Monumen adalah bangunan yang dibangun untuk menandai atau mengingatkan atas terjadinya suatu peristiwa penting (Fardilla, 2012: 1). Peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai peristiwa heroik seperti perang dan proklamasi kemerdekaan atau peristiwa menyedihkan seperti tragedi pembunuhan massal atau bencana alam.
Kombinasi monumen dan ingatan sosial menjadi salah satu sebab tempat ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Pengunjungnya pun beraneka-ragam mulai dari politik, penyandang duka, korban selamat, atau pemimpin agama. Mereka yang datang biasanya untuk berkabung, berdoa, menghormati para pejuang atau mengenang peristiwa yang terjadi (Boret, 2018).
Monumen tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jarang sekali tidak ditemukan monumen di suatu kota, sehingga monumen seakan telah menjadi arsitektur wajib kota. Wujudnya pun beraneka ragam, sehingga tidak jarang monumen juga menjadi identitas suatu daerah atau negara (Adam, 2013:1).
Selain menjadi identitas suatu daerah, monumen juga menjadi salah bukti narasi suatu peristiwa sejarah masyarakat sekitar (Duncan, 2009: 431). Namun, dari beraneka ragam monumen yang hadir ternyata memiliki beragam kegunaan, sehingga monumen tidak hanya menjadi lambang suatu kota/negara, tetapi lebih dari itu setiap monumen memiliki kegunaan masing-masing.
Pada masa rezim Orde Baru berkuasa, pembangunan monumen gencar dilakukan. Monumen Lubang Buaya, Monumen Yogya Kembali dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret 1949 hanya sedikit contoh dari monumen yang dibangun pada masa itu. Gencarnya pembangunan ini menandakan bahwa monumen dianggap memiliki arti penting oleh rezim ini.
Anehnya, rata-rata monumen yang dibangun pada saat itu berkaitan dengan rezim yang berkuasa. Akhirnya muncul pertanyaan apa sebenarnya tujuan dan fungsi pembangunan monumen itu.
Monumen dan Ingatan Sosial
Keterkaitan monumen dan politik biasanya tidak terlepas dari narasi dominan yang bertujuan untuk pembangunan suatu bangsa. Borut (2017:3) menjelaskan bahwa monumen dan bangunan yang didirikan setelah perang mewakili perwujudan dari narasi dominan untuk menciptakan, memperkuat, dan memelihara kesadaran nasional.
Pentingnya monumen dalam pembentukan sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari tiga konsep: Ingatan kolektif, mythscape, dan nasionalisme. Ingatan yang dibentuk oleh politik memori ini sering disebut juga sebagai ingatan kolektif yang dapat didefinisikan sebagai model framing sosial yang mengintegrasikan pemahaman individu dalam konteks budaya (Dickerman, 2018: 184; Halbwach, 1980: 84).
Dalam kasus ini, ingatan sosial tidak berarti bahwa semua orang dalam masyarakat memiliki ingatan yang sama mengenai sebuah kejadian, tapi bahwa seluruh masyarakat membicarakan peristiwa itu, menganggapnya penting, dan memperdebatkan arti pentingnya (Rossa, 2004: 10).
Ada pun mythscape merupakan konsep perpanjangan ruang dan waktu di mana mitos-mitos bangsa ditempa, ditransmisikan, dinegosiasikan, dan direkonstruksi terus-menerus.
Setelah kedua hal itu terpenuhi, maka proses terakhir adalah nasionalisme. Nasionalisme menjadi ideologi yang mengarahkan tujuan akhir suatu bangsa dan sebagai kekuatan terbesar untuk melakukan mobilisasi masyarakat dengan tujuan bersama (Connor 2017: 22; Raymond, 2018: 289; Katharine, 2003: 112).
Hubungan monumen dan politik memori telah ada sejak zaman kuno, hal itu dibuktikan dengan berbagai monumen legendaris seperti Patung Spinx, Piramida, Candi, Tembok Besar CIna dll. Hampir mirip seperti sekarang, monumen-monumen tersebut juga dibangun oleh para penguasa masa lalu untuk menunjukkan kebesaran kekuasaannya.
Monumen pada masa kuno ini juga tidak dapat dilepaskan dari pembentukan ingatan sosial, sehingga para penguasa saling berlomba membangun monumen-monumen menakjubkan agar apa yang mereka capai selama berkuasa bisa diketahui generasi selanjutnya.
Untuk mencapai ambisi itu, mereka tidak jarang melakukan penindasan yang berakibat pada hilangnya nyawa rakyat dalam pembangunan, seperti proses pembangunan piramida yang memakan waktu bertahun-tahun (Herodotus, 1921: 178)
Di benua Eropa abad modern, monumen sebagai alat propaganda sangat umum digunakan, biasanya penguasa berharap dapat melegitimasi dan memperkuat kekuasaannya.
Seperti yang dilakukan Uni Soviet pasca-Revolusi Bolshevik, dengan mendirikan patung tokoh-tokoh Komunis yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam terjadinya revolusi.
Selain di Soviet ada pula pendirian monumen konfederasi di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menutupi kebiadaban mereka di masa lalu terhadap kaum kulit hitam (Dickerman 2018: 179 dan 189).
Sementara itu di Indonesia, hubungan monumen dan politik memori terlihat sekali diterapkan pemerintah Orde Baru dalam melakukan propaganda dan mengendalikan pemahaman tentang peristiwa bersejarah.
Monumen Orde Baru di Lubang Buaya untuk ketujuh jenderal yang terbunuh pada 30 September 1965 adalah contoh paling nyata. Mitos tentang kejadian-kejadian seputar kematian mereka merupakan salah satu landasan dasar dari rezim Soeharto.
Baca juga: Propaganda Orde Baru dan Rekonsiliasi yang Terhambat
Monumen yang dibangun Soeharto untuk memperingati peristiwa ini mencerminkan kepentingannya dalam sejarah narasi Orde Baru dan bahaya komunisme yang disoroti rezimnya (Christoper, 2009: 433; Katharine, 2003: 93).
Selain monumen Lubang Buaya, pembangunan monumen Serangan 1 Maret 1945 dan Monumen Jogja Kembali juga menimbulkan kontroversi. Kedua monumen itu menjadi saksi bagaimana kontestasi narasi terjadi antara Soeharto dan Sultan Hamengkubuwono IX. Terlepas dari fakta bahwa keduanya merupakan figur terpenting dalam serangan itu, namun kontestasi itu tidak terelakan.
Permasalahan muncul ketika Soeharto mulai mengklaim bahwa dirinya adalah tokoh paling berjasa dalam serangan itu, tidak hanya sebagai pemimpin serangan namun juga mengklaim sebagai pencetus ide.
Klaim tersebut merupakan bagian dari usaha untuk meninggikan Soeharto dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia (Adam, 2015: 8-9). Akibatnya mulai muncul keraguan dan pertanyaan di masyarakat yang berkaitan dengan alasan kenapa Soeharto menyisihkan peran sultan (Putra, 2001: 481).
Nampaknya, apapun tujuan pembuatan monumen, bangunan itu sulit dilepaskan dari kontroversi dan kepentingan. Seperti monumen bom Bali, yang dibangun tidak hanya untuk memperingati peristiwa, tetapi juga untuk memajukan narasi umum perdamaian dan rekonsiliasi melawan perpecahan ideologis dan kekerasan yang telah terjadi dari pemboman itu (Lewis: 22).
Meskipun tujuan pembangunannya mulia, tetapi tetap aja protes terhadap pembangunan itu. Seperti protes dari gerakan Islam puritan, yang menganggap pembangunan monumen itu akan memberikan stigma buruk terhadap Islam (Lewis: 23).
Namun berbeda dengan Barat, di Asia monumen tidak selalu murni identik dengan politik, tetapi juga dikombinasikan dengan semangat keagamaan. Hubungan masyarakat dengan budaya Timur yang sangat menjunjung kesakralan agama melatarbelakangi pemerintah membangun tempat-tempat ibadah megah sebagai simbol kekuasaannya. Koch (2017: 185) menjelaskan bahwa masjid-masjid agung di Asia memiliki ciri sebagai berikut:
- Setiap masjid adalah hasil dari perencanaan penguasa, yang didanai negara. Dalam pembangunannyanya masjid ini membawa suatu tatanan simbolik ‘baru’ dan diresapi dengan simbolisme nasionalis atau ideologi yang kuat;
- Masing-masing masjid dirancang dengan fokus untuk menjadi arsitektur ikonik di ibu kota negara, yang berfungsi sebagai daya tarik wisata utama;
- Masing-masing masjid mewakili tempat ibadah lain dalam konteks nasional atau regional.
Monumen sebagai Media Recovery.
Tidak dapat dipungkiri monumen memiliki satu fungsi yang umum digunakan yaitu sebagai tempat berkabung dan mengingat peristiwa yang telah terjadi. Pada titik inilah peran monumen sebagai “mnemonic devices”, teknik yang dapat digunakan seseorang untuk membantu seseorang meningkatkan kemampuan mengingat sesuatu.
Oleh karena itu, monumen sebagai tempat berkabung biasanya juga menjadi situs ingatan kolektif. Baru-baru ini, beberapa penelitian telah menunjukkan kapasitas monumen untuk meningkatkan pemulihan sosial dari masyarakat yang terkena dampak dari suatu bencana.
Meskipun berperan penting, monumen sering dianggap kurang penting sebagai bagian dari respon bencana dan pemulihan. Sehingga monumen baru dibangun bertahun-tahun, jika tidak beberapa dekade, setelah peristiwa terjadi. Contohnya monumen Hiroshima, Washington dan 9/11 yang masing-masing baru selesai dibangun beberapa tahun setelah peristiwa (Boret, 2018: 56; Kirk, 2009: 134).
Setelah dibangun, monumen peringatan menjadi tempat di mana para pelayat, orang yang selamat, politisi, pemimpin agama dan pengunjung lain dapat mengekspresikan kesedihan mereka, memberi penghormatan kepada orang mati, mengungkapkan solidaritas mereka dengan masyarakat yang terkena dampak, dan mengingat tragedi itu.
Selain untuk mengenang suatu bencana, monumen juga dapat digunakan sebagai tempat untuk mengigatkan kembali sejarah yang terlupakan, seperti yang diungkapkan Brian Carroll (2018:159) dalam Monumental Discord: Savannah’s Remembering (and Forgetting) of Its Enslaved, bahwa pembangunan monumen dapat berfungsi sebagai pengingat narasi sejarah yang disingkarkan penguasa.
Dalam kasus ini ia mengambil contoh pemerintah AS yang selalu berusaha menutupi kekejaman rasismenya di masa lampau, dengan menganggap sejarah kulit hitam di AS itu kosong.
Oleh sebab itu, monumen Savannah memiliki peran vital di sini, yakni sebagai senjata dalam rangka kontestasi narasi dan pengingat sejarah masa lampau kulit hitam yang tertindas.
Monumen sebagai Media Pembelajaran
Selain tema politik dan recovery, tema pendidikan menjadi tema umum yang ditemukan pada penelitian-penelitan mengenai monumen. Prinsip monumental sengaja dibubuhkan pada bangunan yang dirancang untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar agar tertuju pada bangunan tersebut.
Oleh karena itulah, perancangan sebuah museum erat kaitannya dengan monumentalisme yang ingin dibangkitkan di dalamnya serta menarik perhatian khalayak yang melintasinya. Prinsip inilah yang kemudian diaplikasikan pada berbagai museum atau bangunan monumen lainnya, sebagai salah satu sarana edukatif yang diharapkan dapat membangkitkan semangat dan minat para penduduk Indonesia khususnya dalam mempelajari beragam hal.
Seiring berkembangnya zaman, fungsi monumen juga semakin berkembang mengikuti perkembangan zaman. Sampai akhirnya monumen juga berfungsi sebagai media pembelajaran, dengan banyak didirikannya museum atau patung untuk memperingati suatu peristiwa.
Sebagai media pembelajaran monumen memiliki lima nilai penting: (1) Nilai edukatif ; (2) Nilai Pengetahuan, unsur; (3) Nilai Artistik; (4) Nilai kepahlawanan; dan (5) Nilai rekreatif (Fardilla, 2001: 1; Ardana. 2013; Sony, 2012: 134; Peter, 1992: 178).
Kedekatan hubungan monumen dan ingatan sosial menandakan bahwa monumen memiliki kapasitas dinamis untuk mewujudkan narasi masa lalu yang disederhanakan dan untuk membentuk memori kolektif yang sesuai keinginan penguasa.
Tujuan dari penyederhanaan ini supaya memori dapat dengan mudah dicerna masyarakat dan proses pembentukan ingatan sosial dapat selesai dengan cepat (Deegan: 26). Namun, akibat dari kebijakan ini banyak narasi penting lain yang disingkirkan karena bertentangan dengan narasi penguasa.
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman. 2015. Melawan Lupa, Menepis Stigma. Jakarta: Kompas.
Anshori, Sony Ali; Yusiana, Lury Sevita; dan Utami, Ni Wayan Febriana. 2012. “Perencanaan Lanskap Monumen Pahlawan Perang Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, Taman Mumbul, Nusa Dua, Bali”. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. Vol. 1, No. 2.
Blackburn, Kevin. 2006. “War memory and nation-building in South East Asia”. South East Asia Research.
Boret, Sébastien Penmellen dan Shibayama, Akihiro. 2017. “The Roles of Monuments for the Dead during the Aftermath of the Great East Japan” Earthquake. International Journal of Disaster Risk Reduction.
Budi, Bambang Setia and Wibowo, Arif Sarwo. 2018. “A Typological Study of Historical Mosques in West Sumatra, Indonesia”. Journal of Asian Architecture and Building Engineering.
Carroll, Brian. 2018. “Monumental Discord: Savannah’s Remembering (and Forgetting) of Its Enslaved”. Visual Communication Quarterly.
Deegan. Connor. 2018. “Why do public monuments play such an important role in memory wars?”. Constellations.
Dickerman, Leah. 2018. “Monumental Propaganda”. The MIT PressJournals.
Duncan, Christopher R. “Monuments and Martyrdom: Memorializing the Dead in Post-Conflict North Maluku”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 165, No. 4, 2009.
Evans, Christopher dan Humphrey, Caroline. 2003. “History, Timelessness and the Monumental: The Oboos of the Mergen Environs, Inner Mongolia”. Cambridge Archaeological Journal.
Halbwach, Maurice. 1980. The Collective Memory. New York: Harper and Row.
Hung, Chang-tai. 2001. “Revolutionary History in Stone: The Making of a Chinese National Monument”. The China Quarterly.
Klabjan, Borut. 2017. “Erecting Fascism: Nation, Identity, and Space in Trieste in the First Half of the Twentieth Century”. Nationalities Papers.
Koch, Natalie; Valiyev, Anar; dan Zaini, Khairul Hazmi. 2018. “Mosques as Monuments: an inter-Asian Perspective on Monumentality and Religious Landscapes. Cultural Geographies, 2017. Journal of Architecture.
Lewis, Jeff; Lewis; Belinda and Putra; I Nyoman Darma. 2013. “The Bali Bombings Monument: Ceremonial Cosmopolis”. The Journal of Asian Studies Vol. 72, No. 1.
Magli, Giulio. 2017. “Royal mausoleums of the western Han and of the Song Chinese dynasties: A satellite imagery analysis”. Archaeological Research in Asia.
McGregor, Katharine E. 2003. “Representing the Indonesian Past: The National Monument History Museum from Guided Democracy to the New Order”. Indonesia No. 75.
Nas, Peter J. M. 1992. “Jakarta, City Full of Symbols: An Essay in Symbolic Ecology”. Journal of Social Issues in Southeast Asia Vol. 7 No. 2.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2001. “Remembering, Misremembering, and Forgetting: The Struggle over Serangan Oemoem 1 Maret 1949”. Asian Journal of Social Science Vol. 29, No. 3.
Raymond, Gregory V. “Mnemonic Hegemony, Spatial Hierarchy and Thailand’s Official Commemoration of the Second World War”. South East Asia Research Vol. 26 (2), 2018.
Rizqiyah, Fardilla dan Setyawan, Wahyu. “Aplikasi Monumentalisme dalam Perancangan Museum Gempa Yogyakarta sebagai Upaya Membangkitkan Kesadaran Masyarakat akan Ketanggapan Terhadap Gempa Bumi di Yogyakarta.” Jurnal Sains dan Seni Its. Vol. 1, No. 1, Sept. 2012.
Roldan, S. Gimenez. “Monuments to Cajal in Madrid, Spain: Rejection of Public Tributes.” History of Neurology, 2018.
Roosa, John; Ayu Ratih; dan Hilmar Farid (Ed.). 2004. Tahun yang tidak pernah berakhir. Jakarta: ELSAM.
Saggau, Emil Hilton. “A Shrine for the Nation: The Material Transformation of the Lovćen Site in Montenegro.” Journal of Balkan and Near Eastern Studies, 2017.
Saul, Gwendolyn W. dan Marsh, Diana E. “In whose honor? On Monuments, Public Spaces, Historical Narratives, and Memory”. Museum Anthropology, 2018.
Savage, Kirk. Monument Wars Washington, D.C., the National Mall, and the Transformation of the Memorial Landscape. California: University of California Press, 2009.
Scheurleer, Pauline Lunsingh. “The Javanese Statue Of Garuda Carrying Wisnu And Candi Kidal”. Artibus Asiae Vol. 69 No. 1, 2009.
Smyth, James J. “Music, emotion and remembrance: unveiling memorials to the fallen of the First World War in Scotland”. Social History, 2018.
Treib, Marc. “Modern landscape architecture: monuments and icons”. Visual Communication Quarterly, 2018.
Uhl, Heidemarie. “Transformations of Austrian Memory: Politics of History and Monument Culture in the Second Republic”. Austrian History Yearbook 32, 2001.