Sebelum memulai pembahasan kali ini, segenap team wawasansejarah ingin mengucapkan selamat merayakan idul fitri 1437 H, mohon maaf lahir dan batin. Pada kesempatan kali, penulis ingin mengangkat tema mengenai peristiwa-peristiwa penting di Indonesia abad ke-19. Berbicara mengenai keadaan Islam dan umat muslim pada abad ke-19 tidak akan dapat dipisahkan dari hal yang bernama imperialisme.
Keadaan tersebut terjadi hampir di seluruh kawasan umat muslim, termasuk di Indonesia. Kedatangan bangsa Barat pada perkembangannya kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari umat muslim dan melahirkan beberapa kejadian penting dalam sejarah umat Islam Indonesia abad ke-19.
Imperialisame bangsa Barat di Indonesia menimbulkan banyak perlawanan. Hal tersebut menimbulkan konsep perang sabil yang mengatas namakan agama. Perlawanan-perlawanan yang terjadi di Indonesia menjadi menarik dikarenakan digerakkan oleh para ulama dengan semangat jihad fi sabilillah dan mati syahid. Perjuangan umat muslim di Indonesia pada abad ke-19 ini menggambarkan semangat yang besar dari rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan agama dan negaranya dari imperialism bangsa asing.
Keadaan demikian merupakan gambaran keadaan Islam dan umat muslim di Indonesia pada abad ke-19 yang sangat didominasi oleh para ulama yang banyak terpengaruh oleh faham-faham dari Timur Tengah, terkhusus Wahabiyah. Seluruh peristiwa tersebut merupakan peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan Islam di Indonesia pada abad ke-19.
Berangkat dari hal demikian maka penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kejadian-kejadian penting di Indonesia pada abad ke-19 ini yang akan dititik beratkan terhadap perlawanan dari masyarakat muslim terhadap imperialism bangsa Belanda di Indonesia.
Keadaan umum Indonesia pada abad ke-19
Keadaan umat Islam di Indonesia pada abad ke-19, sangat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan tekanan bangsa Barat. Keadaan demikian terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Penjelajahan oleh bangsa Barat terjadi setelah renaissance[1]. Sebelum terjadinya renaissance, bangsa Barat mengalami ketertinggalam dari umat muslim. Hal tersebut dikarenakan kehidupan bangsa Barat sangat didominasi oleh doktrin gereja. Namun menjelang akhir abad pertengahan, perdagangan semakin mengalami kemajuan. Hingga akhirnya, menimbulkan semangat untuk menjadi yang terdepan dengan berbagai cara. Hal tersebutlah yang kemudian menghantarkan terjadinya renaissance.
Terjadinya renaissance menandakan kehancuran doktrin gereja. Kemajuan ilmu pengetahuan ditandai dengan banyaknya penemuan-penemuan oleh para ilmuwan juga menghantarkan bangsa Barat untuk memulai penjelajahannya kepada daerah-daerah lain. Persaingan yang terjadi diantara bangsa Barat pasca-Renaissance mendorong mereka untuk pergi dan melakukan perjalanan yang semula adalah untuk berdagang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi imperialisme oleh bangsa Barat, diantaranya adalah:
- Terjadinya perang salib yang mengakibatkan: dikuasainya Konstantinopel, dendam lama, tertutupnya jalur perdagangan, bangsa Eropa mengetahui kelemahan orang-orang muslim, motif balas dendam terhadap umat muslim.
- Semangat 3G (Gold, Glory, and Gospel).
- Penjelajahan samudera, yang didukung oleh penemuan teori-teori tentang bumi dan alat-alat canggih seperti kompas, peta, dan lain-lain.
Perjalanan bangsa Barat dipelopori oleh Spanyol dan Portugis. Keberhasilan Spanyol dan Portugis kemudian menggerakkan bangsa-bangsa lainnya untuk mengikuti jejak mereka. Di Indonesia, setidaknya sejarah mencatat beberapa Negara Barat yang pernah menginjakkan kakinya di Indonesia, seperti Portugis (1511-1641 M), Spanyol (1521 M), Belanda (1596-1942 M), Inggris (1811-1816 M), dan Jepang (1942-1945 M). Namun dalam pembahasan ini, akan lebih ditekankan kepada invansi Belanda.
Semenjak kedatangan bangsa Barat ke Indonesia, masyarakat Indonesia umumnya dan umat muslim khususnya mengalami penderitaan yang sangat besar. Mereka selalu berusaha untuk mengintervensi segala aspek kehidupan masyarakat. Seperti yang terjadi di beberapa kesultanan di Indonesia dan hampir di seluruh daerah di Indonesia. Semenjak kedatangan Belanda ke Indonesia untuk pertama kalinya pada 1595 M di bawah pimpinan Cornelius De Houtman, mereka langsung berusaha untuk menguasai Indonesia. Mereka kemudian mendirikan banyak persatuan-persatuan dagang, salah satunya adalah VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnia) pada tahun 1602 M.
Monopoli Belanda pada saat itu mendapat tantangan besar dari masyarakat Indonesia terkhusus para ulama. Pada perkembangannya keadaan demikianlah yang nantinya akan dibahas dan dipaparkan lebih lanjut mengenai perlawanan yang timbul dari masyarakat Indonesia. Adapun kedatangan dan intervensi dari bangsa Barat ke Indonesia menimbulkan beberapa akibat. Di antaranya adalah:
No | Bidang | Akibat |
1 | Politik | Terjadinya pemerintahan modern |
2 | Ekonomi | Mundurnya perdagangan Nusantara dengan dibentuknya VOC |
Adanya kebijakan tanam paksa | ||
Adanya kebijakan kerja Rodi | ||
Terciptanya sistem ekonomi Liberal | ||
3 | Sosial | Tertindasnya pengusah-pengusaha kecil |
Terjadinya transmigrasi dari Jawa ke Sumatera | ||
4 | Agama | Misi Missionaris |
Peristiwa-Peristiwa penting di Indonesia abad ke-19
-
Perang Paderi (1803-1838 M)
Perang Paderi merupakan bentuk perlawanan masyarakat muslim yang ada di Minangkabau, Sumatera Barat terhadap kekuasaan Belanda. Pada mulanya, perang Paderi merupakan perang yang terjadi antara kaum Paderi dengan kaum adat yang ada di Sumatera Barat. Golongan Paderi merupakan golongan ‘alim ulama yang ada di Sumatera Barat dan terpengaruh oleh faham-faham Wahabi dari Mekkah. Mereka memperoleh faham dan pemikiran tersebut ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sedangkan kaum adat adalah golongan masyarakat Sumatera Barat yang sangat memegang teguh adat istiadat, sekalipun bertentangan dengan Islam. Hal tersebut yang kemudian memicu timbulnya perselisihan antara golongan Paderi (putih) dengan kaum adat ini.
Golongan Paderi sebagai golongan puritanisasi di Sumatera Barat terkenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan[2]. Pada awalnya, golongan Paderi melakukan jihad dengan cara yang damai. Namun ketika golongan adat melakukan sabung ayam secara terbuka, maka dimulailah konflik secara terang-terangan antar dua kubu ini. Dalam konflik tersebut, golongan adat selalu mengalami kekalahan. Hingga akhirnya golongan adat meminta bantuan kepada Belanda. Belanda dengan senang hati menerima tawaran tersebut. maka segeralah dilakukan perjanjian antar kaum adat dengan Belanda pada tanggal 21 Februari 1921 M. Inilah awal mulanya Belanda ikut campur dalam pertikaian antar golongan adat dan Paderi.
Peperangan terus berlanjut. Kaum Paderi dengan semangat jihad fi sabilillah dan kaum adat dengan bantuan para Belanda. Dalam peperangan ini, muncul satu tokoh yang sangat populer, yakni Muhammad Syabab yang kemudian lebih dikenal dalam sejarah dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Hal tersebut dinisbatkan pada tempat yang dipimpinya, yakni sebuah benteng yang berada di Bonjol.
Pada saat itu Belanda tetap terus mengalami kesulitan dan kekalahan. hingga akhirnya mereka membujuk kaum Paderi untuk mengadakan perdamaian. Terjadi beberapa kali perjanjian damai antar Belanda dengan kaum Paderi. Diantaranya adalah perjanjian yang diadakan pada tanggal 22 Januari 1824 M, 15 September 1825 M, dan Plakat Panjang 23 Oktober 1833 M[3]. Namun semua perjanjian itu adalah tipu muslihat dari Belanda, dan mereka pun selalu mengingkarinya. Hal tersebut dilakukan untuk menahan laju serangan dari kaum Paderi, karena Belanda lebih memprioritaskan perlawanan yang berkecamuk di Jawa, di bawah pimpinan pangeran Diponegoro (perang Diponegoro).
Peperangan ini akhirnya dimenangkan oleh Belanda, ditandai dengan ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol pada 28 Oktober 1837 M dan diasingkan ke Cianjur lalu Menado. Meskipun dalam perang ini kaum muslim Sumatera Barat mengalmai kekalahan, namun perang ini telah mampu untuk memperkuat kedudukan Islam dan menyatukan umat Islam yang ada di Sumatera Barat.
-
Perang Diponegoro (1825-1830 M)
Perang Diponegoro biasa disebut juga dengan perang Jawa. Perang ini juga merupakan salah satu bentuk perlawanan dari masyarakat Indonesia terhadap imperialism Belanda. Alasan mengapa disebut dengan perang Jawa adalah dikarenakan peperangan ini terjadi hampir di seluruh daerah Jawa dan berpusat di Yogyakarta[4] yang pada saat itu berada dalam kekuasaan Mataram Islam. Hubungan antar Belanda dengan kesultanan Mataram di Yogyakarta telah dimulai sejak abad ke-17. Pada perkembangannya, Belanda semakin menintervensi kekuasaan Mataram, seperti dalam hal tahta, pengangkatan pejabat-pejabat tinggi kerajaan, pelaksanaan Birokrasi, dan lain-lain[5]. Belanda semakin mudah untuk mengembangkan pengaruhnya ketika Mataram dipimpin oleh Susuhan Amangkurat I yang bersifat pro terhadap Belanda.
Nama perang Diponegoro dinisbatkan pada nama seorang tokoh yang dianggap penting dalam peristiwa ini. ia adalah pangeran Diponegoro[6]. Banyak faktor yang menjadi penyebab dari perang ini, diantaranya adalah ketidak sukaan rakyat pada Belanda. Namun puncaknya terjadi ketika residen Smissaert memerintahkan prajuritnya untuk memasang pancang yang menandakan akan dibangunnya jalan baru di Tegalrejo[7]. Hal ini membuat Diponegoro dan pengikutnya marah. Dikarenakan pembangunan jalan raya tersebut akan melewati makam leluhur pangeran Diponegoro. Ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menggagalkan rencana Belanda tersebut, dan dimulailah perang Diponegoro[8].
Perang Diponegoro dimulai pada bulan Juli 1825 M. Perang ini juga bernuansa jihad Fi Sabilillah. Pada awalnya, pasukan Diponegoro berhasil menguasai beberapa daerah seperti Pacitan (6 Agustua 1825 M) dan Purwodadi (28 Agustus 1825 M). Di daerah Kedu, pasukan Diponegoro juga mengalami kemenangan atas Belanda dengan bantuan pasukan Bulkiya[9]. Peperangan terus berkobar di daerah-daerah lainnya. Pasukan Belanda mengalami kesulitan untuk menaklukan semangat dari pasukan Diponegoro. hingga akhirnya mereka menggunakan sistem baru, yakni Benteng Stelsel yang dipelopori oleh Jenderal De Kock.
Adapun tujuan dari strategi ini adalah untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Selain itu, Belanda juga berusaha untuk mendekati pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro dan melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Diponegoro. Hingga akhirnya, usaha Belanda berhasil. Ditandai dengan ditangkap dan diasingkannya pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830 M. Awalnya pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado kemudian dipindahkan ke Ujung Pandang, dan akhirnya ia meninggal dunia disana pada 8 Januari 1855 M.
-
Perang Banjarmasin (1859-1906 M)
Sama halnya dengan perang-perang yang lain. Perang Banjarmasin merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat Kalimantan terhadap Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah. Latar belakang pokok terjadinya perang ini adalah intervensi pihak Belanda terhadap keadaan perpolitikan di kesultanan Banjarmasin. Hal tersebut berkaitan dengan pengangkatan pengganti sultan Mangkubumi ketika ia meninggal dunia pada 1851 M. Terjadi perbedaan pandangan antara sultan Adam dengan Belanda.
Belanda lebih mendukung kepada pangeran Tamjidillah untuk menjadi sultan, sedangkan sultan Adam menginginkan pangeran Hidayat untuk menjadi sultan. Alasan Belanda memihak kepada pangeran Tamjidillah untuk menjadi sultan adalah dikarenakan pangeran Tamjidillah merupakan seorang yang sangat pro kepada Belanda dan juga berkepribadin buruk. Sedangkan pangeran Hidayat adalah seseorang yang sangat berbudi pekerti baik dan kontra terhadap Belanda. Pengangkatan pangeran Tamjidillah menjadi sultan menimbulkan perlawanan yang besar di kalangan masyarakat terhadap Belanda, yang kemudian dikenal dengan perang Banjar.
Jalannya peperangan ini diklasifiasikan menjadi dua fase, yakni fase di bawah pimpinan pangeran Antasari[10] dan fase setelah pangeran Antasari meninggal. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pangeran Antasari merupakan tokoh pokok dalam perang Banjar ini. Ia merupakan tokoh yang sangat berpengaruh. Dalam peperangan ini, ia juga banyak dibantu oleh para ulama lainnya, seperti Kyai Demang Leman yang berjuang bersama Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang, dan juga pangeran Hidayat.
Pangeran Antasari bersama pasukan dan teman-temannya mendapat banyak tantangan dari Belanda. Hingga akhirnya, pangeran Hidayat berhasil ditangkap dan diasingkan ke Jawa pada 03 Februari 1862 M. Mendengar kabar pangeran Hidayat dibuang oleh Belanda, pangeran Antasari semakin gigih untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hingga akhirnya ia berhasil memproklamasikan kekuasaan baru di Banjarmasin dengan ibukota di Teweh yang sebelumnya berhasil diruntuhkan oleh Belanda. Hingga akhirnya pangeran Antasari meninggal dunia. Dengan demikian, berakhirlah fase perang Banjar dibawah komando besar pangeran Antasari.
Sepeninggal pangeran Antasari, perlawanan terus dilanjutkan, baik oleh teman-temannya maupun oleh keturunannya, seperti Muhammad Seman (Gusti Matseman), Gusti Matsaid, Pangeran Mas Natawijaya, Tumenggung Surapati, Tumenggung Naro, dan Penghulu Rasyid. Namun perlawanan-perlawanna yang terjadi dapat dengan mudah dikalahkan oleh Belanda. Hingga perlawanan terakhir yang datang dari Gusti Matseman terus dilanjutkan hingga ia meninggal dunia pada 1905 M. Saat itulah yang menjadi penanda berakhirnya perang Banjar[11].
-
Perang Aceh (1873-1912 M)
Keadaan kesultanan Aceh pada abad ke-19 sangat menurun serta dikuasai oleh Belanda dan Inggris. Namun Belanda tetap lebih mendominasi imperialism bangsa Barat di Aceh. Ada beberapa perjanjian yang dilakukan Belanda baik dengan rakyat Aceh maupun Inggris. Namun tetap saja semua perjanjian tersebut menguntungkan pihak Belanda. Diantara perjanjian tersebut adalah Traktat London dan Traktat Sumatera. Akhirnya Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 M.
Perang Aceh ini biasa disebut juga dengan perang rakyat. Hal tersebut dikarenakan hampir seluruh rakyat Aceh terlibat dalam peperangan melawan Belanda yang mereka anggap kafir. perang ini juga merupakan perang dengan konsep jihad Fi Sabilillah. Serangan pertama dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 5 April 1873 M dengan 3000 personil. Belanda berhasil menduduki Masjid. Namun tidak selang lama, rakyat Aceh berhasil merebut kembali masjid dari tangan Belanda. Pada tahun 1874 M, pasukan Aceh kehilangan Sultan dikarenakan ia meninggal karena sakit Kolera.
Peperangan terus berlanjut meskipun pengganti sultan belum ditentukan Belanda membuat strategi dengan membangun benteng-benteng. Namun tetap saja mereka kesulitan, dikarenakan semangat jihad yang luar biasa dari masyarakat Aceh. Dalam perang Aceh ini, ada beberapa tokoh yang sangat berperan, diantaranya adalah Teuku Umar dan istrinya Cuk Nyak Dien.
Teuku Umar memiliki taktik yang sangat luar biasa dalam perang Aceh. Awalnya ia berpura-pura untuk berpihak kepada Belanda, hingga ia dipercaya oleh Belanda. Namun setelah ia mendapatkan peralatan perang yang cukup, ia segera kembali menyerang Belanda. Tahun 1896 M, terjadi pertempuran kembali antara Belanda dengan rakyat Aceh. Dalam pertempuran ini akhirnya Teuku Umar meninggal dan digantikan oleh Cut Nyak Dien. Perlawanan terus dilanjutkan di bawah pimpinan Cut Nyak Dien. Belanda membuat taktik yang sangat jitu. Mereka menyandera para istri sultan dan pemimpin-pemimpin perang untuk memancing agar mereka menyerah. Taktik Belanda tersebut akhirnya berhasil. Hingga banyak dari para pemimpin perang yang menyerahkan diri. Akhirnya Cut Nyak Dien pun kemudian ditemukan dan diasingkan ke Jawa hingga ia meninggal di Jawa. Namun sepeninggal Cut Nyak Dien, perlawanan terus dilanjutkan hingga Belanda pergi dari Aceh pada 1942 M.
-
Jihad Cilegon (9-30 Juli 1888 M)
Jihad Cilegon merupakan salah satu bentuk dari perlawanan masyarakat Petani yang ada di Cilegon dengan konsep jihad fi sabilillah. Pemberontakan ini muncul dikarenakn tekanan yang dirasakan para petani yang diakibatkan oleh Belanda. Diantaranya adalah kemarau yang mengakibatkan banyak para petani yang mengalami kegagalan panen. Selain itu, para Petani di Cilegon ini juga dibebankan untuk melaksankan kerja wajib oleh Belanda dan beban pajak yang terlampau tinggi[12].
Semangat jihad fi sabilillah dalam pemberontakan ini dimasukkan oleh para ulama yang memimpin pemberontakan, diantaranya adalah Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Pemberontakan ini juga dipengaruhi fanatisme agama yang dihasilkan dari ajaran-ajaran tarekat yang berkembang saat itu dan juga pengaruh dari ajaran-ajaran Timur Tengah yang didapat oleh para haji melalui ibadah haji.
Sejak tahun 1884 M, gagasan untuk melakukan pemberontakan telah dimatangkan. Para pemimpin menyampaikan gagasannya melalui khotbah-khotbah, perkumpulan, maupun ceramah-ceramah. Pada Juni 1887 M, propaganda perang Jihad dan perekrutan pengikut dilakukan. Kemudian dilakukan persiapan yang lebih matang, diantaranya adalah persiapan bela diri hingga pertengahan tahun 1888 M. Selama enam bulan pada 1888 M, para pemimpin semakin sering mengadakan pertemuan guna menentukan tanggal penyerangan. Hingga akhirnya disetujui 8 Juli 1888 M dimulailah jihad tersebut yang ditandai dengan adanya arak-arakan orang yang berpakaian putih yang dimulai dari rumah Haji Akhiya dan berakhir di rumah haji Tubagus Kusen. Pada 9 Juli 1888 M, mereka melakukan serangan kepada rumah seorang Dubas (juru tulis) Belanda. Gerakan dari sebelah Utara kota Cilegon dipimpin oleh Haji Wasid yang bertujuan membunuh asisten residen.
Perlawanan dari para petani ini terus berlanjut, dan Belandapun semakin gencar untuk melakukan serangan balik. Namun akhirnya perlawanan ini dapat dipatahkan oleh Belanda, ditandai dengan terbunuhnya Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail pada pertempuran 31 Juli 1888 M.
Simpulan
Keadaan Islam dan umat muslim pada abad ke-19 di Indonesia sangat erat kaitannya dengan imperialism bangsa Barat, terkhusus Belanda. Kehadiran Belanda yang mengintervensi segala lini kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadikan Islam sebagai musuh, akhirnya menghantarkan sejarah untuk mencatat beberapa peristiwa penting yang terjadi di abad ini.
Peristiwa tersebut pada dasarnya adalah bentuk dari perlawanan masyarakat Indonesia terhadap imperialism Belanda. Perlawanan-perlawanan tersebut diaplikasikan dalam bentuk perang yang bergejolak hampir di seluruh daerah Indonesia dan menjadi peting karena melalui peristiwa-peristiwa tersebut dapat dilihat dan dianalisa keadaan Islam dan umat muslim di Indonesia pada abad XIX. Diantaranya adalah peristiwa perang Paderi, perang Diponegoro, perang Banjarmasin, perang Aceh, dan pemberontakan petani Cilegon.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Taufik dan A.B Lapian (ed). 1997. Indonesia Dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Djamhari, Saleh As’Ad. 2003. Strategi Menjinakkan Diponegoro : Benteng Stelsel 1827-1830. Jakarta: Yayasan Komunitas Bambu.
Harun, M. Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI-XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.
Poesponegoro, Mawardi Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Secara bahasa, Renaissance berarti kelahiran kembali. Sedangkan secara istilah, Renaissance adalah perkembangan kebudayaan dimulai pada akhir abad ke-14 yang dimulai dari daerah Italia Utara kemudian menyebar dengan cepat dalam abad ke-15 dan ke-16.
[2] Delapan harimau yang berani menantang kemaksiatan, dan tokoh-tokohnya adalah Haji Miskin, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuank Kubu Ambalu, Tuanku Lubuk Aru, dan Tuanku Bansa.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 242
[4] Mawardi Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 184.
[5] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI-XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 29-30
[6] Pangeran Diponegoro adalah anak dari sultan Hamengkubuwana III yang sangat kontra dengan Belanda.
[7] Saleh As’Ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro : Benteng Stelsel 1827-1830 (Jakarta: Yayasan Komunitas Bambu, 2003), hlm. 39-40.
[8] Poesponegoro, Sejarah… , hlm. 194
[9] Bulkiya adalah nama salah satu kesatuan prajurit Dipnegoro yang terkenal karena keberaniannya yang berasal dari Selarong dan dipimpin oleh Haji Usman Alibasah dan Haji Abdulkadir.
[10] Namanya telah disebut pertama kali dalam catatan Belanda dari residen A. Van Der Ven (1853-1855). Pangeran ini adalah seorang anak yang namanya tercantum dalam daftar anggota keluarga sultan Adam yang mendapat sebuah apanase kerajaan di Mangkauk, yang terletak di perbatasan benua Ampat (Tambaik Mekkah di Muning merupakan bagiannya). Bangert mengakui bahwa pangeran Antasari berasal dari canamg paling murni dari keturunan raja pertama kesultanan Banjarmasin. Andresen juga mempercayai bahwa pangeran itu adalah keturunan sah dari dinasti raja Banjarmasin yang direbut kekuasaannya. Antasari pada akhir hayatnya meninggal pada 11 Oktober 1862 karena sakit cacar yang dideritanya, dan dimakamkan di desa Bayan Begok, Hulu Sungai Teweh.
[11] Dalam buku Indonesi Dalam Arus Sejarah menyebutkan bahwa akhir dari perang Banjar ditandai dengan menyerahnya Gusti Berakit kepada Belanda pada 6 Agustus 1906
[12] Taufik Abdullah dan A.B Lapian (ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan (Jakarta: PT. Ichtiar Baro Van Hoeve, 1997), hlm. 611-615