Sangat ironis bahwa pada masa sekarang istilah “pangulu”, “panghulu”, ,”penghulu” atau “pengulu” dipahami hanya sebagai seorang yang bertugas menikahkan sepasang pengantin, dan memiliki sedikit pengetahuan mengenai pernikahan serta hukum waris menurut Islam.
Biasanya profesi penghulu dikaitkan dengan tugas pengulu sebagai seorang pejabat di Kantor Urusan Agama Islam yang ada di setiap kecamatan. Namun, dibandingkan dengan perannya pada masa kerajaan Islam dan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, peran yang tersisa saat ini adalah dua dari peran minor yang dilakukan oleh penghulu.
Penghulu pada Masa Kerajaan-Kerajaan Islam
Fungsi dan jabatan penghulu adalah fungsi yang inheren sejak awal terbentuknya Kerajaan Islam di Nusantara. Sejarah awal mengenai Islamisasi di Nusantara, merekam adanya fungsi pengulu pada kerajaan-kerajaan Islam Jawa.
Di Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, raja berfungsi sebagai pemimpin negara, pemimpin militer, dan pemimpin agama. Ketiga fungsi ini diwakili oleh masing-masing tiga petinggi kerajaan yaitu patih (perdana menteri), adipati (pemimpin militer), dan penghulu (pemimpin agama). Pada masa pemerintahan Raden Patah, ia menunjuk pangeran Bonang menjadi penghulu.
Sejak abad 16 sampai 18, fungsi penghulu pada kerajaan-kerajaan Jawa hampir sama dengan fungsi kadi atau qadi, atau bahkan Syaikhul Islam pada kerajaan Islam di luar Jawa, seperti Samudra Pasai, Malaka dan Aceh. Peran Kadi dan Syaikh Islam tidak hanya dalam urusan agama, tetapi juga menangani masalah diplomatik. Jadi dapat dikatakan fungsi penghulu pada masa ini sangatlah strategis.
Sejak abad ke-16, struktur ini terus dipertahankan sampai pada abad kesembilanbelas dan berkembang tidak hanya pada daerah Vorstenlanden (kerajaan), tetapi juga pada daerah gouvernementslanden (kabupaten di bawah administrasi kolonial).
Kata penghulu sendiri berasal dari kata hulu yang berarti kepala, orang yang mengepalai atau orang yang penting. Istilah ini di daerah Sunda disebut panghulu, di Jawa disebut penghulu, dan di Madura disebut pangoloh. Di Minangkabau penghulu berarti kepala adat yang bergelar datuk, di Aceh disebut Imam, dan kadi di Kalimantan.
Menurut Serat Wadu Aji, serat atau kitab yang menjelaskan semua terminologi yang digunakan dalam administrasi kraton termasuk aturan dan fungsi pegawainya, kata “pangulu” dalam bahasa Jawa berarti sesirah (kepala) atau pangjeng (atau pemimpin). Serat itu menjelaskan bahwa penghulu adalah pemimpin tertinggi dari jabatan keagamaan kerajaan.
Menurut serat ini, penghulu bertugas menangani masalah ibadah dan kasus-kasus peradilan Islam termasuk memutuskan hukuman mati, mendoakan raja dan keluarganya, mendoakan tentara, dan semua masyarakat agar mendapat berkah. Di samping hal-hal umum yang sudah disebutkan diatas, kitab ini menyebutkan bahwa penghulu disyaratkan menguasai buku-buku agama dan ilmu astronomi.
Pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, penghulu senantiasa mendapat penghargaan dari masyarakat umum, sesuai dengan kedudukan dan jabatan yang diberikan. Besarnya wewenang penghulu tidak jarang menimbulkan pengaruh sangat kuat di dalam masyarakat daerahnya, di samping mempunyai penggaruh pula terhadap raja yang didampinginya.
Perubahan Peran Penghulu pada Masa Kolonial
Pada awal masa kolonial, status pengulu tidak banyak mengalami perubahan. Namun, peran penghulu secara perlahan tergerus setelah pemerintah kolonial memegang kendali pemerintahan kerajaan dan bupati.
Di samping itu, mulai muncul gejolak antara penghulu yang bekerja untuk pejabat kolonial dan kyai independen yang berada di luar pemerintahan. Pertentangan antara kedua kubu ini kemudian berlanjut dan mengemuka terutama pada abad ke-19 dan 20.
Memasuki abad ke-19, Belanda mulai mengurangi peran penghulu. Langkah pertama yang dilakukan Belanda adalah memasukkan pengadilan Islam yang dipimpin penghulu menjadi bagian dalam pengadilan negeri (Iandraad) pada tahun 1830.
Pada tahun 1835, pemerintah Belanda mengeluarkan Raad Agama yang dibuat oleh Adviseur voor Inland, di antaranya oleh Said Usman bin Aqil. Raad Agama menyebabkan Penghulu dihadapkan kepada persoalan-persoalan berat dan baru, yang menghendaki pengetahuan luar serta pendidikan sempurna dalam ilmu dan hukum Islam.
Pada tahun 1870 an status dan kedudukan pengulu semakin tidak jelas. Banyak keputusan pengulu yang dianulir oleh landraad. Hal ini karena landraad harus memutuskan terlebih dahulu apakah suatu kasus akan disidangkan oleh pengadilan Islam atau pengadilan negeri. Dalam situasi seperti ini pemerintah meminta pertimbangan kepada semua resident (pejabat pemerintah Belanda di atas bupati) di Jawa dan Madura, termasuk kepada beberapa pejabat tinggi yang terkait.
Hasil yang diperoleh justru semakin membingungkan lagi karena lima suara merekomendasikan bahwa pengadilan Islam yang dipimpin penghulu harus dihilangkan, sedangkan tujuh berpendapat harus dipertahankan. Akhirnya Gubernur Jenderal menyerahkan masalah ini kepada Menteri Urusan Jajahan dan keluarlah keputusan kerajaan no 24 tanggal 19 Januari 1882 yang ditandatangi oleh Raja Willem III bahwa pengadilan Islam harus didirikan di Jawa dan Madura.
Keputusan ini kemudian diperkuat dengan adanya staatsblad Hindia Belanda tahun 1882 no 152 mengenai tata cara restrukturisasi pengadilan Islam tersebut menjadi priesterraad. Priesterraad harus didirikan di setiap kabupaten di Jawa dan Madura yang sudah didirikan landraad.
Wilayah jurisdiksi priesterraad ini terkait erat dengan landraad. Priesterraad dipimpin oleh pengulu yang ditunjuk oleh landraad, dan pengulu dibantu oleh sedikitnya tiga atau paling banyak delapan ahli Islam yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal.
Kejelasan status pengulu dan pengadilan Islam sayangnya tidak diikuti dengan kejelasan mengenai otoritas pengadilan ini. Akhirnya priesterraad berjalan seperti biasanya menangani masalah perkawinan, perceraian, dan lainnya termasuk masalah warisan, hibah, sedekah, baitul mal, dan wakaf .
Keputusan tentang pendirian priesterraad ini mendapat kritik sangat tajam dari Snouck Hurgronje yang menurutnya berawal dari kesalahpahaman dan ketidaktahuan tentang Islam. Termasuk Penggunaan istilah priesterraad itu sendiri yang dalam Islam tidak ada (istilah yang lebih sering dipakai kemudian adalah raadagama atau pengadilan agama).
Keanehan lain yang dikritik Snouck selain miskonsepsi di atas adalah tidak digajinya penghulu dan stafnya, termasuk tidak ada uang operasional untuk kantor raad agama Mereka mendapatkan penghasilan dari biaya-biaya pernikahan dan kasus-kasus yang mereka tangani. Uang-uang perkara dan uang sedekah ini dikumpulkan di masjid dan disebut dengan kas masjid. Dengan demikian terdapat peluang bagi pengulu untuk menaikkan ongkos perkara karena uang itu akan menjadi penghasilan mereka dan terdapat peluang yang sangat luas bagi pengulu dan bupati untuk mempergunakan kas masjid untuk hal-hal yang tidak seharusnya.
Masuknya pengulu dalam administrasi kolonial turut merubah fungsi penghulu dari institusi administrasi pribumi tradisional menjadi setengah birokrasi kolonial. Kondisi ini terjadi lantaran perubahan dari tanggungjawab personal menjadi tanggungjawab kolektif. dari tradisional ke birokrasi administrasi modern, dan dari institusi pribumi menjadi setengahnya birokrasi kolonial. Salah satu dari konsekuensi perubahan ini adalah adanya sistem rekruitmen dan prosedur promosi jabatan.
Pada awal abad ke-20, hampir semua penghuiu yang bekerja pada pemerintah kolonial dipilih dari pengulu masjid atau kaum, termasuk kepala raad agama. Pada dekade kedua abad ke-20 proses priayisasi pengulu yang dilakukan oleh pemerintah Belanda sudah lengkap.
Meskipun berada di bawah pemerintah Belanda secara penuh, penghulu tetap menunjukan sikap idealis dalam membela kemaslahatan masyarakat. Usaha yang paling keras adalah menentang hukum adat dan gerakan misionaris Kristen, yang juga banyak berhubungan dengan secara langsung dengan pengulu.
Dalam konsep hukum adat yang dipelopori oleh van Vollenhoven dan menjadi satu aliran penting di Universitas Leiden, diinterpretasikan bahwa hukum adat terdiri dari dua bagian, kebiasaan pribumi dan bagian dari hukum Islam.
Interpretasi ini mempengaruhi para pembuat keputusan di Hindia Belanda yang kemudian mengeluarkan peraturan staatsblad no 116 pada 19 Januari 1937 tentang penerapan hukum adat. Peraturan ini mengandung implikasi politis salah satunya adalah memindahkan otoritas mengadili perkara warisan dari raad agama kepada landraad. Akibatnya, penghulu hanya mempunyai kewenangan untuk mengurus soal-soal pernikahan, perceraian, dan rujuk.
Masalah hukum adat ini menjadi polemik yang hangat di kalangan kaum pergerakan. Sarekat Islam mengeluarkan mosi pada tahun 1934, terdapat mosi dari Kongres Al-Islam tahun 1939, dan kongres Majlis Islam al-A’la Indonesia (MIAI) tahun 1940 menyuarakan hal yang sama.
Bahkan, penghulu, untuk pertama kali dalam sejarahnya melakukan protes kepada pemerintah koloniai melalui Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP). Penolakan kaum modernis terhadap kebijakan hukum adat ini berdasarkan asumsi bahwa kebijakan hukum adat dapat melanggengkan status quo yang bertentangan dengan kemajuan. Sedangkan pengulu mengajukan empat alasan untuk menghilangkan peraturan no 116 tahun 1937 tersebut
Pertama, bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak konsisten yang berubah sesuai dengan perubahan masyarakat; sedangkan hukum Islam itu tetap dan tidak berubah. Oleh karena itu, hukum islam tidak bisa diposisikan bersama dengan hukum adat.
Kedua,penerapan peraturan tesebut bukannya membantu raad agamatetapi malah mematikannya dengan cara mengurangi uang pemasukan.
Ketiga, pengulu sudah dianggap oleh masyarakat selama ini sebagai kepala agama, penghilangannya berarti menjadi masalah agama.
Keempat, pembagian warisan menurut fara’id sudah menjadi tradisi masyarakat muslim sejak lama untuk menialankan syari’at. Jika digantikan dengan hukum adat, maka hal itu akan merubah agama. walaupun hukum tersebut tidak dicabut oleh pemerintah kolonial, tapi di sebagian wilayah, perkara pembagian warisan tetap diputuskan di raad ngama (pengadilan agama), bukan landraad.
Pengulu berusaha meminimalisasi Kristenisasi dengan memanfaatkan perannya sebagai kepala raad agama khususnya tugasnya dalam menikahkan dan memberi nasihat pernikahan. Pengulu dan staf administrasi agama sampai ke desa, berusaha mengislamkan pasangan pengantin yang non Muslim-berkompetisi dengan pihak gereja yang juga melakukan hal yang sama’
Cara lain yang dilakukan pengulu adalah mendirikan sekolah yang bisa menyaingi sekolah Kristen, menerbitkan tulisan-tulisan yang cukup keras di surat kabar Damai (surat kabar yang diterbitkan oleh PPdP). Bahkan pada tahun 1934 di sragen, pengulu landraadmendirikan Komite Pembela Islam untuk menjawab “serangan” yang mendiskreditkan Islam dari pihak Kristen.
Penghulu pada Masa Jepang
Pada awal pendudukannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibukota dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dengan nama Shumuka. Pada awalnya, badan ini diketuai oleh seorang Jepang bernama Horie (1942), kemudian digantikan oleh Husein Djajaningrat, dan kemudian K.H. Hasyim Asy’ari (1944).
Seluruh kegiatan penghulu berada di bawah Shumubu. Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain sebagainya.
Terdapat dua perbedaan kebijaksaan Belanda dengan Jepang terhadap Islam. Pertama, pada masa penjajahan Belanda, yang menjadi sandaran politik kolonial adalah kaum priyayi, sedangkan pada masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler.
Kedua, pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memberi angin kepada golongan Islam, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya. Pemerintah Jepang meningkatkan posisi Islam baik dalam bidang sosial-religius maupun dalam bidang politik.
Penghulu pada Masa Kemerdekaan
Pada 3 Januari 1946, pemerintah merdeka Indonesia membentuk Departemen Agama Republik Indonesia. Sejak saat itu, penghulu menjadi bagian dalam struktur Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, yakni subdirektorat kepenghuluan. Tugasnya adalah menyelenggarakan bimbingan kepada masyarakat dii bidang nikahan, talak, cerai, dan rujuk (NTCR).
Untuk menyelenggarakan tugas itu, subdirektorat kepenghuluan mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
- Menghimpun, menganalisis peraturan perundang-undangan di bidang NTCR.
- Merumuskan pemberian bimbingan di bidang NTCR.
- Merencakan dan mendistribusikan sarana NTCR.
- Melaksanakan pengendalian NTCR.
Pada unit kecamatan, penghulu bertugas dalam Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam bertugas di wilayah yang luas, penghulu dibantu oleh petugas desa yang mencatat dan melaporkan pelaksanaan di bidang NTCR.
Pada titik ini terlihat jelas perbedaan peran penghulu pada masa sebelumnya, dan masa sekarang. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penghulu Indonesia mempunyai peran penting dalam sejarah bangsa ini.
BIBLIOGRAFI
Aceh, Abu Bakar. 1969. Perbandingan Mazhab: Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jakarta: Yayasan Baitul Mal.
Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press.
Hisyam, Muhammad. 2001. Caught Betvseen Three Fires: the Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942. Jakarta: INIS.
Ismail, Ibnu Qoyim. 1997. Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press.