Kurdi merupakan kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki tanah air. Genosida dengan senjata kimia yang dilakukan Irak terhadap suku Kurdi, pada Oktober 1988 telah menjadi salah satu sejarah kelam bagi suku tersebut. Pada tahun 1988, setidaknya Irak telah dua kali melancarkan serangan dengan senjata kimia terhadap penduduk Kurdi. Peristiwa itu memicu kecaman dari berbagai negara di dunia.
Meskipun kecaman datang dari berbagai pihak, namun tidak berdampak banyak pada suku Kurdi. Mereka tetap lah suatu suku tanpa tanah air, dan menjadi minoritas di wilayah yang mereka tempati. Dalam usaha memperjuangankan cita-cita mereka, suku Kurdi beberapa kali ikut berperan dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Asia Kecil dan Timur Tengah pada abad ke-20. Mulai dari perjanjian Sevres hingga perang Teluk yang melibatkan Irak dan Iran.
Story Guide
Mengenal Suku Kurdi
Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa (Indo-European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni. Kurdi merupakan kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah, setelah Arab, Turki, dan Persia. Kira-kira mencangkup 15 % dari populasi Timur Tengah.
Mereka tinggal di wilayah yang disebut Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi). Wilayah Kurdistan terdapat di beberapa negara, seperti Turki bagian tenggara, Iran utara, Irak utara, Soviet Selatan, dan Suriah utara.
Wilayah Kurdistan yang terbesar terdapat di tiga negara yakni Turki, Irak, dan Iran. Pada abad ke-20, secara keseluruhan diperkirakan terdapat 18 juta orang Kurdi, dengan rincian 8 juta di Turki, 5 juta di Iran, 3,4 juta di Irak, dan sisanya tersebar di Suriah dan daerah bekas soviet. Jumlah ini mengalami peningkatan pada awal abad ke-21, tercatat jumlah orang Kurdi bertambah menjadi sekitar 30-32 juta jiwa.
Kurdistan bukan lah suatu negara, sehingga tidak dapat ditemukan di peta modern. Istilah Kurdistan tersebut pertama kali digunakan sebagai ungkapan geografi oleh Turki Saljuk pada abad ke-12 dan menjadi istilah umum pada abad ke-16. Di mana banyak wilayah Kurdi jatuh ke dalam kontrol Utmani dan Safawiyah.
Suku Kurdi berasal dari suku bangsa Medes yang masuk ke Parsi dari kawasan Asia Tengah. Mereka menguasai pegunungan Parsi dari tahun 614-550 SM. Setelah kedatangan pasukan Arab Islam ke daerah pegunungan Parsi pada abad ke-7, mayoritas dari mereka akhirnya memeluk Islam. Hingga sekarang, terdapat dua golongan utama Islam Kurdi yakni 75% Sunni dan 15% adalah Syiah.
Salah satu tokoh terkenal yang berasal dari suku Kurdi adalah Salahuddin al-Ayubbi. Tokoh utama dalam Perang Salib III ini merupakan pemimpin umat Islam dalam menghadapi pasukan Salib. Akan tetapi, perjuangan Salahuddin saat itu mengatasnamakan nama Islam, bukan sebagai seorang Kurdi.
Suku Kurdi baru mulai memperjuangkan nasib bangsa mereka pada akhir abad ke-19, tepatnya pada tahun 1880. Ketika itu pecah pemberontakan yang dipimpin tokoh Kurdi, Syaikh Ubaydullah di provinsi Hakari yang berada di bawah kekuasaan Utsmani.
Pada tahun 1897, orang-orang Kurdi mulai menerbitkan surat kabar yang diberi nama Kurdistan. Surat kabar tersebut dibiayai oleh salah satu keluarga Kurdi ternama, Badr Khan. Penerbitan koran ini bertujuan untuk menyebarluaskan informasi tentang budaya dan perjuangan suku Kurdi.
Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1919, pemimpin Kurdi, Syaikh Mahmud, memproklamirkan wilayah Sulaymaniah sebagai wilayah yang merdeka dari kekuasaan Inggris. Akan tetapi Inggris berhasil menggagalkan usaha tersebut. Meskipun gagal, peristiwa Sulaymaniah tercatat sebagai pemberontakan besar yang pertama pada abad ke-20.
Upaya Syaikh Mahmud, memiliki pengaruh besar terhadap pergerakan orang-orang Kurdi di wilayah Iran, Irak, dan Turki. Pada tahun 1919-1922, di bawah kepemimpinan Ismail Agha Simitqo, suku Kurdi di Iran dan Turki, berjuang untuk memperoleh wilayah yang semi-otonom di sepanjang daerah perbatasan baratlaut Iran-Turki.
Disepakatinya perjanjian Sevres tahun 1920, oleh Sekutu dan Utsmani, memberikan keuntungan bagi perjuangan suku Kurdi. Hal ini karena dalam perjanjian itu disetujui pembentukan wilayah Kurdistan yang merdeka, yang sebelumnya berada di bawah Utsmani. Meskipun dalam perkembangannya perjanjian itu tidak tereleasasi bagi suku Kurdi.
Pada tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan Mullah Mustafa Barzani, mulai melancarkan kampanye panjang untuk memperoleh otonomi bagi wilayah Kurdistan di Irak. Mullah Mustafa kemudian mendirikan Partai Demokratik Kurdi (KDP). Selain KDP, partai Kurdi lain di Irak bernama Uni Patriotik Kurdistan (PUK) yang didirikan oleh Jalal Talabani.
Di Iran, orang-orang Kurdi juga membentuk suatu partai politik. Parpol Kurdi di Iran pertama kali didirikan pada tahun 1942. Tiga tahun kemudian, berdiri parpol kedua Kurdi yang bernama Partai Demokratik Kurdi Iran (KDPI). Pada tahun yang sama partai tersebut berhasil menghimpun semua gerakan suku Kurdi, termasuk Komola. Mereka lantas memproklamasikan berdirinya Republik Mahabad dengan presidennya Qazi Mohammad.
Republik Mahabad merupakan satu-satunya negara Kurdi merdeka dalam sejarah. Akan tetapi negara ini hanya berumur satu tahun, karena pada tahun 1946 pasukan Syah Iran menyerbu Mahabad dan membubarkan republik tersebut. Sejumlah pemimpin Kurdi, termasuk Qazi Mohammad ditangkap dan dieksekusi.
Di wilayah Turki, suku Kurdi tercatat tiga kali melakukan pemberontakan besar, pertama pada tahun 1925, kemudian tahun 1930, dan terakhir tahun 1937. Seluruh usaha pemberontakan tersebut berakhir dengan kegagalan. Akibatnya, banyak orang Kurdi dibantai dan dideportasi oleh pemerintah Turki.
Cita-Cita Suku Kurdi
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, suku Kurdi telah berjuang untuk memperoleh tanah air sejak abad ke-19. Perjanjian Sevres pada tahun 1920 yang salah satu isinya menjamin kemerdekaan Kurdi, dalam kenyataannya tidak pernah terwujud. Kendala utama terealisasinya perjanjian itu adalah tersebarnya wilayah Kurdistan di beberapa negara, yang menyulitkan terbentuknya negara Kurdi. Selain itu kurangnya komitmen dari negara-negara yang ikut serta dalam perjanjian untuk merealisasikan kemerdekaan bagi suku Kurdi.
Berdasarkan realitas itu, cita-cita suku Kurdi mengalami perubahan. Jika sebelumnya mereka mencita-citakan berdirinya sebuah negara Kurdistan yang merdeka, kini mereka hanya mendambakan sebuah wilayah otonom Kurdistan. Cita-cita tersebut yang kini mereka perjuangkan.
Di Turki, meskipun jumlah orang Kurdi merupakan yang terbanyak dibanding wilayah Kurdistan lain, mereka dapat dikatakan sudah tidak dapat bergerak. Kebijakan represi dan integrasi yang secara konsisten dijalankan pemerintah Turki dari tahun ke tahun, telah merbasil melumpuhkan para peshmarga (pejuang) Kurdi.
Tentara Turki tidak segan-segan menggempur para pejuang di Kurdistan Irak, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1983, 1984, 1986, dan 1987. Berdasarkan kesaksian orang-orang Kurdi dalam buku Journeys in Kurdistan, pasukan Turki merupakan pasukan yang terbengis disusul oleh pasukan Arab. Hal ini bertambah ironis, karena rezim-rezim di Turki, Irak, dan Iran (sampai tahun 1979) menjalin kerjasama untuk menumpas pemberontakan Kurdi.
Di Iran, suku Kurdi yang mendiami provinsi Khuzastan telah menuntut otonomi di wilayahnya sejak masa Syah Iran. Ketika Revolusi Iran meletus, orang-orang Kurdi bergabung ke dalam barisan Khomeini. Pascarevolusi, suku Kurdi mengajukan tiga tuntutan kepada rezim mullah, yaitu otonomi provinsi Kurdistan, penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan, dan pembagian hasil tambang minyak secara adil.
Rezim Khomaeni menolak untuk memberikan otonomi bagi provinsi Kurdistan. Ia tidak ingin wilayah Khuzastan yang kaya minyak lepas dari Iran, karena wilayah itu termasuk salah satu penghasil devisa utama Iran.
Pemerintahan mullah dalam praktiknya berhasil meredam pergerakan peshmarga. Bahkan orang-orang Kurdi berpihak pada Iran dalam Perang Teluk I ketika pasukan Irak menyerbu wilayah Kurdistan di Iran.
Tindakan yang sama dengan akibat berbeda, juga terjadi ketika pasukan Iran menyerbu masuk ke wilayah Kurdistan Irak. Para peshmarga justru bahu-membahu dengan pasukan Iran untuk melawan pasukan Irak. Dapat dikatakan keberhasilan Iran merebut wilayah Kurdistan di Irak pada awal 1988, tidak dapat terlepas dari kontribusi kaum Kurdi. Tidak mengherankan pascaberakhirnya Perang Teluk I, Saddam hussein begitu marah terhadap suku Kurdi. Ia berupaya menggempur basis para peshmarga yang dicapnya sebagai “kaum pengkhianat”.
Permusuhan dengan Rezim Saddam Hussein
Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya dalam sejarah, dua partai utama suku Kurdi Irak, KDP yang dipimpin Masoud Barzani dan PUK yang dipimpin Jalal Talabani, sepakat bersatu melawan rezim Saddam. Baik KDP ataupun PUK mendapatkan dukungan dari Iran, baik dukungan politik atau senjata.
Keikutsertaan suku Kurdi dalam Perang Teluk I sangat merugikan pihak Irak. Puncaknya, pada tahun 1988 pasukan Irak melancarkan serangan besar-besaran dengan senjata kimia terhadap penduduk suku Kurdi.
Serangan pertama dimulai pada bulan Maret 1988, di mana Angkatan Udara Irak menghujani bom-bom kimia di kota Halabjah yang terletak di wilayah Kurdistan Irak. Peristiwa tersebut menewaskan sekitar 4000 warga Kurdi.
Serangan kedua, berlangsung pada tanggal 25 Agustus-5 September. Penduduk Kurdi yang berada di desa Butia, Mesi, Amadiyah, dan sejumlah desa lain menjadi korban serangan kedua. Serangan itu menewaskan sekitar 2.500 warga Kurdi serta mengakibatkan sekitar 60.000 warga Kurdi mengungsi ke Turki dan Iran.
Serangan kedua ini lah yang menimbulkan gelombang kecaman di dunia internasional. Pada Oktober 1988, parlemen Eropa mengutuk dan menghimbau anggotanya agar mengeluarkan sanksi kepada rezim saddam. Sementara itu, Senat Amerika Serikat mendesak presiden Ronald Reagan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi ke Baghdad.
Satu-satunya negara yang secara tegas menghentikan kerjasama dengan Irak adalah Jepang. Mereka menghentikan pengiriman bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat senjata Kimia. Meskipun sejumlah negara mengutuk penggunaan senjata kimia oleh Irak terhadap suku Kurdi. Namun, mereka tidak sepenuhnya mendukung perjuangan suku Kurdi untuk mewujudkan cita-cita mereka. Hingga saat ini, orang-orang Kurdi masih berjuang mewujudkan cita-cita mereka.
BIBLIOGRAFI
Bird, Christiane. 2004. A Thousand Sighs a Thousand Revolts : Journey in Kurdistan. United States of America: The Random House Publishing Group.
Burdah, Ibnu. 2008. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dn Dimensi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sihbudi, Riza. 1993. Islam, Dunia Arab, Iran: Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan.