Islam Sasak di Lombok

Sasak merupakan penduduk asli sekaligus kelompok  etnis  mayoritas yang mendiami pulau Lombok. A. R. Wallace dalam The Malay Archipelago, menyebutkan bahwa orang Sasak dikelompokkan ke dalam jenis keturunan  Melayu. Orang sasak tersebar di tiga kabupaten di pulau Lombok, yaitu kabupaten Lombok Barat (Mataram), Lombok Tengah (Praya), dan Lombok Timur (Selong).

Mereka mencakup lebih dari 90% keseluruhan penduduk Lombok, dan hampir seluruhnya beragama Islam, kecuali di bagian barat, yang penduduknya heterogen (Islam, Hindu, Budha, Kristen). Meskipun di daerah tersebut tetap didominasi oleh pemeluk Islam. Di bagian timur dan tengah merupakan pusat masyarakat muslim di Lombok.

Orang-orang yang memeluk agama Islam di wilayah ini kemudian disebut sebagai Islam Sasak. Kadangkala ada ungkapan bahwa menjadi Sasak berarti menjadi muslim. Anggapan-anggapan itu dipegang bersama oleh sebagian besar penduduk Lombok karena identitas Sasak begitu erat terkait dengan identitas mereka sebagai muslim.

Proses Islamisasi di Lombok

Sekitar abad ke-15, diduga kuat sudah ada pedagang-pedagang muslim yang bermukim di pulau Lombok, sehingga sejak itu pula Islam diperkirakan sudah ada di Lombok. De Graaf dan Pigeaud dalam  Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, mengungkapkan bahwa sebelum adanya ekspedisi dari raja-raja ulama dari Giri, pelaut dan pedagang dari Gresik telah memperkenalkan nama pemimpin-pemimpin agama dari Giri sampai jauh ke luar Jawa.

Sumber tertulis paling tua yang menjelaskan tentang proses islam isasi adalah Babad Lombok. Dalam naskah tersebut dikatakan bahwa dari pulau Jawa, agama Islam berkembang ke Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Penyebaran dilakukan oleh beberapa ulama termasuk di dalamnya Sunan Prapen atas perintah Sunan Giri.

Di Lombok, Sunan Prapen pertama­ tama mendarat di Desa Salut yang terletak di utara pulau ini. Desa ini memiliki peran yang sangat strategis dalam proses islamisasi di wilayah Lombok. Dari Salut kemudian proses Islamisasi masuk ke kerajaan Lombok. Pada awalnya Sunan Prapen ditolak oleh raja Lombok, namun setelah Sunan Prapen menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu untuk menunaikan misi suci secara damai, maka ia pun diterima dengan baik.

Setelah itu, dakwah diteruskan ke berbagai wilayah-wilayah lainnya di Lombok, ke utara masuk di kerajaan Bayan, ke arah barat  masuk di  kerajaan  Pejanggik, dan beberapa kerajaan kecil sekitarnya. Sementara ke arah selatan  masuk di Rembitan , Pujut, dan daerah-daerah yang ada di sekitarnya.

islam sasak
Muslim Sasak di Bayan

Untuk membina pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, Sunan Prapen menugaskan beberapa orang kyai. Mereka masing-masing dibekali ilmu Quran dan Hadis. Metode yang dipergunakan oleh kyai dalam usaha pengembangan dan peningkatan agama

Islam sesuai dengan petunjuk Sunan Prapen ialah Metode Enam Mata Rantai. Maksudnya adalah bahwa setiap kyai diwajibkan mendirikan santren dan membina minimal enam orang santri yang ada di dalamnya. Apabila seorang santri telah matang maka santri tersebut dilantik menjadi kyai. Kemudian kyai yang telah dilantik ditugaskan untuk membina enam orang santri begitu seterusnya.

Sesudah sebagian besar Lombok terislamkan, maka muncul tokoh-tokoh, pemuka-pemuka agama, baik kalangan pribumi maupun dari luar. Pada umumnya mereka ini jika tidak melanjutkan usaha dakwah, maka yang dilakukan adalah upaya-upaya penyempurnaan ajaran Islam di kalangan masyarakat Sasak. Terdapat beberapa nama yang dapat disebutkan di sini. Raden Mas Pake) mempunyai putra yang kemudian menjadi ulama kharismatik di Lombok. Anak-anaknya itu adalah Guru Deriah, Guru Jepun, dan Guru Mas Mirah.

Selain ketiga ulama tersebut, juga dikenal nama Sunan Guru Makassar dari Sulawesi Selatan, Jati Swara, Kiyai Serimbang, dan Enam Beret. Ketiganya berasal dari Sumatra. Semua ulama tersebut pada pertengahan abad ke 17 M pernah mengembara ke pulau Lombok untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Lombok yang pemahaman keislamannya dinilai masih sangat minim.

Datangnya kekuatan Islam dari arah timur yang bersamaan dengan upaya penyempurnaan ajaran-ajaran Islam di Lombok, memberi dampak yang tidak kecil bagi perkembangan Islam. Masuknya pengaruh kerajaan Islam dari arah timur langsung masuk ke Istana Selaparang dan Pejanggik telah membuat sebuah penampakan Islam lebih jelas di kalangan masyarakat Sasak. Dari tempat inilah hadir tokoh-tokoh yang intens  mendakwahkan Islam bahkan sampai pada tingkat pemurnian ajaran Islam.

Karakteristik Islam Sasak

Terdapat tiga kelompok keagamaan Sasak yakni: Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Kelompok Boda disebut-sebut sebagai agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan kata Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Menurut Erni Budiwanti dalam Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima, agama Boda ditandai oleh praktek animisme dan panteisme pemujaan serta penyembahan roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak Boda.

Penganut Boda merupakan komunitas kecil dan masih ditemukan pada awal abad ke-20. Mereka tinggal dibagian utara Gunung Rinjani Kecamatan Bayan dan Tanjung dan di beberapa Desa disebelah Selatan Gunung Rinjani. Diperkirakan mereka berasal dari bagian tengah pulau Lombok dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses Islamisasi.

Adapun mereka yang mengalami proses islamisasi dengan sempurna digolongkan sebagai penganut Islam Waktu Lima, sebagaimana Islam yang umumnya dikenal luas. Mereka diidentikkan dengan orang-orang Islam yang secara taat mengamalkan ajaran agamanya seperti melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa, dan melaksanakan ibadah haji dan sebagainya. Jumlahnya merupakan mayoritas umat beragama dan tersebar hampir di seluruh bagian Pulau Lombok.

islam sasak
Masjid di Lombok

Berbeda dengan waktu Lima, penganut Wetu Telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari masih sangat kuat berpegang kepada adat istiadat nenek moyang mereka.

Sebagai sebuah nilai yang dihayati, kebudayaan Wetu Telu diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi. Proses pewarisan kebudayaan disebut sebagai proses enkulturasi. Proses enkulturasi berlangsung mulai dari kesatuan yang terkecil, yakni keluarga, kerabat, masyarakat, suku bangsa, hingga kesatuan yang lebih besar lagi.

Setidaknya ada empat pendapat tentang asal-usul Islam Wetu Telu. Pertama, versi yang menyatakan bahwa Islam yang dibawa oleh penyebar agama dari Jawa memang sudah mengandung unsur mistik dan sintkretik sehingga mereka yang terislamisasi melalui penyebar agama dari Jawa memiliki pola keberagamaan yang sinkretik. Kondisi ini berlangsung secara turun temurun dan mengkristal menjadi adat istiadat yang mapan. Kristalisasi dan idiomisasi adat selanjutnya menyebabkan para penganut Wetu Telu tidak ber- keinginan untuk merubahnya, sekalipun alasan untuk mempertahankannya juga sulit mereka temukan secara rasional.

Kedua, versi yang menyatakan bahwa timbulnya Wetu Telu yang berwatak sinkretik disebabkan oleh pendeknya waktu para penyebar agama dari Jawa melaksanakan dakwah dan tingginya tingkat toleransi mereka terhadap paham animisme dan antropomorfisme masyarakat Sasak.

Ketiga, versi yang menyatakan bahwa Wetu Telu lahir sebagai konsekuensi dari strategi dakwah yang diterapkan oleh para penyebar agama Islam. Setelah mereka melihat sulitnya medan dakwah dengan adanya penolakan-penolakan dari tingginya fanatisme masyarakat Sasak yang masih menganut Hinduisme dan Budhisme. Penyebar-penyebar agama Islam ini, maka mereka memutuskan menggunakan cara lebih lunak dan mentolerir tradisi-tradisi asli di tempat itu.

Keempat, versi yang menyatakan bahwa asal-usul Wetu Telu adalah dua putra pangeran Sangupati. Ia salah seorang penyebar agama Islam di Lombok dalam sebuah babad yang tertulis di atas daun lontar disebutkan bahwa tokoh ini mempunyai dua orang putra, Nurcahya dan Nursada, Nurcahya digambarkan sebagai pendiri Waktu Lima dan Nursada sebaga pendiri Wetu Telu, yang pertama digambarkan sebagai muslim yang ortodox, sementara yang terakhir sebagai muslim yang tradisional dan sinkretik.

BIBLIOGRAFI

Budiwanti, Erni. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS, 2000.

de Graaf, H.J. dan T h.G.Th. Pigeaud . Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16. Jakarta: Pustaka

Wallace, AR. The Malay Archipelago. The Land of the Orang Utan, and the  Bird of Paradise. Oxford: Oxford Univ ersity Press, 1986.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *