Selepas kemerdekaan, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia sempat mengalami kesulitan untuk berkembang. Ketidakstabilan politik ditambah keinginan Soekarno untuk mengembangkan sistem kesehatan baru yang berbeda dari masa kolonial menjadi penyebab utamanya.
Krisis Kesehatan pada Awal Kemerdekaan
Periode awal kemerdekaan merupakan periode sulit bagi bangsa Indonesia. Kendati proklamasi telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih tertatih-tatih memperjuangkan transisi kekuasaan dan mengintegrasikan pelayanan kesehatan yang terpecah-belah.
Kementerian Kesehatan yang baru seumur jagung awalnya optimis dapat memulihkan infrastruktur kesehatan yang hancur akibat perang. Sayangnya, sebagian besar inisiatif kesehatan masyarakat Indonesia gagal terwujud akibat agresi militer Belanda antara tahun 1947 dan 1949.
Dua agresi militer yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1947 dan 1948 memberikan dampak serius terhadap sektor kesehatan di Indonesia. Agresi tersebut menyebabkan masalah keuangan yang signifikan, kekurangan tenaga medis, dan ketersediaan obat-obatan yang memadai.
Kondisi ini membuat Kementerian Kesehatan terpaksa dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta sebagai akibat dari Agresi Militer Pertama. Perpindahan ini tentu saja mengganggu kontinuitas dan efektivitas program-program kesehatan yang telah direncanakan oleh kementerian.
Keterbatasan sumber daya, termasuk keuangan, tenaga medis, dan obat-obatan, serta disrupsi yang terjadi akibat konflik militer, menjadi faktor utama yang menyebabkan pelaksanaan program kesehatan kementerian tidak berjalan sesuai dengan harapan.
Setelah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, Indonesia menghadapi tantangan kekurangan dokter. Pada tahun 1950, sejumlah besar dokter Belanda, sekitar 300-400 orang, yang sebelumnya bekerja di Indonesia, kembali ke negara asal mereka.
Akibatnya, hanya tersisa 1.200 dokter yang di Indonesia untuk melayani populasi lebih dari 72 juta penduduk, atau dengan kata lain, hanya terdapat satu dokter untuk setiap 60.000 penduduk. Sebagian besar dokter tersebut terkonsentrasi di daerah perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Situasi ini menciptakan ketimpangan yang signifikan dalam akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Kurangnya jumlah dokter yang tersedia di Indonesia pada saat itu menyulitkan upaya untuk memberikan perawatan kesehatan yang memadai bagi seluruh populasi.
Kekurangan dokter dan ketidakmerataan distribusi mereka menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi kebutuhan kesehatan masyarakat setelah kemerdekaan.
Menyadari kondisi tersebut, pemerintah segera meluncurkan program darurat untuk mengatasi kekurangan dokter dan tenaga medis lainnya. Upaya ini didukung oleh sumbangan dan bantuan dari Rockefeller Foundation yang memberikan pelatihan bagi petugas kesehatan.
Melalui program ini, pelatihan diberikan kepada para vaksinator, penyuluh kesehatan masyarakat, dan petugas penyuluhan malaria. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.
Isu Akseptabilitas
Akseptabilitas menjadi isu kesehatan utama setelah kemerdekaan. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap layanan kesehatan guna memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan negara.
Presiden Soekarno memiliki ambisi kuat untuk membangun sistem layanan kesehatan yang tidak hanya fokus pada pemberian perawatan medis, tetapi juga mempromosikan semangat nasionalisme.
Meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, pemerintah memberikan perhatian yang lebih kepada upaya mempromosikan akseptabilitas sebagai prioritas utama sekaligus meningkatkan ketersediaan layanan kesehatan.
Langkah-langkah diambil untuk meningkatkan kesadaran dan penerimaan masyarakat terhadap pentingnya perawatan kesehatan yang memadai. Kampanye-kampanye promosi kesehatan dilakukan secara intensif guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang berbagai penyakit, pencegahan, dan pentingnya perawatan yang tepat.
Pada era pasca-kolonial di Indonesia, terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan dapat dilihat dari dominannya peran dukun beranak dan dukun bayi dalam memberikan perawatan kesehatan. Hal ini mencerminkan rendahnya tingkat penerimaan terhadap layanan kesehatan modern pada saat itu.
Pelayanan kesehatan yang diberikan pada masa itu bertujuan untuk membuktikan dan mendorong penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan modern, serta untuk mengatasi beberapa wabah atau penyakit endemik yang terjadi. Salah satu contohnya adalah wabah penyakit cacar yang terjadi sebagai akibat terhentinya vaksinasi cacar pada tahun 1948.
Pada masa tersebut, ketersediaan layanan kesehatan di Indonesia masih berjalan secara independen dan terfragmentasi. Dokter, perawat, apoteker, dan staf kesehatan lainnya secara sukarela memberikan layanan kesehatan tanpa adanya koordinasi yang sistematis. Kurangnya koordinasi ini disebabkan oleh ketidakstabilan politik yang terjadi pada masa awal kemerdekaan, sehingga hanya sedikit kerja sama antara para pemangku kepentingan kesehatan di ibu kota dan daerah.
Selain itu, pada era Soekarno, terdapat keterbatasan dana dalam menyediakan layanan kesehatan, yang menjadi tantangan tambahan dalam penyediaan layanan kesehatan. Keterbatasan ini mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk membangun dan menyediakan infrastruktur kesehatan yang memadai serta memfasilitasi kerja sama antara berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.
Selama masa jabatannya sebagai Menteri Kesehatan, Johannes Leimena memiliki konsepsi yang ambisius untuk mengintegrasikan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif di Indonesia melalui rencana lima tahun. Namun, keterbatasan dana menjadi kendala yang signifikan, dan rencana tersebut dianggap sebagai harapan yang sulit terwujud.
Pada paruh kedua tahun 1950-an, optimisme yang awalnya muncul di bidang kesehatan berubah menjadi keputusasaan. Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan daerah dalam pelaksanaan kebijakan, bersama dengan masalah korupsi dan inflasi, menyebabkan kinerja negara menjadi tidak efektif. Keadaan ekonomi yang memburuk akhirnya menghambat realisasi program-program kesehatan, termasuk rencana lima tahun yang diusung oleh Leimena.
Menyeleraskan Pelayanan Kesehatan dan Ide Pembangunan Bangsa
Walaupun menghadapi kondisi yang memprihatinkan, tidak serta merta membuat pemerintah Indonesia menerima semua bantuan internasional. Sebaliknya, pemerintahan Soekarno sangat selektif dalam menerima bantuan internasional. Langkah ini diambil untuk menghindari campur tangan politik dan ancaman terhadap kedaulatan nasional Indonesia.
Selain selektif terhadap bantuan internasional, pemerintah Soekarno juga enggan melanjutkan kebijakan yang diwariskan dari masa kolonial. Sebagai gantinya, ia mendorong terobosan-terobosan baru dalam pengembangan layanan kesehatan, daripada mempertahankan pendekatan yang mengikuti pola kolonial. Pendekatan Presiden Soekarno dalam administrasi kesehatan dapat dipahami melalui konteks pengutamaan kebijakan anti-kolonialisme yang dianutnya.
Leimena, sebagai seorang pemikir eklektik, berusaha mencapai keselarasan antara visi Soekarno yang mengaitkan kesehatan dengan pembangunan bangsa dan definisi kesehatan menurut WHO. Dalam upaya ini, ia melakukan evaluasi terhadap model-model kesehatan masyarakat dari berbagai negara, dan kemudian mengadaptasikan model-model tersebut agar sesuai dengan kondisi Indonesia.
Menurut Leimena, ada hubungan erat antara penyakit dan kemiskinan yang membentuk lingkaran setan. Orang yang sakit menjadi miskin, dan kemiskinan ini menyebabkan penyakit menjadi lebih parah. Oleh karena itu, perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci untuk meningkatkan standar dasar kesehatan. Bagi Leimena, kesehatan suatu bangsa tercermin dalam kesejahteraan fisik dan mental penduduknya.
Dengan pendekatan ini, Leimena berusaha mengintegrasikan pemikiran Soekarno tentang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan bangsa dengan pandangan WHO tentang kesehatan sebagai hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial. Ia menyadari pentingnya memperhatikan aspek sosial dan ekonomi dalam mencapai kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia.
Upaya mengelaborasi isu kesehatan supaya dapat terlibat dalam pembangunan bangsa dapat dilihat dari pola kebijakan terkait.
Pertama, pemerintah mengadopsi promosi jargon kesehatan “Rakyat Sehat, Negara Kuat” sebagai upaya untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam menerima pelayanan kesehatan modern dan sekaligus mendukung pembangunan bangsa. Jargon ini mencerminkan keterkaitan antara kesehatan individu dan kesejahteraan negara, dengan harapan bahwa masyarakat akan menyadari pentingnya kesehatan dalam memperkuat bangsa.
Kedua, dalam penyediaan layanan kesehatan, Soekarno mendorong para ahli kesehatan untuk merumuskan kebijakan dengan pendekatan yang berbeda dari pemerintah kolonial, terutama dalam bidang kedokteran sosial atau kesehatan masyarakat. Pendekatan ini menekankan pentingnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan budaya dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan kesehatan tidak hanya terfokus pada aspek medis, tetapi juga melibatkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Namun, terdapat kesenjangan antara konsep kebijakan dan pelaksanaannya. Pembangunan bangsa melalui isu kesehatan dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara memadai. Masyarakat Indonesia hanya diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pembangunan bangsa. Keterlibatan masyarakat hanya terlihat dari partisipasi mereka dalam program kesehatan pemerintah, seperti program vaksinasi.
Di samping itu, kebijakan kesehatan yang cenderung terfokus pada wilayah Jawa menimbulkan isu ketimpangan di Indonesia bagian timur. Upaya untuk mendorong penyediaan layanan kesehatan yang merata ke daerah-daerah terpencil memang telah dilakukan, tetapi kesenjangan pelayanan masih nyata terlihat.
Baca juga: Gerakan Buruh dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia
Meskipun memiliki kekurangan, era Soekarno membawa rencana-rencana berani dan aspirasi yang belum terpenuhi dalam sektor kesehatan masyarakat Indonesia. Semangat kemerdekaan dari campur tangan asing mendorong para teknokrat di bidang kesehatan pada periode ini untuk mengembangkan pendekatan baru dalam pelayanan kesehatan, terutama melalui kedokteran sosial.
Selama masa ini, pola pelayanan kesehatan terpadu yang kelak dikenal sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) mulai dirintis. Pendirian puskesmas bertujuan untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang holistik meliputi upaya kuratif, promotif, dan preventif, serta memperluas aksesibilitas terhadap layanan kesehatan. Dengan demikian, era ini mendorong penerimaan terhadap layanan kesehatan dan berperan sebagai mesin pemerintah dalam membangun identitas nasional.
Daftar Pustaka
Hesselink, L. (2011). Healers on the Colonial Market. Leiden: KITLV Press.
Jenney, E. R. (1953). Technical assistance for public health in the Republic of Indonesia. Public Health Reports (Washington, D.C.: 1896), 68(7), 707–713.
Leimena, J. (1950). The upbuilding of public health in Indonesia. [Jakarta]: Pertjetakan Negara.
Neelakantan, V. (2014). Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia: Social Medicine, Public Health and Medical Education, 1949 to 1967. Disertasi: University of Sidney.
Neelakantan, V. (2017).The Indonesianization of Social Medicine. Lembaran Sejarah, 10(1), 74–86.
Nugroho, A. P., Handayani, S., & Effendi, D. E. (2021). Health citizenship and healthcare access in Indonesia, 1945-2020. JSP, 24, 284-301.
Pols, H. (2018). Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies. Cambridge: Cambridge University Press.