Nama Marco Kartodikromo sering diabaikan narasi besar historiografi Indonesia, bahkan namanya tidak masuk ke dalam daftar pahlawan nasional. Kendati demikian, kiprahnya tidak dapat diremehkan apalagi dilupakan. Melalui tulisan-tulisannya ia mengobarkan voice of war melawan ketidakadilan pemerintah kolonial.
Api Perlawanan Melalui Pers
Kesadaran berpolitik bangsa Indonesia sering kali ditandai dengan kemunculan Sarekat Islam dan Indische Partij pada tahun 1912. Meskipun demikian, kesadaran ini tidaklah muncul secara tiba-tiba.
Kesadaran ini berpangkal dari keinginan bangsa Indonesia untuk mengangkat derajatnya dengan cara merubah kerangka nilai yang telah dianggap usang, lalu menggantikannya dengan kerangka modern yang menolak nilai-nilai berasaskan “budaya sembah dan jongkok”.
Kesadaran untuk mencapai apa yang disebut kemajuan ini telah dirintis oleh orang-orang seperti Abdoel Rivai dan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Sejak awal abad ke-20, keduanya berusaha menyalurkan ide-ide mereka melalui majalah Bintang Hindia dan Medan Priyayi.
Kedua media tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers perlawanan di Hindia-Belanda. Tetapi di antara keduanya, Medan Priyayi memiliki keistimewaan karena melahirkan banyak jurnalis-jurnalis ternama seperti Raden Goenawan, Amir Hasan Wignjadisastra, Sosrokoernio, Raden Martodharsono dan Mas Marco Kartodikromo.
Menempa Keilmuwan Jurnalistik
Soemarko Kartodikromo lahir di Cepu pada tahun 1889. Berbeda dari kebanyakan tokoh sezamannya, Marco berasal dari keluarga priyayi rendahan. Ayahnya Mas Karowikoro merupakan seorang lurah yang menghidupi keenam anaknya.
Saat usianya enam tahun, Marco dititipkan di rumah kakaknya untuk bersekolah Sekolah Ongko Loro di Bojonegoro. Setelah lulus, ia pindah ke Bagelen, Purworejo untuk mengenyam pendidikan di Schakel School selama lima tahun. Sekolah ini merupakan sekolah yayasan yang proses belajar mengajarnya menggunakan bahasa Melayu, Belanda, dan bahasa daerah.
Selama di Bagelen, ia tinggal bersama pamannya, yaitu Raden Mangunkarto, yang merupakan seorang lurah di Kemanukan. Tidak puas dengan pendidikannya di Schakel School, Mas Marco melanjutkan pendidikannya ke Ambach School (sekolah teknik) selama dua tahun dan lulus pada tahun 1905.
Ambach School sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak Eropa yang dipersiapkan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknisi dan kebutuhan industri. Namun, berkat bantuan pamannya, ia dapat masuk ke sekolah tersebut.
Sekolah itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemungkinan besar, Marco menempa kemampuan berbahasa Belandanya di sekolah itu.
Selepas mendapatkan ijazah dari Ambach School, ia mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis di Houtvesterij Purworejo pada tahun 1906.
Delapan bulan kemudian, ia memutuskan untuk pindah kerja di Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij; salah satu perusahaan kereta api di Semarang. Akan tetapi, dirinya tidak merasa betah di perusahaan itu, sehingga ia memutuskan pindah ke perusahaan penerbitan dan percetakan G.C.T. Van Dorp & Co.
Lantaran gaji yang diberikan tidak sebanding dengan beban kerjanya sebagai operator mesin cetak, Marco akhirnya memutuskan resign dan mencari pekerjaan baru. Kali ini dirinya memutuskan merantau ke Bandung dan memulai kariernya sebagai wartawan N.V. Medan Prijaji pada tahun 1909.
Selama bekerja di sini, Marco berkenalan dengan Soewardi Soerjaningrat, Martodharsono, Sosrokoernio, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Raden Gunawan. Di bawah arahan Tirto Adhi Soerjo mereka menyuarakan protes terhadap ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda.
Sayangnya, pada tahun 1911-1912, Medan Prijaji mengalami krisis hingga menyebabkan bankrut. Pada tanggal 23 Agustus 1912, surat kabar ini dinyatakan ditutup.
Tirto Adhi Soerjo sendiri diasingkan ke Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara pada tahun 1913. Pengasingan Tirto tidak terlepas dari tuduhan penipuan (utang) dan penghinaan terhadap Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat (suami Raden Ajeng Kartini).
Setelah Medan Prijaji ditutup, Mas Marco bergabung dengan surat kabar berbahasa Jawa Darmo-Kondo yang sempat dipimpin oleh R. Martodharsono (rekan kerjanya di Medan Prijaji).
Darmo-Kondo didirikan oleh percetakan Tan Tjoe Kwan di Surakarta pada tahun 1908. Namun, pada tahun 1910, surat kabar ini dibeli oleh Boedi Oetomo cabang Surakarta dengan harga f 50.000.
Awal Rivalitas Marco dan Dr. Rinkes
Mas Marco Kartodikromo hanya bekerja setahun di Darmo-Kondo, kemudian pindah ke majalah Sarotomo. Majalah ini berada di bawah naungan Serikat Islam (SI) Surakarta.
Di majalah ini, ia kembali menjadi rekan kerja Martodharsono yang menjabat sebagai Hoofdredacteur. Tatkala Mas Marco bergabung dengan majalah ini, keberaniannya dalam melontarkan kritik kepada pemerintah kolonial mulai terlihat.
Dalam sebuah artikelnya di Sarotomo terbitan 10 November 1913, ia melontarkan kritik terhadap laporan Mindere Welvaart Commisie (MWC), sebuah komisi yang bertugas menyelidiki kemerosotan kemakmuran rakyat Hindia Belanda.
Menurut Marco laporan yang disampaikan MWC tidaklah akurat dan hanya dibuat untuk menutupi ketidaksejahteraan penduduk kala itu. Terlebih anggota MWC hanya berisikan pejabat Eropa dan bupati-bupati Jawa, sehingga kredibilitasnya patut dipertanyakan.
Artikel tersebut membuat berang Adviseur voor Inlandse Zaken, Dr. Rinkes, yang segera menegur Haji Samanhoedi karena dianggap lalai mengawasi “orang upahannya”. Sementara itu, artikel Marco dicap sebagai sebuah kebohongan belaka.
IJB dan Doenia Bergerak
Mas Marco menjadi semakin radikal setelah mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) dan majalah, Doenia Bergerak. Tidak seperti perkumpulan-perkumpulan sebelumnya seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam, IJB tidak memiliki basis organisasi.
Pada pertengahan tahun 1914 ketika Marco mendirikan IJB, teman-teman dekatnya, para aktivis, jurnalis, dan beberapa bangsawan di Soerakartalah yang membantu menjalankan IJB, khususnya organ Doenia Bergerak.
Marco menjadi ketua dan Sosrokoernio menjabat sebagai sekretaris; keduanya pernah bekerja di harian lokal Sarotomo. Seorang pengusaha lokal, M. Hadji Bakrie, ditunjuk sebagai bendahara, sementara para komisarisnya adalah M. Tondokoesoemo dari Sarekat Islam, R. Ng. Wirodarmodjo seorang mantri kepatihan, Ng. B. Roeswidjo Darmobroto seorang kepala sekolah, dan Poespo Hadikoesoemo dari surat kabar lokal, Sinar Djawa.
Selain itu, ada dua orang tokoh terkemuka di Soerakarta yang bergabung dengan IJB, yakni Tjipto Mangoenkoesoemo, mantan pemimpin Indische Partij (Partai Hindia) yang baru saja kembali ke Soerakarta pada bulan Juli 1914 dan M. Darnakoesoema, anggota komite pusat Insulinde.
Melihat nama-nama tersebut, IJB terlihat seolah-olah memiliki struktur organisasi, tetapi kenyataannya adalah perusahaan pribadi Marco. Kendati demikian, ia menerima dukungan yang cukup besar dari rekan-rekan lokal Soerakarta serta Indische Partij dan Insulinde.
Senjata IJB adalah majalah berbahasa Melayu, Doenia Bergerak. Marco bekerja sebagai pemimpin redaksi bersama teman-teman dekatnya dari Bekasi, Semarang dan Madioen. Majalah ini dicetak oleh percetakan Insulinde di Bandoeng dan terus terbit hingga pertengahan tahun 1915.
Selama periode tersebut, Marco menyerukan war of voice melawan pemerintah kolonial. Bahasa Melayu digunakan oleh Doenia Bergerak agar dapat menjangkau khalayak luas. Ia merasa harus ada “komunitas yang saling menyadarkan satu sama lain atas kejahatan dan pelanggaran di Hindia-Belanda melalui media cetak dan diskusi”
Target Marco adalah D. A. Rinkes, yang telah menjadi musuhnya sejak di Sarotomo. Di lain pihak, Rinkes terus mengikuti dan mengamati secara seksama setiap perkataan dan perbuatan Marco. Semua itu dilakukan untuk memonitor surat kabar bumiputra dan Tionghoa di seluruh Hindia-Belanda.
Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Idenburg tertanggal 7 Juni 1915, Rinkes menulis tentang Marco, Doenia Bergerak, dan IJB. Ia bahkan melaporkan bahwa Soewardi, salah satu mentor awal Marco di Bandoeng, yang saat itu diasingkan ke Belanda, kadang kala menyumbangkan artikel untuk majalah tersebut.
Rinkes mengakui bahwa Marco mewarisi semangat Medan Prijaji, tetapi ia tidak seberbakat Tirto Adhi Soerjo. Oleh karena itu, Rinkes menyimpulkan jika Marco bukanlah ancaman politik yang berarti, melainkan hanya sebagai pengganti Tirto dan Soewardi yang dianggapnya sebagai ancaman lebih besar.
Namun, penilaian Rinkes terhadap Marco berubah pada paruh kedua tahun 1915. Karena dirinya terus dikritik, ia akhirnya menggunakan kekuasaannya untuk menyeret Marco ke meja hukum. Pada tanggal 26 Januari 1915, Marco didakwa atas tuduhan persdelict (pelanggaran pers) atas empat artikel yang muncul di Doenia Bergerak pada akhir tahun 1914.
Dua bulan berselang, ia kembali diinterogasi oleh Asisten Residen Surakarta terkait sebuah artikel yang ditulis oleh Tjipto Mangoenkoesoemo berjudul “Onze Beweging” (Pergerakan Kita). Artikel ini sebenarnya pernah dimuat di De lndische Gids, tetapi diterjemahkan dan diterbitkan oleh Marco di Doenia Bergerak edisi ke-43. Pihak berwenang menganggap terjemahan dan komentar Marco tidak dapat diterima.
Namun, sebelum kantor Jaksa Penuntut Umum dapat menentukan tanggal sidangnya, Marco sudah berencana untuk mengunjungi Singapura. Ia berangkat pada 25 April 1915, dengan alasan menjadi asisten redaktur keliling Goentoer Bergerak. Majalah ini lahir setelah Doenia Bergerak melakukan merjer dengan, Goentoer, majalah yang disunting oleh Darna Koesoema dari Insulinde.
Masalah hukum yang menantinya membuat Marco tidak lama di Singapura. Di samping itu, ia juga mendapatkan perlakuan kasar selama di sana, bahkan sempat membuatnya ditahan selama 24 jam.
Sementara itu, tanggal persidangannya telah ditentukan yakni pada 1 Juli 1915 di Semarang. Karena tidak mampu membayar pengacara, dirinya terpaksa melakukan pembelaan sendiri.
Marco dituntut karena melanggar pasal 63 dan 66 KUHP Hindia-Belanda tentang persdelict atas artikelnya yang dimuat di Doenia Bergerak. Pada tanggal 8 Juli, Dewan Kehakiman Semarang memutuskan Marco bersalah dan dijatuhi hukuman 9 bulan penjara. Vonis ini menimbulkan reaksi politik di Hindia-Belanda.
Hampir dua bulan setelah vonis pertama dijatuhkan kepada Marco, pada tanggal 29 Agustus 1915, pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), Sneevliet mengorganisir “Comite van Actie tegen de artikelen 63 en 66 Indisch Wetboek van Strafrecht” (Komite Aksi menentang Pasal 63 dan 66 KUHP Hindia-Belanda).
Kedua pasal ini ditambahkan ke dalam KUHP pada tahun 1914, dan kemudian dikenal sebagai pasal pers atau haatzaai-artikelen (pasal penebar kebencian).
Inti dari pasal tersebut berbunyi, “Barangsiapa dengan perkataan atau dengan tulisan atau dengan perbuatan atau dengan cara lain menimbulkan atau memperkuat permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara golongan-golongan rakyat Belanda atau penduduk Hindia Belanda, akan dihukum, mulai dari hukuman kurungan selama-lamanya enam hari sampai lima tahun/kerja paksa tanpa rantai selama-lamanya lima tahun.”
Menurut Sneevliet, pasal in melanggar prinsip-prinsip liberal kebebasan pers dan kebebasan berbicara yang dijamin di Belanda. Anggota Komite Aksi terdiri dari Sneevliet dari ISDV, G. Topee dan Van der Kasteele dari Insulinde, Darnakoesoema dari IJB dan asosiasi-asosiasi lainnya.
Komite Aksi mencoba untuk mengamandemenkan dan jika mungkin menghapus pasal-pasal tersebut dengan mengorganisir pertemuan-pertemuan, memublikasikan artikel-artikel di surat kabar, dan memberikan tekanan kepada para politisi Belanda. Semua upaya ini cukup membuahkan hasil.
Atas desakan Komite Aksi, hukuman terhadap Marco sempat dikurangi menjadi 7 bulan, hingga akhirnya pada tanggal 24 Februari 1916, Gubernur Jenderal memberikan ampunan kepada Marco.
Peristiwa ini mendasari kedekatan hubungan antara Sneevliet dan Marco. Hubungan tak terduga ini sama sekali tidak diinginkan oleh Rinkes.
Sayangnya, tatkala Marco dipenjara, operasional IJB dan Doenia Bergerak harus terhenti dan tidak pernah dilanjutkan meski Marco telah bebas. Dalam hal ini Rinkes memenangkan pertarungan melawan Marco, tetapi setelahnya Marco muncul sebagai seorang sosialis yang tangguh, dipersenjatai dengan ideologi politik yang dipelajari dari Sneevliet dan kaum sosialis lainnya.
Kehidupan Setelah Penjara
Setelah dibebaskan, Marco sempat bergabung dengan dewan redaksi Pantjaran Warta, sebuah surat kabar yang dipimpin oleh Raden Goenawan, Ketua Sarekat Islam Jawa Barat. Namun, masa kerjanya di koran tersebut hanya sebentar.
Pada tanggal 5 Juli 1916, ia meninggalkan Batavia menuju Belanda, dengan tujuan bertemu Soewardi Soerjaningrat dan belajar. Kendati demikian, ia tidak tinggal lama di Belanda. Setelah lima bulan, Marco kembali dan tiba di Batavia pada 12 Februari 1917.
Akan tetapi, tidak sampai sepuluh hari ia kembali ditahan di Batavia. Lagi-lagi ia didakwa melakukan persdelict dan melanggar Pasal 66. Persidangan dilaksanakan pada akhir April 1917, Marco juga mendapat dakwaan lanjutan atas pelanggaran terhadap Pasal 21 dan 30 tentang Peraturan Pers Cetak Hindia-Belanda.
Ia dituduh telah mencetak dan mendistribusikan artikel-artikel yang menghasut. Selama di Belanda, ia masih menyumbangkan artikel untuk koran-koran di Jawa, dirinya juga sempat menerbitkan kumpulan artikel dalam brosur yang diberi judul Boekoe Sebaran (buku penyebaran). Volume pertama yang dicetak sebanyak 1.500 eksemplar pada bulan November 1916.
Pengadilan menganggap tulisannya yang berjudul “Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Poetoeng” sangat melecehkan.
Pemerintah!! Kami menuntut kesetaraan!!
Pemerintah!
Perhatikanlah! Kami, putra-putra Hindia, meradang!!
Pemerintah!
Penuhi tuntutan putra-putra Hindia!
Agar bahaya pemberontakan tidak muncul di Hindia, tanah tempat kami menumpahkan darah kami!
Pada tanggal 24 April 1917, Raad van Justitie menjatuhkan hukuman dua tahun penjara. Setelah melakukan banding, hukuman itu dikurangi menjadi satu tahun. Pada tanggal 21 Februari 1918, Marco kembali dibebaskan.
Sarekat Islam Semarang dan ISDV
Setelah keluar dari penjara, Mas Marco memilih pergi ke Semarang untuk bergabung sebagai wartawan di Sinar Djawa. Kota ini dipilih karena menjadi salah satu pusat perkembangan organisasi buruh dan partai politik.
Sebagai jurnalis di Sinar Djawa, Mas Marco sering menulis di rubrik yang sebelumnya ditulis oleh Mohammad Joesoef. Di Semarang, ia juga bertemu Darsono, Noto Widjojo, dan Semaoen. Tokoh-tokoh tersebut aktif berkecimpung dalam ISDV dan Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP).
Baik ISDV maupun VSTP menganut ideologi Marxisme yang sama. Keduanya merupakan organisasi radikal yang lantang menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Mereka juga berkolaborasi dengan Sarekat Islam untuk memperkuat kekuatan mereka.
Mas Marco turut menjadi anggota komisaris di Sarekat Islam Semarang. Ia juga aktif terlibat dalam vergadering, propaganda anti-pemerintah dan menentang politik rasial kolonial Belanda. Sepak terjangnya dapat dilihat dari karya-karyanya, seperti Mataharian, Student Hidjo, dan Mata Gelap.
Masalah perbedaan ras dan kelas sosial selalu menghiasi tulisan-tulisan Mas Marco. Itu sebabnya Mas Marco selalu mengampanyekan slogan “sama rasa, sama rata”. Ia memiliki harapan Hindia Belanda dapat segera terbebas dari penjajahan dan kesenjangan sosial.
Pada bulan Mei 1919, Mas Marco ditunjuk sebagai komisaris komite Al-Islam. Organisasi ini mengurusi masalah pemakaman Islam di Semarang yang saat itu diketuai oleh H. Fachrodin.
Sembari mengurus pemakaman, ia diberi mandat oleh Semaoen untuk mengurus agenda Sarekat Islam Semarang karena yang bersangkutan didakwa delik aduan pada bulan Juli. Selama di Semarang, Mas Marco terus melontarkan kritik melalui Sinar Hindia (sebelumnya Sinar Djawa). Karena keberaniannya itu, ia diangkat menjadi editor.
Pada awal Desember 1919, Mas Marco memutuskan hengkang ke Soeara Tamtomo, surat kabar yang didirikan oleh Wono Tamtomo (sebuah organisasi perkumpulan pegawai kehutanan) di Blora. Meski berpindah tempat kerja, Mas Marco tidak meninggalkan Sinar Hindia begitu saja. Ia tetap mengirimkan artikel atau cerita bersambungnya ke Sinar Hindia.
Semaoen menganggap Mas Marco sebagai orang yang potensial dalam pergerakan. Bahkan, ia memberikan kepercayaan kepadanya sebagai voorzitter di Pasar Derma Semarang.
Pasar Derma atau pasar amal merupakan upaya Sarekat Islam Semarang untuk menggalang dana ke desa-desa sambil menyanyikan lagu Internasionale, sebuah lagu wajib yang dinyanyikan ketika buruh mogok dan memberontak. Tujuannya untuk mendukung sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam.
Sekolah ini didirikan pada tahun 1921, setara dengan Hollandsche Inlandsche School (HIS). Semaoen sebagai ketua SI dan rekan-rekannya berharap agar masyarakat Bumiputra dapat diterima dan mengenyam pendidikan layaknya di HIS.
Keterlibatan Marco secara langsung dalam organisasi, tidak selamanya menjauhkan dirinya dari persdelict. Menjelang Maret 1920, Marco ikut serta dalam mendukung pemogokan pekerja firma-firma percetakan. Satu bulan kemudian, ia langsung mendapat tuduhan telah melanggar undang-undang percertakan atas tulisannya yang terbit tahun 1914 berjudul “Syairnya Sentot”.
Setelah terbukti bersalah, ia harus mendekam lagi di jeruji besi selama enam bulan dan baru dibebaskan pada Oktober 1920.
Saat dirinya bebas, ia mendapatkan kesempatan untuk memimpin surat kabar Central Sarekat Islam, Pemberita. Kendati demikian, ia mendapati perpecahan di Central Sarekat Islam (CSI) semakin tidak terhindarkan.
Para petinggi CSI seperti Haji Agoes Salim dan Abdoel Moeis semakin berambisi menyingkirkan orang-orang kiri dari tubuh organisasi. Kebijakan ini membuat Marco kecewa dan memutuskan untuk keluar dari CSI pada penghujung Agustus 1921, atau dua bulan sebelum disiplin partai diterapkan.
Bergabung dengan PKI
Setelah keluar dari CSI, Marco memutuskan untuk pindah ke Salatiga pada bulan berikutnya. Pemerintah kolonial yang telah lama mengincarnya memanfaatkan momentum ini untuk menyeret Marko kembali ke meja hukum.
Pada Desember 1921, Marco dituduh melakukan persdelict lagi. Kali ini dirinya dipersalahkan atas tulisan novelnya Rahasia Keraton Terbuka, Matahariah dan surat kabar Pemimpin. Hukumannya kali ini tidak tanggung-tanggung, ia langsung diganjar hukuman dua tahun di penjara Weltevreden dan baru dibebaskan pada Desember 1923.
Meskipun dipenjara cukup lama, tidak lantas memadamkan api perjuangan Mas Marco begitu saja. Setelah bebas, ia bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan untuk pertama kalinya muncul sebagai seorang komunis di rapat umum PKI pada Februari 1924.
Kala itu, Jawa Tengah khususnya Surakarta tengah bergejolak. Tokoh-tokoh pergerakan yang dipengaruhi oleh PKI dan umumnya adalah simpatisan Haji Misbach, semakin berani menentang pemerintah kolonial.
Marco yang sejak awal anti-kolonial turut terbawa arus tersebut. Ia melihat PKI sebagai wadah yang lebih relevan bagi perjuangannya melawan penjajah.
Oleh sebab itu, pada September 1924, dirinya berusaha memulihkan Sarekat Rakyat Surakarta; pecahan Sarekat Islam yang dikenal juga sebagai SI Merah. Untuk mencapai tujuannya, ia mengambilalih jabatan ketua redaktur majalah Habromarkoto yang dijadikannya suara Sarekat Rakyat Surakarta.
Melalui Sarekat Rakyat yang dipimpinnya, ia mengimbau kerjasama antara komunis dan pejuang Islam untuk menentang kolonialisme. Momentum ini mendandai terjunnya Marco secara langsung dalam persiapan pemberontakan PKI.
Namun, pilihan Marco ternyata membawa malapetaka baginya. Panasnya suasana politik di Jawa membuat pemerintah Belanda semakin waspada terhadap gerakan komunis dan nasionalis radikal pada akhir tahun 1924 dan 1925.
Untuk mencegah pemberontakan, pemerintah kolonial memperketat undang-undang yang melarang hak berkumpul. Pada 1 Mei 1925, pemerintah kolonial mulai mengintimidasi pemberontak menggunakan pasal 153. Menurut pasal tersebut, “barang siapa dengan sengaja memproduksi kata-kata, tulisan, atau gambar, baik langsung maupun tidak langsung, atau dalam ungkapan terselubung yang membuat terganggunya ketertiban umum atau menggulingkan atau mencampuri kekuasaan yang sah di Negeri Belanda atau di Hindia-Belanda, atau yang menimbulkan keadaan yang mendorong hal tersebut,” akan diganjar hukuman berat.
Sejak Januari 1926 Belanda melakukan penangkapan massal terhadap pimpinan PKI, Sarekat Rakyat dan siapa saja yang dianggap musuh pemerintah. Marco yang dianggap sebagai orang penting di partai tersebut turut ditangkap pada 11 September 1926.
Saat itu ada spekulasi bahwa penangkapan Marco dan beberapa tokoh pergerakan lainnya karena pihak Belanda menduga komunis berencana membuat kekacauan di pesta Sekaten Surakarta.
Akan tetapi, penangkapan itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh penembakan terhadap ketua Landraad, Andree Wilken.
Pada malam tanggal 17 November, PKI Surakarta melancarkan pemberontakannya sebagai tindak lanjut dari pemberontakan yang disulut oleh PKI di Jawa Barat pada malam tanggal 12 November 1926.
Pemberontakan tersebut langsung ditumpas oleh pemerintah. Sekitar 13 ribu orang yang dituduh terlibat ditangkap. Setelah tahanan dipilah, sekitar 1.300 orang diasingkan ke Boven Digoel, termasuk Marco.
Di Digoel, Marco ditempatkan di kamp Tanah Tinggi. Seperti kebanyakan tahanan lainnya, Marco juga mendapatkan siksaan berat yang membuat kesehatannya memburuk. Penyakit tuberkulosis perlahan menggerogoti raganya, hingga akhirnya kombinasi TBC dan malaria merengut hidupnya pada 19 Maret 1932.
Meskipun telah tiada, tetapi perjuangannya untuk melawan kolonialisme melalui tulisan banyak menginspirasi generasi selanjutnya. Tak peduli namanya masuk daftar pahlawan nasional atau tidak, Marco telah mengukirkan kontribusinya sendiri untuk bangsa ini.
Daftar Pustaka
Adam, A. (1992). Radical Journalism and Press Persecution in Java, 1914–1918. Jebat; Malaysian.
Adam, A. (1997). Mas Marco Kartodikromo Dalam Perjuangan’Sama Rata Sama Rasa’. Jurnal Kinabalu, 3.
Nobuto, Y. (2014). The Dynamics of Contentious Politics in The Indies: Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia. Keio communication review, (36).
Shiraishi, Takashi. (1997). Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sulton, A. (2020). Mas Marco Kartodikromo‟ s Resistance: Between Indonesia‟ s Independence Hope And Persdelict Threat. INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENTIFIC & TECHNOLOGY RESEARCH VOLUME 9, ISSUE 01,