Proklamasi Kemerdekaan Israel pada 14 Mei tahun 1948, merupakan salah satu pemicu meledaknya kemarahan warga Palestina terhadap Israel. Tanah air yang merupakan hak mereka, tiba-tiba direbut secara sepihak oleh pihak yang datang tanpa mereka undang, tentu saja menimbulkan kemarahan yang luar biasa bagi penduduk Palestina. Ditambah dengan konspirasi yang dilakukan antara Zionis dan blok sekutu untuk memuluskan jalan merdekanya Israel, menambah rumit kemelut di Palestina. Dengan terengutnya tanah air mereka, semangat nasionalisme mereka mulai bangkit, dan memulai perjuangan untuk mengambil kembali tanah air mereka, dan menumpas penjajah Israel. Salah satu gerakan yang mencuri perhatian dunia, lantaran keberanian mereka dalam berjuang melawan Israel adalah Intifada. Intifada berjuang tanpa mengenal takut melawan persenjataan-persenjataan canggih Israel dengan hanya bermodalkan batu, dan ban-ban bekas. Tentu saja hal tersebut menjadi perhatian dunia, sehingga perjuangan Intifada untuk mempertahankan hak rakyat Palestina layak untuk mendapatkan porsi lebih untuk pembahasan kali ini.
Latar belakang Kemelut di Palestina
Palestina semenjak Umar bin Khattab menjadi Khalifah, demografi penduduk di sana mayoritas menjadi Muslim. Ini bertahan hingga awal abad ke 20, dimana yang memerintah di wilayah Palestina adalah Turki Utsmani. Pada masa itu Muslim hidup damai dengan agama lain, Kristen dan Yahudi. Pada abad ini kejayaan imperium Turki Utsmani mengalami fase kemunduran. Pemerintah yang lemah, perpecahan internal, serta persaingan dengan negara-negara besar Eropa semakin intensif secara perlahan-lahan telah membawa Turki Utsmani diambang kehancuran. Populasi Yahudi pada saat itu masih terbilang kecil, mengutip dari buku Roger Garaudy yang berjudul Zionis Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik. Diperoleh data, pada tahun 1880 hanya terdapat sebanyak 25.000 orang Yahudi dari penduduk Palestina yang seluruhnya berjumlah 500.000 orang.
Terdapat lebih dari seribu desa di Palestina pada pergantian abad ke-19. Jerusalem, Haifa Gaza, Jaffa, Nablus, Akre, Jericho, Ramle, Hebron, dan Naazareth adalah kota-kota yang sedang berkembang. Bukit-bukit dirancang sedemikian rupa untuk irigasi. Irigasi dirancang untuk dapat mengaliri seluruh lahan pertanian. Dengan pengairan yang sedemikian rupa maka pertanian dan perkebunan yang terdapat di Palestina dapat tumbuh subur, dengan komoditas utamanya adalah jeruk, zaitun, dan gandum.
Kemelut yang terjadi di Palestina pada dasarnya diawali dengan usaha-usaha yang dilakukan Theodor Herzl beserta organisasi Zionisnya, untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Theodor Herzl dengan licik memanfaatkan semangat anti-Yahudi di Eropa pada abad ke-19, untuk memuluskan rencananya. Dengan semakin panasnya semangat anti-Yahudi di Eropa, maka semakin deras pula dukungan terhadap pendirian negara Yahudi di Palestina.
Meskipun begitu, ambisi Theodor Herzl terbentur realita bahwa Palestina pada saat itu masih menjadi bagian dari kekuasaan imperium Utsmani. Herzl kemudian mencoba membujuk Sultan Abdul Hamid II, sultan Utsmani pada waktu itu (dapat dibaca selengkapnya di Sultan Abdul Hamid II, dan Perlawanan Melawan Konspirasi Zionis). Herzl menawarkan akan melunasi seluruh hutang, dan membantu perekonomian Utsmani yang tengah dilanda krisis ekonomi, asalkan diperbolehkan mendirika pemukiman Yahudi di Palestina.
Sultan Abdul Hamid II tidak tergiur dengan tawaran tersebut, dan dengan tegas menolak semua rayuan Herzl. Gagal membujuk Sultan Abdul Hamid II, Herzl beralih mendekati Inggris. Penguasa Inggris menawarkan Uganda, untuk pemukiman Yahudi. Herzl sempat menyampaikan Uganda sebagai pengganti Palestina di kongres Zionis ke-enam tahun 1903, setelah sempat terjadi perdebatan, Uganda akhirnya mendapat suara mayoritas dengan 295 suara setuju, 177 menentang, dan 100 suara abstein. Tetapi pada tahun 1904, Herzl meninggal dunia sebelum negara Israel dapat berdiri. Akhirnya, kongres zionis ketujuh pada tahun 1905 memutuskan menolak apa yang disebut dengan “Rencana Uganda”, dan tetap memilih Palestina sebagai wilayah tujuan pendirian negara Yahudi.
Memasuki akhir Perang Dunia I, tanda-tanda kekalahan blok sentral (termasuk Utsmani di dalamnya) semakin terlihat. Zionis melihat hal tersebut sebagai momen untuk mengintensifkan usahanya, mereka meningkatkan lobi-lobi dengan pemerintahan Inggris. Harapan Zionis mendapatkan sambutan baik oleh Inggris. Maka keluarlah sebuah surat deklarasi dari menteri luar negeri Inggris, Arthur James Balfour, tentang kesediaan Inggris untuk membantu cita-cita kaum zionis.
Dengan munculnya Deklarasi Balfour, orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia berbondong-bondong bermigrasi ke Palestina. Migrasi tersebut menimbulkan protes keras dari masyarakat Palestina. Sejak itu, sering terjadi bentrokan antara orang-orang Palestina dan Yahudi. Pasca kemerdekaan Israel tahun 1948, bentrokan tersebut berkembang menjadi peperangan antara negara-negara Arab melawan Israel yang dibantu sekutu. Sempat terjadi beberapa kali peperangan pada pertengahan abad ke-20. Ironisnya, peperangan tersebut selalu dimenangkan oleh Israel, sehingga mereka berhasil memperluas daerah kekuasaannya, dan mempersempit wilayah Palestina.
Nasib Masyarakat Palestina Pasca Kemerdekaan Israel
Akibat perang tersebut, masyarakat Palestina menjadi terpecah. Sebagian dari mereka mengungsi ke negara-negara Arab yang berdekatan dengan Palestina, dan sebagian lainnya tetap bertahan di Palestina. Persentase pengungsian terus meningkat tiap tahun. Setelah perang 1948, terdapat 37% orang Palestina yang mengungsi. Kemudian naik menjadi 50% pasca perang enam hari tahun 1967, meningkat lagi menjad 57,1 %, dan 59,2% pada tahun 1982.
Disamping akibat peperangan, peningkatan jumlah pengungsi juga diakibatkan sikap pemerintah Israel yang sengaja mempersulit warga Palestina di daerah pendudukan. Mereka diintimidasi dan diteror. Mereka didiskriminasi, dan kegiatan perekonomian mereka dibatasi. Akibatnya, warga Palestina di daerah pendudukan sulit mengembangkan ekonomi mereka.
Di kamp-kamp pengungsian ini, warga Palestina telah mendirikan organisasi perlawanan denan berbagai nama. Tujuan utama dari organisasi-organisasi tersebut sama, yaitu mendirikan “negara Palestina”. Namun, dari sekian banyak organisasi, hanya satu yang dianggap sebagai wakil sah rakyat Palestina, adalah Palestine Liberation Organization (PLO).
PLO didirikan oleh para pemimpin Arab pada tahun 1964. Mereka sengaja mendirikan PLO dengan maksud agar dapat menyaingi dan mengendalikan beberapa organisasi perlawanan Palestina yang telah ada. Dalam perkembangannya, orang-orang Palestina ikut serta mengembangkan PLO menjadi organisasi indipenden. Dengan bergabungnya Yasser Arafat, pemimpin Fatah, dan menjadi pemimpin gerakan itu, PLO perlahan-lahan memisahkan keterikatannya dengan Arab. Puncaknya pada tahun 1974, PLO diakui sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Palestina. Dengan status tersebut, PLO dianggap sebagai payung berbagai organisasi perlawanan.
Peranan PLO dalam kehidupan masyarakat Palestina di pengungsian cukup besar. Namun, berbeda halnya dengan peran mereka di daerah pendudukan yaitu jalur Gaza dan Tepi Barat. Pada awalnya mereka memang mengakui PLO sebagai wakil sah seluruh rakyat Palestina, tetapi pada perkembangannya mereka melontarkan kritik mengenai dana PLO yang tidak mengalir ke daerah pendudukan. Pada akhirnya, setelah sekian lama tidak ada perubahan di daerah pendudukan, mereka menjadi kecewa dan frustasi. Perasaan ini terlihat di kalangan pemuda dan remaja Palestina, yang menjadi ujung tombak intifada (perlawanan) di Gaza.
Kebangkitan Intifada (perlawanan) di Palestina
Tanggal 8 Desember 1987, dunia dikejutkan oleh bangkitnya gerakan kaum muda Palestina yang melancarkan serangan terhadap pasukann pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yirdan, perlawanan ini dikenal dengan intifada. Para pemuda ini kecewa dan dan frustasi terhadap PLO, yang tidak banyak memberikan perubahan di daerah pendudukan, sehingga mereka mulai bergerak sendiri untuk melakukan perlawanan. Selain ituTerdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan bangkitnya Intifada di Palestina. Pertama, faktor sosial-ekonomi. Secara berangsur-angsur warga Palestina yang hidup di daerah-daerah pendudukan mengalami proses pemiskinan struktural. Dalam bidang sosial-ekonomi, sejak 1967 Israel menerapkan kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat Palestina. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, di bidang pendidikan pun Israel menerapkan hal yang sama, kehidupan akademis mengalami penekanan dan pembatasan. Tidak jarang pemerintah Israel menutup kampus-kampus di Gaza dan Tepi Barat. Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya mempengaruhi masa depan rakyat Palestina.
Faktor kedua, yang menyebabkan bangkitnya Intifadhad adalah faktor politik. Kebijakan Isarel yang dikriminatif terhadap warga Palestina juga berlaku di bidang politik. Tidak hanya tanah air mereka yang direngut, hak –hak mereka di bidang politik pun juga direngut Israel. Pemerintah Israel melarang setiap bentuk pertemuan-pertemuan yang bertema politik. Memang di bawah kekuasaan Israel, warga Palstina dapat menikmati otonomi kultural dan keagamaan tetapi tidak menimati hak-hak politik mereka.
Faktor ketiga kebangkitan intifadah adalah faktor agama. Keberanian kaum muda Palestina tidak terlepas dari makin meluasnya semangat keagamaan, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai pengaruh “fundamentalisme Islam”. Pengaruh tersebut cukup kuat terutama di Gaza. Sementara di Tepi Barat, pengaruh fundamentalisme Islam menonjol terutama di kampus-kampus perguran tinggi.
Faktor-faktor di atas yang melandasi berkobarnya semangat perjuangan gerakan pemuda Palestina. Keberanian mereka menentang pasukan Israel yang dilengkapi berbagai senjata mutakhir, sementara senjata mereka hanya berupa batu-batu dan ban-ban bekas. Namun, karena itulah, Intifada yang sering mendapat sorotan media, berhasil membangkitkan simpati dunia Internasional, khususnya dunia Islam. Banyak yang beranggapan perlawanan kaum muda Palestina terhadap pasukan Israel bagaikan David melawan Goliath.
Meskipun hanya bersenjatakan batu-batu dan ban-ban bekas, para pejuang intifada telah dibekali oleh keyakinan agama (Islam) yang sangat kuat bahwa berjuang melawan kaum Zionis adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, para pejuang intifada berhasil menempatkan rezim Israel dalam posisi yang dilematis. Semakin keras tindakan Isarel dalam menumpas gerakan perlawanan itu, maka semakin keras perlawanan dan kecaman yang harus mereka hadapi. Sebaliknya, jika Israel melunakkan sikapnya, maka dengan sendirinya gerakan intifada justru semakin meluas.
Pada umumnya intifada dilancarkan oleh para remaja dan pemuda Palestina yang berusia antara 15 sampai 20 tahun. Dengan kata lain, mereka adalah generasi muda Palestina yang tidak secara lanngsung menyaksikan masa-masa perjuangan melawan Israel, baik di perang 1948 ataupun perang 1967. Tetapi, karena mereka lahir dan tinggal di daerah pendudukan, mereka justru yang paling merasakan secara langsung kekejaman, baik berupa kebijakan diskriminatif Zionis Israel, atau pun bentuk-bentuk represi lainnya. Jika dibandingkan dengan para pejuang PLO, jelas mereka lebih menderita dan lebih berani, karena PLO lebih banyak berjuang dari luar dan hidup lebih enak di pengungsian.
Dalam perjalanan perjuangannya intifada telah memberikan memberikan sumbangan besar bagi perjalanan sejarah bangsa Palestina, terutama keberhasilan mereka membuka mata dunia internasional bahwa, penderitaan bangsa Palestina di wilayah pendudukan, dan kekejaman Israel, yang telah berlangsung puluhan tahun tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Ditambah kebangkitan intifada juga terjadi hampir bersamaan dengan menguatnya gelombang demokratisasi serta advokasi terhadap HAM di segenap penjuru dunia. Mereka yang sebelumnya tidak memperhatikan nasib bangsa Palestina, setelah melihat perjuangan intifada kemudian menjadi simpati terhadap perjuangan kaum muda di Gaza dan Tepi Barat.
Bagi Yasser Arafat dan Palestine Liberation Operation (PLO), intifada telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam meringankan perjuangan mereka menghadapi Israel dan sekutu. Meskipun secara ideologis, ada perbedaan yang jelas antara kubu PLO yang menganut ideologi nasionalis sekuler, dan para penggerak intifada yang berideologi nasionalis-Islamis, namun tujuan mereka sama yaitu, terbentuknya Negara Palestina Merdeka. Jika melihat dari strategi global perjuangan bangsa Palestina, munculnya intifada lebih menekankan pada perjuangan fisik, secara langsung maupun tidak langsung, turut mendukung PLO yang lebih mengutamakan perjuangan di bidang diplomasi. Walaupun pada perkembangannya intifada justru menjadi oposisi PLO, lantaran perbedaan ideologi dan strategi mereka.
Siapa yang berada di balik Intifada?
Jika ada kelompok yang palih sah untuk mengklaim sebagai penggerak utama intifada, maka kelompok tersebut adalah Hamas (Harakat Al-Muqawamah Al-Iislamiyah). Dalam satu dekade terakhir, Hamas memang merupakan organisasi Islam Palestina yang paling penting di kawasan Jalur Gaza ataupun Tepi Barat. Sangat tidak mungkin jika membicarakan gerakan intifada, tanpa sedikit pun menyinggung peranan Hamas.
Tidak ada data yang pasti kapan Hamas didirikan, bahkan John L. Espositoo hanya menyebutkan Hamas didirakan pada Desember 1987, pada awal kebangkitan Palestina (intifadhah). Dalam piagam mereka yang dalam bahasa Inggrisnya mereka sebut sebagai The Charter of Allah: The Platform of the Islamic Resistance Movement (Hamas). Juga tidak tercantum kapan persisnya tanggal pembentukan organisasi ini.
Pada kesempatan kali ini penulis tidak akan membahas lebih jauh mengenai kapan berdirinya Hamas. Tapi yang lebih menarik adalah melihat asas dan strategi perjuangan Hamas, sehingga dalam waktu hanya satu dasawarsa mereka sudah berhasil menarik minat kalangan muda Palestina, serta mampu menandingi popularitas organisasi semacam PLO yang usianya 25 tahun lebih tua dari mereka.
Sistem penanaman doktrin dan struktur organisasi yang mapan, membuat organisasi yang baru lahir pada tahun 1987, pengaruhnya cepat menyebar terutama di Jalur Gaza. Bahkan Hamas dapat menguasai sebagain besar organisasi di Palestina seperti ikatan dokter dan ikatan insinyur. Hamas memang praktis merupakan perpanjangan sejarah Ikhwanil Muslimin. Pada awal pendiriannya, Hamas menobatkan dirinya sebagai cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina. Perilaku politik dan cara menjalin hubungan intern Hamas hampir sama dengan organisasi keagamaan di Mesir itu.
Pendiri Hamas, Sheikh Ahmad Yasin, memang pengagum Ikhwanul Musimin di Mesir. Keterkaitan Ikhawanul Muslimin dengan Hamas, kemudian diperjelas pada pasal 2 piagam Hamas bahwa Hamas merupakan salah satu sayap dari Ikhwanul Muslimin, organisasi Islam terbesar di dunia. Karena itu, Hamas secara terang-terangan mencantumkan Islam sebagai asas utama perjuangan mereka. Namun, mereka juga mengakui paham nasioalisme. Hanya saja, seperti tertera pada pasal 12 piagam Hamas, Hamas memandang nasionalisme (wataniyyah) sebagai bagian dari keyakinan agama, yang antara lain harus diwujudkan dalam bentuk jihad melawan siapa pun yang menjajah tanah air kaum Muslim.
Di sinilah secara tegas yang membedakan Hamas dengan PLO, yang memandang perjuangan Palestina sepenuhnya dari dimensi nasionalisme sekular. Arafat selaku pemimpin PLO pada waktu, berulang kali menegaskan bahwa perjuangan bangsa Palestina dilandaskan atas asas nasionalisme Palestina dan Arab. Sementara Hamas menganggap bahwa, perjuangan pembebasan Palestina berkaitan dengan tiga lingkaran yaitu, Paletina, Arab, dan Islam, yan semuanya memainkan peanana penting dalam perjuangan melawan kaum Zionis.
Sebagian pengamat berpandangan, Hamas semula mendapat restu dari Israel guna mengeliminasi pengaruh PLO. Namun, dalam kenyataannya Hamas justru lebih keras dibanding PLO dalam melawan Zionis. Pada pasal 17, dan 22 piagam Hamas, mereka menegaskan perlunya seluruh umat Islam mewaspadai jaringan gerakan Zionis Internasional, baik yang secara terang-terangan maupun yang terselubung seperti, “the Freemasons, Rotary Clubs, Lions Clbs, B’nai B’rith and the like.” Sehigga tidak mengherankan di kemudian hari, Hamas dan sayap militernya, “Brigade Izz Al-Din Al-Qassam” (nama yang diambil dari pejuang Palestina yang dibunuh tentara Inggris pada 1936), malah menjadi kelompok yang paling dibenci dan sekaligus ditakuti oleh rezim Israel.
Gaya perjuangan Hamas sendiri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama, jelas dan tepat dalam memilih sasaran musuh. Kedua, tidak memusuhi aliran tradisional dalam Islam Palestina. Ketiga, menggunakan brigade/sayap organisasi ukuran kecil, dalam melaksanakan operasi lapangan. Keempa, meredam sedapat mungkin pertentangan intern dan berkonsentrasi melawan musuh.
Hubungan Hamas dengan PLO
Sejak kemunculannya dalam arena perjuangan di Palestina, Hamas memang seakan-akan tampil sebagai saingan utama PLO. Meskipun begitu, dalam pasal 27 sampai 30 Hamas yang diberi sub judul “ThePalestine Liberation Organization”, kendati mengakui adanya perbedaan ideologi, dan strategi, ditegaskan pula bahwa “The PLO is among the closest to the Hamas, for it constitutes a father, a brother, a relative, a friend.” Ahmad Yasin selaku pemimpin Hamas bahkan mengatakan, “otoritas Palestia bagian dari rakyat Palestina, dan kai juga bagian dari rakyat Palestina. Kami berusaha menciptakan persatuan nasional.”
Beranjak dari hal itu, Hamas menolak keras jika dianggap oleh media Barat, sebagai kerikil bagi proses perdamaian Palestina-Israel. Hamas sama sekali tidak anti perdamaian, namun mereka menekankan perlunya suatu perdamaian yang hakiki, perdamaian yang dimulai dari penarikan total pasukan Zionis dari Palestina.
Komunikasi secara intensif antara Hamas dan PLO sendiri dimulai, sejak Arafat masuk kembali ke Gaza pada tahun 1994. Ketua PLO itu tetntu saja menyadari tentang kekuatan dan popularitas Hamas di Gaza. Maka langkah awal yang dia lakukan, adalah bagaiamana bisa menetralisir Hamas. Dia pun menawarkan kepada Hamas ikt serta dalam pemerntahan otonomi. Seorang utusan dikirim Arafat kepada pemimpin Hamas untuk menawarkan 4 kursi kepada Hamas di dewan pemerintahan otonomi.
Meskipun Arafat mengetahui bahwa peluangnya membujuk Hamas sangat tipis, namun tekadnya untuk bisa menetralisir faksi militan itu tetap tidak hilang. Dialog Arafat dan Hamas pun terus berlanjut. Hubungan Arafat (PLO) dan Hamas mulai berubah setelah Hamas menggunakan strategi serangan bom jihad. Serangan bom jihad Hamas dilatar belakangi oleh kasus pembantaian di majid Ibrahim, Hebron (Februari 1994) oleh ekstremis Yahudi, Baruch Goldstein, yang menewaskan 29 warga sipil Palestina yang tengah sholat subuh. Peristiwa tersebut merubah prinsip Hamas yang pada awalnya tidak menghendaki jatuhnya korban di kalangan warga sipil, sejak peristiwa serangan itu bom jihad menjadi bagian penting strategi Hamas.
Sebenarnya serangan Hamas semata-mata sebagai sebuah reaksi terhadap kekejaman Israel. Rentetan serangan bom jihad selama 1996-1997, misalnya didahului oleh kebijakan keras Israel, seperti pembunuhan terhadap tokoh Hamas, Yahya Ayyash (Januari 1996), pembukaan terowongan di kompleks Majid Al-Aqsa (September 1996), pelecehan terhadap agama Islam, serta pembangunan pemukiman Yahudi di Jabal Abu Ghunaym (Juli 1997). Sebab-sebab tersebut sering dilupakan media Barat dalam memberikan informasi, sehingga mereka langsung menjudge bahwa Hamas merupakan penghalang perdamaian di Palestina.
Reaksi yang dilakukan Hamas juga semakin memberikan jarak antara mereka dan PLO. Reaksi-reaksi perlawanan Hamas tersebut dilihat Arafat sebagai ancaman terhadap wibawa pemerintah Palestina. Sejak itulah dia mulai bersikap keras terhadap Hamas. Tewanya tokoh idola Hamas, Yahya Ayyash pada tahun 1996 ditangan intelejen Israel Shin Beth, memicu kemarahan milisi Hamas. Mereka lantas membalasnya dengan melakukan empat aksi ledakan bom yang dilakukan para aktivis Hamas di Jerusalem, Ashkelon, dan Tel Aviv. Akibatnya, cukup banyak warga sipil Israel yang tewas, lebih dari 50 orang dan ratusan luka-luka.
Peristiwa tersebut menimbulkan kecaman dari Arafat ataupun perdana menteri Israel Peres, yang sedang berdiskusi mengenai perjanjian damai. Mereka menegaskan akan menyapu bersih Hamas sampai ke akar-akarnya. Sejak saat itu lah, Hamas dan Fatah dari PLO selalu terlibat pertikaian hingga sekarang ini.
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman, Mustafa. 2002. Jejak-Jejak Juang Palestina: dari Oslo hingga Intifadah al-Aqsa. Jakarta: Kompas.
Garaudy, Roger. 1996. Zionis Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik. Jakarta: Gema Insani Press.
Kuncahyono, Trias. 2009. Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis. Jakarta: Kompas.
McDowall, David. 1989. Palestine and Israel The Uprising and Beyond. London: I.B Tauris Publishers.
Schoenman, Ralph. 2013. Dibalik Sejarah Zionisme. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.
Sihbudi, M. Riza. 1993. Islam, Dunia Arab, Iran: Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan.
Sihbudi, M. Riza. 2007. Menyandera Timur Tengah. Bandung: Mizan.