Di dalam narasi besar sejarah Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sering mendapat stigma negatif sebagai perempuan lacur dan tidak bermoral. Stigma ini dipelihara dan disebarkan oleh rezim Orde Baru selama puluhan tahun.
Dalam sejarah versi Orde Baru, Gerwani digambarkan sebagai perempuan lacur yang menggelar pesta seks dan menari telanjang pada malam 1 Oktober 1965. John Rossa (2006: 60) menganggap gambaran tersebut merupakan rekayasa absurd yang dibuat oleh para ahli propaganda.
Sebagai usaha untuk melegitimasi kekuasaannya, rezim Orde Baru banyak melalukan propaganda di dalam sejarah. Propaganda itu disebarluaskan melalui bentuk pelajaran di sekolah-sekolah, buku-buku, dan media. Semua usaha manipulasi ingatan kolektif masyarakat itu dilakukan untuk melegitimasi kekuasannya, agar bisa berkuasa dan bertahan lama, di samping juga untuk mendiskreditkan lawan-lawan politiknya (termasuk Gerwani) (Asvi, 2015: 7).
Setelah rezim Orde Baru ditumbangkan pada 1998, perlahan-lahan muncul narasi-narasi tandingan dari para sejarawan yang selama ini dibungkam. Dengan kemunculan narasi-narasi tandingan, kabut kelam historiografi Indonesia pelan namun pasti mulai tersingkap.
Lahirnya Gerwani
Keikutsertaan secara aktif kaum wanita dalam perpolitikan dan perlawanan terhadap kekuatan kolonial telah menonjol sejak abad ke-19. Hal itu ditandai dengan semakin banyaknya gerakan-gerakan perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh wanita seperti, Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abd XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walenda Maramis tahun 1872-1924; Nyi Ahman Dahlan tahun 1872-1936; dan Rasuna Said 1901-1965. (Fauzi, 1993: 100).
Namun karena arsip Belanda yang umumnya mencerminkan maskulinitas, maka sepak terjang para tokoh perempuan pada masa itu tidak banyak diketahui. Oleh sebab itu, banyak masyarakat kita melihat perempuan masa lalu tidak lebih dari kanca wingking yang bertugas masak (memasak), macak (merias diri), dan manak (melahirkan) (Carey, 2018: xii).
Puncak kemajuan organisasi wanita ditandai dengan diadakannya kongres perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Sebagai hasil kongres itu, diputuskan untuk membentuk gabungan organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI).
Setelah berakhirnya perang kemerdekaan, semua organisasi wanita tersebut diafiliasikan ke dalam suatu organisasi yang lebih besar dan merupakan induk dari seluruh organisasi wanita di Indonesia yang diberi nama Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Namun, dalam perjalanan selanjutnya, Kowani hanya dijadikan sebagai alat administrasi birokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan pemerintah daripada kepentingan wanita.
Pada 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang bersepakat melebur dan mendirikan satu organisasi yang dinamakan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis).
Saskia E. Wierenga menjelaskan bahwa dalam kongres Gerwis ke-3 di Jakarta, nama Gerwis diganti menjadi Gerakan Wanita Indonesia. Sebagai ketua dipilih Umi Sarjono, sedangkan anggota PB lainnya ialah S. K. Trimurti, Ny. Mudigdo, Salawati Daud, Maasye Siwi dan Kartinah Kurdi.
Pendirian organisasi ini bersamaan dengan periode yang penuh semangat revolusioner, dengan tujuan untuk mewujudkan hak-hak pekerja perempuan dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dan sosialisme nasional yang seutuhnya.
Setelah berdiri, Gerwani kemudian bersekutu dengan PKI pada tahun 1954 yang merupakan periode pengorganisasian dan pelatihan baca-tulis yang intens di kalangan perempuan di daerah perkotaan dan pedesaan (Galuh, 2015: 38).
Keanggotaan dan Tujuan Gerakan Wanita Indonesia
Gerakan Wanita Indonesia secara keanggotaan terbuka untuk semua kaum perempuan dari golongan mana pun, yaitu yang sudah berumur 16 tahun dan sudah menikah bagi yang belum mencapai umur 16 tahun serta tidak akan memihak dan tidak mendukung pada satu partai politik, agama dan suku yang ada di Indonesia.
Dengan memakai nama Gerwani yang memiliki semboyan “Organisasi Pendidikan dan Perjuangan”. Semboyan ini diharapkan mampu menjadi penyemangat dari perjuangan para kader dan anggotanya (Hikmah, 2007: 99).
Salah satu tujuan utama Gerwani adalah menjadikan kaum perempuan bisa mandiri dan bisa bekerja keras, ketimbang hanya bersantai-santai dan bergaya hidup hedonis tetapi pada kenyataanya hidup mereka terkungkung.
Gerwani sangat menentang perempuan yang hanya menjadi pengikut suami dalam semua tindakannya, dengan kata lain gerwani sangat menentang budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam budaya Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu, salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Oleh sebab itu, banyak aktivis Gerwani yang juga bekerja sebagai guru.
Pada kongres ke-2 Gerwani dihasilkan resolusi-resolusi perjuangan. Resolusi itu segera disebarluaskan oleh para aktivis Gerwani menghasilkan resolusi-resolusi perjuagan, langsung disebarluaskan oleh para aktivis Gerwani kepada seluruh anggota di penjuru tanah air.
Pada tahun politik 1955, Gerwani mulai menitikberatkan perhatiannya pada pemilu pertama itu. Ketika kampanye pemilu dimulai, Gerwani memutuskan untuk ambil bagian dan mendukung kampanye untuk para calon PKI, namun tidak mengajukan nama-nama calonnya sendiri. Hampir sebanyak 23.480 orang anggota Gerwani ikut di dalam kegiatan kampanye pemilu 1955 ini (Saskia, 1998: 308).
Dalam kampanyenya, Gerwani selalu mengambil contoh Uni Soviet dan Cina sebagai negeri yang sukses memberantas pelacuran. Para pelacur di kedua negara itu tidak dikucilkan atau dibuang, tetapi mereka direhabilitasi agar dapat hidup layaknya orang pada umumnya. Isu pelacuran menjadi isu kampanye Gerwani.
Baca juga: Propaganda Orde Baru
Menurut aktivis Gerwani, pelacuran bukan kesalahan perempuan, kondisi sosial dan ekonomilah yang memaksa mereka menjadi pelacur. Gerwani yakin, pelacuran akan lenyap di Indonesia apabila sosialisme sudah dipraktekkan.
Selain soal pelacuran, Gerwani juga aktif berkampanye melawan pornografi. Salah satu media penyebaran pornografi itu adalah media dan film-film. Namun, bagi Gerwani, penyebaran pornografi ini merupakan bagian dari strategi kebudayaan imperialis. Pornografi juga tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme.
Di sinilah perbedaan Gerwani dan ormas-ormas perempuan berbasis keagamaan. Bagi Gerwani, pornografi berakar pada sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan objek menggali keuntungan. Sementara bagi ormas-ormas keagamaan, pornografi ditempatkan sebagai masalah moralitas, yakni bentuk penyimpangan moral dari si pelaku.
Perjuangan Gerwani Tahun 1955-1965
Era Presiden Soekarno memiliki atensi besar terhadap berkembangnya partisipasi dan representasi politik perempuan Indonesia melalui payung besar sosialisme maupun nasionalisme.
Soekarno secara khusus menyebut perempuan Indonesia yang berjuang dalam ranah politik sebagai Sarinah yang peduli terhadap kepedulian kaumnya. Kedudukan Sarinah sama seperti halnya Bung sebagai pejuang politik laki-lak iyang berjuang demi kemaslahatan bersama yang artinya tidak ada perbedaan satu sama lainnya (Soekarno: 220).
Puncak dari segala aktivisme politik perempuan yang berkembang selama era Soekarno berkulminasi pada Gerwani yang memiliki afiliasi kuat dengan PKI. Gerwani disebut sebagai pelopor gerakan emansipasi politik perempuan terbesar di Indonesia dan juga di Asia.
Militansi politik yang ditunjukkan Gerwani dalam mengangkat isu politik perempuan sangatlah tinggi, termasuk menentang praktik poligami Presiden Soekarno yang dituding telah melecehkan harkat perempuan Indonesia.
Seperti gerakan kiri lainnya, Gerwani sering kali mendesak dan menuntut pemerintah dengan cara melakukan aksi-aksi massa. Aksi demonstrasi menjadi bagian advokasi dan kampanye segala isu dan permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada kepentingan rakyat kecil. Di setiap aksinya, mobilisasi massa dilakukan dengan cepat dan terkordinasi di setiap wilayah.
Kader-kader yang ada di setiap daerah-daerah, bersama dengan organisasi-organisasi revolusioner lain, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi), Pemuda Rakyat dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melakukan aliansi dan konsolidasi. Selanjutnya mereka melakukan aksi-aksi bersama menolak segala bentuk ketidakadilan yang tidak sesuai dengan program-program perjuangan yang telah dibuat dan diperjuangkan oleh Gerwani.
Setidaknya terdapat dua program utama Gerwani:
- Memperjuangkan hak-hak perempuan
- Memperjuangkan hak-hak anak
Tidak dapat dipungkiri hak-hak perempuan memang menjadi persoalan setiap bangsa. Bahkan, meskipun bangsa itu telah merdeka, permasalahan mengenai hak-hak perempuan masih menjadi persoalan mendasar yang harus dicari solusinya.
Di sisi lain, kehidupan seorang anak sangat erat dalam rangkaian peran wanita dan dalam hal ini adalah ibu. Oleh karena itu, Gerwani memandang hak-hak anak tidak dapat dilepaskan dari hak-hak wanita.
Menjelang dekade 1960-an, Gerwani mulai menitikberatkan perjuangannya pada masalah krisis ekonomi yang terjadi dalam negeri. Gerwani sempat mengirim delegasinya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah pada September 1958 dan pertengahan 1959, tetapi tuntutan itu tidak pernah direspon. Akhirnya pada awal tahun 1960, demonstrasi besar digelar yang juga diikuti oleh para perempuan dari Sobsi dan Kowani. Sejumlah aksi-aksi menolak kenaikan harga juga terus digelar.
Pada tahun 1960-an, Gerwani menjadi salah satu organisasai perempuan terbesar di dunia. Gerwani mengklaim bahwa keanggotaan mereka telah mencapai angka sejuta perempuan. Pada periode ini, mereka aktif berkampanye untuk kepemimpinan perempuan dalam politik dan reformasi agraria, termasuk “tindakan sepihak” di mana para petani yang tidak memiliki tanah mengambil tanah secara paksa dari para pemilik tanah (Galuh, 2015: 38).
Pemberangusan Gerwani
Terjadinya insiden G30S 1965 menjadi titik balik dalam perjuangan representasi dan eksistensi politik perempuan Indonesia. Selama kekerasan tahun 1965-1966, anggota Gerwani dan orang-orang yang terkait dengan mereka, menjadi sasaran pembunuhan, penahanan ilegal dan kekerasan seksual.
Mereka juga menjadi korban kampanye fitnah yang menggambarkan mereka sebagai pelaku penyiksaan seksual. Meskipun ada laporan autopsi yang menunjukkan bahwa ketujuh Jenderal yang dibunuh pada tanggal 30 September itu meninggal dengan tubuh yang utuh akibat luka tembakan dan pemukulan benda tumpul, ada beberapa surat kabar melaporkan bahwa mata mereka dicungkil dan alat kelamin mereka dimutilasi.
Bahkan, salah satu artikel pers militer melaporkan bahwa anggota Gerwani menyentuh alat kelamin para Jenderal dan memamerkan tubuh mereka sendiri. Kemudian mereka menari di depan para korban dalam keadaan telanjang (Saskia, 2003: 79; Asvi, 2015: 7).
Padahal faktanya, saat peristiwa di Lubang Buaya itu terjadi, hanya terdapat 70 wanita yang berasal dari berbagai organisasi sayap PKI dan mereka diminta datang ke Lubang Buaya dalam rangka kampanye anti-Malaysia.
Namun, di Lubang Buaya, mereka diberi tugas lain di samping masak-memasak. Beberapa orang ada yang menjahit emblem-emblem bersetrip tiga warna untuk seragam tentara G-30-S. Kenyataan yang sangat jauh dengan narasi seksual Orde Baru. (Saskia, 2010; Rossa, 2006: 148).
Laporan-laporan tanpa dasar itu menyulut api kekerasan, termasuk pemerkosaan dan kekerasan seksual yang diarahkan pada perempuan. Kekerasan seksual merupakan tindakan disengaja dan disadari oleh aparat keamanan sebagai sebuah serangan.
Komnas Perempuan menemukan berbagai bentuk tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat seperti penelanjangan, perkosaan yang berlanjut, penyiksaan terhadap organ reproduksi, dan perbudakan seksual (Galuh, 2015: 38).
Tidak hanya itu, anggota Gerwani atau mereka yang dicurigai sebagai anggota Gerwani, yang umumnya bekerja sebagai guru dan PNS, diberhentikan tanpa penjelasan. Mereka yang dibebaskan setelah penahanan dikenakan wajib lapor selama bertahun-tahun, bahkan beberapa diantaranya ditangkap kembali beberapa tahun kemudian (Galuh, 2015: 38) .
Adanya pemberangusan Gerwani dan segala macam bentuk gerakan perempuan Indonesia menjadikan perempuan Indonesia kembali lagi ditempatkan sebagai makhluk inferior.
Hadirnya rezim Orde Baru hasil coup militer tersebut tidak menyukai aktivisme politik perempuan Indonesia turut berimbas pada Gerwani. Rezim mulai memberlakukan politik seksual terhadap perempuan berbasis vagina detanta bahwa segala aktivisme gerakan politik formal dan informal yang dilakukan oleh perempuan berpotensi merusak bagi kehidupan berbangsa.
Rezim berusaha mengkonstruksi dan mengkreasi politik perempuan sebagai entitas yang kotor seperti layaknya Gerwani ketika melakukan tarian Harum Bunga yang berbau erotis. Propaganda inilah yang kemudian memicu adanya label “Gerwanisasi” bagi setiap perempuan yang ingin memperjuangkan hak politik, yang seketika itu juga akan dicap pula sebagai wanita komunis oleh negara dan masyarakat.
Gencarnya propaganda yang dilakukan pemerintah Orde Baru menyebabkan masyarakat pada umumnya memilih untuk tidak berhubungan dengan mereka. Bahkan, anak-anak mereka pun banyak yang mempersalahkan mereka dan tidak ingin mendengarkan cerita versi ibunya karena takut dianggap melawan pemerintah (Rossa, 2004: 57 dan 88).
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman. 2015. Melawan Lupa Menepis Stigma. Jakarta: Kompas.
Carey, Peter. 2018. Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Fauzi, Ridjal, dkk. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Diniah, Hikmah. 2007. Gerwani Bukan PKI, Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia. Yogyakarta: Carasvati Books.
Hasworo, Rinto Tri. Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G30S dalam John Rossa (ed). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Primariantari. 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Yogyakarta: Kanisius.
Roosa, John. 2006. Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Soekarno. Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. The Soekarno Foundation.
Sukartiningsih, Josepha. “Ketika Perempuan Menjadi Tapol” dalam John Rossa (ed). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Wieringa, Saskia E. 2003. “The Birth of the New Order State in Indonesia: Sexual Politics and Nationalism”. Journal of Women’s History. Volume 15 Number 1.
Wieringa, Saskia E. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan Politik Seksual di Indonesia. pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galangpress.