Menunaikan ibadah haji pada masa kolonial bukanlah perkara mudah. Selain karena transportasi yang belum semodern sekarang, jemaah haji sering kali diperdaya oleh penyelenggara haji. Tarif yang mahal dan manipulatif tidak jarang membuat para jemaah terjerat utang.
Antusiasme Penduduk Nusantara untuk Berhaji
Sulit dipastikan sejak kapan ibadah haji dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Beberapa catatan menunjukkan bahwa pada awal abad ke-16, jemaah haji Nusantara sudah ditemukan di Mekkah.
Berdasarkan penuturan Louis Barthema, para jemaah haji yang ditemuinya pada tahun 1503 merupakan para pedagang Nusantara yang berlabuh di Jeddah dan menyempatkan diri mengunjungi Mekkah.
Pada abad ke-17, muslim Nusantara mengunjungi Jeddah tidak hanya untuk berdagang, tetapi juga menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah. Selama belajar, mereka tinggal dan menetap di tanah suci selama bertahun-tahun. Setelah kembali ke tanah air, beberapa dari mereka menjadi guru agama atau pendakwah yang menyebarkan ilmu yang telah mereka pelajari di Mekkah dan Madinah.
Di samping untuk beribadah dan belajar, beberapa jemaah haji dari kalangan bangsawan pergi ke Mekkah untuk mencari legitimasi kekuasaan. Pada tahun 1630, Raja Banten dan Mataram bersaing untuk mendapatkan pengakuan atas posisi mereka. Mereka pergi ke Mekkah dan memperoleh sebutan “Sultan” dari otoritas Mekkah dengan harapan dapat memberikan kekuatan spiritual bagi kekuasaan mereka.
Selama bertahun-tahun, minat muslim Indonesia untuk berhaji semakin meningkat bahkan hingga saat ini. Namun, jemaah haji Indonesia masih menghadapi banyak masalah sejak dulu, seperti masalah transportasi, paspor haji, biaya haji, layanan haji, keamanan, dan akomodasi.
Pada abad ke-18, berhaji menjadi impian bagi banyak muslim bumiputra. Menunaikan haji tidak hanya menjadi pelaksanaan rukun Islam yang sempurna, tetapi juga menjadi kebanggaan sosial. Awalnya, haji bukanlah ibadah yang mudah dilakukan karena terbatasnya fasilitas dan durasi perjalanan yang panjang menggunakan perahu layar, sehingga tidak semua orang mampu melaksanakannya.
Meskipun begitu, antusiasme umat Muslim untuk menunaikan rukun kelima, yaitu ibadah haji, terus mengalami peningkatan. Bagi pengusaha pelayaran, fenomena ini tentu menjadi peluang yang sangat menjanjikan.
Melalui para perantara, perusahaan kapal mendorong penduduk bumiputra untuk menunaikan ibadah haji menggunakan kapal mereka. Terkadang, para perantara tersebut bahkan membujuk penduduk miskin, meskipun kondisi ekonominya tidak memungkinkan untuk memenuhi syarat-syarat haji, baik dari segi biaya untuk diri sendiri maupun keluarga yang ditinggalkan.
Di sisi lain, pemerintah Arab telah lama menyadari potensi keuntungan ekonomi dari jemaah haji. Otoritas di Hijaz menganggap penting untuk menarik jemaah haji dari Hindia-Belanda karena jumlahnya yang banyak. Oleh karena itu, mereka berusaha membangun dan meningkatkan hubungan baik dengan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Hijaz secara aktif mengirimkan propagandis mereka ke Hindia Belanda untuk menarik sebanyak mungkin jemaah haji. Akhirnya, kondisi ini menciptakan hubungan kerja sama antara pemerintah kolonial, perusahaan pelayaran, dan pemerintah Arab.
Dalam berhaji, keberadaan kapal sangatlah vital karena menjadi transportasi utama untuk menuju tanah suci. Modernisasi moda transportasi haji, dari kapal layar ke kapal uap, diikuti dengan lonjakan jumlah jemaah haji Nusantara.
Pada awal abad ke-20, jumlah jemaah haji Hindia-Belanda meningkat pesat. Pada tahun 1911, jemaah haji Indonesia mencapai 28,7 persen dari total jemaah haji di Jeddah dan meningkat pesat pada tahun 1927, hingga hampir mencapai separuh jemaah haji dunia, yaitu 43,7 persen. Jemaah haji hanya mengalami penurunan signifikan selama Perang Dunia I, saat ibadah haji dilarang sementara dan Krisis Malaise.
Transportasi Menuju Tanah Suci
Sebelum abad modern, berhaji merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Untuk melakukan perjalanan menuju Arab, jemaah haji sangat bergantung pada musim dan kapal.
Kapal layar yang digunakan sering kali tidak langsung menuju ke Jeddah, sehingga mereka harus melakukan pergantian kapal beberapa kali untuk mencapai tujuan akhir, seperti Jeddah atau Yaman. Misalnya, dari Batavia (sekarang Jakarta), mereka harus singgah di Aceh, kemudian melanjutkan perjalanan ke India sebelum akhirnya tiba di Hadramaut atau Jeddah.
Perjalanan yang sulit ini mengharuskan para jemaah untuk siap menghadapi berbagai risiko selama perjalanan, termasuk kehabisan makanan, kehilangan harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa. Mereka harus mempersiapkan diri dengan kondisi fisik yang prima, memiliki keberanian, keuangan yang cukup, persediaan bekal, dan memberikan perlindungan finansial bagi keluarga yang ditinggalkan.
Meskipun begitu, kesulitan tersebut tidak mengurangi antusiasme muslim Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji. Sebaliknya, kesulitan ini memberikan makna dan pengalaman mendalam bagi mereka.
Kemunculan kapal uap yang diikuti dibukanya Terusan Suez pada 1869, membuat animo jemaah haji Hindia-Belanda mengalami peningkatan, ditandai dengan semakin banyaknya kapal-kapal dari Jawa dan Singapura yang melintasi rute Suez.
Belanda yang kembali menguasai wilayah Nusantara pada abad ke-19, awalnya tidak ikut campur mengelola pelayaran jemaah haji. Sebaliknya, Inggris menjadi negara pertama yang melihat potensi dari peningkatan jumlah jemaah haji Nusantara dan mulai menyediakan jasa pelayaran haji menggunakan kapal-kapal uap.
Pada tahun 1858, Inggris mulai mengoperasikan kapal-kapal uap untuk mengangkut jemaah haji dari Batavia (sekarang Jakarta) menuju Jeddah. Inisiatif ini berhasil membawa keuntungan besar bagi perusahaan pelayaran Inggris karena belum banyak pilihan transportasi haji yang tersedia pada waktu itu.
Melihat prospek yang menjanjikan, komunitas Arab di Batavia pun ikut terlibat dengan membeli sebuah kapal dari Besier en Jonkheim. Kapal ini memiliki kapasitas untuk mengangkut 400 jemaah haji sekali jalan dari Batavia ke Padang dan dilanjutkan hingga ke Jeddah.
Prospek yang menjanjikan juga memaksa Belanda untuk ikut terlibat. Pada tahun 1872, mereka mendirikan Konsul Belanda di Jeddah, menandai keterlibatan langsung Belanda dalam pengelolaan perjalanan haji.
Setahun kemudian, pada tahun 1873, Belanda membuat kontrak pengangkutan jemaah haji dengan tiga perusahaan pelayaran, yaitu Stoomvaart Maatschappij Nederland, Rotterdamsche Lloyd, dan Nederlandsche Stoomvaart Maatschappij Oceaan, yang dikenal sebagai “Kongsi Tiga”. Kongsi Tiga kemudian memegang monopoli atas transportasi jemaah haji dari Hindia-Belanda hingga berakhirnya masa kolonial.
Perjalanan Ibadah Haji
Tatkala seseorang memutuskan untuk melaksanakan perjalanan haji, dirinya dapat memilih pelabuhan dan kapal yang ingin digunakan. Pada awal abad ke-20, setidaknya terdapat tiga pilihan embarkasi untuk pergi ke Jeddah.
Pertama, ia bisa menggunakan salah satu kapal Kongsi Tiga dan pelabuhan yang beroperasi di Hindia-Belanda. Kedua, ia dapat naik kapal dari Semanjung Malaya, lalu berangkat dari embarkasi Singapura dan Penang. Ketiga, ia bisa menggunakan transportasi kapal laut umum, kemudian berangkat ke Jeddah dari Bombay atau Suez.
Untuk efektivitas dan sistem yang baik di Mekkah, otoritas Belanda membagi jemaah menjadi tiga kelompok kedatangan:
1. Kelompok Padang, untuk jemaah haji yang berangkat dari Sabang, Bengkulu, dan Teluk Betung
2. Kelompok Palembang, untuk jemaah haji yang berangkat dari Belawan, Palembang, Jambi, Muntok, dan Sabang.
3. Kelompok Batavia, untuk jemaah haji yang diberangkatkan dari Tanjung Priuk dan pelabuhan-pelabuhan Jawa lainnya.
Kondisi jemaah haji yang berangkat dari Singapura berbeda dengan jemaah dari Hindia-Belanda. Jemaah haji yang berangkat menggunakan kapal Inggris pada umumnya tidak perlu memiliki paspor dan visa. Kapal Inggris dapat memberangkatkan jemaah haji hanya dengan satu tiket, dan terkadang tiket ini lebih murah dibandingkan tiket kapal Belanda. Selain itu, kapal Inggris sering kali tidak mewajibkan vaksinasi untuk penyakit seperti kolera, tifus, dan cacar.
Di sisi lain, kapal Belanda umumnya lebih mahal, dan para jemaah haji harus membeli tiket kepulangan sekaligus. Jemaah haji dari Hindia-Belanda juga harus memenuhi persyaratan vaksinasi tertentu sebelum berangkat.
Perbedaan kondisi ini bisa jadi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan jemaah haji dalam memilih kapal dan embarkasi yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Jemaah haji dari koloni Inggris, seperti Singapura, Bombay, dan Penang, memiliki keuntungan tersendiri dalam hal persyaratan perjalanan dan biaya tiket, yang membuat perjalanan mereka menjadi lebih mudah dan terjangkau.
Memilih kapal-kapal Inggris sebagai sarana untuk menunaikan ibadah haji memiliki risiko tersendiri bagi jemaah haji Hindia-Belanda. Berhaji menggunakan kapal Inggris berarti mereka menyerahkan keselamatan mereka kepada kapal yang berada di luar kendali otoritas Belanda, sehingga sulit bagi mereka untuk melaporkan permasalahan yang terjadi selama perjalanan.
Beberapa perusahaan kapal Inggris, seperti Herklots dan Alsegoff & Co, telah terbukti merugikan dan mengeksploitasi jemaah haji Hindia-Belanda. Mereka menjebak para jemaah haji dengan menaikkan biaya transportasi secara berlebihan hingga menjadi beban utang bagi para jemaah haji. Dalam beberapa kasus, jemaah yang tidak mampu membayar utangnya akhirnya berakhir menjadi budak di perkebunan milik perusahaan pelayaran tersebut. Mereka dipaksa bekerja dengan upah dan kondisi yang buruk selama beberapa tahun untuk melunasi utang mereka.
Konsul Belanda di Jeddah telah berusaha untuk memperingatkan dan mengambil tindakan terhadap perusahaan-perusahaan pelayaran seperti Herklots. Namun, terbentur oleh peraturan di Jeddah yang cenderung mengizinkan dan melindungi perusahaan-perusahaan tersebut, konsul Belanda tidak dapat melakukan banyak hal untuk melindungi jemaah haji dari eksploitasi.
Peran Syekh dalam Menggaet Jemaah Haji
Besarnya antusiasme penduduk Hindia-Belanda untuk melaksanakan ibadah haji sulit dilepaskan dari peran para syekh sebagai perantara antara jemaah haji dan perusahaan pelayaran. Sebagian besar jemaah haji tidak membeli tiket secara langsung dari agen pelayaran, melainkan dari para syekh.
Dalam menjalankan peran ini, para syekh sangat bergantung pada jumlah konsumen dan keuntungan yang diperoleh. Semakin banyak jemaah yang mereka bawa, semakin besar pula komisi yang didapatkan dari perusahaan pelayaran. Sebagai akibatnya, para syekh saling bersaing satu sama lain dan cenderung menjual tiket dengan harga yang tinggi.
Melihat fenomena ini, calon jemaah biasanya beralih ke pelayaran dari Singapura, yang harga tiket dan biaya jasa syekhnya lebih murah. Namun, harga tiket yang murah sering kali membuat kapal mengangkut terlalu banyak penumpang, tanpa mengutamakan keselamatan dan kenyaman penumpang.
Selain itu, para syekh sering menipu jemaah haji dengan merekayasa kondisi sebenarnya di dalam kapal, karena ditekan oleh perusahaan pelayaran untuk mencari penumpang sebanyak-banyaknya.
Kondisi ini diperparah oleh buruknya kebersihan dan sanitasi kapal, serta persediaan makanan yang minim. Para jemaah seringkali harus makan makanan yang tidak layak, seperti nasi yang tidak dimasak dengan baik atau tidak matang. Semua kondisi ini menciptakan pengalaman perjalanan haji yang penuh tantangan dan penderitaan bagi para jemaah.
Penipuan terhadap jemaah haji tidak hanya terjadi selama pelayaran, tetapi juga setibanya di Jeddah. Janji para syekh untuk menyediakan transportasi dari Jeddah ke Mekkah ternyata sering tidak ditepati.
Dalam sebuah kasus, sekitar 100.000 ribu jemaah haji terpaksa berjalan kaki dari Jeddah ke Mekkah karena tidak adanya transportasi untuk mengangkut mereka. Akibatnya, jemaah haji menderita sepanjang perjalanannya, banyak yang jatuh sakit dan dehidrasi.
Snouck Hurgronje memberi perhatian khusus terhadap masalah ini. Ia menyadari para syekh bukanlah sumber masalah utama, tetapi perusahaan pelayaran yang sewenang-wenang dalam menentukan target. Oleh sebab itu, ia menyarankan pemerintah pusat turun tangan mengatasi berbagai praktik kecurangan tersebut.
Walaupun menuai kontroversi, kehadiran perantara sangatlah vital bagi perusahaan pelayaran, khususnya Kongsi Tiga. Tanpa kehadiran mereka cukup mustahil perusahaan pelayaran dapat menggaet pelanggan hingga ke wilayah pedesaan.
Perlawanan terhadap Monopoli Kongsi Tiga
Seiring dengan bertambahnya intelektual muslim di Hindia-Belanda, suara-suara untuk menentang kesewenang-wenangan perusahaan pelayaran semakin kuat pada dekade 1930-an.
Melalui berbagai surat kabar lokal mereka mengkritisi monopoli yang dilakukan oleh Kongsi Tiga. Kongsi Tiga dituding memasukkan para jemaah haji ke dalam kapal layaknya ikan asin ke dalam kaleng. Mereka juga memperlakukan para jemaah sama persis dengan kuli kontrak. Selain itu, tidak ada pemisahan antara pria dan wanita di dalam kapal sebagaimana ajaran agama Islam.
Rasa muak dan ketidakpuasan yang dirasakan selama bertahun-tahun membuat para muslim Hindia-Belanda menyadari pentingnya memiliki kendali atas penyelenggaraan ibadah haji. Hal ini mendorong mereka untuk membentuk biro haji dan perusahaan pelayaran sendiri. Ide ini muncul dari keyakinan bahwa penyelenggaraan haji seharusnya berada di tangan umat Islam, dan orang Eropa tidak seharusnya memonopoli pelayaran haji semata-mata untuk mencari keuntungan.
Organisasi Islam reformis, Muhammadiyah, turut berperan dalam mewujudkan ide ini dengan mencoba menyewa kapal untuk mengangkut jemaah haji. Perusahaan pelayaran yang mereka dirikan bernama Penoeloeng Hadji (PH). Untuk mencapai tujuan ini, Muhammadiyah berusaha menggalang dana sebesar f500.000 untuk menyewa kapal. Upaya ini menandai langkah awal dalam perjuangan mereka untuk menciptakan alternatif bagi monopoli pelayaran haji dan memberikan kontrol lebih kepada umat Islam atas ibadah haji mereka.
Perusahaan pelayaran Penoeloeng Hadji (PH) memang memiliki orientasi yang berbeda dari perusahaan-perusahaan Belanda, seperti Kongsi Tiga. Mereka berfokus pada kepentingan jemaah haji dan berusaha menyediakan fasilitas yang lebih baik untuk para calon jemaah haji. Meskipun tarif yang ditawarkan sama dengan Kongsi Tiga, PH berkomitmen untuk memberikan kenyamanan dan fasilitas yang lebih lengkap bagi para jemaah haji.
Beberapa fasilitas yang disediakan PH mencakup tempat salat yang terpisah untuk pria dan wanita, pelatihan bagi calon jemaah haji selama perjalanan, restoran, perpustakaan, akses menggunakan radio, dan staf medis yang terdiri dari dokter dan perawat. Fasilitas-fasilitas ini dirancang untuk memberikan kenyamanan dan menjaga kesehatan jemaah haji, serta diharapkan dapat membantu mereka melepaskan diri dari jeratan utang akibat biaya perjalanan haji.
Meskipun pada awalnya Kongsi Tiga meremehkan upaya PH dan meragukan kemampuan penduduk bumiputra dalam menjalankan transportasi haji, kongsi sebenarnya memiliki kecemasan tersendiri. Keberlangsungan monopoli mereka sangat bergantung pada dukungan hukum dan pemerintah kolonial.
Kongsi Tiga begitu mengandalkan Ordonansi Jemaah Haji 1922 untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Berdasarkan Ordonansi Haji, perusahaan transportasi wajib memiliki lisensi dengan jaminan ƒ90.000. Uang sebanyak ini jelas tidak mudah dipenuhi oleh perusahaan yang baru berdiri.
Untuk memperoleh perizinan, Muhammadiyah mengerahkan jaringan akar rumputnya untuk mengumpulkan dana sebesar ƒ90.000. Selain sumbangan pribadi dari anggota organisasi yang kaya, para pengumpul dana juga meminta setiap calon jemaah untuk menyumbangkan uang yang nantinya akan dipotong dari ongkos haji mereka. Muhammadiyah percaya bahwa mereka secara teknis tidak menyalahi peraturan yang berlaku.
Kongsi Tiga khawatir melihat upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini sebagai tindakan ilegal dan menyalahi peraturan yang ada. Untuk melindungi kepentingannya dari gangguan Muhammadiyah, Kongsi Tiga akhirnya mengajukan laporan resmi kepada pemerintah kolonial terkait penarikan uang yang dilakukan oleh perwakilan PH kepada para calon jemaah.
Melalui laporan ini, Kongsi Tiga ingin menunjukkan dominasi dan kekuatannya kepada Muhammadiyah dan organisasi bumiputra lainnya yang ingin merintis biro penyelenggara haji. Mereka ingin menegaskan bahwa kepentingan monopoli mereka tidak hanya dilindungi oleh hukum kolonial, tetapi juga didukung oleh pemerintah kolonial.
Meskipun demikian, Kongsi Tiga tetap khawatir Muhammadiyah berusaha menerobos jaminan f90.000 dengan memanfaatkan pasal 67 Ordonansi Haji. Mereka ingin mengklaim bahwar PH merupakan organisasi nirlaba yang tertarik memberangkatkan haji dengan alasan etika.
Untuk membantu meredakan situasi, perwakilan Kongsi Tiga bertemu dengan Hoofdinspecteur van Scheepvaart (Pengawas Pelayaran) untuk mendiskusikan pertemuan-pertemuan yang baru saja terjadi antara Hoofdinspecteur, tiga orang pemimpin Muhammadiyah, dan Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasihat Urusan Bumiputra).
Berdasarkan pertemuan tersebut, Hoofdinspecteur dan Adviseur melarang keras Muhammadiyah untuk terjun ke dalam bisnis penyelenggaraan haji karena hanya akan merugikan kedua belah pihak. Muhammadiyah dengan tegas menyatakan ketidakpuasannya terhadap keputusan ini. Bagi mereka keputusan tersebut hanya mengukuhkan kelanjutan monopoli Kongsi Tiga.
Baca juga: Peradilan dan Perhajian Hindia-Belanda
Keputusan Hoofdinspectuer pada akhirnya mencegah kapal Penoeloeng Hadji Muhammadiyah untuk berlayar selama tahun 1931-32. Meskipun demikian, keinginan untuk memiliki transportasi sendiri tidak pernah hilang, hingga akhir periode kolonial mereka terus melancarkan kritik terhadap monopoli yang dilakukan oleh Kongsi Tiga.
Daftar Pustaka
Alexanderson, K. (2014). “A dark State of affairs”: Hajj networks, Pan-Islamism, and Dutch colonial surveillance during the interwar period. Journal of Social History, 47(4), 1021-1041.
Ichwan, M. N. (2008). Governing Hajj: politics of Islamic pilgrimage services in Indonesia prior to reformasi era. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 46(1), 125-151.
Miller, M. B. (2006). Pilgrims’ progress: the business of the Hajj. Past & present, 191(1), 189-228.
Rohmana, J. A. (2015). A Sundanese Story of Hajj in the Colonial Period: Haji Hasan Mustapa’s Dangding on the Pilgrimage to Mecca. Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage, 4(2), 273-312.
Ryad, U. (2016). The hajj and Europe in the age of empire (p. 286). Brill.
Supratman, F. R. (2020). Hajj and the chaos of the Great War: Pilgrims of the Dutch East Indies in World War I (1914-1918). Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 5(2), 167-178.
Tantri, E. (2013). Hajj Transportation of Netherlands East Indies, 1910-1940. Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage, 2(1), 119-147.