Lebih dari 3.000 orang dari tentara Afrika Barat dikirim dari Elmina ke Jawa antara tahun 1832-1872 sebagai rekrutan tentara kolonial Belanda. Meskipun dijanjikan memperoleh hak yang sama dengan tentara dari Eropa, tetapi kenyataannya kehidupan mereka di Hindia-Belanda tidak seindah yang dibayangkan.
Latar Belakang Perekrutan
Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk koloni, para penguasa menciptakan stereotipe ras dan etnis untuk memilih ras mana yang paling cocok untuk suatu pekerjaan.
Perekrutan tenaga kerja dari Afrika ke Asia Tenggara telah menjadi patern lama dalam perdagangan budak di Samudra Hindia. Salah satu perdagangan budak terbesar di samudra ini dilakukan oleh VOC. Mereka merekrut budak-budak dari Afrika Timur hingga Madagaskar untuk dipekerjakan di wilayah-wilayah yang dikuasai seperti Jawa dan Maluku.
Setelah penghapusan sistem perbudakan, bukan berarti tenaga kerja dari Afrika berhenti digunakan. Pada abad ke-19 dan 20, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mencoba memanfaatkan tenaga dari Afrika sebagai serdadu tambahan untuk menopang program ekspansi ke luar Jawa.
Dalam banyak kasus, perekrutan orang-orang Afrika disebabkan oleh sedikitnya pasukan Eropa yang tersedia dan angka kematian yang tinggi di antara pasukan Eropa di wilayah tropis.
Pada abad ke-19, pasukan Hindia-Belanda memiliki prinsip bahwa setengah dari pasukan harus berasal dari kalangan Eropa (Kessel, 2005). Namun, jumlah sukarelawan di Hindia-Belanda selalu kurang dan terbatas. Ditambah tingkat kematian tinggi dan status sebagai tentara kolonial dianggap sangat rendah.
Dilema untuk merekrut pasukan tambahan semakin besar, setelah Perang Jawa (1825-1830). Di satu sisi perang itu memunculkan keraguan terhadap loyalitas pasukan lokal, di sisi lain kerugian yang dialami paskan Eropa sangatlah besar, sekitar 8000 pasukan menjadi korban.
Selain karena dilema kekurangan pasukan, pemerintah kolonial juga terinspirasi keberhasilan Inggris memanfaatkan pasukan dari Kongo.
Kehidupan Serdadu Afrika di Hindia-Belanda
Perekrutan pasukan Afrika dimuai di St. George d’Elmina pada 1831. Gubernur F. Last memperoleh perintah langsung dari kerajaan untuk membawa 150 pasukan Afrika ke Jawa. Apabila eksperimen awal ini terbukti berhasil maka perekrutan pasukan Afrika akan ditambah menjadi 2000 pasukan.
Menurut van Kessel (2009), orang-orang yang direkrut tidak semuanya orang bebas, sebagian dari mereka adalah para budak. Mereka memutuskan untuk menjadi pasukan kolonial agar bisa memperoleh pembayaran di awal sebesar 100 gulden untuk menebus kemerdekaan.
Di Hindia-Belanda, serdadu Afrika akan dibayar dan diperlakukan layaknya pasukan Eropa. Setelah kontrak 6 tahun mereka berakhir, mereka harus memilih pilihan antara didaftar ulang atau dipulakngkan ke Elmina atau menetap di Jawa.
Pada 1831 dan 1832, tiga kapal dikirim dari Belanda ke Elmina untuk membawa 150 pasukan Afrika ke Batavia, namun kapal itu hanya berhasil membawa 44 orang.
Beberapa pernah direkrut Belanda untuk menjadi pasukan di Elmina, tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang terlilit hutang dan ingin uang untuk membayar hutangnya. Sementara beberapa adalah budak yang ditransfer sebagai pembayaran tuan mereka di Elmina.
Laporan awal terkait pasukan Afrika itu cukup bagus. Kampanye militer pertama yang mengikutsertakan pasukan Afrika adalah perang di Lampung, Jambi dan Perang Padri. Meskipun mereka telah menampilkan keberanian yang diharapkan, tetapi mereka dianggap kurang berhati-hati dan disiplin.
Komunikasi menjadi masalah dan janji yang belum terpenuhi menjadi masalah dan kesalahpahaman serius. Kendati demikian, orang-orang Afrika membuktikan dapat menjadi pasukan yang dapat diandalkan.
Prospek menjanjikan dari pasukan Afrika, membuat Pemerintah Belanda berambisi melakukan perekrutan dalam jumlah lebih besar. Pada 1836, Raja Willem I mengutus Mayor Jenderal Jan Verveer sebagai utusan untuk menghadap raja Ashanti.
Dari korespondensi kedua belah pihak, akhirnya lahir kesepakatan kontrak antara Raja Willem I dan Kwaku Dua I dari Ashanti pada 18 Maret 1837. Kontrak itu menetapkan bahwa Raja Ashanti akan mengirim 1000 pria tiap tahunnya, sebagai pertukaran atas 6000 senapan. Sebagai tambahan, Verveer memperoleh izin untuk mendirikan kantor perekrutan di Kumasi.
Orang-orang Afrika yang direkrut menggunakan nama asli mereka yang ditranskrip ke Belanda. Seiring dengan meningkatnya jumlah pasukan, penggunaan nama asli justru membuat kebingunan. Verveer kemudian memutuskan bahwa orang-orang yang direkrut harus diberikan nama Belanda.
Sebagai pasukan tambahan yang berasal dari luar, loyalitas tentu menjadi isu tersendiri bagi serdadu Afrika ini. Karena itu, untuk menjaga loyaitas pasukan Afrika, mereka sering memperoleh keuntungan dan keistimewaan khusus. Seringkali mereka menjadi arogan begitu memperoleh label sebagai “Pasukan Eropa.”
Seperti tentara KNIL lainnya, orang Afrika yang bertugas di Hindia-Belanda menjalin hubungan dengan perempuan bumiputera (Kessel, 2007). Kehidupan keturunan mereka tidak jauh berbeda dengan keturunan Indo-Eropa.
Mereka berbicara bahasa Belanda sebagai bahasa ibu, bersekolah di sekolah Belanda dan memperingati hari besar Belanda. Seringkali generasi Indo-Afrika ini cenderung tidak banyak tahu tentang asal-usulnya. Ayah mereka memberi tahu bahwa mereka adalah orang Belanda.
Di beberapa keluarga, informasi tentang asal-usul masih diwariskan meskipun tidak begitu detail. Mereka tahu nama-nama tempat seperti Elmina, Sinjoors, atau Ashanti, tetapi mereka tidak tahu tempat-tempat itu berada di Ghana sekarang.
Salah satu wilayah komunitas Indo-Afrika terletak di Purworejo. Pada tahun 1859, Raja William II memberikan sebidang tanah untuk komunitas itu. Banyak dari keturunan serdadu Afrika akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak karier ayahnya.
Pemberontakan
Walaupun telah memperoleh keistimewaan, tetapi bukan berarti tidak ada pemberontakan dari serdadu Afrika. Beberapa pemberontakan yang terjadi di Hindia-Belanda memunculkan berbagai keraguan atas proyek perekrutan serdadu Afrika.
Pola pemberontakan yang terjadi memiliki pola yang sama. Biasanya disebakan oleh perlakuan tidak adil yang mereka terima, sehingga memicu ketidakpuasan dan protes dengan kekerasan.
Salah satu kasus pemberontakan paling awal terjadi di Garnisuan Kedong Kebo, Purworejo. Pada bulan April 1840, tiga kompi Afrika dari batalyon infanteri ke-4, melakukan pemberontakan bersenjata. Pemicunya adalah pelanggaran kesepakatan perlakuan yang adil dalam gaji, pakaian, dan tempat tidur.
Pada bulan April 1840, tiga kompi Afrika dari batalyon infanteri ke-4 di kota garnisun Kedong Kebo (Purworejo) di Jawa Tengah telah bangkit dalam protes bersenjata terhadap pelanggaran klausul perlakuan yang sama sehubungan dengan gaji, pakaian dan tempat tidur (tikar tidur) (Kessel, 2002).
Dengan meneriakkan slogan-slogan pemberontakan, mereka menyerbu barak dan merampas senjata. Namun, serangan itu berhasil digagalkan pasukan Eropa. Sekitar 85 pemberontak yang melarikan diri berhasil ditangkap, sedangkan tiga orang berhasil lolos.
Satu tahun berikutnya, 37 orang Afrika dari batalyon infanteri ke-10, menolak mematuhi komando dan keluar dari markas pasukan. Sebuah detasemen tentara dikirim untuk mengejar dan bertemu dengan para pembelot di dekat Benteng Kayoetanam dalam perjalanan ke Padang.
Upaya untuk membujuk pasukan Afrika untuk kembali ke tugas mereka sia-sia. Ketika pihak pengejar berusaha untuk membawa mereka secara paksa, terjadilah konfrontasi yang mengakibatkan dua orang Afrika tewas dan empat terluka parah.
Pasca pemberontakan di Sumatra, pemerintah Belanda mengeluarkan dekrit tertanggal 17 Desember 1841, yang berisi pemberhentian perekrutan serdadu Afrika. Meskipun demikian, rekrutmen sempat dilanjutkan pada 1850an dalam skala kecil, hingga berhenti sepenuhnya pada 1872 (Kessel, 2002). Pada tahun 1915, tidak ada lagi serdadu Afrika dalam pasukan KNIL.
Kegagalan ini di luar ekspetasi pemerintah kolonial yang awalnya berharap dengan merekrut pasukan Afrika dapat menghemat anggaran. Pertimbangannya karena perjalanan dari Afrika lebih pendek (3 bulan) dibandingkan perjalanan dari Eropa (memakan waktu 5-6 bulan).
Realitasnya, penghematan yang diharapkan tidak tercapai. Tingkat kematian pasukan Afrika sama tingginya dengan pasukan Eropa. Belum ditambah komunikasi yang sulit dan pemberontakan yang sering terjadi. Di sisi lain, pemerintah harus mengeluarkan uang lebih untuk pembayaran uang muka awal perekrutan, sedangkan keuntungan yang didapatkan hanya berumur jangka pendek.
Daftar Pustaka
Kessel, W. M. J. van. “Belanda Hitam: the Indo-African Communities on Java, African and Asian Studies,” 6(3), 243-270, 2007. doi: https://doi.org/10.1163/156920907X212222.
__________________. “Courageus but Insolent: African soldiers in the Dutch East Indies as seen by Dutch officials and Indonesian neighbours,” Transforming Cultures eJournal, Vol. 4 No. 2, 2009.
_________________. “The black Dutchmen: African soldiers in the Netherlands East Indies.” Dalam Merchants, missionaries and migrants: 300 years of Dutch-Ghanaian relations. Amsterdam: Kit Publishers, 2002.
__________________. “West African Soldiers in the Dutch East Indies: From Donkos to Black Dutchmen.” Transactions of the Historical Society of Ghana. 41-60, 2005.