Bidan adalah salah satu profesi yang umum kita temukan pada masa sekarang. Hampir di setiap kota dapat ditemukan sekolah-sekolah kebidanan. Meskipun sekarang bidan menjadi pekerjaan yang terbilang umum di Indonesia, namun bidan jarang sekali disinggung dalam sebuah kajian sejarah.
Di dalam historiografi Indonesia, kajian mengenai sejarah kesehatan, penyakit, atau layanan perawatan medis masa kolonial memang termasuk kajian yang langka. Pengabaian terhadap suatu tema sejarah menyebabkan ketidaktahuan masyarakat sekarang terhadap sejarah kesehatan di Indonesia.
Jangankan masyarakat umum, orang-orang yang bergelut di bidang kesehatan saja banyak yang tidak mengetahui sejarah profesi yang digelutinya. Oleh sebab itu, di dalam artikel ini akan dibahas mengenai sejarah sekolah bidan pertama masa kolonial, yang menjadi embrio munculnya bidan-bidan masa modern.
Wacana Pelatihan Bidan
Sampai akhir abad ke-19, para perwira tentara, pedagang, dan serdadu Belanda gentar setiap kali mendengar nama Hindia Belanda. Mereka gentar bukan karena penduduk disana, namun karena reputasi wilayah itu sebagai salah satu tempat paling tidak sehat di dunia. Wilayah Hindia Belanda dipenuhi penyakit-penyakit yang hampir tidak dikenal di Eropa (Pols, 2019: 8).
Celakanya, pada masa itu sedikit sekali tenaga medis yang dapat ditemukan di Hindia Belanda. Otomatis perawatan medis masih bergantung pada tenaga medis tradisional, termasuk untuk wanita melahirkan yang masih sangat bergantung pada dukun bayi.
Akan tetapi praktek yang dilakukan dukun bayi telah memicu kontroversi, prosedur nekat yang sering dilakukan dukun bayi dianggap membahayakan nyawa ibu dan bayinya (Niehof, 2014: 694). Oleh sebab itu, seiring berjalannya waktu dan bertambah pula orang-orang Eropa yang masuk ke Indonesia, kesadaran mengenai kebutuhan terhadap bidan mulai muncul.
Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor perawat dari Belanda. Akan tetapi karena alasan biaya dan banyak perawat Belanda yang enggan pergi ke koloni, maka diputuskan untuk mencoba melatih penduduk pribumi untuk menjadi perawat.
Gagasan untuk melatih bidan pribumi mulai muncul pada awal abad ke-19. Melalui peraturan Dinas Kesehatan Sipil tahun 1809, ahli medis di tiga kota besar (Batavia, Semarang dan Surabaya) ditugaskan untuk melatih wanita pribumi sebagai bidan. Para bidan lokal yang dilatih ini pada akhirnya diproyeksikan untuk menggantikan dukun bayi yang dipandang tidak kompeten.
Mulai tahun 1817 bidan Eropa diwajibkan untuk melatih perempuan asli (dan Eropa) sebagai bidan. Pada tahun yang sama C.G.C. Reinwardt, direktur Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan, menyarankan menunjuk seorang bidan kota untuk membantu persalinan yang sulit dan mengajarkan kebidanan kepada dukun bayi. Saran ini muncul karena dukun bayi pada masa itu dianggap orang Belanda tidak mempunyai pengetahuan yang cukup, dan cenderung nekat saat membantu proses melahirkan, sehingga justru membahayakan wanita yang sedang melahirkan. Namun rencana dari Reinwardt tersebut hanya sebatas wacana dan tidak pernah terealisasikan (Hesselink, 2011: 119).
Ide untuk melatih bidan lokal kembali muncul, saat ada kekosongan kursi bidan di Batavia pada 1836. Saat itu, kepala Layanan Medis, E.A Fritze, menyatakan bahwa bidan yang akan mengisi kekosongan pekerjaaan itu harus mampu mengajarkan kebidanan kepada perempuan pribumi untuk memenuhi kebutuhan bidan di luar Jawa.
Ide Fritze kemudian dilanjutkan oleh penggantinya P.J. Godefroy, yang juga setuju dengan rencana tersebut. Ia mencatat tiga masalah utama pelatihan bidan lokal yaitu biaya, menemukan wanita pribumi yang cocok sebagai mahasiswa dan ketidakpastian apakah wanita hamil ingin melahirkan di klinik kebidanan.
Meskipun telah diprediksi bakal menemui kesulitan, Residen Batavia tetap optimis dapat menemukan siswa perempuan yang cocok dan perempuan hamil miskin yang bersedia melahirkan di klinik, terlebih jika pendidikan dan perawatannya tidak dikenai biaya.
Satu-satunya masalah yang tersisa adalah biayanya. Godefroy mengirim proposal perkiraan anggaran untuk mendirikan lembaga kebidanan kepada Departemen Keuangan pada bulan September 1839.
Sayangnya, tiga bulan sebelumnya yakni pada bulan Juni 1839, Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan untuk memangkas anggaran di Hindia Belanda. Oleh sebab itu, rencana Godefroy untuk mewujudkan sekolah kebidanan gagal karena terbentur masalah finansial (Ibid: 120).
Usaha Pendirian Sekolah
Gagasan tentang sekolah kebidanan kembali disuarakan pada tahun 1847 oleh Kepala Layanan Medis yang baru, W. Bosch. Ia mengusulkan kepada pemerintah untuk meningkatkan bantuan kebidanan bagi penduduk Jawa dan mendirikan sekolah bidan untuk perempuan pribumi.
Berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai petugas kesehatan di Hindia pada periode 1818-1839, ia menyatakan praktek dukun begitu membahayakan wanita pribumi yang ia sebut perempuan malang. Penduduk asli yang telah sadar membutuhkan para bidan untuk melahirkan, namun karena jumlahnya sedikit mereka tidak punya pilihan lain selain menggunakan dukun bayi.
Para tenaga medis Belanda menganggap banyak dampak negatif yang timbul dari kurangnya pengetahuan dukun bayi yang sama sekali tidak memadai mengenai proses alami persalinan normal. Oleh karena itu, pelatihan bidan merupakan kebutuhan yang harus segera dipenuhi (Rapport Commissie tot Voorbereiding Eener Reorganisatie van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst, 1908: 89).
Pada masa itu pandangan negatif terhadap dukun bayi tidak hanya muncul dari kalangan ahli medis di Hindia Belanda, namun pandangan negatif itu juga menyebar di kalangan medis di Eropa. Banyak tulisan masa itu yang menceritakan kisah-kisah horor mengenai persalinan yang ditangani dukun bayi. Pada intinya kemampuan dukun bayi begitu direndahkan saat itu.
Pandangan yang cenderung mengeneralisasi dukun bayi sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Pada dasarnya pengetahuan dukun bayi adalah pengetahuan yang diwariskan turun-menurun berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari pendahulunya. Peralatan yang digunakan pun cenderung sederhana. Akan tetapi perlu dicatat praktek dukun bayi telah ratusan tahun dilakukan sebelum kedatangan orang-orang Belanda, bahkan di masa modern di beberapa tempat dukun bayi masih menjadi andalan saat melahirkan.
Kembali kepada usaha pendirian sekolah kebidanan, untuk menggantikan dukun bayi, W. Bosch ingin melatih perempuan asli sebagai bidan. Ia mengusulkan mendirikan klinik kebidanan di Batavia atau Semarang untuk 20 siswa.
Baca juga: Sejarah Perawat Masa Kolonial
Bosch mencoba mengajukan proposal pendirian sekolah bidan. Satu bulan berselang ia mendengar kabar bahwa pemerintah akan mengizinkan percobaan pendirian sekolah bidan, asalkan biaya dijaga agar tetap minimum.
Namun setelah Bosch memberikan informasi yang diminta, termasuk anggaran ƒ18.000 untuk gedung, pemerintah mulai keberatan. Uang yang dibutuhkan untuk pelatihan dianggap terlalu tinggi.
Pemerintah malah meminta Bosch untuk melakukan pelatihan terhadap istri dan selir prajurit di seluruh garnisun utama. Bosch tentu menolak rencana ini. Ia merasa bahwa tidak banyak petugas kesehatan yang kompeten untuk memberikan pelatihan (Hesselink, 2011: 126).
Alasan Bosch masuk akal, karena sebagian besar petugas kesehatan dilatih di Rijkskweekschool voor Militaire Geneeskundigen di Utrecht yang tidak memiliki kurikulum kebidanan. Selain itu, Bosch merasa bahwa istri dan selir prajurit tidak cukup terdidik untuk mengikuti program teoretis. Ditambah setiap garnisun harus memiliki peralatan pendidikan yang mahal seperti manekin. Dengan demikian ide pemerintah itu terlalu sulit untuk diwujudkan.
Argumen kontra Bosch tampaknya meyakinkan pemerintah karena setelah itu ia ditugaskan berkunjung ke Batavia, Semarang dan Surabaya, untuk mengetahui kesiapan ketiga kota tersebut menyelenggarakan sekolah bidan.
Dalam kunjungannya, ia tidak menemukan hambatan yang tidak dapat diatasi. Oleh sebab itu, ia mengirimkan laporan kepada Dewan Hindia.
Dewan menanggapinya dengan positif dan pada bulan Juni 1850 gubernur jenderal memberikan persetujuannya. Berbeda dengan ketika sekolah dokter Djawa didirikan, gubernur jenderal sekarang dapat mengambil keputusan tanpa menunggu pusat. Ditambah, pada tahun-tahun tersebut tidak ada pembatasan anggaran seperti yang menyebabkan proposal Godefroy pada tahun 1839 ditolak.
Sekolah Bidan Pribumi
Sekolah bidan pribumi terletak di lahan rumah sakit militer di Batavia, berdampingan dengan sekolah dokter Djawa. Kedua program pelatihan itu gratis dan para gadis calon bidan menerima tunjangan ƒ12 per bulan untuk makanan dan pakaian. Setelah sekolah dan bangsal bersalin dibangun, maka program pelatihan bidan dimulai pada Oktober 1851 (Ibid: 127; Boomgard, 1993: 88).
Kurikulum sekolah ini terdiri dari beberapa mata pelajaran yang terkait dengan profesi bidan, seperti pelajaran anatomi; prinsip-prinsip fisiologi manusia; berbagai dimensi panggul wanita; teori kehamilan dan sel telur; posisi alami dan tidak alami dari janin dan berbagai aturan praktis lainnya.
Meskipun demikian pembelajaran benar-benar dimulai dari nol karena banyaknya siswa yang tidak belum bisa membaca. Untuk itu dirancang sebuah kurikulum dasar untuk melatih para siswa membaca dan berhitung.
Program pelatihan direncanakan memakan waktu 1½ tahun, tetapi dalam prakteknya sebagian besar siswa membutuhkan waktu lebih lama, 2½ hingga 3 tahun untuk menyelesaikan studi. Kelulusan yang terlambat ini karena mereka harus belajar membaca dan menulis dan aritmatika terlebih dahulu (Hesselink, 2011: 129).
Seiring dengan teori di kelas, siswa juga melakukan praktek untuk lebih mengasah keahlian. Mereka menggunakan manikin dan Atlas d’obstétrique yang dipesan langsung dari Paris. Dalam pengadaan bahan ajar ini nampaknya tidak ada batasan anggaran ketat yang ditetapkan. Selain dari bahan ajar, pengalaman praktis juga diperoleh dengan membantu wanita melahirkan di bawah pengawasan.
Salah satu tantangan dalam penyelenggaraan praktek kebidanan adalah ketersediaan wanita hamil. Pada awalnya ketersediaan wanita hamil untuk praktek diragukan pemerintah. Selain karena belum banyaknya info mengenai klinik melahirkan, pada umumnya para wanita yang hamil lebih memilih untuk ke dukun bayi.
Namun Bosch tetap optimis, dan menawarkan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan wanita-wanita hamil dari kalangan istri dan selir tentaran. Ide Bosch ini muncul dari realitas yang terjadi di dalam barak tempat para tentara dan keluarganya tinggal di dalam aula besar. Tempat tersebut tidak memiliki suatu ruangan khusus untuk bersalin, sehingga menurut Bosch, para istri dan selir tentara itu dapat memperoleh perawatan lebih baik apabila menggunakan klinik sebagai tempat bersalin.
Ia juga mengusulkan memberi setiap wanita dalam persalinan bonus sepuluh gulden setelah dia pulih. Bonus itu mulai dapat direalisasikan pada akhir 1853. Ide-ide Bosch nampaknya membuahkan hasil, menggingat antara 1852 dan 1872, 1128 wanita memilih dirawat di klinik saat melahirkan.
Selama sekitar 25 tahun beroperasi, tercatat ada 142 yang menjadi siswa kebidanan. Mayoritas siswa tersebut berasal dari kalangan kelas bawah, bukan dari kalangan priyai layaknya para dokter Jawa. Beberapa daerah seperti Tegal dan Priangan sempat menawarkan untuk mengirimkan para pelacur sebagai siswa, namun gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh Bosch.
Manajemen Sekolah
Selama sekolah ini beroperasi, HJ Zembsch-de Klemp menjadi orang paling bertanggung jawab dalam mengelolanya. Meskipun memiliki peran besar, tetapi di banyak sumber-sumber ia hanya disebut sebagai guru dan bukan direktur. Selama menjadi direktur tugas utama Zembsch adalah mempersiapkan para siswa untuk terjun ke dalam situasi nyata di lapangan.
Pekerjaan Zembsch di sekolah sebenarnya adalah pekerjaan tambahan selain posisinya sebagai bidan kota kedua di Batavia. Selama bekerja ia menerima tunjangan bulanan ƒ100, sama dengan gajinya sebagai bidan.
Di Hindia Belanda, gaji bidan terbilang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan bidan di Belanda.Gaji tahunan bidan di Belanda kira-kira sama dengan gaji bulanan rekan-rekan mereka di Batavia.
Meskipun baru, tetapi sekolah ini menerima banyak respon positif. Dalam laporan Bosch kepada Gubernur Jenderal pada bulan Oktober 1853, ia mengatakan bahwa ujian akhir para siswa gelombang pertama cukup memuaskan. Mereka dapat menguasai teori dan praktek sesuai yang diharapkan. Di dalam ujian tersebut para calon bidan mempraktekan teori yang telah mereka dapatkan pada manekin.
Pujian juga datang dari, Dewan editorial Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. Ia mengatakan sekolah ini menjanjikan masa depan yang indah.
Pengganti Bosch, Wassink memberikan pujian yang tidak jauh berbeda. Ia mengatakan para siswa dapat menulis bahasa melayu dan menghitung aljabar dalam waktu enam hingga sepuluh bulan. Mereka juga sangat berkembang dalam pemahaman teori kebidanan.
Kiprah Para Bidan Pribumi
Tidak jelas bagaimana bidan bersertifikat dipanggil pada masa itu. Dokumen resmi pemerintah kolonial menyebut mereka dengan sebutan bidan pribumi, tetapi itu bukan istilah yang tepat untuk sebuah panggilan.
Dalam sebuah laporan tahun 1856, bidan bersertifikat di Pasuruan disebut “orang beranak”, sebutan ini mungkin analogi dari dukun beranak. Sebutan berbeda juga disematkan kepada dua lulusan terbaik dari sekolah ini yaitu “dokter perempuan” untuk Sariem dan “bidan pemerintah” untuk Nyi Astijem. Dari panggilan-panggilan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa itu tidak ada panggilan resmi untuk para bidan pribumi.
Sama seperti dokter Djawa, para bidan diharapkan kembali ke daerah asalnya untuk mulai bekerja setelah lulus. Kedua kelompok diawasi oleh dokter yang bertanggung jawab untuk Layanan Medis Sipil. Dengan demikian tujuan akhir lulusan bidan ini adalah mendirikan praktek di antara penduduk asli.
Wassink menyadari kesulitan itu mengingat penduduk asli masih banyak yang percaya kepada tahayul dan adat kebiasaan turun temurun. Beberapa resident melaporkan bahwa penduduknya kurang percaya pada bidan asli yang dilatih melalui metode Barat. Salah satu sebabnya, karena penduduk masih enggan untuk melepaskan adat kebiasaan lama.
Mayoritas populasi saat itu memang lebih menyukai dukun bayi ketimbang bidan bersertifikat. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kondisi ini yakni: Usia (di dalam mindset saat itu seorang bidan harus memiliki rambut abu-abu sebagai bukti pengalamannya), metode, perilaku, dan kedekatan dengan masyarakat (Hesselink, 2011: 140).
Melalui program pelatihan mereka dan lama tinggal di Batavia, para lulusan tidak hanya menjadi lebih menarik dibandingkan dengan wanita daerah lainnya, mereka juga menjadi terasing dari sesamanya. Ditambah para bidan bersertifikat ini biasanya tinggal di kota utama, jauh dari pedesaan, dan penduduk tidak punya uang untuk transportasi. Oleh sebab itu, jarak sosial dan fisik menjadi pertimbangan mengapa banyak penduduk bumiputra enggan beralih ke bidan. Penduduk baru meminta bantuan bidan bersertifikat, biasanya itu dalam kondisi darurat akibat komplikasi.
Meskipun demikian, banyak pujian datang dari pejabat pemerintah. Ada beberapa laporan positif yang mengapresiasi para bidan bersertifikat, seperti laporan dari Surabaya pada tahun 1859, di mana bidan pribumi bernama Sima dengan terampil membantu banyak wanita, baik di kota maupun di luar kota. Resident Batavia sangat antusias dengan Alida Koerong, bidan pribumi bersertifikat pertama di kotanya. Ia mengatakan perilaku wanita ini patut dicontoh dan keterampilannya sangat dipuji (Ibid.: 142).
Tidak ada perubahan signifikan pada periode 1865-1875. Penduduk masih jarang menggunakan bidan bersertifikat, dan hanya memanggil mereka saat adanya komplikasi. Sepinya minat tersebut menjadikan para bidan kesulitan mencukupi kebutuhan mereka, untungnya mereka diberikan tunjangan sebesar 10 gulden tiap bulan.
Penutupan Sementara Sekolah
Pada tahun 1867, terjadi perubahan di dalam struktur organisasi Pelayanan Medis Sipil. Kini semua kewenangan dan tanggung jawab diberikan kepada Direktur Pendidikan, Agama dan Industri.
Segera setelah L.J.W. de Waal menjadi direktur, muncul pertanyaan dari Menteri Koloni J.J. Hasselman mengenai uang saku untuk para lulusan sekolah bidan. Pemerintah Kolonial menginginkan bukti penggunaan dan kebutuhan dana.
De Waal memanfaatkan permintaan ini untuk mengevaluasi program pelatihan bidan secara menyeluruh. Pertama-tama, ia meminta pendapat Kepala Layanan Medis, A.E. Waszklewicz.
Waszklewicz menjelaskan bahwa motif dari pendirian sekolah bidan adalah untuk meningkatkan peran bidan di dalam masyarakat. Namun belum semua penduduk terbuka untuk menggunakan bidan, sehingga kondisi ini menyebabkan kesulitan para lulusan dan pada akhirnya bergantung pada uang saku. Maka untuk mencegah gagalnya proyek ini, pemerintah harus mempertahankan uang saku.
Meskipun demikian, De Waal tampaknya tidak terlalu menyukai respons Waszklewicz, karena setelah itu ia mengirim survei pada Agustus 1868 ke administrator daerah. Survei itu bertujuan untuk menanyakan apakah sekolah bidan sebaiknya lanjut atau tidak. Survei juga mengumpulkan informasi tentang perilaku dan layanan bidan di wilayah mereka.
Pada bulan Februari 1869, De Waal menyampaikan hasil surveinya ke Waszklewicz. Dalam sebuah surat ia menarik sebuah kesimpulan, bahwa di sebagian besar masyarakat tidak mempercayai bidan, karena itu mereka jarang digunakan. Ia melanjutkan bahwa dalam kondisi ini dan mengingat jumlah siswa yang terbatas, program pelatihan harus dihentikan. Tetapi sebelum dia merumuskan proposal kepada pemerintah, ia meminta pendapat Waszklewicz.
Namun kesimpulan De Waal ternyata tidak mencerminkan jawaban dari survei yang sebenarnya. Dalam sebuah laporan resmi dari departemen 30 tahun kemudian, kesimpulan De Waal tidak lengkap dan tidak sepenuhnya benar. Banyak fakta-fakta yang terdistorsi sehingga menyudutkan sekolah bidan.
Dalam survei itu, 16 dari 21 administrator justru mendukung kelanjutan program pelatihan bidan. Usaha De Waal merekayasa hasil justru semakin menandakan ketidaksukaannya terhadap pelatihan ini. Ditambah adanya fakta bahwa De Waal adalah orang yang memerintahkan Waszklewicz untuk tidak menerima siswa baru pada 1 Mei 1869 (Hesselink, 2011: 155).
Waszklewicz tidak tinggal diam, meski ia mengakui bahwa bidan tidak sangat dihormati di sebagian besar daerah, tetapi sebagian besar administrator daerah ingin mempertahankan program pelatihan. Akan sulit untuk membangun kembali lembaga setelah ditutup. Oleh karena itu, ia berusaha meminta izin agar para administrator bisa membantunya merekrut siswa.
Akan tetapi, De Waal tidak mengizinkan ini. Ia tahu bahwa hari-hari Waszklewicz sebagai kepala Layanan Medis tidaklah lama dan ia tidak begitu menanggapi masalah itu, sampai diangkat Kepala Layanan Medis yang baru, M. Th. Reiche pada bulan April 1870.
Satu setengah tahun berselang, Reiche juga diminta mempertimbangkan untuk menutup program pelatihan bidan. Setelah enam bulan Reiche mengeluarkan rekomendasinya. Ia mengakui bahwa hasil program pelatihan tidak memenuhi tujuan semula. Bidan bersertifikat jarang dipanggil oleh penduduk lokal dan mereka lebih suka bekerja untuk wanita Eropa saat melahirkan karena pembayaran yang berlimpah dan perlakuan yang baik (Ibid.: 156).
Karena sebab itu, Reiche menilai pelatihan bidan tidak perlu dilanjutkan, ditambah semakin banyak pula bidan Eropa yang tertarik datang ke Hindia Belanda untuk bekerja. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan akhir bahwa sekolah untuk bidan harus ditutup dan bangunannya akan digunakan untuk perluasan sekolah dokter Djawa.
De Waal menyampaikan rekomendasinya kepada Gubernur Jenderal, J. Loudon pada 2 Oktober 1873. Apabila sebelumnya ia memanipulasi hasil survei, ia sekarang memanipulasi asal-usul dan perilaku moral para siswa dan lulusan.
Ia melaporkan bahwa mayoritas siswa yang bersekolah adalah mantan gadis penari, yang setelah lulus terus menjalani kehidupan yang sangat tidak bermoral. Beberapa dari mereka tidak mampu menahan godaan dari pekerjaan sebelumnya, sehingga meninggalkan profesi sebagai bidan dan menjadi gadis penari lagi.
Dewan Hindia menyetujui proposal untuk menutupnya, yang kemudian disampaikan pada November 1873 kepada pemerintah di Den Haag. Namun respon dari Den Haag justru berlawanan. Menteri Koloni saat itu, I.D. Fransen van de Putte justru menganggap tidak ada alasan yang cukup untuk menutup sekolah. Ia malah merekomendasikan kepada gubernur jenderal untuk mempertimbangkan kembali masalah ini. Ia menilai bahwa seseorang tidak boleh terburu-buru menutup lembaga yang sudah mapan, hanya karena tujuan yang diinginkan belum tercapai (Ibid.: 158).
Dukungan dari I.D. Fransen van de Putte tidak mengherankan, karena ia merupakan seorang politisi liberal yang tertarik untuk memajukkan kesejahteraan penduduk. Selain itu ia juga telah berpengalaman mengisi berbagai jabatan di Hindia Belanda, sehingga ia paham betul situasi di wilayah itu.
Sayangnya, ia mengundurkan diri pada 27 Agustus 1874 dan digantikan oleh seorang konservatif moderat, W. Baron van Goltstein van Oldenaller. Di Hindia Belanda juga terjadi perubahan posisi. Pada bulan Oktober 1873 Reiche digantikan sebagai kepala Dinas Kesehatan oleh B.E.J.H. Becking, dan pada Mei 1874 De Waal digantikan oleh C. Bosscher sebagai direktur Pendidikan, Agama dan Industri.
Bosscher mendengar dari Becking bahwa hanya ada empat siswa di sekolah dan sebulan lagi akan mengikuti ujian. Karena tidak akan ada lagi siswa, ia ingin memberhentikan operasi sekolah. Bosscher menyetujui hal ini dan melalui resolusi pemerintah tanggal 2 September 1875 diputuskan untuk menutup sekolah sambil menunggu reorganisasi (De Locomotief, 27 Maret 1890).
Daftar Pustaka
Boomgard, Peter. “The development of colonial health care in Java; An exploratory Introduction”. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania, January 1993.
De Locomotief, 27 Maret 1890.
Hesselink, Liesbeth. Healers on the Colonial Market Native Doctors and Midwives in the Dutch EastIndies. Leiden: KITLV Press, 2011.
Niehof, Anke. “Traditional Birth Attendants and the Problem of Maternal Mortality in Indonesia”. Pacific Affairs: Volume 87, No. 4 December 2014.
Pols, Hans. Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Jakarta: Kompas, 2019.
Rapport Commissie tot Voorbereiding Eener Reorganisatie van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst, 1908