Sekaten yang kini populer dengan acara pasar malamnya merupakan bagian dari tradisi grebeg. Sayangnya, tidak banyak masyarakat modern mengetahui sejarah atau nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi tersebut. Tradisi yang telah mengalami perkembangan selama ratusan tahun ini, ternyata memiliki sejarah yang panjang. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis ingin memaparkan lebih jauh mengenai tradisi ini dan memfokuskannya pada tradisi grebeg di Yogyakarta.
Kemunculan Tradisi Grebeg di Yogyakarta
Pada tahun 1586 Sutawijaya berhasil merebut kekuasaan dari Sultan Hadiwijaya di Pajang, maka Kadipaten Mataram berubahmenjadi kerajaan. Perubahan status kerajaan itu tidak diikuti dengan simbol-simbol kerajaan sebelumnya, seperti penggunaan gelarpenguasanya maupun upacara-upacara kerajaan yang biasa dilakukan raja-raja sebelumnya. Meskipun kekuasaannya sudah sama dengan raja, tetapi Panembahan Senapati tidak menggunakan gelar sultan sebagaimana raja sebelumnya.
Demikian pula tidak ditemukan bukti yang cukup bahwa Panembahan Senapati melaksanakan upacara grebeg seperti yang dilakukan raja-raja Jawa Islam sebelumnya.
Penggunaan gelar penembahan dan simbol-simbol kerajaan lainnya ini menunjukkan bahwa dirinya merasa lebih rendah dari raja, dan hanya sederajat dengan penguasa daerah.
Hal ini diperkuat dengan berbagai sumber yang menyatakan bahwa keturunan Senapati bukan berasal dari kelas penguasa. Nenek moyang Panembahan Senapati hanyalah seorang petani dan pemuka pedukuhan yang rajin mengerjakan sawahnya (Moedjanto, 1987: 18).
Oleh karena itu, sejak awal berdirinya Kerajaan Mataram, Panembahan Senapati selalu merasa dirinya terancam oleh pusat-pusat kekuasaan Jawa lainnya. Sepanjang hidupnya Senapati selalu berusaha untuk mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Mataram dengan menaklukkan berbagai daerah yang tidak mau tunduk.
Daerah-daerah lain yang sebelumnya merasa lebih tinggi atau sederajat dengan Mataram, berusaha ditaklukkan baik dengan cara pertempuran militer maupun perundingan. Keberhasilan Senapati menaklukkan Kasultanan Pajang, tidak serta merta diikuti oleh penguasa-penguasa yang ada di bawahnya. Hal ini disebabkan karena Mataram memperoleh kedudukannya sebagai penguasa kerajaan dengan jalan berperang.
Maka tidaklah berlebihan apabila ada beberapa wilayah ingin memberontak melawan Mataram. Dalam upaya untuk menaklukkan lawan-lawan politiknya tersebut, tidak jarang Panembahan Senapati melakukan berbagai siasat yang dianggap kurang ksatria oleh lawannya.
Selama masa kekuasaannya, Panembahan Senapati tidak mau menggunakan simbol-simbol kerajaan yang biasa dipakai raja-raja sebelumnya. Pemakaian gelar Panembahan menunjukkan bahwa dirinya hanya sederajat dengan penguasa lokal pada masyarakat Jawa.
Demikian juga tidak adanya bukti bahwa Panembahan Senapati melaksanakan upacara kerajaan seperti Sekaten, semakin memperkuat pendapat bahwa ia hanya penguasa daerah yang tidak mempunyai kewibawaan spiritual untuk memimpin upacara kerajaan yang menjadi tradisi raja-raja Jawa sebelumnya.
Dengan demikian upaya yang dilakukan Senapati untuk melegitimasi kekuasaannya selalu dilakukan dengan jalan pertempuran. Kebijakan Panembahan Senapati dengan terus melakukan penyerangan militer atau perundingan dengan musuh-musuhnya ini diikuti oleh penggantinya Panembahan Seda Krapyak (Maharsi, 2013: 420).
Setelah Panembahan Seda Krapyak digantikan Raden Mas Rangsang, ia berusaha menunjukkan kekuasaannya sebagai Raja Mataram dengan simbol-simbol kebudayaan sebagaimana raja-raja Jawa sebelumnya. Upaya yang dilakukan Raden Mas Rangsang untuk melegitimasi dan menjadikan Kerajaan Mataram sebagai pusat kekuasaan Tanah Jawa.
Pada awalnya, Raden Mas Rangsang memakai gelar Agung sehingga menjadi Panembahan Agung (Moedjanto, 1987: 20). Namun, setelah Panembahan Agung berhasil menundukkan daerah Madura dan sekitarnya pada tahun 1625, ia mengganti gelarnya menjadi Sunan atau Susuhunan, yang dianggap lebih berwibawa.
Gelar susuhunan ini mengikuti sebutan para wali penyebar Islam di Tanah Jawa yang memang mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di masyarakat. Hal ini dibuktikan bahwa raja-raja Islam di Jawa mulai Raden Patah selalu mendapatkan restu dan dikukuhkan oleh Sunan Giri sebagai pemimpin para wali.
Akan tetapi, ketika raja ketiga Mataram ini mendengar bahwa raja Banten memakai gelar Sultan, maka ia tidak ingin dikatakan lebih rendah dari kekuasaan Kerajaan Banten. Maka sejak tahun 1641, Raja Mataram itu memakai gelar sultan yang dipercaya berasal dari Mekkah yaitu Sultan Agung.
Pemakaian gelar yang dilakukan Sultan Agung merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jawa karena mampunyai efek legitimasi sosial politik yang kuat. Martabat seseorang bisa naik karena pemakaian gelar dimanfaatkan dan disesuaikan dengan kondisi politik masyarakat.
Sebagai upaya untuk meningkatkan derajat dan keturunan Dinasti Mataram, Sultan Agung memerintahkan penulisan Sejarah Jawa yaitu Babad Tanah Jawi (Soedjatmoko, 1965: 127).
Dalam Sejarah Jawa tersebut diceritakan bahwa Dinasti Mataram merupakan keturunan tokoh-tokoh luar biasa, yaitu dari keturunan mulai Nabi Adam, para dewa, raja-raja pewayangan sampai dengan raja-raja yang memerintah Tanah Jawa. Ini adalah bentuk penggunaan sejarah sebagai alat legitimasi kekuasaan yang umum dilakukan hingga sekarang.
Pada tahun 1555 Saka bertepatan dengan 1043 Hijriyah atau 1633 Masehi, Sultan Agung memadukan kalender Saka dan Hijriyah. Kalender yang kemudian dinamakan Kalender Jawa tersebut menggunakan perhitungan bulan Islam dengan modifikasi sesuai dengan lidah orang Jawa.
Lahirnya Tahun Jawa ini juga sebagai upaya menunjukkan bahwa Sultan Agung sebagai Raja Jawa Islam terbesar yang merupakan perpaduan antara Raja Hindhu Majapahit disimbolkan dengan Tahun Caka dan Kasultanan Islam Demak Bintara disimbolkan dengan Tahun Hijriyah.
Baca juga: Kelahiran Abangan dan Polarisasi Islam di Jawa
Upaya kultural lain yang dilakukan Sultan Agung untuk mengokohkan Kekuasaan Dinasti Mataram adalah menyelenggarakan kembali upacara keagamaan kerajaan Islam Jawa yaitu grebeg. Upacara grebeg yang sudah diselenggarakan sejak masa Kerajaan Demak Bintara dan menjadi sarana dakwah Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, upacara Sekaten diselenggarakan lebih meriah dengan berbagai pembaharuan-pembaharuan.
Nilai-nilai di dalam Tradisi Grebeg
Ritual grebeg masih eksis dan terus dipelihara sampai sekarang oleh dua kraton Jawa: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tradisi grebeg yang berupa hajat Raja sebenarnya hanya diselenggarakan oleh Kraton-kraton Jawa, tetapi seiring perkembangan zaman maka di berbagai tempat kemudian juga turut mengadakan ritual grebeg sebagai tradisi baru yang dilahirkan demi alasan pariwisata budaya. Meskipun grebeg yang diadakan bukan oleh kraton dianggap tabu karena menyamai tradisi besar yang hidup di dalam kraton, tetapi upacara ini masih terus dilakukan di berbagai daerah.
Di Yogyakarta, setiap kali diadakan ritual grebeg maka Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta selalu meriah oleh iring-iringan grebeg yang disertai oleh suara tembakan salvo dari senapan prajurit kraton dan diiringi oleh kelompok-kelompok prajurit Kraton Yogyakarta.
Unsur paling penting dalam upacara grebeg adalah pemberian gunungan dari Raja. Gunungan adalah susunan berbagai jenis makanan dan sayuran yang disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk gunung. Gunungan merupakan hajad dalem atau kucah dalem yang dibagikan kepada kerabat kraton, para punggawa (pegawai), dan masyarakat.
Menurut Irwan (1986)Terdapat tiga macam upacara Garebeg (grebeg) dan ketiganya diadakan tiga kali dalam setahun yaitu;
1. Grebeg Mulud (Maulud) yang diselengarakan tiap tanggal 12 Bulan Mulud (Bulan Rabiulawal) merupakan bagian upacara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ritual ini diawali oleh pasar malam selama 35 hari, disambung dengan ritual dibunyikannya 2 perangkat gamelan sekaten milik Kraton selama 7 hari, dan puncaknya adalah pembacaan Risalah Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Pengulu Kraton yang dihadiri oleh sultan di serambi Masjid Besar Kauman sebelum 2 perangkat gamelan sekaten diboyong kembali ke Kraton.
Pada Upacara Garebeg Mulud yang diselenggarakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, jumlah Gunungan yang disiapkan sebagai Hajad Dalem sebanyak yaitu 5 buah.
Kelima Gunungan itu adalah Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Dharat, Gunungan Gepak, dan Gunungan Pawuhan. Apabila Sekaten yang diselenggarakan pada Bulan Mulud tersebut bersamaan dengan tahun Dal, maka harus ditambahkan lagi satu Gunungan yaitu Gunungan Brama atau Kutug.
Terdapat keyakinan masyarakat Jawa apabila nginang (mengunyah kinang) sambil mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu, maka ia bisa awet muda. Apabila ada bujang yang secara sengaja makan sego gurih (nasi gurih) sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka ia akan segera mendapatkan jodoh yang diinginkan.
Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti sapi, kerbau, atau kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka cambuk itu akan membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang berakar pada tradisi masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2. Grebeg Pasa atau Grebeg Bakda, yang diselenggarakan pada 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan bertujuan untuk menghormati bulan puasa, malam lailatul qodar, dan syukuran atas selesainya ibadah puasa selama sebulan.
Untuk memperingati Grebeg Pasa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat hanya mengeluarkan satu Gunungan Kakung. Dari sekian banyak Gunungan, Gunungan Kakung merupakan Gunungan yang mempunyai simbol paling banyak serta bervariasi hiasan maupun bahannya.
Gunungan Kakung bentuknya menyerupai gunung yang sesungguhnya. Kerangkanya terbuat dari bambu berbentuk kerucut, pada seluruh sisi-sisinya dihiasi dengan rangkaian benda-benda dan makanan yang disusun secara bertingkat.
3. Grebeg Besar, yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Bulan Besar (Bulan Dzulhijah) yang bertujuan untuk merayakan hari raya Idul Adha. Pada upacara ini, gunungan yang dikeluarkan sebagai hajad dalem sama dengan grebeg mulud, yang apabila bertepatan dengan Tahun Dal yang rotasinya setiap delapan tahun sekali (satu windu) maka dirayakan secara istimewa dengan menambah satu gunungan yaitu gunungan bromo atau kutuq yang puncaknya ada asap dan apinya.
Pada bagian akhir upacara, setelah prosesi (pawai) dan didongani (dido’akan), gunungan ini dirayah (diperebutkan) oleh masyarakat. Grebeg sendiri memiliki makna didatangi oleh orang banyak (disowani wong akeh), diikuti oleh orang banyak (diirid dening bala akeh), atau diserbu orang banyak (dibyuki dening wong akeh). Karena kraton disowani atau dibyuki oleh orang banyak maka raja memberikan kucah dalem (hajat raja) untuk para tamunya, pegawainya, dan rakyatnya yang sowan (Irwan, 1986).
Makan bersama pada upacara grebeg dipercaya dapat menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing individu yang terlibat.
Perbedaan antara grebeg dan slametan berada pada ruang lingkupnya. Apabila slametan ruang lingkupnya terbatas, maka grebeg merupakan fenomena makan bersama yang mempunyai ruang lingkup lebih luas dan massal (Laksono, 1985).
Masyarakat yang ikut serta memperebutkan gunungan dalam upacara grebeg tidak bermaksud untuk mencari makanan, tetapi mereka bertujuan ngalap berkah (mencari berkah) sultan. Bagian grebeg yang berhasil mereka dapatkan nantinya akan disimpan di rumah dan bukan dimakan.
Perilaku semacam ini diyakini para peserta grebeg bisa mendatangkan berkah keselamatan hidup dan kelancaran rejeki. Bagi seorang pedagang maka rejeki itu bisa berupa dagangan yang laris dan selalu mendapat laba. Bagi petani maka berkah itu bisa berupa tanaman pertanian yang selalu subur dan panen yang melimpah, dan bagi pegawai berkah itu bisa berupa kemudahan naik pangkat yang disertai dengan gaji yang mudah bertambah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. Arti Simbolis Gunungan Kakung Pada Upacara Garebeg. Laporan Akhir Sarjana Muda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1986.
de Graff, H. J. ”Later Javanese Sources and Historiography” dalam Soedjatmoko (ed.) An Introduction to Indonesian Historiography. New York: Cornell University Press, 1965.
Laksono, P.M. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa; Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gama Press, 1985.
Maharsi. “Sejarah Upacara Garebeg Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat”. Jurnal Thaqafiyyat, Vol. 14, No. 2, 2013.
Moedjanto. Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Kanisius 1987.
Yusuf, Mundzirin. Makna dan Fungsi Gunungan Garebeg di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Amanah: Yogyakarta, 2009.