Meskipun berada di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tidak lantas membuat bank-bank syariah di Indonesia mendapatkan kemudahan untuk berkembang. Sebaliknya, mereka harus menghadapi beragam tantangan yang menghambat perkembangannya.
Wacana Pembentukan Bank Syariah
Ide untuk membentuk bank syariah sebenarnya dapat dilacak hingga masa sebelum kemerdekaan, tepatnya pada akhir periode kolonial.
Periode ini merupakan masa sulit karena hubungan kurang harmonis antara pemerintah kolonial dan umat Islam. Di samping itu, tidak semua tokoh perjuangan mendukung gagasan ini.
Salah satu tokoh yang mencetuskan ide pendirian bank tanpa sistem bunga adalah K.H. Mas Mansur, mantan Ketua Muhammadiyah. Menurutnya, penerapan bunga oleh bank konvensional dianggap sebagai tindakan yang haram karena melibatkan persyaratan akad yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dan terdapat unsur pemerasan.
Akan tetapi, gagasan tersebut memicu reaksi dan perdebatan antara ulama dan pemimpin sosialis seperti Muhammad Hatta. Kaum sosialis berpendapat bahwa bunga dalam bank konvensional merupakan kesepakatan sukarela antara kedua belah pihak, tanpa adanya unsur pemerasan atau paksaan. Mereka juga berpendapat bahwa bunga memiliki fungsi untuk kepentingan umum dan jumlahnya tidak signifikan.
Tidak lama kemudian, muncul pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Pihak ketiga menyatakan bahwa jumlah dan kondisi bunga dapat menjadi legal dalam satu situasi, tetapi dapat menjadi ilegal dalam situasi lain.
Karena tidak tercapainya kesepakatan, akhirnya ide pembentukan bank syariah hanya berputar di kalangan intelektual muslim. Tidak ada langkah konkret atau rencana nyata untuk mewujudkannya.
Situasi tersebut tidak mengalami banyak perubahan pada masa kemerdekaan. Ide pembentukan bank syariah masih sulit diterima oleh para pejabat pemerintahan, sehingga hanya terhenti pada tahap teori dan penerbitan buku.
Pergantian rezim ke Orde Baru pada awalnya diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap wacana bank syariah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintahan Soeharto enggan memberikan dukungan terhadap ide tersebut dan melihatnya sebagai upaya untuk mendirikan negara Islam.
Selain itu, masalah hukum juga menjadi hambatan dalam pendirian bank syariah di Indonesia. Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang perbankan menyatakan bahwa setiap bank di Indonesia harus beroperasi dengan prinsip bunga. Setahun setelahnya, Muhammadiyah mengkritik peraturan tersebut karena dianggap tidak jelas.
Pada tingkat internasional, upaya untuk mendirikan bank syariah dimulai di Mesir pada tahun 1963. Bank tersebut awalnya merupakan proyek percobaan untuk bank tabungan pedesaan.
Pada tahun 1970-an, Organisasi Konferensi Islam (OKI) mulai secara serius membahas proyek pendirian bank syariah. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, Bank Pembangunan Islam berhasil didirikan di Arab Saudi pada tahun 1975.
Tidak lama setelah itu, beberapa bank syariah juga berdiri di negara lain, seperti Dubai Islamic Bank di Dubai (1975), Faisal Islamic Bank di Mesir dan Sudan (1977), dan Kuwait Finance House di Kuwait (1977). Di kawasan Asia Tenggara, pemerintah Malaysia membentuk Lembaga Tabung Haji (1969) dan Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983.
Pendirian bank-bank syariah di negara-negara mayoritas Muslim secara tidak langsung memotivasi intelektual Muslim Indonesia untuk terus memperjuangkan pendirian bank syariah di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan, termasuk pengenalan mata kuliah ekonomi Islam di universitas dan pembentukan organisasi non-politik yang fokus pada pengembangan ekonomi umat Islam, guna mewujudkan cita-cita tersebut.
Pada dekade 1980-an, intelektual dan ulama Indonesia kembali mengusulkan ide pendirian bank syariah di Indonesia. Usaha ini dipicu oleh keberhasilan Malaysia dan negara-negara Muslim lainnya dalam mendirikan bank syariah. Namun, situasi politik kembali menjadi hambatan utama.
Pada saat itu, pemerintah berusaha mendorong Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi masyarakat. Ide apa pun yang terkait dengan kata “Islam”, termasuk bank syariah, tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah. Ketakutan terhadap kata “Islam” masih terkait erat dengan kecurigaan pemerintah terhadap upaya pembentukan negara Islam.
Hubungan antara pemerintah dan kelompok Islam mulai membaik pada penghujung 1980-an. Soeharto, yang kehilangan dukungan dari militer, terpaksa mencari alternatif dukungan dan legitimasi dari ulama dan cendekiawan Muslim.
Untuk mendapatkan dukungan tersebut, Soeharto memberikan banyak konsesi kepada umat Islam. Perubahan kebijakan ini dimanfaatkan oleh ulama dan cendekiawan Muslim untuk kembali menyampaikan gagasan pendirian bank syariah.
Pada bulan Oktober 1988, Pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan (PAKTO) yang bertujuan untuk liberalisasi industri perbankan. Melalui kebijakan tersebut, perbankan diperbolehkan didirikan dengan sistem bunga 0%. Hal ini membuka jalan bagi pendirian bank syariah yang beroperasi tanpa bunga.
Namun, setelah pemerintah memberikan persetujuan untuk pendirian bank syariah, muncul masalah terkait modal awal. Dukungan parsial dari pemerintah menyulitkan pengumpulan modal awal yang dibutuhkan untuk mendirikan bank syariah.
Masyarakat dan cendekiawan Muslim berusaha melakukan berbagai upaya untuk mengumpulkan modal awal pendirian bank syariah. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin oleh Prof. B.J. Habibie memainkan peran penting dalam pengumpulan modal untuk bank syariah di Indonesia.
Pada awalnya, bank-bank syariah didirikan dalam skala yang terbatas dan beroperasi secara lokal. Contohnya adalah Bait-At-Tamwil di ITB, Bandung, Koperasi Rhido Ghusti di Jakarta, dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Mereka menjadi prototipe awal bank syariah di Indonesia.
Lahirnya Bank Muamalat Indonesia
Gerakan untuk mendirikan syariah semakin intensif memasuki tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan seminar pada tanggal 18-20 Agustus 1990 untuk membahas isu-isu terkait bunga bank. Seminar ini kemudian menghasilkan presentasi tentang ekonomi dan perbankan Islam yang disampaikan dalam Kongres Tahunan MUI ke-4 pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Kongres ini menghasilkan rekomendasi untuk mempersiapkan blueprint pendirian bank syariah pertama di Indonesia. Sebuah tim perbankan syariah dibentuk dan bertanggung jawab untuk melakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan pendirian bank syariah.
Setelah semua isu terkait pendirian bank syariah diselesaikan, muncul masalah terkait pemilihan nama bank. Pemerintahan Orde Baru (ORBA) masih memiliki kekhawatiran terhadap penggunaan kata “Islam” karena khawatir akan dimanfaatkan oleh kelompok fundamentalis dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan dalam masyarakat Indonesia yang beragam.
Untuk mengakomodasi dan meyakinkan pihak-pihak yang tidak setuju dengan penggunaan kata “Islam” sebagai nama, akhirnya diputuskan untuk menggunakan kata “Muamalat” sebagai nama bank yang mencerminkan prinsip-prinsip syariah.
Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 menandai tonggak sejarah penting bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Pada tanggal 1 Mei 1992, BMI secara resmi memulai operasionalnya dengan modal awal sebesar 106 miliar rupiah.
Masuknya perbankan syariah ke dalam sistem perbankan nasional mendapatkan respons cepat dari pemerintah. Pada tanggal 25 Maret 1992, disahkanlah Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dengan tujuan untuk mengakomodasi pendirian bank syariah di Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, terdapat Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c yang menyebutkan tujuan perbankan syariah adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Peraturan tersebut kemudian diperkuat dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Peraturan ini menjadi landasan hukum bagi bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Peraturan tersebut menjadi dasar hukum bagi operasional bank syariah di Indonesia hingga tahun 1998.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 semakin memperkuat regulasi mengenai perbankan syariah di Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 secara jelas menyebutkan bahwa bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah.
Dalam pasal tersebut juga dijelaskan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yakni pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudhârabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyârakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murâbahah), dan pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijârah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijârah wa iqtinâ).
Kinerja Bank-Bank Syariah di Indonesia
Krisis ekonomi tahun 1998 sering dianggap sebagai periode kritis bagi sektor perbankan di Indonesia. Selama masa krisis tersebut, sekitar 38 bank terpaksa ditutup dan empat bank pemerintah (Bank Dagang, Exim Bank, Bapindo, dan Bank Bumi Daya) harus bergabung menjadi Bank Mandiri.
Namun, terbukti bahwa bank-bank syariah justru tampil lebih baik dan tidak begitu terdampak oleh krisis ekonomi. Saat masa krisis berlangsung, Bank Muamalat tetap tergolong sebagai bank yang sehat dengan kategori rasio kecukupan modal “A”. Hal ini menunjukkan kinerja yang relatif lebih unggul dibandingkan dengan bank konvensional.
Keberhasilan perbankan syariah dalam tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi tersebut menarik minat beberapa bank konvensional untuk mengembangkan usaha dengan mendirikan bank-bank syariah.
Setelah masa krisis berakhir, beberapa bank syariah didirikan sebagai bagian dari bank-bank konvensional, seperti Bank Syariah Mandiri (1999), Bank Permata Syariah (2002), Bank Mega Syariah (2004), Bank Rakyat Indonesia Syariah (2008), Bank Syariah Bukopin (2008), dan lain-lain.
Sejalan dengan perkembangan yang signifikan dalam sistem perbankan nasional, pada tanggal 16 Juli 2008, diresmikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai landasan hukum tersendiri bagi bank syariah di Indonesia.
Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 secara filosofis dan yuridis telah memenuhi tuntutan rasa keadilan dan kepastian bagi para pemohon keadilan, terutama terkait dengan transaksi bisnis dalam ekonomi syariah.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, yaitu sekitar 231 juta jiwa atau sekitar 87 persen dari total populasi, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi pusat perkembangan keuangan Islam, termasuk perbankan syariah. Sayangnya, jumlah muslim yang banyak tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja perbankan syariah.
Sigit Pramono (2016) menyatakan bahwa bank syariah mengalami pertumbuhan yang pesat pada awal tahun 2000-an, jauh melampaui pertumbuhan bank konvensional. Kendati demikian, setelah tahun 2004, pertumbuhan tahunan bank syariah melambat dengan signifikan.
Hingga tahun 2014, pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah masih jauh dari harapan publik. Bahkan, pertumbuhan pangsa pasar dan kapitalisasi bank syariah seringkali berada di bawah target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pada tahun 2004, bank syariah memiliki pangsa pasar sebesar 1,20 persen dengan kapitalisasi sebesar 15 triliun. Selama sepuluh tahun berikutnya, pertumbuhan pangsa pasar bank syariah di Indonesia hanya mencapai 4,85 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara sejenis seperti Malaysia (21,9%) dan Brunei (41%).
Rendahnya pangsa pasar bank syariah di Indonesia juga berdampak pada peringkat mereka di tingkat global. Bank-bank syariah di Indonesia berada di peringkat kedelapan dari sembilan negara dengan mayoritas muslim.
Dalam upaya meningkatkan pangsa pasar bank syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis yang memberikan panduan bagi semua pihak yang terlibat. Salah satu kebijakan yang sangat penting adalah Program Akselerasi Perbankan Syariah yang termasuk dalam Islamic Banking Outlook 2007.
Program akselerasi ini bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah menjadi 5,25% pada akhir tahun 2008. Namun, upaya ini ternyata tidak berhasil dan pangsa pasar bank syariah hanya mencapai 2,14% pada akhir tahun 2008.
Selain pertumbuhan pangsa pasar yang lambat, secara keseluruhan kinerja keuangan bank syariah juga lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional. Selama periode 2005–2014, Return on Assets (ROA) bank syariah lebih rendah daripada bank konvensional. Bahkan, pada tahun 2014, selisih ROA antara bank syariah dan bank konvensional semakin membesar. Hal ini menunjukkan bahwa bank syariah menghadapi tantangan dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi melalui kegiatan pembiayaan mereka.
Kegagalan dalam merebut nasabah muslim merupakan masalah laten perbankan syariah di Indonesia. Putri Swastika dalam artikelnya, “Why market share of Islamic banks is so small in Indonesia,” memaparkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini.
Pertama, kurangnya upaya yang memadai dalam mengedukasi masyarakat tentang keuangan syariah menjadi faktor utama. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan tenaga ahli yang memiliki pemahaman yang memadai di bidang ini. Mayoritas pegawai bank syariah memiliki pengetahuan yang sama dengan pegawai bank konvensional.
Akibatnya, seringkali produk dan layanan keuangan syariah dijelaskan dengan menggunakan “bahasa konvensional”. Menjelaskan produk keuangan syariah bukanlah hal yang mudah bagi mereka yang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang fiqh muamalat.
Kedua, nasabah seringkali menganggap layanan dari bank syariah “buruk” dan “mahal”. Nasabah bank syariah seringkali mengeluhkan proses birokrasi yang panjang dan rumit, kurangnya layanan teknologi informasi, dan biaya yang tinggi.
Persepsi ini muncul karena sebagian besar produk syariah didasarkan pada kontrak jual-beli, yang berbeda dengan kegiatan pinjam-meminjam pada perbankan konvensional. Kegiatan jual-beli ini memerlukan biaya seperti pajak dan biaya legal lainnya yang pada akhirnya menambah biaya transaksi bagi nasabah.
Baca juga: Tragedi Berdarah Tanjung Priok 1984
Ketiga, dalam hal peraturan dan sistem pajak, keuangan syariah belum beroperasi pada tingkat yang setara dengan bank konvensional. Selain kurangnya dukungan regulasi, industri ini juga belum banyak mendapatkan kontribusi ide segar dari para akademisi.
Berbeda dengan Malaysia yang telah lama mengambil inisiatif dalam mendirikan institusi-institusi yang didedikasikan untuk pendidikan generasi muda dan kemajuan keuangan syariah. Baru belakangan ini, universitas dan institusi pendidikan tinggi di Indonesia mulai serius dalam memajukan bidang ekonomi syariah dan menawarkan program keuangan syariah kepada generasi muda.
Daftar Pustaka
Abduh, M., & Omar, M. A. (2010). Who patronises Islamic banks in Indonesia. Australian Journal of Islamic Law, Management and Finance, 1(1), 40-53.
Fitriasari, F. (2015). The growth of Islamic banking in Indonesia. Journal of Innovation in Business and Economics, 3(1).
Hidayat, A. R., & Trisanty, A. (2020). Analisis Market Share Perbankan Syariah di Indonesia. At-Taqaddum, 12(2), 183-200.
Pramono, S. (2018). Analysis of slow paced market penetration of Indonesia’s Islamic banking: an Islamic bank rent perspective.
Rahardjo, D. (2002). “Bank Islam”, dalam Abdullah, T., (Ed.). Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Sari, M. D., Bahari, Z., & Hamat, Z. (2016). History of Islamic bank in Indonesia: Issues behind its establishment. International Journal of Finance and Banking Research, 2(5), 178-184.
Swastika, P. (2016). Why market share of Islamic banks is so small in Indonesia. The Jakarta Post.
Utama, A. S. (2018). History and development of Islamic banking regulations in the national legal system of Indonesia. Al-‘Adalah, 15(1), 37-50.