Sebelum penemuan botol dan susu formula, menyusui melalui ibu susuan menjadi alternatif paling umum dan aman untuk menyediakan ASI alami.
Namun, pandangan negatif masyarakat terhadap profesi ibu susuan, ditambah dengan kemajuan dalam teknologi botol susu, ketersediaan susu hewan, dan penemuan susu formula, secara bertahap mengubah popularitas profesi ini.
Story Guide
Kapan Profesi ini Muncul?
Mempekerjakan ibu susuan adalah praktik yang umum dilakukan sejak zaman kuno, bahkan dimulai sejak 2000 SM dan tetap relevan hingga saat ini. Selama rentang waktu ini, peran ibu susuan telah berubah dari menjadi alternatif utama bagi ASI alami menjadi pilihan alternatif.
Profesi ibu susuan berkembang menjadi kegiatan terstruktur yang diatur oleh perjanjian kontrak dan hukum. Meskipun menuai kontroversi pada masa Abad Pertengahan dan Renaisans, praktik ini tetap bertahan hingga diperkenalkannya botol susu pada abad ke-19.
Dengan adanya alternatif pemberian makanan yang layak, praktik wet nursing secara bertahap meredupkan keberadaannya.
Pandangan Abad Kuno terhadap Ibu Susuan
Masyarakat Yahudi pada zaman kuno menganggap kelahiran anak sebagai berkah dan menganggap menyusui sebagai tugas agama yang penting.
Namun, pemberian ASI tidak selalu dapat dilakukan karena berbagai sebab. Kegagalan dalam menyusui telah tercatat dalam ensiklopedia medis tertua, The Papyrus Ebers, yang berasal dari Mesir pada tahun 1550 SM.
Di Yunani sekitar tahun 950 SM, wanita dari kelas sosial yang lebih tinggi sering menggunakan jasa ibu susuan. Lambat laun, profesi ibu susu mendapatkan pengakuan dan memiliki otoritas atas para budak.
Sementara itu, Alkitab juga mencatat beberapa contoh praktik ibu susu. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah tentang wanita yang merawat dan menyusui Musa.
Pada puncak kejayaan Kekaisaran Romawi, antara tahun 300 SM dan 400 M, kontrak tertulis dibuat dengan ibu susu untuk memberi makan bayi-bayi yang ditinggalkan. Bayi-bayi ini biasanya adalah anak perempuan yang tidak diinginkan.
Orang kaya kemudian membeli mereka sebagai budak murah untuk masa depan, sementara ibu susuan, yang sering kali juga seorang budak, memberi makan bayi-bayi tersebut hingga usia 3 tahun. Kontrak-kontrak ini secara rinci mencantumkan biaya-biaya seperti lama menyusui, persediaan pakaian, minyak lampu, dan biaya pelayanan.
Selama periode sekitar tahun 100 M hingga 400 M, praktisi medis terkenal seperti Soranus dari Efesus, Galen dari Pergamus, dan Oreibasius memberikan panduan tentang kualifikasi dan praktik bagi ibu susu.
Soranus dari Efesus (98 M hingga 117 M) menyusun risalah kebidanan dan obstetri yang terdiri dari 23 bab, memberikan petunjuk tentang pemberian makan bayi. Risalah ini mencakup pilihan dan teknik menyusui bayi, serta menjelaskan penggunaan tes kuku untuk menilai kualitas dan konsistensi ASI.
Galen dari Pergamus (130 M hingga 200 M) memberikan petunjuk kepada ibu susu tentang cara menenangkan bayi dengan membedong, mengayun, dan menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur.
Baca juga: Bagaimana Penduduk Indonesia Pramodern Membatasi Angka Kelahiran
Di sisi lain, Dokter Romawi, Oreibasius (325 M hingga 403 M), menyarankan ibu susu untuk melakukan aktivitas fisik sebagai bagian dari perawatan mereka.
Aktivitas tersebut melibatkan gerakan dada dan bahu untuk meningkatkan produksi ASI. Oreibasius merekomendasikan kegiatan seperti menggiling, menenun, dan berjalan. Selain itu, ia juga merekomendasikan usia ideal bagi ibu susu, yaitu antara 25-35 tahun dan baru saja melahirkan seorang anak laki-laki.
Perdebatan
Selama Abad Pertengahan, masyarakat menganggap masa kanak-kanak sebagai masa yang rapuh dan rentan. ASI dianggap memiliki kekuatan magis dan diyakini dapat memindahkan karakteristik fisik dan psikologis ibu susu kepada bayi yang disusui.
Pandangan ini memunculkan kritik terhadap penggunaan pengasuh anak, dengan penekanan pada pentingnya ibu yang menyusui secara langsung sebagai tugas suci.
Melompat ke periode Renaisans, pemberian ASI lewat ibu susuan tetap menjadi alternatif terbaik bagi bayi yang ibunya tidak dapat menyusui. Namun, seperti halnya pada Abad Pertengahan, masyarakat pada masa Renaisans menunjukkan ketidaksetujuan yang meluas terhadap pemberian ASI dari ibu susu dan lebih memilih ibu kandung yang menyusui anaknya sendiri.
Karya seperti “The Treatise on Children” oleh Omnibonus Ferrarious dari Italia, yang diterbitkan pada tahun 1577, menyoroti bahwa ibu tetap menjadi pilihan terbaik untuk memberi ASI, kecuali jika ibu tersebut sakit atau tidak dapat menyusui. Ferrarious juga mengkhawatirkan bahwa bayi mungkin akan lebih terikat dengan pengasuhnya daripada ibunya sendiri.
meskipun ada rekomendasi untuk lebih memilih ibu kandung yang menyusui secara langsung, profesi ibu susu tetap menjadi pilihan yang populer dan diidamkan bagi wanita dari kelas bawah.
Bahkan, fenomena tersebut menyebabkan beberapa perempuan muda, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, berusaha memiliki anak hanya untuk memperoleh pekerjaan sebagai ibu susu.
Dampak dari fenomena ini kemudian mendorong munculnya regulasi yang lebih ketat terhadap profesi ibu susu. Di Prancis, misalnya, para ibu susu didata di kantor tenaga kerja kota, dan undang-undang dibuat untuk mengatur praktik mereka.
Undang-undang tersebut mewajibkan ibu susu untuk menjalani pemeriksaan medis dan melarang mereka menyusui anak lain sampai bayi mereka sendiri berusia 9 bulan.
Selama periode yang sama, praktik menyusui juga dipengaruhi oleh perbedaan kelas sosial. Tidak lazim bagi perempuan bangsawan untuk menyusui karena dianggap kurang modis dan dapat merusak bentuk tubuh mereka.
Baca juga: Evolusi Pompa ASI dari Masa ke Masa
Selain itu, menyusui juga menghalangi banyak perempuan untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan tuntutan sosial pada saat itu.
Hal ini juga berdampak pada kaum wanita dari kelas menengah, seperti istri pedagang, pengacara, dan dokter, yang juga jarang menyusui. Mereka lebih memilih mempekerjakan ibu susu daripada mengganggu bisnis suami mereka atau mengurus rumah tangga mereka.
Pergeseran praktik ibu susuan dari keluarga kaya ke keluarga pekerja berpenghasilan rendah terjadi sejak akhir abad ke-18 hingga abad ke-19.
Peningkatan biaya hidup dan rendahnya upah memaksa banyak perempuan untuk mencari pekerjaan dan berkontribusi secara finansial kepada keluarga mereka. Hal ini membuat hampir tidak mungkin bagi banyak ibu untuk menyusui dan merawat anak-anak mereka sendiri.
Dampaknya, banyak anak dititipkan kepada perempuan petani yang miskin. Meskipun hukum mengharuskan pengasuh untuk mendapatkan lisensi dari pemerintah setempat dan melaporkan kematian setiap bayi yang mereka rawat, tetapi implementasinya seringkali tidak diindahkan, yang menyebabkan tingkat mortalitas bayi cenderung tinggi.
Pada abad ke-19, pemberian makanan buatan menjadi pengganti yang layak untuk ASI eksklusif. Kemajuan dalam botol susu dan ketersediaan susu formula secara perlahan tetapi pasti mempengaruhi eksistensi profesi ibu susuan. Puncaknya, pada abad ke-20, profesi yang sangat terorganisir ini mulai mengalami penurunan hingga akhirnya terancam punah.