Kacamata awalnya muncul sebagai alat bantu penglihatan. Namun, seiring berjalannya waktu, kacamata tidak hanya memiliki fungsi medis, tetapi juga menjadi bagian dari tren fashion kehidupan sehari-hari.
Kapan Kacamata Ditemukan?
Sulit untuk melacak siapa penemu pertama kacamata. Akan tetapi, masalah kesehatan mata dan prinsip dasar kacamata sebagai alat bantu penglihatan sudah ada sejak abad kuno.
Pada masa Romawi, masalah penglihatan sudah mulai banyak diderita oleh penduduknya. Orator besar Romawi, Cicero (106-43SM), merasa iba menyaksikan orang-orang dengan masalah penglihatan harus bergantung pada para budaknya untuk membaca tulisan.
Lucius Annaeus Seneca, seorang filsuf dan penulis Romawi, tercatat menggunakan bulatan kaca berisi air untuk memperbesar tulisan dalam buku-bukunya. Sementara itu, Kaisar Nero (37-68), menggunakan bulatan batu hijau transparan untuk menyegarkan matanya ketika menonton pertarungan gladiator.
Munculnya Batu Baca
Cendekiawan dan astronom Arab, Ibnu Haitham (sekitar 965-1040 ), lewat karyanya Kitab al-Manaazir, menjadi ilmuwan pertama yang merekomendasikan penggunaan lensa yang diperhalus untuk orang yang menderita gangguan penglihatan. Namun, idenya untuk menggunakan bagian dari bulatan kaca untuk pembesaran optik baru diaplikasikan bertahun-tahun kemudian.
Pada tahun 1240, Kitab al-Manaazir diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mulai dipelajari oleh banyak komunitas biara di Eropa. Realisasi gagasan Ibnu Haitham muncul ketika para biarawan Italia mengembangkan lensa semi-bulat dari kristal batu dan kuarsa. Batu baca ini bila diletakkan pada sebuah tulisan bisa memperbesar huruf-hurufnya.
Lensa batu ini dianggap sebagai berkah bagi banyak biarawan tua yang menderita presbiopi (rabun dekat) kala itu. Kualitas hidup mereka meningkat secara dramatis berkat kehadiran “batu baca”. Meskipun alat ini membantu penglihatan orang sehari-hari, tetapi masih berbeda jauh dari kacamata era sekarang.
Cikal bakal kacamata modern berakar dari pulau Murano, yang terletak di sebelah utara Venesia. Pulau ini terkenal sebagai pusat pembuatan kaca, dan meski para pengrajinnya memiliki keahlian khusus, mereka tidak diizinkan untuk membagikan formula pembuatan kaca kepada orang luar. Formula pembuatan kaca dianggap rahasia, bahkan para pengrajin dilarang meninggalkan pulau ini. Bagi yang melanggarnya bisa dikenai hukuman mati.
Pada akhir abad ke-13, para pengrajin Murano berhasil membuat terobosan besar dalam pembuatan kacamata. Untuk pertama kalinya, mereka menggiling dua lensa cembung dan menempatkan masing-masing lensa di dalam sebuah cincin kayu bertangkai yang dihubungkan dengan paku keling.
Meskipun belum dilengkapi alat untuk mengaitkannya ke kepala, penemuan ini dianggap sebagai embrio dari kacamata modern. Teknologi baru ini dianggap lebih baik dari batu baca yang digunakan pada era sebelumnya. Pemakaiannya juga terbilang cukup mudah, pemakai hanya perlu memegang “kaca ganda” di depan mata mereka.
Penemuan ini bahkan diabadikan dalam sebuah bangunan di wilayah tersebut. Pada tahun 1352, Tomasso Da Modena menciptakan lukisan dinding di rumah kapel biara Dominikan San Nicolo di Treviso, yang mencakup sebuah kaca pembesar dan sepasang kaca mata keling.
Dalam lukisan ini, Tomasso menggambarkan 40 cendekiawan Dominika yang sedang duduk di meja kerja mereka. Salah satu lukisan menunjukkan seorang pria yang menggunakan kaca pembesar genggam, sementara lukisan lainnya menampilkan seorang pria yang memakai sepasang kacamata yang diletakkan di atas hidungnya.
Para ahli menganggap karya ini sebagai lukisan paling awal yang secara jelas menggambarkan penggunaan kacamata.
Lambat laun, pengetahuan tentang pembuatan kacamata tidak lagi terbatas di Venezia. Meskipun regulasi telah diberlakukan untuk mengontrol pengetahuan para pengrajin, informasi tersebut mulai menyebar ke berbagai wilayah di Eropa. Jerman menjadi salah satu negara yang mengadopsi pengetahuan ini, seperti yang terbukti dengan penemuan kacamata keling di Biara Wienhausen.
Seiring berjalannya waktu, para pembuat kaca berusaha meningkatkan kenyamanan kacamata. Salah satu langkahnya adalah menggantikan tangkai berbentuk paku keling dengan lengkungan dan frame kayu dengan timah. Inovasi ini membawa lahirnya tesmak dengan lengkungan yang lebih mirip dengan desain modern. Para ahli juga bekerja sama dengan pembuat kaca untuk membantu menyesuaikan lensa agar sesuai dengan kebutuhan pasien.
Walaupun popularitas kacamata semakin meningkat, tidak ada bukti yang menunjukkan adanya penggunaan tesmak di kalangan perempuan. Realitas tersebut tidak mengejutkan karena sebagian besar kacamata yang diproduksi diperuntukkan untuk orang yang rabun dekat, sedangkan perempuan kala itu tidak diizinkan untuk melek huruf, sehingga mereka dianggap tidak membutuhkannya. Kendati pada masa setelahnya makin banyak perempuan yang melek huruf, harga alat masih terlampau mahal dan hanya dimiliki golongan elite.
Pada abad ke-16, kacamata mulai menjadi simbol fashion dan status sosial. Bahan yang digunakan pun semakin beragam, termasuk kulit, cangkang kura-kura, tulang ikan paus, perak, dan perunggu. Semua bahan ini dianggap langka dan hanya dapat dibeli oleh kalangan kaya.
Pengrajin Spanyol, pada abad ke-17, mulai mengembangkan kacamata dengan memasang tali benang untuk menggantikan tali kulit atau logam yang tidak nyaman. Para misionaris Spanyol dan Italia kemudian membawa banyak kacamata dalam perjalanan misionarisnya di Cina dan wilayah sekitar Asia. Orang-orang Cina kemudian menambahkan pemberat pada benang pengait agar dapat tetap terpakai meski digunakan melakukan aktivitas lain.
Penemuan Kacamata Modern
Model kacamata yang dikenakan saat ini mulai muncul pada awal abad ke-18. Benjamin Martin, seorang produsen kacamata terkenal, menjadi orang pertama yang menciptakan tesmak modern yang dapat bertengger di hidung tanpa perlu dipegang atau diberi pemberat.
Kacamata ini didesain dengan lensa bulat sempurna, dilengkapi frame hitam yang dirancang untuk melindungi pemakainya dari kerusakan ringan dan mengurangi silau. Sebagian besar frame terbuat dari perak atau baja, sedangkan bagian rims terbuat dari tanduk atau kulit penyu.
Pada awalnya, tantangan utama kacamata jenis ini adalah masalah kesesuaian. Terkadang, kacamata mudah meluncur dari wajah pemakainya jika tidak pas. Bahkan jika posisinya berhasil dipertahankan, itu seringkali memerlukan usaha ekstra dan bisa menyebabkan iritasi.
Namun, keuntungan terbesar dari jenis ini dibandingkan pendahulunya terletak pada kepraktisannya, karena memiliki lengkungan untuk hidung dan pelipis yang menahan kacamata melalui telinga.
Pada masa ini, ilmu pembuatan kaca sudah mencapai tingkat kemajuan yang memungkinkan para pembuat kaca membedakan antara lensa cekung dan cembung. Kemajuan ini mendorong penyempurnaan tesmak ntuk penderita rabun jauh.
Memasuki penghujung abad ke-18, Benjamin Franklin melakukan desain ulang pada kacamata untuk memenuhi kebutuhan orang yang kesulitan melihat jarak jauh dan membaca. Desain ulang ini menghasilkan lensa bifokal, yang merupakan kombinasi antara lensa cekung di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Tidak lama setelahnya, pada tahun 1825, Sir George Airy mengembangkan lensa silindris untuk mengoreksi astigmatisme.
Pada paruh kedua abad ke-19, penggunaan kacamata semakin umum di masyarakat. Seiring dengan produksi massal yang dilakukan, Kacamata beralih dari alat eksklusif yang hanya bisa digunakan oleh orang kaya menjadi alat bantu yang bisa dinikmati setiap individu.
Para produsen mulai bersaing untuk membuat kacamata semakin modis dan nyaman. Berbagai bentuk frame dan lensa baru diproduksi dengan model yang beragam. Penggunaan plastik semakin populer sebagai bahan frame karena harganya yang terjangkau dan fleksibel.
Pada tahun 1980-an, lensa kaca yang terkenal berat mulai digantikan oleh lensa plastik atau mika. Selain lebih ringan, lensa ini juga tidak mudah pecah dan dapat dibuat lebih tipis untuk kenyamanan pengguna.
Baca juga: Louis Braille dan Penemuan Huruf Braille
Kini, teknologi dan pengetahuan tentang kacamata terus maju dengan diperkenalkannya lensa yang dilapisi pelindung sinar UV, radiasi layar komputer, dan perlindungan terhadap silau. Di masa depan, dapat diantisipasi bahwa akan ada lebih banyak kemajuan dalam bidang penglihatan, seperti lensa kontak yang lebih baik atau prosedur operasi LASIK yang lebih terjangkau.
Bibliografi
Gilson, M. (1997). The history of eyeglasses. Bulletin de la Societe Belge D’ophtalmologie, 264, 7-13.
Ilardi, V. (2007). Renaissance vision from spectacles to telescopes (Vol. 259). American Philosophical Society.
Leigh, L. (2022). Crystal-Clear Vision–The Ancient History of Eyeglasses.
Rosen, E. (1956). The invention of eyeglasses. Journal of the history of medicine and allied sciences, 11(1), 13-46.
Veyrat, N., Blanco, E., & Trompette, P. (2008). Social embodiment of technical devices: eyeglasses over the centuries and according to their uses. Mind, Culture, and Activity, 15(3), 185-207.