Pada awal kemerdekaan Indonesia, situasi dalam negeri masih diliputi dengan kekhawatiran akan kedatangan kembali musuh. Situasi yang demikian membuat para pemimpin Indonesia melihat perlunya adanya tentara reguler dengan garis komando yang jelas dan dan terkendali. Oleh karena itu dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kita kenal sekarang ini.
Story Guide
Latar Belakang Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
Kedatangan sekutu di akhir September 1945 ke Indonesia membuat pemerintah harus bergerak cepat untuk menciptakan keamanan. Atas sebab itu, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang telah dibentuk dalam sidang ketiga PPKI (22 Agustus 1945) dihapuskan dan Presiden Soekarno menugaskan mantan mayor KNIL, Urip Sumaharjo, menyusun konsep tentara reguler. Kemudian, melalui maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno mengumumkan pendirian TKR.
Maklumat singkat itu berbunyi sebagai berikut:
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.
Jakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia
Soekarno
Setelah keluarnya mandat tersebut, segera berdiri Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta yang disusun menurut Departemen Peperangan masa Belanda. Tiap kepala bagian MT TKR ini mengangkat dirinya menjadi jenderal, seperti Jenderal Kaprawi untuk administrasi, Jenderal Notoatmojo sebagai Wakil Kepala Markas Besar Umum, Jenderal Arifin untuk keuangan, dsb.
Sama halnya dengan di Jawa, di Sumatra pun berlangsung pembentukan TKR. Pada akhir Desember 1945, Dokter A.K. Gani mendapat pengangkatan dari Menteri Pertahanan sebagai Koordinator TKR di Sumatra.
Ia lalu membentuk Markas Besar Umum TKR di Sumatra dan menyerahkan pimpinan itu kepada Suharjo Harjowardoyo selaku kepala Polisi daerah Lampung dengan usulan pangkat Jenderal Mayor. Sebagai Kepala Staf Markas Besar Umum diangkat Mohammad Nuh dengan pangkat kolonel.
Pada perkembangan selanjutnya, TKR beberapa kali berganti nama. Pada 5 Januari 1946, nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Perubahan itu diikuti dengan pergantian nama Menteri Keamanan menjadi Menteri Pertahanan.
Namun, perubahan nama itu tidak bertahan lama, karena dua hari berikutnya atau 7 januari 1946 terjadi perubahan nama kembali menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Hingga akhirnya pada tanggal 3 Juli 1947 berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikenal sampai saat ini.
Permasalahan pada Masa Awal Pendirian
Pada awal pendiriannya, Tentara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan rivalitas antara mantan perwira KNIL dan mantan perwira Peta, terutama dalam pemilihan komandan dan pimpinan. Walaupun jumlah keseluruhan mantan perwira KNIL jauh di bawah mantan perwira Peta, dalam jabatan pimpinan jumlah mantan perwira KNIL yang menjadi pimpinan di tubuh TNI cukup menonjol.
Persaingan antara mantan KNIL dan Peta menyebabkan sebagaian dari mereka tidak mengakui instruksi dan mandat yang dipegang Letnan Jenderal Urip dan hanya melihatnya selaku Kepala Markas Besar Umum, bukan sebagai seorang panglima besar.
Rivalitas ini juga tergambarkan pada tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta. Saat itu sedang diadakan rapat pimpinan tertinggi militer yang dihadiri oleh hampir seluruh komandan divisi, kecuali pimpinan militer Jawa Timur yang sedang bertempur melawan tentara Inggris. Secara demokratis diadakan pemilihan Panglima Besar Angkatan Darat. Kolonel Sudirman, Komandan Divisi V (Kedu, Banyumas) menang dengan suara tipis atas Urip Sumoharjo. Dengan demikian, Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sudirman yang waktu itu berumur 30 tahun adalah mantan Daidancho (komandan Batalyon) Peta di Kroya.
Selain rivalitas antara mantan anggota Peta dan KNIL. Permasalahan yang timbul pada awal pendirian Tentara adalah pada kepangkatan. Hal ini dikarenakan pada awal pembentukan tentara semua orang yang memiliki anak nbuah menentukan pangkatnya sendiri, bahkan tidak tanggung-tanggung, banyak yang mengangkat dirinya sendiri menjadi mayor jenderal atau laksamana. Kondisi ini bisa terjadi karena pada awal pendiriannya tentara belum terlalu mengenal kepangkatan secara terstruktur.
Oleh karena itu pada tahun 1948, diadakan reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI. Sekaligus meleburkan semua laskar yang ada ke dalam TNI. Kepangkatan juga disesuaikan dengan wewenang yang dimiliki seseorang. Dapat dikatakan semua perwira dan bintara mengalami penuruan pangkat.
BIBLIOGRAFI
Hutagalung, Batara. R. Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogyakarta: LKiS.
Ibrahim, Julianto. 2014. Dinamika Sosial dan Politik Masa Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Maeswara, Garda. 2010. Sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950. Yogyakarta: Narasi.
Nasution, A. H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2: Diplomasi atau Bertempur. Bandung: Angkasa.