Minuman beralkohol memiliki kisah panjang di Indonesia. Beberapa sejarawan beranggapan minuman ini dibawa dan diperkenalkan oleh Bangsa Eropa yang datang ke Nusantara. Namun, dalam beberapa catatan kuno, praktik mengonsumsi minuman beralkohol ternyata telah dilakukan sejak era pra-kolonial.
Kemunculan Minuman Beralkohol di Nusantara
Minuman beralkohol merupakan salah satu produk fermentasi yang telah lama dikenal manusia. Fermentasi sendiri awalnya dilakukan untuk memperkaya pola makan, mengawetkan bahan makanan yang berlebih, mendetoksifikasi makanan, dan mengurangi waktu memasak.
Dalam sejarahnya, penduduk Nusantara dikenal memiliki kemampuan luar biasa dalam mengolah minuman fermentasi dan memadukannya ke budaya mereka (Jakl, 2021). Bukti tekstual memperlihatkan bahwa sebelum abad modern, mereka telah memanfaatkan alkohol dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu minuman beralkohol tertua dan populer di Nusantara adalah tuak. Minuman ini berasal dari nira yang difermentasi dari pohon kelapa, aren, lontar, dan nipah. Dari sekian jenis tuak, minuman yang berasal dari aren diyakini memiliki kualitas paling bagus. Kandungan alkohol di dalam tuak tidaklah terlalu tinggi, yakni antara 1 % sampai 4% (McGovern, 2009).
Popularitas tuak banyak dicatat oleh orang-orang Eropa yang singgah di Nusantara. Tome Pires menyebut tuak Jawa memiliki cita rasa yang lumayan enak.
Dahulu proses pembuatan tuak dianggap sebagai hasil dari keterampilan dan seni, tetapi kemampuan itu perlahan dilupakan dan hilang seiring berjalannya proses Islamisasi.
Di samping tuak, mereka juga memproduksi arak tebu (mirip ciu Bekonang dan arak Batavia) yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut kilan. Minuman jenis ini pada umumnya disajikan sebagai minuman sambutan bagi tamu penting.
Pada penghujung abad ke-13, penduduk Nusantara mulai mengonsumsi minuman keras hasil penyulingan, khususnya arak. Minuman tersebut diimpor dari Cina dan termasuk minuman bergengsi yang tidak semua orang bisa mengonsumsinya. Hal ini membuat arak baru mulai populer dan banyak diproduksi setelah abad ke-15.
Selain arak, anggur merah juga termasuk sebagai minuman eksklusif bagi elite Jawa. Namun, popularitas minuman jenis ini termasuk paling belakangan dibanding minuman lain. Saat Tome Pires mengunjungi Jawa pada abad ke-16, ia belum mendapati anggur merah dikonsumsi oleh masyarakat umum. Minuman ini baru mulai naik daun pada abad ke-17 setelah diimpor ke wilayah Mataram oleh pedagang Eropa (Jakl, 2021).
Kebiasaan Meminum Alkohol di Jawa pra-Islam
Beberapa sejarawan mengklaim bahwa penduduk Nusantara pra-Islam memiliki kebiasaan minum minuman keras. Antony Reid (2014), mengemukakan bukti atas klaim ini dari Hikayat Hang Tuah. Dari kisah Sunda, Tohaan di Majaya, penguasa kelima Pajajaran digambarkan seorang pemabuk yang suka menghamburkan uang (Wessing, 1993).
Tidak sedikit literatur Jawa Kuno yang mengindikasikan bahwa konsep alkoholisme telah dikenal setidaknya sejak abad ke-13. Mpu Monaguna dalam kakawin karangannya, Sumanasāntaka, secara jelas merujuk pada konsep alkoholisme atau kecanduan alkohol. Pada bait 100.1, ia membuat perbedaan antara mabuk yang disebabkan oleh tuak dan mabuk akibat mengonsumsi arak.
Mpu Monaguna, menunjukkan bahwa tujuan dari para peminum adalah mencari kesenangan (harsa). Alkoholisme ditandai dengan meningkatnya toleransi terhadap alkohol dan keinginan untuk meminumnya. Para pemabuk berat, yang disebut madyasakta dalam kakawin tersebut, tidak akan menemukan kepuasan dari tuak aren yang ringan dan manis (Jakl, 2021).
Kata madya dalam bahasa Jawa Kuno merujuk pada minuman keras jenis apa pun, seperti rum, arak, dan minuman keras lain yang disuling. Sementara Zoetmulder (1982) mengartikan kata madya sebagai ‘kecanduan minuman keras’, arti yang sangat cocok dengan konteks di dalam Sumanasāntaka.
Pada abad ke-14, kecanduan alkohol bukanlah sesuatu yang baru di istana Majapahit. Dalam Desawarnana bait 90.5, Mpu Prapanca menyebut beberapa tamu yang menghadiri perjamuan kerajaan sebagai wwaṅ sakta (orang-orang yang kecanduan), menandakan mereka adalah peminum berat atau pecandu alkohol.
Sebelum acara dimulai, para tamu sudah ditawari minuman keras dalam jumlah melimpah oleh pejabat tinggi istana. Dalam jamuan di istana, menolak alkohol yang diberikan dianggap sebagai bentuk penghinaan, jadi mau tidak mau mereka harus menenggaknya. Pada masa ini, orang Jawa lebih suka minum arak dengan cara diteguk daripada diminum perlahan-lahan.
Mpu Prapanca menceritakan bahwa sebagian hadirin mabuk berat hingga membuat mereka muntah dan pingsan. Sementara yang lain mencoba mengajak berkelahi tamu-tamu lainnya, tetapi tingkah mereka hanya ditertawakan dan tidak ditanggapi secara serius (Jakl, 2021).
Selain dihidangkan dalam acara kerajaan, minuman beralkohol juga lazim disajikan pada acara pernikahan bangsawan. Akan tetapi, tidak semua jenis minuman beralkohol dihidangkan. Menurut Mpu Monaguna, hanya minuman yang memiliki kadar alkohol tinggi yang disajikan dalam acara tersebut.
Dalam catatan Ma Huan (1428), pesta pernikahan penduduk Jawa sangatlah meriah. Mereka tidak hanya memainkan musik, tetapi juga meminum arak selama pesta berlangsung.
Namun, pandangan terhadap minuman keras pada masa itu jelas berbeda dengan masa sekarang. Tidak ada sumber-sumber Jawa Kuno yang mempermasalahkan kebiasaan ini atau menganggapnya sebagai kelainan.
Eksistensi Alkohol Selama Periode Islamisasi
Dalam ajaran Islam, mabuk merupakan salah satu larangan yang harus dijauhi. Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan kalau konsumsi alkohol di Jawa mengalami penurunan pada abad ke-15 dan ke-16, saat pengaruh Islam mencapai Nusantara dan banyak komunitas muslim didirikan di daerah pesisir Jawa.
Meskipun sejak abad ke-15 mulai muncul larangan perdagangan dan konsumsi alkohol di Melayu dan Jawa, tetapi tidak dapat secara instan menghilangkan kebiasaan itu. Catatan pada awal periode modern menyebutkan beberapa penguasa setempat dikenal sebagai pemabuk.
Putra tertua Sultan Johor, Raja Laut, dikenal sebagai pemabuk berat. Dirinya tidak banyak melakukan aktivitas, bangun pada siang hari, lalu menghabiskan harinya untuk minum minuman keras hingga tak sadarkan diri (Borschberg, 2015).
Selain itu, ada juga Tamjidillah II, penguasa Banjarmasin yang juga dikenal sebagai seorang pemabuk. Selama pemerintahannya, ia dianggap sebagai sosok kontroversial yang sangat mengagumi gaya hidup orang-orang Belanda.
Reid menganggap kebiasaan mengonsumsi alkohol telah tertanam kuat dan dianggap sebagai bagian dari ritual penduduk setempat, sehingga kehadiran agama-agama baru tidak dapat langsung menghilangkan kebiasaan itu.
Salah satu alasan lainnya adalah sikap terbuka kalangan sufi terhadap minuman keras setidaknya hingga abad ke-18. Sikap ini memiliki pengaruh besar terhadap eksistensi minuman beralkohol selama periode islamisasi di Jawa dan Sumatra. Realitas ini sebenarnya tidak mengherankan, karena beberapa kelompok sufi di Persia kala itu malah menjadikan minuman keras sebagai bagian dari ritual (Mathee, 2005).
Bahkan di pusat-pusat muslim yang kuat seperti Melaka, Brunei, Aceh, dan Mindanao, alkohol secara rutin menyertai acara-acara hiburan, termasuk pesta-pesta kerajaan dan dijual di pasar-pasar perkotaan. Dalam catatan navigator Arab, Ahmad ibn Majid, dirinya masih mendapati banyak muslim mengonsumsi alkohol secara terang-terangan di pasar-pasar di Malaka.
Di Jawa, pengaruh Islam mulai tumbuh di kota-kota pesisir utara, tetapi membutuhkan waktu cukup lama untuk melakukan penetrasi hingga ke istana-istana Jawa. Sementara itu, Islam baru merambah sampai pedalaman Jawa pada penghujung abad ke-16.
Meskipun demikian, konsumsi minuman keras baru mengalami penurunan pada abad ke-18 dan nyaris menghilang pada abad ke-19. Tampaknya popularitas alkohol di Jawa menurun bersamaan dengan munculnya beberapa zat adiktif baru, seperti tembakau, opium, dan teh
Berdasarkan pengamatan Raffles (1830), kebiasaan muslim Jawa berbeda dengan muslim India pada masa itu. Di India, mereka lebih suka minum anggur daripada makan daging babi, sedangkan muslim Jawa lebih suka makan daging babi daripada minum anggur.
Kondisi yang cukup berbeda terjadi pesisir Sumatra. Pada akhir abad ke-18, Marsden melaporkan bahwa orang Melayu di pesisir Sumatra menjauhi opium, tetapi masih mengonsumsi arak secara berlebihan.
Meskipun demikian, kebiasaan ini dengan cepat hilang setelah munculnya gerakan Paderi di Sumatra. Gerakan reformis ini secara militan membersihkan pengaruh alkohol di daerah pedesaan di Sumatra dan melarang penggunaan arak untuk pesta.
Miras pada Masa Kolonial
Masuknya pengaruh Eropa turut merubah pola konsumsi minuman beralkohol. Tuak yang dahulu dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai kelas sosial mulai tersingkirkan dan menjadi minuman masyarakat kelas bawah.
Para elite Jawa lebih memilih meniru gaya hidup orang-orang Eropa yang dianggap lebih berkelas dan beradab. Berbagai jenis minuman beralkohol seperti brendi, bir, rum, wiski, cognac, brandwine, dan lain sebagainya yang umum dikonsumsi oleh orang Eropa mulai dijadikan rujukan elite bumiputra sebagai minuman elit (Blackburn, 2011).
Seiring berjalannya waktu, mulai bermunculan tempat-tempat hiburan eksklusif yang diperuntukkan untuk orang kaya. Tempat-tempat hiburan eksklusif ini menjamur di kota-kota besar pelabuhan seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Selain menyediakan berbagai minuman keras impor, tempat ini juga menyediakan fasilitas hiburan seperti pertunjukkan, meja bermain kartu dan biliar (Artyas, 2019).
Pada perkembangannya miras impor mulai digemari berbagai kalangan. Akhirnya perdagangan miras impor tidak hanya berhenti di klub eksklusif, tetapi juga diperdagangkan di restoran dan rumah bordil.
Menurut Kats (1920) dalam Bahaja Minoeman Keras Serta Daja Oepaja Mendjaoehinja, menjelang abad ke-20, jumlah miras yang masuk ke Hindia-Belanda mengalami kenaikan signifikan. Fenomena ini membuat pemerintah kolonial memperketat regulasi demi meraup keuntungan dari popularitas miras impor.
Minuman keras yang diimpor dari Eropa harus melalui bea cukai (douane) dan membayar tarif cukai sesuai jenis barang yang masuk. Sebelum diedarkan, minuman melewati uji laboratiorium terlebih dahulu untuk mengetahui kadar alkohol yang terkandung. Uji laboratorium dilakukan oleh Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel yang berlokasi di Batavia.
Jumlah minuman keras yang diimpor ke Hindia-Belanda tidaklah sedikit. Beberapa perusahaan besar seperti The East Asiatic Company, Ltd dan Handelsvereeniging vooheen Reiss & CO memainkan peran besar sebagai importir minuman keras Eropa (Anwari, 2015).
Lambat laun, pemerintah kolonial juga mengintervensi produksi minuman keras lokal seperti arak. Keterlibatan ini ternyata membuat banyak pabrik miras lokal gulung tikar.
Maraknya peredaran miras menimbulkan kekhawatiran pemuka agama, intelektual dan moralis. Mereka mendesak pemerintah kolonial membatasi peredaran minuman ini.
Sebagai jawaban atas desakan ini, pemerintah kolonial membentuk alcoholbestrijding commisie (Komisi Penanggulangan Alkohol). Sayangnya, komisi ini dibentuk hanya sebagai formalitas belaka, dalam praktiknya minuman keras masih bebas diperjualbelikan di tempat-tempat umum.
Pada 26 September 1929, perusahaan bir NV Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen membuka pabriknya di Medan. Dua tahun berselang, perusahaan itu membuka pabrik kedua di Surabaya di kawasan industri Ngagel, dengan produk andalan Java Bier.
Java Bier cukup tenar kala itu karena gencarnya promosi yang dilakukan perusahaan melalui berbagai surat kabar, baik berbahasa Belanda, Melayu, Jawa, atau Cina.
Meskipun demikian, pada 1936, Heineken Group membeli mayoritas saham perusahaan, dan merubah namanya menjadi Heinekens Indische Bierbrouwerijen.
Bersamaan dengan itu, bir merk Heineken mulai dikenal masyarakat. Namun, karena pengucapan Heineken cukup sulit diucapkan penduduk Hindia-Belanda, produk bir ini lebih dikenal dengan nama bir cap bintang, sesuai lambangnya.
Pesaing utama Heineken adalah NV Archipel Brouwerij Compagnie dengan produk andalannya Anker. Perusahaan bir asal Jerman ini mulai memproduksi birnya di Hindia-Belanda pada 1932.
Baca juga: Nikmat Membawa Petaka: Perdagangan Opium di Hindia-Belanda
Akan tetapi, selama periode Perang Dunia II, banyak perusahaan bir Eropa terpaksa menghentikan produksi dan menutup pabriknya. Dampaknya, banyak produk-produk bir tersebut hilang dari peredaran dan baru muncul kembali pasca kemerdekaan.
Daftar Pustaka
Anwari, I. R. M. (2015). Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942 (Alcoholic Drink as a Necessary Evil in Surabaya 1900—1942). Mozaik, 15(2), 205-218.
Artyas, Y., & Warto, W. (2019). Societeit de Harmonie: European Elite Entertainment Center In the 19th Century in Batavia. Paramita: Historical Studies Journal, 29(2), 130-138.
Blackburn, Susan. (2011). Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
Borschberg, P. (2015). Jacques de Coutre’s Singapore and Johor; 1594–c.1625. Singapore: NUS Press.
Jákl, J. (2021). Alcohol in Early Java: Its Social and Cultural Significance (Vol. 8). Brill.
Kats, J. (1920). Bahaja Minoeman Keras Serta Daja Oepaja Mendjaoehinja. Weltevreden: Balai Pustaka, 1920.
Matthee, R. (2005). The Pursuit of Pleasure: Drugs and Stimulants in Iranian History, 1500–1900. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
McGovern, P.E. (2009). Uncorking the Past: The Quest for Wine, Beer, and Other Alcoholic Beverages. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Raffles, Th.S. (1830). The History of Java. 2 volumes. London: John Murray (2nd edition).
Reid, Anthony. (2014). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wessing, R. (1993). “A Change in the Forest: Myth, and History in West Java”, Journal of Southeast Asian Studies 24(1):1–17.
Zoetmulder, P.J. (1982). Old Javanese-English dictionary. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.