Eksistensi etnis Cina atau Tionghoa di Indonesia sampai saat ini masih senantiasa terjaga. Walaupun jumlahnya minoritas, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memiliki peran yang besar, khususnya dalam bidang ekonomi. Orang-orang Cina di Indonesia selalu diidentikan sebagai high class atau sebut saja sebagai orang kaya. Mindset masyarakat Indonesia ini sebenarnya benih-benihnya sudah muncul pada masa kolonial Belanda. Pemikiran tersebut kemudian begitu tertanam kuat dalam benak masyarakat Indonesia. Menarik untuk dikaji lebih jauh untuk mengetahui sejarah Cina di Indonesia. Dengan demikian akan mudah untuk memahami seperti apa pola gerak perkembangannya.
Masuknya Cina ke Indonesia
Kedatangan orang-orang Cina di Indonesia tercatat sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Pada abad ke-11, banyak orang-orang Cina yang merantau ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain motif untuk berdagang, sebagian orang-orang Cina merantau untuk memperbaiki kehidupannya. Pada saat itu keadaan Tiongkok sedang kacau. Jatuhnya Dinasti Ming dan pasca perang candu memicu terjadinya kerusuhan, pergolakan sosial, serta kemelaratan rakyat. Gencarnya kolonialisme Barat di negara-negara Asia Tenggara yang membutuhkan para pekerja untuk mengeksploitasi kekayaan alam di negara-negara tersebut mendorong masuknya sejumlah imigran yang didatangkan dari Tiongkok.[1]
Sejak awal, orang-orang Cina memiliki kecenderungan yang begitu mencolok yaitu membuat lingkungannya sendiri, hidup secara eksklusif dengan tetap mempertahankan adat istiadat, dan kebudayaan tradisi leluhur. Etnis Cina yang dikenal ulet dan pekerja keras, terutama dalam bidang perdagangan membuat Belanda memilih Cina sebagai perantara dagang. Dengan demikian Cina diberi hak oleh Belanda untuk memungut pajak dari rakyat. Orang-orang Cina mendapat perlakuan istimewa dari Belanda, berbeda halnya dengan kaum pribumi. Faktor-faktor di ataslah yang menghambat proses pembauran dengan masyarakat pribumi yang menciptakan jarak pemisah diantara keduanya. Golongan Cina memang sulit membaur karena memiliki perbedaan-perbedaan dengan kaum pribumi diantaranya karena faktor kepercayaan atau agama, adat istiadat atau kebudayaan, status sosial, tingkat penghasilan, bahkan dalam bidang politik sebagian memiliki perasaan superior. Secara garis besar permasalahan dipicu dengan alasan pokok sebagai berikut:[2]
- Perbedaan ras dan keterpisahan sosio budayanya yang menjadi titik permasalan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Munculnya rasa iri atau sentiman dari pihak tertentu yang sudah mendarah daging membuat perbedaan yang ada menjadi suatu hal yang berdampak buruk pada hubungan keduanya. Bahkan mudah sekali terbakar dengan isu-isu yang beredar.
- Perbedaan status sosial antara orang-orang Cina dan orang-orang Indonesia pada zaman kolonial sangat menyakitkan rakyat pribumi dengan pengisoliran fisik orang-orang Cina dalam kamp-kamp khusus di kota-kota dengan kebijaksanaan mengkategorikan mereka dibidang hukum sebagai “Orang Timur Asing” dengan status yang lebih tinggi dari pada orang-orang pribumi. Kecenderungan Cina peranakan atau keturunan Cina golongan elite tidak untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang Bumi Putera yang mereka pandang rendah, tetapi untuk berasimilasi dengan masyarakat Belanda dan berusaha untuk persamaan hukum, politik, dan sosial dengan kasta yang sedang memerintah.
- Sikap kebanyakan orang-orang Cina di Indonesia terhadap gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia dan nasionalisme di Indonesia pada tahun-tahun semasa perang kemerdekaan juga memperdalam jurang pemisah antar keduanya, mempertebal rasa permusuhan dan kecurigaan terhadap orang-orang Cina. Memperkokoh kesan yang ada terhadap semua orang Cina yaitu tidak simpati terhadap aspirasi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
- Perasaan dengki antara “orang-orang yang tidak berada” terhadap “yang berada”, tentu saja memainkan peranan.
- Orang-orang Indonesia merasa bahwa “dominasi ekonomi” orang-orang Cina terhadap negerinya melalui jaringan-jaringan ketat dan ikatan-ikatan perorangan yang tidak dapat diterobos, yang telah memberikan keuntungan yang besar kepada golongan Cina.
- Persaingan di antara usahawan-usahawan Cina dan pribumi tidak dapat diragukan lagi adalah satu faktor yang menimbulkan pengaruh-pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap orang-orang Cina, bahkan telah sampai kepada titik dimana diskriminasi ekonomi didasarkan kepada perbedaan ras.
- Aspek ketidaksukaan yang serba asing (xenophobie), sikap-sikap negatif orang-orang nasionalis yang mendalam terhadap lain bangsa yang condong memperkuat rasa pemisahan golongan antara kedua golongan tersebut, ketidak percayaan diri. Iri, ketakutan, dan permusuhan diantara kedua golongan.
- Ada yang beranggapan bahwa Cina seberang lautan telah dicurigai sebagai suatu cabang dari suatu kekuatan yang terbayang mengancam Indonesia karena adanya kemungkinan menjadi suatu “kolone kelima” dalam peristiwa-peristiwa perselisihan di Asia Tenggara.
- Tempat tinggal golongan Cina yang dibanyak tempat selalu bergerombol di satu tempat tersendiri (Pecinan) memberikan kesan eksklusif.
Perkembangan Cina di Indonesia
Sebelum abad ke-20 mayoritas perantau dari Cina bukanlah golongan terpelajar. Menurut penyelidikan Dr. F. De Haan dalam Leo Suryadinata mengatakan bahwa sebelum tahun 1729 M penduduk Tionghoa di Jakarta sudah mempunyai semacam sekolah swasta yang diselenggarakan di rumah-rumah orang kaya atau yang sang guru datang ke rumah untuk memberi pelajaran bagi anak-anak Tionghoa.[3] Pada tahun 1900 M orang-orang Cina mulai mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mereka. Pendidikan orang-orang Cina semakin berkembang. Terlebih lagi Belanda membuat kebijakan terkait sistem pendidikan yang dipisah-pisahkan menurut golongan masyarakat sebagai berikut:[4]
- Hollands Indische School (HIS) untuk orang-orang pribumi.
- Hollands Chinese School (HCS) untuk orang non pribumi keturunan Cina.
- Hollands Arabische School (HAS) untuk keturunan Arab.
Dari kebijakan tersebut golongan pribumi semakin berprasangka buruk terhadap Cina. Pendidikan bagi kaum pribumi pun hanya dapat dirasakan oleh keturunan ningrat saja. Dalam bidang politik dan pemerintahan diadakan garis pemisah pula, yang mana jabatan-jabatan tertentu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Cina dan pribumi keturunan ningrat.
Orang-orang Cina di Indonesia yang datang untuk berdagang banyak membentuk komunitas atau perkampungan di pulau Jawa seperti di pantai Tuban, Surabaya, dan Gresik. Perkampungan tersebut beberapa masih ada, sebagian lagi hanya meninggalkan jejak sejarah berupa peninggalan-peninggalan berupa artefak seperti bentuk-bentuk bangunan rumah yang kental dengan seni arsitektur Cina-Belanda. Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia membawa tradisi, norma-norma, dan sikap fanatisme terhadap tradisi leluhur. Pemikiran mereka dipenuhi dengan ajaran-ajaran yang berisi pandangan hidup dan filsafat orang-orang Cina seperti Budhisme,Taoisme, dan Khong Hu Cu.[5]
Paham Budhisme dikaitkan dengan hubungan manusia sebagai individu dengan keadaan masa depan yaitu Nirwana (Kik Lok Kok) dan alam semesta. Paham Taoisme dihubungkan dengan nasib manusia yaitu manusia sebagai individu dalalam hubungannya dengan alam semesta. Paham Khonghucu dikaitkan dengan perhatiannya terhadap masyarakat secara keseluruhan seperti tergambar dalam sistem sosial Cina tradisional. Ketiga paham tersebut kemudian dinamakan Tri Dharma (Sam Kaw). Di Indonesia pelopornya adalah Kwee Tek Hoaij, yang lebih dianggap sebagai salah seorang tokoh Budha di Indonesia. Penganut-penganut Sam Kaw membentuk Majelis Budhisme Tri Dharma Indonesia. [6]
Pada tahum 1945-1949 yang merupakan periode masa revolusi fisik, rakyat Indonesia berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan. Pada tahun 1947 muncul gerakan organisasi Cina bernama gerakan Pao An Tui yang dipersenjatai Belanda. Gerakan ini mendapat perlawanan dari RI pada tahun 1949. Berikut adalah sikap tertentu pada waktu revolusi fisik yaitu orang-orang non pribumi Cina yang berada di daerah kekuasaan RI, sebagian kecil membantu sekuat tenaga pejuang-pejuang RI, sedangkan yang berada di wilayah kekuasaan Belanda yang umumnya membantu Belanda.
Dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa perjuangan kemerdekaan orang-orang non pribumi keturunan Cina condong kepada siapa saja yang berkuasa di tempat itu, asal tidak dirugikan usahanya. Siapa saja yang dapat menjamin keselamatan dan keuntungan usahanya, maka mereka akan membantu sepenuhnya. Ketika pembenrontakan G 30 S PKI meletus, sikap Pemerintah Indonesia banyak berubah, terutama terhadap non pribumi keturunan Cina yang ternyata diketahui banyak diantara mereka yang bersimpati kepada pemberontakan tersebut. Adapun kebijakan baru bagi orang-orang Cina adalah sebagai berikut:[7]
- Dilarang diadakannya upacara-upacara atau perayaan-perayaan tradisional Cina.
- Muncul peraturan yang mengakibatkan dikeluarkannya kartu penduduk yang membedakan antara sesama WNI, pribumi, dan non pribumi.
- Dalam bidang pendidikan: ditutupnya sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak non pribumi keturunan Cina. Sehingga orang tua mereka menyekolahkannya ke sekolah swasta bahkan keluar negeri.
Kondisi Cina di Indonesia memang mengalami pasang surut sejak masa kolonial sampai masa reformasi. Pada tahun 1998 tepatnya pada tanggal 13-14 Mei merupakan hari-hari penting etnis Cina di Indonesia karena selama dua hari itu, di Jakarta dan Solo terjadi kerusuhan secara besar-besaran. Pada bulan dan tahun yang sama Soeharto dilengserkan, sejak saat itu etnis Cina mulai merasa bahwa mereka masih mempunyai harapan untuk memperoleh tempat yang layak di Indonesia.
Orang-orang Cina juga ikut serta dalam dunia perpolitikan dan berbaur dengan partai pribumi, sebelumnya pada masa orde baru etnis Cina tidak diberi ruang terlibat dalam bidang politik. Sedikit demi sedikit masyarakat pribumi mulai berubah terhadap minoritas Cina. Terlebih pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, mulai memberikan tempat bagi etnis Cina. Etnis Cina diperbolehkan kembali merayakan hari-hari besar tradisionalnya. Sejak tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim orde baru dibawah Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Tujuannya untuk mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang Cina terhadap kebudayaannya termasuk kepercayaan, agama, dan adat istiadatnya.
Pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Impres Nomor 14/1967. Ia dikenal toleran dalam sikap keberagamaannya, inklusif dalam perbedaan pendapat, dan pluralis di tengah kemajemukan. Sebagai bangsa pluralis dan bahkan paling pluralis ia tak hanya mengakui eksistensi pluralitas (co-existence), tetapi juga mendukung eksistensi pluralitas (pro-existence); pro existence Kong Hu Cu dan pro perayaan Imlek. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).[8]
Pada tahun 2000 pendudukan Indonesia berjumlah 201.092.238 jiwa. Etnis Cina mencapai angka 2, 1%, sefangkan pribumi berjumlah 97,9%. Hal ini menunjukkan bahwa etnis Cina masuk dalam kategori WNI yang berjumlah minoritas di Indonesia, tetapi mereka adalah kelompok etnis penguasa ekonomi nasional. Jadi, posisi mereka dalam pembangunan nasional sangat kuat.[9]
Hubungan Islam dengan Cina
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka hubungan antara mayoritas rakyat Indonesia dengan golongan Cina tergantung pada agama yang dianut orang-orang Cina. Kesan yang muncul dipermukaan adalah Cina bukanlah ras yang dekat dengan Islam, sehingga kebanyakan orang Islam merasakan kelompok Cina bukan Islam. Padahal berdasarkan catatan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, Islam dan Cina memiliki hubungan yang sangat dekat. Misalnya raja pertama kerajaan Islam yang bernama Raden Patah sebenarnya orang Cina bernama Senopati Jin Bun.[10]
Namun, belakangan ini mulai banyak orang-orang Cina yang masuk agama Islam. Bahkan dikalangan Cina Muslim audah ada lembaga dan yayasan. Banyak pula tokoh-tokoh terkenal yang masuk Islam antara lain: Masagung, pemilik PT. Gunung Agung, Jeffrey Rizal Salim, tokoh pembalab mobil, Verawati, atlet bulu tabngkis, Junus Jahya, dan lain-lain. Selain itu, salah satu yang berperan dalam pembauran Cina dan pribumi karena adanya perkawinan. Hal ini tentu perlu terus berkembang agar perbedaan yang ada semakin menemukan titik temu yang tidak menimbulkan permasalahan. [11]
DAFTAR PUSTAKA
Husodo, Siswono Judo. Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia). Jakarta: Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri, 1985.
Ode, M.D. La. Etnis Cina Indonesai dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Suhanda, Irwan. (ed), Gus Dur Par Exellence. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Footnote
[1]Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm.7.
[2] Siswono Judo Husodo, Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia) (Jakarta: Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri,1985), hlm. 34-38.
[3]Suryadinata, Etnis Tionghoa, hlm. 7-8.
[4]Husodo, Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia), hlm. 59.
[5]Husodo, Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia), hlm 58.
[6] Ibid.
[7]Ibid., hlm. 61.
[8]Irwan Suhanda (ed), Gus Dur Par Exellence (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 87.
[9]M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesai dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), hlm. 5.
[10]Husodo, Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia), hlm. 62.
[11]Ibid., hlm. 62-63.
Oleh Milawati, Alumnus Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga
Halo, bagus banget risetnya, bolehkan aku mengambil riset ini untuk dimasukan ke dalam skripsi ku? kebetulan aku sedang bikin Tugas Akhir DKV tentang akulturasi budaya Tionghoa dan Sunda, terima kasih
Silahkan, jangan lupa cantumkan sumbernya ya. Semoga sukses
siaaap, oke terima kasih banyak ya