Sejarah Renaisans Eropa

Peradaban modern, dengan segala kelebihan dan kekurangannya bagi umat manusia, berawal dari kota-kota Italia dan Prancis Selatan sekitar abad ke-14. Kota-kota ini berbeda dengan kota-kota Eropa pada umumnya, yang di bawah otoritas raja, bangsawan, maupun gereja. Para warga menyebutnya sebagai komuni otonom yang mampu mengatur diri sendiri. komuni-komuni ini berlimbah daya imajinasi dan rasa ingin tahu, karena kemakmuran yang sudah mereka peroleh. Hasil kebudayaan dari mereka seakan menghidupkan kembali kejayaan zaman Yunani dan Romawi, masa inilah yang dikenal sebagai Renaisans Eropa. Pada kesempatan ini kita akan menelusuri jejak-jejak sejarah Renaisans di Eropa.

 

Konsep Kelahiran Kembali (Renaisans)

Penggunaan kata Renaisans sebenarnya baru mulai digunakan pada awal abad ke 19, sebelumnya ide Renaisans lebih sering dikenal dengan sebutan kelahiran kembali. Sebenarnya agama Kristen sendiri telah mempopulerkan konsep kelahiran kembali melalui ritual baptisan yang menciptakan seorang pribadi yang terlahir kembali dengan nama Kristen yang baru. Selain dari ajaran Kristen Cicero telah mempopulerkan kata renovatio untuk menggambarkan teori Stoa mengenai siklus penghancuran dunia oleh api dan pembentukan kembali.

Ketika Francesco Petrarca (Petrarch) (1304-1374) menyarankan fajar periode baru pada abad ke-14 sebagai saat manusia menerobos kegelapan menuju gerak menuju cahaya murni dan asli, ide tersebut bukan hal yang baru. Yang baru adalah bahwa pada waktu ini ide itu menjadi populer, dan menjadi slogan gerakan-gerakan pembaharuan yang sedang merebak.

Jika ada konsep kelahiran kembali, pasti ada masa sebelum itu, masa ini dikenal sebagai zaman kegelapan Eropa. Pada awalnya terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan dimulainya masa kegelapan tersebut, tokoh-tokoh tersebut antara lain Domenico Bandini, dan Leonardo Bruni. Namun, menjelang pertengahan abad ke-15, disepakati bahwa periode abad pertengahan Eropa berlangsung selama seribu tahun, dari jatuhnya Roma sekitar tahun 412 masa kelahiran kembali 1412.

Pada abad tahun 1855, Jules Michelet menggunakan kata Renaissance dalam karyanya Histoire de France, ini merupakan penggunaan kata Renaissance yang pertama kali dalam buku sejarah. Kata Renaissance sendiri jika diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Inggris adalah Rebirth (kelahiran kembali).

 

Latar Belakang Munculnya Renaisans

Pasca keruntuhan Romawi pada abad ke-5, bangsa Eropa mengalami fase yang dinamakan dark ages. Fase ini merupakan fase stagnan kebudayaan pada masa itu. Pada masa ini bangsa Barat tertinggal jauh dari kemajuan-kemajuan kebudayaan Islam.

Akar kebudayaan klasik Eropa sesungguhnya tidak lenyap dari Eropa. Bangsa Barat mulai berusaha untuk bangkit kembali pada abad ke-9, ketika Charlemagne berusaha memulihkan kekaisaran Romawi di Barat dengna merangsang kebangkitan kembali kesusastraan, seni, arsitektur, dan lembaga-lembaga politik Romawi. Masa ini dinamakan kebangkitan kembali yang pertama.

Kebangkitan kembali berikutnya terjadi pada abad ke-12, sebagian sejarawan menganggap masa ini lebih penting ketimbang Renaisans abad ke-14, karena gagasan kebangkitan ini tersebar secara luas, dan menghasilkan sistematisasi pengetahuan ilmiah dan logika yang disebut skolatisisme. Kebangkitan ini muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali ekonomi hebat di seluruh Eropa: sebagai hasil perang Salib, perluasan perbatasan, peningkatan perdagangnan, dan pengembangan kota, khususnya Italia.

Unsur baru yang diperoleh dari kebangkitan intelektual abad ke-12 adalah kembali bangkitnya minat pada ilmu, dan filsafat Yunani. Hal ini dirangsang oleh kontak yang terjadi dengan orang-orang Islam selama perang Salib. Keilmuwan yang kebanyakan telah hilang dari Barat, masih bertahan di daerah Islam dalam terjemahan-terjemahan, dan komentar-komentar berbahasa Arab. Tidak mengherankan para sarjana Barat seperti Gerard dan Michael Scot, berlomba pergi ke Toledo untuk belajar bahasa Arab dan menerjemahkan keilmuwan Yunani ini.

Pasca diterjemahkannya literatur-literatur Yunani Kuno, bangsa Eropa mulai mengenal kembali keilmuwan-keilmuwan yang ditulis pada masa Yunani Kuno, salah satunya filsafat. Namun, keberhasilan penerjemahan ke dalam bahasa latin tersebut justru dianggap ancaman bagi dogma gereja. Salah kebijakan kontroversial greja adalah melarang mahasiswa di universitas baru di Paris membaca karya Aristoteles.

Golongan gereja menganggap pemikiran Aristoteles bertentangan dengan dogma gereja. Aristoteles berpendapat, sekali dunia telah digerakkan, dunia diatur oleh hukum-hukum rasional abadi yang di dalamnya tidak lagi berperan lebih lanjut dari tuhan. Selain itu Aristoteles tidak percaya pada kebakaan individu, atau kebangkitan kembali individu, ia juga berpendapat manusia jauh dari dosa karena secara alamiah bersifat sosial dan mampu mengatur dirinya di dalam komunitas politik.

Ide-ide dari pemikir Yunani tersebut jika diterima, tentu saja akan mengacaukan struktur dunia Kristen. Pada kenyataanya terbukti sangat sulit untuk mendamaikan ide-ide klasik dengan ide Kristen, khususnya. Pada abad ke-14 muncul suatu gerakan Renaisans pimpinan Petrarch, yang menjadikan kebudayaan klasik sebagai model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia. Renaisans merupakan gerakan gerakan budaya yang mempunyai pengaruh besar pada kehidupan intelektual Italia, pada abad ke-14.

Pada abad ke-14, negara-negara kota di Utara Italia cukup makmur dan damai untuk menopang seniman, dan penulis kelas atas. Ini yang membuat suasana mendukung untuk mendorong inovasi kebudayaan Renaisans. Pengaruh kebudayaan Renaisans dirasakan dalam bidang sastra, seni, ilmu pengetahuan, dan politik.

 

Kota-Kota Italia Sebagai Pelopor Renaisans

Kekayaan Ekonomi di Italia merupakan faktor terbesar di dalam politik negeri periode ini. Kota-kota Italia pada abad-14 meskipun masih dipimpin oleh kekuatan Gereja dan bangsawan, namun mulai muncul keinginan penduduk untuk mempunyai andil di dalam pemerintahan, dan di berbagai kota mereka bahkan mengambil alih pemerintahan, menyebut diri mereka sendiri sebagai “komuni” ketika mereka berhasil melengserkan kaum pendeta, dan bangsawan dari monopoli kekuasaan.

Italia mempunyai komuni yang paling banyak jika dibandingkan dengan bangsa Eropa lainnya. Setidaknya terdapat lima negara  kota yang bersaing untuk mendominasi:  Republik Venice, Tanah Bangsawan Milan, Republik Florence, Negara Papal, Kerajaan Naples. Negara kecil lain, seperti pusat seni dan intelektual Ferrara, dan Modene, memainkan peran kecil tapi krusial.

Jika melihat tingkat kemerdekaan, dan kebebasan kota-kota Italia, dan peran rakyat jelata serta para seniman di dalam pemerintahan mereka.  Di dalam bisnis besar Florence para pemegang modal mempunyai pandangan yang lebih dekat dengan bangsawan, ketimbang orang biasa. Sehingga kebijakan-kebijakan komuni ini tetap bersifat konservatif, dan membatasi rakyat jelata.

Monopoli yang dilakukan oleh pemegang modal bukannya tidak mendapat tentangan, rakyat (pedagang, tukang ahli, dan buruh) berusaha menjaga argumen republikan tetap hidup. Mereka berusaha mencegah para pemegang modal melaksanakan monopoli kekuasaan absolut. Rakyat jelata inilah, yang menciptakan ledakan konsumen yang mendorong kebangkitan kembali seni klasik. Kemakmuran kota-kota Italia juga berasal dari perdagangan dengan kota-kota luar Italia, hal ini ikut membentuk etos kehidupan di Italia.

Selain kemakmuran, yang membantu menjelaskan mengapa Renaisans mengambil bentuk seperti yang di Italia, dalam hubungan dengan kebudayaan klasik.  Ketika Romawi runtuh kebudayaan klasik Romawi tidak sepenuhnya hilang dari Italia, melainkan akar-akar budaya klasik tersebut masih ada, dan pada abad-14 ini budaya-budaya klasik tersebut mulai bangkit kembali.

Terdapat kesepakatan mendasar antara Kristeller dan Burckhardt dalam persepsi mereka bahwa tradisi ilmiah warisan klasik hanyalah salah satu dari berbagai unsur yang membentuk Renaisans, atau yang membidani kelahiran Humanisme. Burckhardt bersikerasa menyatakan bahwa yang paling berperan adalah kecerdasan bangsa Italia, sedangkan Kristeller bersikeras bahwa unsut lainnya adalah kepustakaan yang diperroduksi para humanis Italia.

Namun, dari pendepat Kristeller dan Burckhardt tersebut, mereka mengabaikan salah satu aspek penting yang mendasari munculnya Renaisans di Italia. Aspek itu adalah hubungan antara Sisilia dan dunia Islam pada Abad Pertengahan. Perlu dicatat Sisilia pernah berada dalam pemerintahan  dinasti Islam, yang dimulai dari masa dinasti Aghlabiyah, kemudian mencapai puncaknya pada masa dinasti Fatimiyah. Sisilia pada masa Fatimiyah mengalami kemajuan pesat, akibat dijadikan sebagai pangkalan persenjataan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dinasti-dinasti Islam membawa pengaruh terhadap kemajuan budaya Italia, karena melihat dari realitasnya pada masa itu bangsa Eropa jauh tertinggal jika dibandingkan dengan dinasti-dinasti Islam. Banyak hal yang ditiru negara-negara Eropa dari budaya Islam tersebut, mulai dari sistem pendidikan pondok, metode pengajaran, sistem hukum, dan pengajaran dalam kajian Humanisme.

 

Florence, Pusat dari Renaisans

Di tengah-tengah aktivitas seni dan intelektual yang terjadi di seluruh Italia, Florence, provinsi dari wilayah Tuscan ini, merupakan negara kota yang paling terkemuka.  Pada abad ke-14 sampai 15, sistem politik Florence mengalami tiga fase, berubah dari republik ke oligarki, dari oligarki ke aturan kekeluargaan.  Selama periode pergolakan ini, bagaimanapun, seniman, dan penulis Florentine membuat negara kota mereka sebagai pusat Renaisans masa awal.

Sistem republik, yang dimulai dari abad ke-14 dengan harapan kesetaraan politik, akhirnya jatuh ke tangan  oligarki orang-orang kaya. Oligarki, terdiri dari bankir, pedagang kaya, dan anggota perserikan dan tukang ahli sukses. Oligarki ini memerintah sampai awal abad ke-15, ketika keluarga Medici mengambil alih kontrol politik.

Keluarga Medicis mendominasi politik dan budaya Florentine mulai 1434 sampai 1494, ketika memerintah terkadang bertindak sebagai penguasa yang lalim. Giovanni di Bicci de’ Medici  (1360-1429) pertama kali mengumpulkan kekayaan keluarga melalui perbankan, dan kedekatan hubungan finansial dengan kepausan. Anaknya, Cosimo (1389-1464) menambah kekayaan keluarga Medicis, dan mengakali musuh politiknya, menjadi penguasa dari Florence yang tidak diakui.

Cosimo menghabiskan uangnya untuk buku, lukisan, istana, dan mengaku untuk menjadi teman orang-orang biasa, dia akhirnya dianugerahi julukan Pater Patriae (bapak negara), julukan romawi  yang dihidupkan kembali pada masa renaissans. Anak dari Cosimo, Piero, memerintah untuk periode yang pendek, dan digantikan oleh anaknya yang bernama Lorenzo (1449-1492). Lorenzo mendapat julukan the Magnificent karena keagungan gaya hidupnya.

Lorenzo, dan saudaranya Giuliano mengatur Florence hingga Giuliano terbunuh pada tahun 1478, oleh keluarga Pazzi, saingan dari Medicis. Lorenzo kemudian secara kejam mengeksekusi konspirator pembunuhan, dan memerintah secara diktator selama 14 tahun kemudian. Lorenzo meninggal pada 1492.

Dua tahun setelah kematian Lorenzo, keagungan kekuatan, dan martabat Florence mulai melemah. Dua peristiwa menandai gejala kemunduruan kekuasaan Florentine. Pertama, invasi tentara Prancis yang dipimpin Charles ke-8. Invasi ini  memulai kemunduran politik dan budaya yang dapat berujung dengan pengambil alihan Italia, apalagi kota-negara kecil tidak akan dapat betahan dari serangan Monarki Eropa. Pasukan Prancis akhirnya mengusir keluarga Medici dari Florence, mereka bertahan di pengasingan sampai 1512.

Peristiwa kedua adalah ketika para penentang gereja yang dipimpin Dominician monk Fra Savonarola (1452-1498) melawan pemerintahan keluarga Medici. Dia menentang peraturan Medici dan menginginkan untuk mengembalikan bentuk pemerintahan republik. Dengan pidatonya yang berapi-api, dia menuduh pemimpin Florence dan kota tergila-gila akan seni. Dia kemudian bertabrakan dengan kepausan, hingga dikucilkan, dan pada akhirnya dieksekusi di muka umum, tetapi sebelum dieksekusi, dia telah memberikan efek sangat besar kepada rakyat, termaksuk pelukis Botticelli, yang mengatakan telah membakar beberapa lukisannya ketika berada di bawah pengaruh gerakan Savonarola.

 

Produk-Produk Renaisans

Humanisme, Ilmu Pengetahuan, dan Sekolah-Sekolah Baru

sejarah renaisans
Petrarch

Menjelang akhir abad ke-14,  kelompok orang-orang Italia yang terdidik  terpesona oleh peradaban Romawi kuno. Terinspirasi dari ketertarikan Petrarch pada kesusasteraan, dan bahasa Romawi, sarjana-sarjana mulai mengumpulkan, dan menerjemahkan manuskrip Romawi yang ditemukan di perpustakaan biara, dan tempat-tempat penyimpanan yang lain. Terdapat pergeseran dari perhatian pada bahasa latin gereja di abad pertengahan ke bahasa latin yang murni dengan gaya bahasa Cicero.

Kecintaan para sarjana terhadap kesusasteraan digambarkan Petrarch dalam perkataannya : “suatu nafsu yang tak pernah terpuaskan, dan tak dapat kukendalikan, juga tidak akan kukendalikan seandainya aku bisa. Aku tidak mungkin merasa telah memperoleh cukup buku”. Selama masa hidupnya dia banyak melakukan perjalanan ke berbagai penjuru Eropa, untuk mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan klasik, di antara literatur yang diperoleh Petrarch adalah Decadesnya Livy, manuskrip Propertius, dan Letters to Atticusnya Cicero.

Petrarch membentuk sikap baru terhadap buku-buku, dan suatu bahasa baru untuk membicarakannya. Bahasa ini memberi petunjuk mengenai pengaruh Petrarch di kemudian hari, sehingga Petrarch dapat dikatakan sebagai peletak kecenderungan, atau pendiri dari suatu gerakan, gerakan Renaisans.

Nafsu petrarch menular dengan cepat, kepada para sarjana-sarjana lain. Diantaranya Giovannni Boccaccio (1313-1375), yang ketika melakukan perburuan buku di Montecassino, menangis setelah melihat kondisi buku-buku tersebut.  Kemudian, Coluccio Salutati, seorang kanselir Florence pada tahun 1375. Dia mempunyai kecintaan yang sama terhadap buku-buku, sama halnya seperti Petrarch. Salutati telah mencoba memperoleh ssalinan Catullus, dan Propertiusnya petrarch. Dia adalah yang pertama yang memperoleh buku-buku dari perpustakaan Petrarch.

Memasuki abad ke-15, para sarjana mulai berbicara mengenai ketertarikan literatur mereka, dan pelajaran baru seperti studi humanisme. Pada awalnya, orang-orang yang belajar humanisme membaca karya yang berhubungan dalam bahasa latin, tetapi setelah Yunani yang sebenarnya mulai muncul pada abad ke-15, dan pelajaran mengenai bahasa kuno menyebar, mereka dapat mengkaji teks Yunani dengan baik.

Sebagai respon dari permintaan untuk pembelajaran humanisme, sekolah-sekolah baru dibuka di negara-kota Italia. Di sekolah-sekolah ini lahir cita-cita Renaisans untuk pendidikan yang mampu memerdekakan pemikiran, pendidikan liberal. Pada akhirnya, pembelajaran berdasar pada karya-karya Latin dan Yunani yang ditemukan pada masa itu, daripada berkiblat pada kurikulum skolastisisme, dan pengikut Aristoteles yang berlaku pada abad pertengahan. Salah satu tokoh yang mempunyai kontribusi besar dalam perubahan kurikulum ini adalah Vittorino da Feltre (1378-1446)

Sarjana-sarjana renaisans pertama, yang fokus utamanya untuk mencari manuskrip latin yang asli, adalah filologis, yang berpengalaman dalam penelitian bahasa dan linguistik. Pada masa itu, mereka memanggil diri mereka sendiri sebagai humanis, karena pelatihan mereka dalam studi humanisme. Golongan humanis awal ini membuat cabang dari pembelajaran, uang sekarang disebut sebagai kritik naskah, yang membandingkan beberapa versi dari naskah untuk menentukan mana yang paling benar dan otentik.

 

Semangat Kemerdekaan

Memasuki abad ke-15, sebagian besar komuni awal telah mengalah kepada pemerintahan satu orang, namun, nafsu yang kuat terhadap kemerdekaan masih bertahan dalam semangat golongan Renaisans. Menurut Aristoteles, suatu konstitusi republikan adalah suatu konstitusi yang di dalamnya warga negara memerintah, dan pada gilirannya diperintah untuk kepentingan umum, suatu sistem yang menjamin kemerdekaan, dan kesetaraan dengan cara sering mengganti para pemegang jabatan.

Komuni-komuni di Italia merupakan republikan karena pemerintahannya dilaksanakan oleh dewawn pejabat dengan masa tugas tertentu, dan terus menerus berganti. Analisis Leonardo Bruni atas konstitusi Florentine di dalam Laudationya, membuat hal ini semakin jelas. Kemerdekaan, digambarkan oleh fakta bahwa para warga negara memegang jabatan pemerintahan hanya untuk masa dua bulan, sementara kesetaraan dijamin oleh fakta bahwa semua warga negara sama-sama tunduk kepada hukum yang sama, dan pembebanan denda, dan hukuman lebih besar kepada para bangsawan yang melawan hukum daripada pembebanan kepada orang biasa.

Republikanisme di Florentine mempunyai dua wajah, wajah imperalis dan juga wajah yang cinta kebebasan. Bruni telah menggunakan asal-usul Romawi Florence untuk membenarkan klaimnya untuk menguasai seluruh dunia, pendapat ini didukung orang-orang Florentine yang muncul berikutnya, bahwa negara harus diizinkan untuk mengesampingkan kepentingan-kepentingan individu. Pengakuan atas kepentingan negara yang bersifat mengesampingkan atau yang disebut Fanscesco Guicciardini pada awal abad ke-16 sebagai “alasan negara”, menandai perubahan revolusioner dalam pemikiran politik pada akhir periode pertengahan, karena mengisyaratkan bahwa politik tidak lagi tunguk kepada moralitas gereja.

sejarah renaisans
Machiavelli

Machiavelli dalam Discoursenya tahun 1520, mengingatkan kepada calon Paus Clement VII, Giulio de’ Medici, bahwa “kebaikan yang terbesar dan yang  paling menyenangkan Tuhan adalah kebaikan yang dilakukan seseorang kepada negerinya”. Guicciardini sepakat dengan Machiavelli bahwa orang harus mencintai negerinya lebih daripada jiwanya sendiri, karena mustahil memerintah negara pada masa sekarang menurut ajaran-ajaran Kristen.

Sementara, monarki-monarki di Eropa bagian utara sangat berbeda dengan komuni-komuni orangItalia, tetapi meningkatnya peran dewan terpilih di dalamnya menjad salah satu bukti bahwa Aristoteles, dan pengalaman republik-republik Italia menjadi semakin relevan bagi mereka. Alasan lain, adalah krisis politik, dan agama pada abad ke-16 dan ke-17 yang menentang basis tradisonal monarki-monarki ini, dengan sistem mereka yang tergantung pada otoritas, dan pemerintahan yang dijalankan berdasarkan hak ilahi.

After all, meskipun republikanisme Renaisans adalah suatu wadah bagi aneka ragam ide yang berkaitan, jelashlah bukan suatu cita-cita kosong atau retoris, tetapi memainkan suatu bagian yang aktif di dalam politik masa itu. Tidak mengherankan semangat kemerdekaan, akhirnya menyebar di negara-negara Eropa lain.

 

Arsitektur, Seni Pahat, dan Lukisan

Jika membicarakan tokoh yang mempunyai kecintaan terhadap seni, Niccolo Niccoli, merupakan  tokoh yang mempunyai perhatian lebih terhadap seni. Mereka  mempunyai nafsu untuk menyelidiki bangunan-bangunan kuno. Hal baru yang berasal dari mereka adalah pengolahan mereka yang sadar diri atas seni, dan arsitektur sebagai tanda seorang manusia terlatih, atau ahli menilai seni.

Salah seorang pencinta seni dari zaman Renaisans adalah Petrarch sebagai kolektor awal lukisan-lukisan Giotto, dan Simone Martini. Pertrach menjelaskan, bahwa kreasi bukan hanya mengenai karya-karya seni, tetapi juga mengenai pencinta seni, orang cukup berbudaya untuk menghargai dan mendukungnya. Dari sudut pandang ini, seni yang dicintai dan ditiru oleh para humanis mencerminkan cita rasa dan semangat mereka sendiri yang berwawasan luas.

Ide mengenai keahlian menilai seni dimulai di dalam lingkungan Niccoli yang membuka diri dengan bahasa nafsu dan semangatnya. Nicolli secara pribadi mengenal Filippo Brunelesschi, seorang arsitek dan pemahat Florentine dengan karya besarnya kubah besar katedral. Gombrich berspekulasi bahwa mungkin Niccoli lah yang mengobarkan minat Brunelleschi pada zaman kuno. Nicolli juga mendorong pemahat seperti Donatello, Luca della Robbia, dan Lorenzo Ghiberti, untuk mempersiapkan bangunan-bangunan dan karya seni paling penting di kota itu pada abad ke-15.

sejarah renaisans
Arsitektur Brunelleschi

Prestasi yang paling mencolok adalah pembangunan kubah besar katedral yang hingga saat ini masih mendominasi Florence. Bangunan inilah yang membuat kagum Leon Battista Alberti ketika melihat rumah leluhurnya untuk pertama kalinya pada tahun 1434.

Prestasi Brunelleschi yang paling revolusioner sebenarnya bukan pada bidang arsitektur melainkan pada bidang lukisan. Setelah kembali dari suatu kunjungan ke Roma bersama pemahat muda Donatello pada tahun 1410, dia mengadakan eksperimen yang begitu baru sehingga semua sahabatnya membicarakan sebuah lukisan mengenai ruang baptis bersegi delapan dari dalam pintu katedral itu berlawanan dengannya, menggunakan pintu-pintu itu sebagai bingkai untuk melengkungi lukisannya. Ketika lukisan tersebut selesai, ia membuat lubang kecil di belakang lukisan itu, menaruh sebuah cermin di depannya, dan membuat para sahabatnya meliaht melaui lubang-lubang kecil untuk melihat lukisannya terpantul di dalam cermin di depannya, dengan cara ini memaksa mereka melihat pemandangan itu dari sudut pandang tunggal.

sejarah renaisans
Linier Perspective Brunelleschi

Pada bidang arsitektur, Donatello, dalam relief perunggu mengenai pesta makan Herodes di dalam palung pemandingan di Siena, di dalam mimbar San Lorenzo di Florence, dan juga Ascension marmernya di Victoria, dengan reliefnya yang begitu dangkal sehingga cita rasa ruang dan kedalaman yang ia ciptakan luar biasa.

Mungkin tidak banyak yang bisa penulis paparkan untuk pembahasan mengenai seni masa Renaisans, karena keterbatasan pengetahuan penulis mengenai kesenian. Pembahasan mengenai seni masa Renaisans, sekaligus menutup pembahasan sejarah Renaisans, kita bisa menarik suatu conclusions bahwa peradaban, dan pemikiran yang muncul pada masa Renaisans ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan peradaban Eropa yang sebelumnya mengalami fase kegelapan akibat dogma gereja, perlahan-perlahan bangkit dan menciptakan peradaban yang lebih modern.

 

BIBLIOGRAFI

Brown, Alison. 2009. Sejarah Renaisans Eropa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hitti, Philip. K. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Makdisi, George Abrraham. 2005. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Itelektual, dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Matthews, Roy T. 2004. The Western Humanities. New York: McGraw Hill.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *