorderman. Setelah membaca karya itu, ia segera mewawancarai semua kepala jawatan sipil di distrik dan menemukan bahwa 34 dari 63 penjara yang menggunakan beras putih terjadi endemik beri-beri, sementara sisanya yang menggunakan beras merah jarang memiliki kasus beri-beri.
Melalui temuan ini, kepala jawatan kesehatan segera memutuskan untuk mengganti nasi putih dengan nasi merah di penjara. Hasilnya, dalam waktu singkat penyakit beri-beri hilang dari populasi penjara. Eijkman masih belum mengetahui kandungan apa yang terdapat di nasi merah, ia hanya menyebutnya sebagai “anti beri-beri faktor.”
Kembali ke Belanda
Walaupun penelitiannya mulai menemukan titik terang, Eijkman tidak dapat melanjutkan penelitiannya di Hindia-Belanda. Pada 1896, ia harus kembali ke Belanda lantaran kesehatan yang terus memburuk.
Sementara itu, Komisaris Tinggi Hindia Belanda menunjuk Gerrit Grijns untuk menentukan komponen dalam beras yang menyebabkan beri-beri. Grijns sukses melengkapi penelitian pendahulunya. Ia menemukan bahwa ayam-ayam yang lumpuh disebabkan kekurangan substansi tambahan yang disebutnya “zat pelindung”. Kekurangan zat ini dapat disembuhkan dengan pakan kacang hijau.
Pada tahun 1911, Casimir Funk berhasil mengisolasi zat dari sekam padi dan menyebutnya amina. Funk pun mengajukan teori komprehensif bahwa ada zat yang penting bagi kehidupan. Ia menyebutnya vitamine. Penyebab beri-beri pun akhirnya diketahui karena kekurangan vitamin (tiamin) (Piro, 2010: 87).
Sementara itu, Eijkman diangkat sebagai Guru Besar Bakteriologi dan Higiene di Universitas Utrecht. Ia lalu mendirikan jurusan higiene di Utrecht. Meskipun bekerja pada fisiologi bakteri, tetapi ia tetap tertarik pada studi nutrisi dan kesehatan sosial.
Pada tahun 1929, Christiaan Eijkman mencapai puncak prestasinya. Kerja kerasnya meneliti penyakit beri-beri membawanya meraih penghargaan nobel. Penghargaan nobel sekaligus menandai akhir perjalanan kariernya, karena pada 5 November 1930 Eijkman meninggal dunia (Pietrzak, 2019: 2894).
Daftar Pustaka
Eijkman, Christiaan, and F. Gowland. “Nobel Prize in Physiology or Medicine, 1929.” HARRISONS PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE 2 (2001): 2578-2578.
Jansen, B C P. “C. Eijkman, August 11, 1858-November 5, 1930.” The Journal of nutrition vol. 42,1, 1950. Doi:10.1093/jn/42.1.2.
Pietrzak, K. “Christiaan Eijkman (1856–1930).” J Neurol 266, 2019. https://doi.org/10.1007/s00415-018-9162-7.
Piro, Anna, dkk. “Casimir Funk: his discovery of the vitamins and their deficiency disorders.” Annals of nutrition & metabolism vol. 57,2 (2010): 85-8. doi:10.1159/000319165.
Verhoef, Jan; Harm Snippe; Hans S.L.M. Nottet, “Christiaan Eijkman First bacteriologist at Utrecht University, Nobel laureate for his work on vitamins,” FEMS Immunology & Medical Microbiology, Volume 26, Issue 3-4, December 1999. https://doi.org/10.1111/j.1574-695X.1999.tb01388.x