Karel Agung atau Charlemagne merupakan salah satu penguasa terbesar dalam sejarah Eropa. Kemunculan Karel sebagai Raja Frank membawa harapan baru bagi Dunia Barat yang telah lama mengalami keterpurukan pada Abad Pertengahan. Pengaruh kuatnya di bidang politik dan sosial membuatnya digelari sebagai Bapak Eropa. Penggunaan kekuatan militer dan kemampuannya untuk berimprovisasi menggunakan sistem baru memperluas Eropa barat yang sedang berjuang menuju sebuah kerajaan yang kuat.
Karel membentuk kembali Eropa abad pertengahan awal dengan menyatukan sebagian besar Kristen Latin dan berkontribusi terhadap pelestarian pembelajaran bahasa Latin klasik. Dengan demikian ia meletakkan fondasi untuk perkembangan politik dan budaya di Eropa selama berabad-abad yang akan datang. Ia termasuk di antara orang-orang yang paling penting – sejajar dengan Heraclius dari Byzantium, Nabi Muhammad, dan Sui Wendi (pendiri dinasti Sui China) – yang berkontribusi dalam membentuk dunia Eurasia pasca-klasik.
Perjalanan Karel Agung Menuju Kekuasaan
Karel Agung lahir sebagai putra sulung Pepin , raja kaum Frank (751-768), dan istrinya Bertrada dari Laon pada tahun 742 M. Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pada masa kecilnya ia lebih banyak mendapat pelatihan militer dari ayahnya daripada belajar dari buku. Ia baru dapat membaca ketika sudah dewasa dan tidak pernah belajar menulis. Meskipun demikian Karel merupakan sosok yang religius dalam mengamalkan agama Kristen.
Pada tahun 754, ketika Karel berusia 7 tahun, ia dinobatkan sebagai putra mahkota oleh Paus Stefanus II, bersama dengan adiknya Karloman yang baru berusia 3 tahun. Atas penobatan itu, keduanya bisa mengklaim adanya restu Tuhan bagi kekuasaan mereka.
Setelah kematian ayahnya, kerajaan Frank terbagi antara Karel dan adik laki-lakinya Karloman di tahun 768. Mereka membagi dua pelaksanaan pemerintahan kekaisaran itu. Karel menguasai wilayah bagian utara dan pesisir, sementara Karloman menguasai semua teritori bagian selatan.
Karel sempat menjadi target konspirasi Desiderus, Raja Lombard, setelah ia menceraikan putrinya dan menikah dengan gadis Alemanni bernama Hildegard. Desiderus kemudian mengusulkan kepada Karloman agar keduanya bersatu untuk menghancurkan kakaknya. Namun, ketika rencana itu sedang dirumuskan Karloman meninggal tiba-tiba pada tahun 771. Karel pun menjelma menjadi penguasa tunggal, dengan menguasai tanah saudaranya dan menyatukan kembali wilayah kaum Frank.
Usaha untuk Memperluas Kekuasaan
Tidak lama setelah menjadi penguasa tunggal, Karel berusaha memperluas wilayah kekaisaran Frank melalui invasi. Pada tahun 772, ia pergi berperang melawan bangsa Saxon yang hidup di seberang Sungai Rhein. Ia belum memikirkan wilayah selatan, tempat Desiderus sedang merencanakan penyerangan.
Pertama-pertama, Karel ingin mengekspansi kerajaannnya ke utara. Wilayah di sekitar Sungai Rhein adalah daerah yang kaya. Lagi pula, suku-suku Saxon tidak hidup bersatu. Mereka terpecah ke dalam tiga bagian: Saxon Tengah di Sungai Weser, suku Estphalian di Elbe, dan suku Westphalia di pesisir. Tentu saja kondisi ini semakin mendukung invasi Karel.
Karel masuk ke wilayah Saxon pada 772. Ia berhasil menerobos pertahanan bangsa Saxon yang tidak terorganisasi hingga masuk ke Hutan Teutoburg. Di hutan itu, ia menginstruksikan pasukan untuk menghancurkan tempat paling sakral masyarakat Saxon, yaitu Irminsul (tiang kayu raksasa yang merupakan representasi pohon suci penopang surga.
Karel ingin menunjukan kepada masyarakat Saxon bahwa sebagai raja Kristen yang dipilih oleh Tuhan, ia berada di atas masyarakat Saxon dan dewa-dewa mereka. Penghancuran Irminsul kelak justru menjadi bumerang, karena masyrakat Saxon mulai bersatu secara politik dengan ikatan kepercayaan yang sama.
Kemenangan atas Desiderus dan Runtuhnya Kerajaan Lombard
Setelah meninggalkan Saxon untuk sementara waktu, Karel kembali ke negerinya dan menyiapkan serangan ke Italia. Tahun berikutnya, ia menyeberangi Alps dan terus bergerak untuk menyerang Raja Lombard, Desiderus.
Pasukan Desiderius dan Lombard bertemu dengannya di utara Italia. Karel berhasil memukul mundur Raja Lombard kembali ke ibu kotanya, Pavia dan mengepung kota itu. Pengepungan itu berlangsung selama hampir setahun (773- 774). Karel tidak mau berhenti hingga Desiderius mundur dan menyerahkan diri kepadanya.
Setelah pengepungan itu berakhir, Karel tidak mengeksekusi Desiderius, tetapi malah memenjarakannya di suatu biara di Francia utara. Sementara anak laki-laki Desiderius sekaligus pewaris takhtanya melarikan diri ke Konstantinopel. Di sana, ia mendapat perlindungan istana kerajaan.
Karel yang saat itu berusia 27 tahun menjadi raja tunggal bagi semua masyarakat Frank dan Lombard Italia. Pada 774, ia mengambil mahkota besi masyarakat Lombard (masyarakat Lombard percaya bahwa lingkaran mahkota itu merupakaan tempaan salah satu paku salib Yesus). Kerajaan Lombard pun punah. Kemenangan itu merupakan salah satu dari banyak kemenangan besar dalam invasi kekaisaran yang membuatnya mendapat julukan Karel yang Agung.
Kegagalan Invasi Andalusia
Terinspirasi oleh kemenangan di wilaya timur laut dan tenggara, Karel Agung kemudian mulai bergerak ke barat laut. Karel berambisi menyerang Andalusia yang tengah membangun sebuah imperium baru.
Sementara itu, di barat laut, permasalahan pembagian wilayah Abdurahman atas Emirat Kordoba belum selesai. Pada 778, sebuah kelompok yang tidak sepakat dengannya di wilayah bagian timur laut Andalusia, yang dipimpin oleh Suleiman al-Arabi mengundang Karel Agung untuk membantu mereka lepas dari kekuasaan Umayyah. Mereka menjanjikan kota Zaragoza yang berada di balik perbatasan Emirat Kordoba akan membuka pintu dan menjadi basis operasi Karel.
Undangan itu pada awalnya tampak menggiurkan, tetapi pada perkembangannya menjadi malapetaka. Karel bergerak ke Zaragoza bersama pasukannya dengan visi menaklukan Andalusia. Namun, ketika ia sampai di Zaragoza, gubernur kota itu-yang sebelumnya sudah bersekutu dengan Suleiman-berubah pikiran dan menolak kehadiran Karel Agung.
Akibat dari penolakan itu, Karel terpaksa membangun kamp di luar kota itu selama beberapa minggu dan pintu gerbang kota pada akhirnya tidak pernah dibuka baginya.
Di situasi yang tidak menguntungkan sekaligus membahayakan ini, Karel akhirnya dipukul mundur melalui Pyrene. Ia marah besar dan dalam perjalana pulang ia menghancurkan benteng Pamplona saat melewatinya.
Seperti penghancruan terhadap Irmunsul, perusakan benteng itu merupakan suatu kecerobohan. Hal ini karena Pamplona tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan emir Kordoba, melainkan merupakan rumah bagi masyarakat Vascone, sebuah suku yang sudah ada di Hispania sebelum pemerintahan Roma datang. Mereka bertahan hidup di pegunungan itu selama pendudukan Roma, pengambilalihan Visigoth dan selama datanganya pasukan Arab. Suku ini kuat, independen dan memiliki sumber daya yang banyak.
Tidak terima dengan tindakan Karel Agung, Suku Vascone melakukan balas dendamterhadap Karel saat ia pulang ke kerajaannya melewati pegunungan itu. Tepat di Pass Roncesvalles, suku itu menyerang barisan akhir pasukan raja Frank itu. Mereka menghancurkan semua kereta barang dan membunuh para penjaga belakang.
Suku itu menggunakan senjata-senjata ringan dan mereka berpengalaman di medang pegunungan. Setelah membunuh, mereka menghilang ke medan-medang sulit di sekitarnya. Sementara pasukan Frank yang terbebani senjata dan zirah berat tidak dapat mengejar mereka.
Penyergapan itu benar-benar menghancurkan Karel Agung, karena sejumlah pejabat tingginya berada di bagian belakang barisan. Salah satu yang tewas adalah Roland, Tuan dari Breton Maches, bangsawan yang memimpin daerah Frank di pesisir bagian barat.
Meskipun banyak cerita yang menolak fakta tragedi penyergapan itu. Kenyataan sebenarnya, Pertempuran Roncesvalles mengakhiri semua ambisi Karel Agung di Andalusia pada periode tersebut. Ia tidak pernah lagi memaksakan diri melewati Pyrenea dengan gegabah dan baru mencobanya lagi pada akhir abad ke-8 M.
Kemajuan Kerajaan Frank
Kegagalan invasi di Andalusia tidak menghentikan sepak terjang Karel. Kekuasaan Karel Agung tetap semakin luas dan kuat. Bahkan, pengaruhnya mulai mengancam teritori Byzantium yang berada di semenanjung Italia.
Dalam membantunya mengatasi dan mengatur musuh sekaligus wilayah yang berbeda, Charlemagne beruntung memiliki tiga putra yang cakap dan setia. Putranya Charles (wafat 811) memerintah bagian barat laut tanah Frank Charlemagne yang dikenal sebagai Neustria, sementara Pepin (wafat 810) memerintah Italia, dan Louis ( wafattahun 840) memerintah atas Aquitaine. Dua yang terakhir khususnya memperjuangkan kampanye panjang dan keras baik dengan ayah mereka atau atas namanya.
Karel adalah pemimpin besar tidak hanya dalam kekuasaan, tetapi juga dalam hal perannya sebagai Raja Kristen. Hari-hari kerja pejabat di istana yang dulunya pemalas, telah berubah menjadi kenangan masa lalu. Karel telah mengumpulkan para sarjana dan klerus di sekelilingnya yang berusaha keras menyempurnakan gap-gap pendidikan selama masa kecil Karel Agung.
Para sarjana dan kaum klerus itu tidak hanya membahas persoalan teologi, filsafat dan tata bahasa, melainkan juga memanggil Karel dengan panggilan Raja Daud (Raja dan Nabi Yahudi, ayah dari nabi Sulaiman).
Hasil dari program pendidikan ini sangat mengesankan dan menghasilkan budaya serta pembelajaran yang disebut Renaissance Carolingian. Sejumlah biara Carolingian Benedictine menjadi pusat belajar yang dinamis, seperti Fulda, St. Gall, dan Reichenau. Para pastur di institusi ini dengan tekun mengatur pelajaran tata bahasa dan retorika Latin klasik. Dalam prosesnya literatur klasik itu juga disalin dan dipelihara untuk generasi selanjutnya.
Di bawah bimbingan tutor pribadinya bernama Alcuin, tokoh gereja Britania yang direkrut oleh Karel Agung untuk mendidik putra-putranya, misi kepemimpinan Kristen Raja Frank itu semakin kuat dan kokoh.
Semua penaklukan yang ia lakukan dalam pandangan pribadinya tidak lebih dari upaya evanggelisasi yang kuat. Ia membawa firman Tuhan kepada orang-orang keras kepala, yang membutuhkan keselamatan bukan saja dari dosa-dosa smereka, melainkan juga dari kekerasan hati mereka untuk mendengarkan Firman Tuhan.
Pada awal dekade 780-an, Karel telah menyelesaikan invasi terhadap bangsa Saxon. Resistensi bangsa Saxon terhadap kekuasaannya membuat Karel Agung murka, sehingga pada 782 ia memerintahkan agar 450 tahanan Saxon dibunuh.
Pemimpin Saxon bernama Widukind melarikan diri, tetapi setelah tiga tahun melarikan diri, ia akhirnya dipaksa menyerahkan diri. Sebagai bagian dari penyerahan dirinya, Widukind harus menerima pembaptisan Kristen. Setelah itu, Karel memutuskan bahwa setiap orang Saxon yang tidak mau dibatis dan tetap memilih kehidupan paganisme akan dihukum mati. Selain itu, orang Saxon yang mencuri barang gereja atau melakukan kekerasan terhadap pastur juga akan dihukum mati.
Penasehat Karel, Alcuin, keberatan dengan kebijakan itu. Ia memohon kepada raja Frank itu untuk memperlembut ancamannya dan jangan memaksa mereka dengan tekanan publik hingga iman tumbuh di dalam hati mereka.
Karel mempertimbangkan saran itu dan menyetujuinya dengan meniadakan hukuman mati bagi mereka jika melanggar. Namun, hal ini tidak mengubah misinya, karena ia yakin membawa keselamatan , melainkan juga menyebarkan praktik kehidupan dan doktrin ke dunia barat.
Walaupun Karel terus memperluas pengaruhnya, terdapat satu kerajaan yang tidak mau mengakui Karel sebagai raja Kristen. Ia adalah Irene, kaisar perempuan Bizantium. Ia beranggapan bahwa ialah yang memegang otoritas hukum Allah di dunia. Dalam pandangan Karel sendiri, Irene bukan saja seorang perempuan dan lintah darat, melainkan pemuja lambang-lambang berhala.
Pada saat yang bersamaan, Karel Agung terus mendapat bukti nyata dari statusnya di antara kerajaan-kerajaan di Barat. Pada 798, pemimpin Asturias, kerajaan Kristen yang berada di pegunungan utara Andalusia, mengutus dutas besar untuk meminta pengakuan Karel.
Raja Asturia, Alfonso II ingin mendapat pengakuan Karel, raja Kristen terbesar dan terkuat di Barat atas legitimasi kekuasaannya. Tanpa ragu, Raja Frank itu langsung memberikan pengakuan resminya.
Gelar Karel Agung
Pada tahun 799, Karel mendapat tugas kerajaan yang lebih besar lagi. Paus Leo III, yang telah mengemban takhta kepausan di Roma sejak 795, tengah menghadapi masalah besar. Ia tidak populer sama sekali di Roma, mungkin karena ia bukan aristokrat atau dipandang tidak bermoral dan tidak jujur. Namun, apa pun alasannya, pergolakan tetap meledak di Roma hingga mencapai puncaknya pada 799.
Ketika itu, seklompok musuh Leo III menyerangnya di tengah perayaan suci. Mereka mencoba mencabut kedua mata dan memotong lidahnya, tetapi Leo III berhasil melarikan diri. Ia kemudian melarikan diri kepada Karel Agung dan ia meminta raja untuk membantunya mengusir musuh-musuhnya dari kota Roma.
Pada prosesi penyucian Leo III menjadi paus, Karel Agung telah berjanji untuk membelanya. Meskipun sebagian besar pejabat tinggi Frank percaya bahwa tuntutan-tuntutan masyarakat kepada Leo III itu benar, tetapi itu tidak merubah pendirian Karel. Ia tetap bersikukuh bahwa Paus tidak dapat dilengserkan dengan cara-cara duniawi. Sikap Karel diamini oleh penasehatnya, Alcuin, dengan menunjukan bahwa Karel Agung saat itu adalah satu-satunya representasi Tuhan.
Setelah tekadnya bulat. Pada tahun 800, Karel Agung mengantar pulang Paus Leo III ke Roma dengan dilindungi oleh pasukannya. Ia mengikutinya dengan membawa pasukan dalam jumlah banyak ke kota itu.
Sesampainya di Roma, Leo III meletakan tangannya di atas salinan injil yang ada di Katedral St. Petrus dan bersumpah di hadapan para saksi bahwa ia tidak bersalah. Dengan Karel Agung berada di sampingnya, sumpah tidak bersalah itu menjadi sah dan efektif.
Raja Frank itu tinggal di Roma hingga Hari Raya Natal. Ia mengikuti misa pagi, berlutut berdoa dan ketika bangkit berdiri, Leo III melangkah maju dan mengenakan mahkota emas di kepalanya. Dengan itu, ia telah dimahkotai sebagai imperator et augustus, gelar-gelar yang pada sebelumnya diberikan kepada raja Konstantinopel.
Pemahkotaan Karel pada Hari Natal hanyalah pengakuan formal atas otoritas yang dimiliki Karel Agung selama masa itu: otoritas atau kekuasaan untuk tampil sebagai penjaga iman, penjamin berkembangnya peradaban dan kuasa sipil tertinggi di seluruh wilayah Kristen.
Aliansi dengan Harun al-Rasyid dan Puncak Kejayaan Karel Agung
Sebagai raja Kristen terbesar saat itu, Karel juga memerlukan aliansi kuat untuk menjamin kepentingannya. Salah satu aliansi yang dibangunnya adalah dengan Harun al-Rasyid, Khalifah Abbasiyah.
Karel Agung tidak hanya membendung ekspansi Byzantium ke Barat, melainkan juga membantu menjaga kepentingan Abbasiyah dari Ummayah di Kordoba. Terlebih pada 795, ketika kota Girona, Cardona, Ausona dan Urgell di Andalusia membelot dan bergabung dengan kerajaan Frank. Pada 797, Barcelona, kota terbesar di kawasan ini, jatuh ke tangan kaum Frank saat Zeid, gubernurnya, memberontak melawan Kordoba. Pasukan Frank terus maju melawan Emir al-Hakam, mereka merebutTarragona pada tahun 809 dan Tortosa pada tahun 811 sekaligus menandai puncak invasi Karel Agung. Serangan pamungkas Karel ke Andalusia tentu saja membawa keuntungan bagi Khalifah al-Rasyid.
Kepentingan antar Karel Agung dan Khalifah al-Rasyid sebenarnya lebih banyak berkaitan dengan rute perdagangan daripada soal penaklukan.Seperti yang diketahui, al-Rasyid adalah pemimpin yang pandai dalam mengatur urusan perekonomian negerinya. Sepuluh tahun setelah menjadi khalifah, ia memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Ar-Raggah, yang berada lebih dekat dengan rute perdagangan utara menuju wilayah Khazar. Perhatian al-Rasyid menjaga rute-rute perdangan membuatnya semakin akya, hingga kemasyurannya menjadi legenda Kisah Seribu Satu Malam.
Duta besar kerjaan Karel Agung dan al-Rasyid saling mengunjungi. Melalui para duta besar yang dikirimkan ke Aachen (ibu kota baru yang dipilih Karel Agung), al-Rasyid mengirimkan cenderamata: jam yang digerakan dengan air, catur, rempah-rempah dan gajah albino bernama Abu Abas. Karel Agung menyukai hadiah-hadiah dari al-Rasyid, khususnya gajah. Ia menggunakan gajah tersebut dalam propaganda perang ketika harus melawan invasi Skandinavia ke utara yang tentu saja membuat mereka terkejut.
Pada 807, al-Rasyid memberikan bukti lain kepada Karel Agugn berupa tempat tinggi bagi kerajaan Frank dalam hierarki kristiani. Ia sepakat untuk membuat ketetapan yang akan melindungi semua tempat suci Kristen di Yerusalem. Yerusalem pada waktu itu berada di bawah pemerintahannya Daulah Abbasiyah.
Para peziah Kristen akan diperbolehkan tanpa batasan untuk mengunjungi Gereja Makam Suci dan tempat-tempat suci lain umat Kristen. Selain itu ia juga berjanji memberikan perlakuan istimewa bagi para peziarah Fank. Bersamaan dengan itu, uskup Yerusalem mengim dua rahib ke Aachen untuk menyerahkan kunci untuk masuk Gereja Sepulchre Suci.
Baca juga: Abad Pertengahan Eropa
Aliansi dua penguasa besar pada masa itu sekaligus menandai puncak kejayaan Karel Agung. Namanya tidak hanya terkenal di dunia Barat, tetapi juga terdengar hingga dunia Timur. Sayangnya perjalanan Karel Agung harus berhenti pada tahun 814, ketika ia meninggal dunia pada umur 72 tahun. Sebelum ia meninggal, Karel telah menunjuk anaknya Louis I sebagai penggantinya dan memahkotainya di Aachen pada 813.
Karel meninggalkan warisan penting bagi kebangkitan Eropa pada masa selanjutnya. Pengaruh Karel terhadap urusan budaya bahkan mungkin lebih mencolok daripada prestasi politik dan militernya, karena ia dilatih dalam hal terakhir namun bukan yang pertama. Meskipun masa kecilnya kurang terpelajar, ia menaruh minat pada literatur, pembelajaran, dan bahkan doktrin Gereja.
Selain bahasa Jermannya yang asli, ia juga mengenal bahasa Latin dan sedikit bahasa Yunani. Melalui teladan pribadinya dan dengan menyediakan lingkungan yang ramah bagi para ilmuwan, ia memupuk apa yang para sejarawan sebut sebagai Renaisans Caroling, tahap penting dalam pembentukan identitas budaya Eropa barat. Prestasi ini sekaligus membenarkan reputasi Karel Agung sebagai Bapak Eropa.
BIBLIOGRAFI
Ackermann, Marsha E (ed). 2008. Encyclopedia Of World History: The Expanding World 600 c.e. to 1450. New Yorl: Facts on File.
Barbero, Alessandro. 2004. Charlemagne: Father of a Continent. Berkeley: University of California Press.
Bauer, Susan Wise. 2016. Sejarah Dunia Abad Pertengahan: Dari Pertobatan Konstantinus Sampai Perang Salib Pertama. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Mc. Kitterick, R. (Ed.). 1995. The new Cambridge medieval history, c. 700–c. 900. Cambridge: Cambridge University Press.
Mc. Neill William H. 2010. Berkshire Encylopedia of World History 2nd Edition. Massahusetts: Berkshire Publishing Group.