Ketika kita mengkaji sejarah pergerakan nasional Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan dari organisasi-organisasi yang muncul pada masa pergerakan ini. Salah satu organisasi ini dikenal dengan nama Sarekat Islam. Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi paling awal yang muncul pada masa pergerakan nasional.
Ide pembentukan Sarekat Islam sendiri merupakan jawaban terhadap upaya imperialisme modern Belanda, yang menjadikan Indonesia sebagai market-pasar, dan sumber bahan mentah. Namun, pada perkembangannya Sarekat Islam menjadi organisasi yang mempunyai tujuan lebih luas dari tujuan awal tersebut. Pada pembahasan kali ini akan mengkaji lebih jauh mengenai Sarekat Islam, mulai dari awal berdirinya hingga perkembangannya.
Story Guide
Latar Belakang Berdirinya Sarekat Islam
Pada masa kolonial penguasaan sumber daya di Indonesia dikuasai oleh pemilik modal asing, hal ini merupakan praktik dari sistem imperialisme modern Barat. Saat itu, Nusantara dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi industri pemerintah kolonial.
Salah satu saudagar pribumi yakni Haji Samanhoedi (1868-1956), segera memberikan respon cepat atas kebijakan ekonomi pemerintah kolonial, yaitu dengan mendirikan Organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI), 16 Oktober 1905 di Surakarta. Informasi berdirinya SDI segera disebarluaskan melalui buletin Taman Pewarta (1902-1915).
Pemerintah kolonial Belanda menilai berdirinya SDI, sebagai ancaman besar bagi eksistensi dan perkembangan ekonomi Belanda di Indonesia. Ditambah SDI berusaha melakukan kerjasama dengan organisasi niaga Cina, bernama Kong Sing. Oleh karena itu pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan organisasi tandingan.
Pendirian SDI merupakan lambang awal dari suatu keberhasilan gerakan pembaharuan sistem organisasi Islam. Hal ini karena suatu pembaharuan memerlukan ketangguhan organisasi dan kontuinitas perolehan dana. Pada saat kongres pertama Sarekat Dagang Islam digelar di Solo tahun 1906, nama Sarekat Dagang Islam diganti menjadi Sarekat Islam (SI),
Kebijakan Haji Samanhodi di dalam SI sangat strategis, gerakan ini memiliki basis operasi kegiatan di pasar. Di pasar, SI dapat memperoleh dana untuk kelanjutan gerakannya. Dengan membawa Islam pada nama organisasi, Syarekat Dagang Islam dapat memperoleh tempat di hati masyarakat luas.
Di tengah kondisi kebangkitan ulama melalui aktivitas pasar, pemerintah kolonial Belanda berupaya mendirikan organisasi tandingan. Pemerintah kolonial mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah, pada tahun 1909 M di Bogor. Sarekat Dagang Islamiyah dipimpin oleh R.M.T Adhisoerjo (1830-1919 M). Selain itu Adhisoerjo juga merupakan pimpinan redaksi Medan Prijaji, dan anggota Boedi Oetomo Afdeeling II di Bandung.
Berbeda dengan SI Haji Samanhoedi, SDI Adhisoerjo sangat lah dekat dengan pemerintah kolonial. Hal ini dapat dilihat dari ketegantungan mereka terhadap dana dan perlindungan dari pemerintah kolonial.
Meskipun demikian, SDI dan media Adhisoerjo tetap tidak dapat menyaingi SDI Haji Samanhoedi. Adhisoerjo sendiri memilih untuk melanjukan usahanya, dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Haji Samanhoedi dan membubarkan Syarekat Dagang Islamiyah pada 1911.
Pada periode Revolusi Cina 1911, pemerintah Belanda memandang eksistensi SI dan rekannya, Kong Sing, dinilai semakin membahayakan kepentingan mereka. Dikhawatirkan akan terjadi pengulangan sejarah, yakni terbentuknya kerjasama Cina Batavia dengan Soenan Mas. Oleh karena itu, Pemerintah Belanda berusaha mengadu domba SDI dan saudagar Cina.
Pertama, mereka menumbuhkan perpecahan dengan cara mempersulit produsen batik pribumi memperoleh bahan batik. Perlu diketahui, sejak tahun 1892 M, hak monopoli sandang diberikan pemerintah kolonial ke saudagar Cina.
Dengan dipersulitnya bahan-bahan tersebut, pemerintah Belanda menyebarkan berita bahwa kelangkaan bahan batik akibat ulah dari pedagang Cina. Namun, usaha ini sia-sia, karena hubungan pribumi dan Cina justru semakin erat, menyusul kesepakatan kerjasama untuk saling membantu antar SI dan Kong Sing bila terjadi penindasan dari pemerintah kolonial.
Gagalnya usaha provokasi mereka yang pertama, maka ditempulah cara kedua. Pemerintah kolonial menciptakan gerakan huru-hara anti Cina. Untuk itu digunakan lah Laskar Mangkunegara guna memprovokai rakyat agar merusak toko-toko Cina. Provokasi ini menimbulkan kerusuhan di Surakarta dan kota-kota Lain. Meskipun demikian usaha tersebut lagi-lagi gagal, setelah rakyat mengetahui bahwa pelaku perusak toko-toko adalah Lakar Mangkunegara. Aktivitas pasar pun kembali seperti sedia kala.
Pada Maret 1912, pemerintah kolonial melihat pergerakan Sarekat Islam di Surabaya. Bulan Mei 1912, tiga orang propagandis Sarekat Islam datang ke rumah Tjokroaminoto untuk berdiskusi. Dari hasil dikusi mereka, Tjokroaminoto bersedia menjadi pimpinan Sarekat Islam.
Peristiwa tersebut mendapat perhatian dari pengurus Sarekat Islam di Surakarta. Tjokroaminoto pun diundang agar bersedia hadir di Surakarta. Pada saat kehadirannya di Surakarta, 13 Mei 1912, Tjokroaminoto mendapat amanah kehormatan, memegang kepemimpinan Sarekat Islam yang sebelumnya dijabat oleh Haji Samanhoedi.
Pergantian tampuk kepemimpinan Sarekat Islam dimanfaatkan Belanda, untuk kembali mengadu domba rakyat. Laskar Mangkunegara kembali dimanfaatkan untuk menciptakan huru-hara anti Cina, pada Juli 1912. Kemudian diikuti keputusan menjatuhkan skorsing kepada Sarekat Islam.
Dengan adanya skorsing, muncul reaksi perlawanan. Para petani anggota Sarekat Islam melakukan aksi mogok kerja di onderming Krapyak Surakarta. Residen Surakarta kemudian sadar, jika skorsing diperpanjang akan menimbulkan kerusuhan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, mereka segera mencabut skorsing pada 26 Agustus 1912.
Prinsip Dasar Sarekat Islam
Sejak Sarekat Islam didirikan pada 16 Oktober 1905 di Solo, dan kemudian diresmikan melalui notaris pada tanggal 10 September 1912. Sarekat Islam telah meletakkan dasar perjuangan atas tiga prinsip, yaitu:
- Asas agama Islam sebagai dasar perjuangan organisasi
- Asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi
- Asas sosial ekonomi sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Selanjutnya dari ketiga asas dasar Sarekat Islam, dapat diperoleh alasan penetapan ketiganya. Pertama, asas agama Islam, berdasarkan pernyataan langsung dari HOS. Tjokroaminoto alasan pengambilan asas agama Islam dalam dasar Sarekat Islam adalah sebagai berikut “Memang Sarekat Islam memakai nama agama sebagai ikatan persatuan bangsa, buat mencapai cita-cita sebenarnya, dan agama tidak akan menghambat tujuan itu.”
Founding father Sarekat Islam pada dasarnya sudah menyadari bahwa penjajah tidak dapat dihancurkan kecuali dengan iman dan takwa kepada Allah. Oleh karena itu umat Islam harus dipersatukan untuk memelihara kehormatan dan harga diri mereka. Umat Islam harus dihimpun dalam satu wadah demi memelihara harga diri mereka sendiri, dan membebaskan diri dari perbudakan Belanda.
Kedua, asas kerakyatan, penderitaan yang dialami oleh seluruh lapisan rakyat akibat kekejaman Belanda, menjadi salah satu alasan Haji Samanhudi mendirikan organisasi ini. Pada tahun 1906 kata “dagang” dibuang dari nama organisasi, karena dianggap kurang tepat jika Sarekat Islam ingin mencangkup seluruh lapisan masyarakat. Ide dan asas perjuangan Sarekat Islam adalah ide dan asas kerakyatan. Sarekat Islam berjuang untuk rakyat miskin dan hidup sengsara. Meskipun para pemimpin SI kebanyakan berasal dari keturunan bangsawan, namun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk melenyapkan kemiskinan dari tanah air.
Ketiga, asas sosial ekonomi, pada masa itu Belanda memberikan fasilitas dan monopoli perdagangan kepada orang Cina yang mempunyai kedudukan sebagai warga negara kelas dua atau dikenal dengan istilah Vreemde Oorterlingen (golongan timur asing). Fasilitas dan monopoli yang diterima orang-orang Cina tidak didapatkan para pedagang bumi putra, akibatnya penguasaha-pengusaha bumi putra tidak mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha Cina.
Melihat realitas yang sedemikian rupa, Haji Samanhoedi dan Tjokroaminoto memandang untuk menghadapi monopoli kelompok Cina, seluruh potensi nasional khususnya muslim harus dikerahkan untuk mempertahankan hak dan martabat bangsa Indonesia. Ketiga aspek dasar ini terlihat jelas dalam perjalanan Sarekat Islam, karena ketiga aspek ini selalu diamalkan organisasi selama masa pergerakan nasional.
Perkembangan Sarekat Islam
Pada awalnya Sarekat Islam didirikan oleh pedagang-pedagang Islam di Jawa Tengah dengan maksud melawan persaingan pedagang-pedagang Cina dan praktik imperialisme Belanda. Pada tahun 1912 sempat terjadi perdebatan antara Haji Samanhudi dan Tjokroaminoto mengenai langkah selanjutnya dari SI. Haji Samanhudi yang lebih disibukkan dengan kegiatan perdagangan kemudian menyerahkan tampuk pimpinan kepada Tjokroaminoto.
Pemimpin baru ini kemudian meluaskan ruang lingkup organisasi ini melewati tujuan awal yang dianggap terlalu sempit, menjadi tujuan luas yang mencangkup keseluruhan umat Islam Bumiputera dengan tujuan menentang praktik kolonialisme Belanda. Dengan berlandaskan semangat Pan-Islamisme, Sarekat Islam memulai pergerakannya.
Sejak Sarekat Islam disahkan oleh notaris, organisasi ini terus berkembang dengan pesat. Sarekat Islam telah bekerjasama dengan Muhammadiyah sejak 1913. Kedua lembaga tersebut sejak awal berjuang bersma dalam wilayah yang berbeda. Muhammadiyah membangun Islam dalam wilayah Sosial-Religio, sedangkan SI memperjuangkan Islam melalui Jalur Politik.
Pada tahun 1919 Sarekat Islam mengklaim keanggotaan sebanyak 2 juta orang. Perkembangan Sarekat Islam yang bisa dikatakan sangat cepat ini, dikarenakan sebagian besar orang Indonesia pada waktu itu masih belum mempunyai artikulasi politik yang tinggi. Mereka menganggap kehadiran Sarekat Islam sebagai simbol protes melawan keadaan yang tengah berlangsung.
Selain itu Sarekat Islam dalam hal cangkupan wilayah dan keanggotaannya yang lebih luas dari Budi Utomo, juga menjadi alasan pertumbuhan pesat keanggotaan Sarekat Islam. Jika Budi Utomo keanggotaannya hanya sebatas para priyayi yang terdapat di Jawa, maka Sarekat Islam lebih luas lagi dari itu, mereka mencangkup keanggotaan hingga ke luar pulau Jawa. Orang-orang Bumiputera yang masih kental dengan adat kejawen, menganggap Tjokroaminoto sebagai penjelmaan ratu adil, sehingga menyebabkan orang-orang pedesaan berbondong-bondong bergabung dengan organisasi ini.
Saat SI mulai melebarkan sayap organisasi, Gubernur Jenderal Idenburg secara hati-hati mendukung Si, dan dia memberi pengakuan resmi kepada SI. Meskipun demikian, dia hanya mengakui organisasi-organisasi Sarekat Islam lokal tersebut sebagai suatu kumpulan cabang-cabang yang otonom saja daripada sebagai suatu organisasi nasional yang dikendalikan oleh markas pusat pusat organisasi. Akibatnya pusat organisasi Sarekat Islam kesulitan untuk mengatur organisasi-organisasi daerah itu, sehingga konsolidasi pun sulit dilaksanakan.
Pengesahan terhadap SI beserta syarat-syarat kelembagaannya diterima dengan baik oleh Tjokroaminoto sebagai pemimpin SI. Melihat kenyataan yang dapat meruntuhkan keberadaan SI, Tjokroaminoto mengadakan kongres Nasional SI pertama pada 17-24 Juni 1916 yang bertempat di Bandung. Kongres tersebut membentuk Central Sarekat Islam (CSI). CSI dibentuk sebagai federasi dari berbagai SI lokal yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pasca terbentuknya CSI, Tjokroaminoto melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk membentuk organisasi SI lokal. Melalui kemampuan berpidato dan suaranya yang berwibawa, Tjokroaminoto menjadi sosok panutan dalam SI. Hampir setiap warga desa yang menggabungkan di dalam SI, selalu mengelu-elukan Tjokroaminoto sebagai ratu adil. Sadar akan kemampuannya, Tjokroaminoto semakin luas memprogandakan SI di berbagai daerah Indonesia.
Selain Tjokroaminoto, terdapat beberapa tokoh penting SI yang juga melakukan hal serupa, seperti Raden Gunawan, Abdul Moeis, dan Haji Agus Salim. Raden Gunawan melakuakan propaganda di Jawa Barat hingga Sumaera Selatan. Abdul Moeis, melakukan propaganda di Sumatera Barat. Haji Agus Salim, melakukan propaganda ke berbagai daerah di Indonesia, selain melakukan propaganda Haji Agus Salim juga memperkuat basis ideologis kelembagaan SI.
Seiring berkembangnya Sarekat Islam, ideologi Sosialis-Komunis juga mengalami perkembangan di Indonesia. Sosialisme Komunis di Indonesia yang disebarkan oleh propagandis Belanda seperti: Sneevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma, dan Van Burink. Mereka membentuk organisasi pergerakan sosialis Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di Semarang. Untuk memperjuangkan kepentingan buruh, ISDV kemudian membentuk Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP).
Pergerakan yang dilakukan kaum sosialis ini, ternyata menarik simpati para anggota SI, sehingga beberapa anggota SI turut serta menjadi anggota ISDV dan VSTP. Dimulai dengan munculnya Semaoen yang merupakan anggota VSTP sebagai ketua SI Semarang, diikuti masuknya para anggota SI yang lain ke dalam organisasi-organisasi tersebut, hal ini tentu saja memperkuat posisi kaum sosialis.
Sosialis-Komunis menjadi wacana baru bagi para anggota Sarekat Islam, selain Pan Islamisme. Munculnya kaum sosialis di dalam Sarekat Islam menimbulkan suatu intrik ideologi di dalam SI, yang akan dibahas dalam point tersendiri.
Pada tahun 1921, Sarekat Islam mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam. Perubahan nama ini didasari untuk memperkuat nilai ideologis serta transformasi menjadi organisasi pergerakan modern yang bergerak di jalur politik dengan ideologi Sosialisme Islam. Dengan munculnya ideologi sosialisme yang dikembangkan oleh PSI, pada tahun 1930 PSI kembali merubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perubahan nama ini bertunjuan untuk memantapkan dasar ideologis partai.
Sejak dilakukannya strukturisasi PSII, posisi pemimpin digantikan oleh kelompok muda seperti Abikoesno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto), dan dibantu oleh Sihabuddin Latif, W. A. Rohman, dan lain-lain. Di bawah kepemimpinan Abikoesno, PSII secara tegas memberlakukan politik hijrah dan melaksanankan sikap non-kooperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Kebijakan Abikoesno mendapat reaksi dari berbagai pihak, karena terlalu kaku dalam memaknai politik hijrah dan sikap non-kooperasi terhadap pemerintah. Salah satu tokoh PSII yang menentang adalah Agus Salim. Ia memandang sikap hijrah ke non-kooperasi adalah suatu kegagalan. Pada November 1936, ia membentuk kelompok yang bersifat kooperatif dengan nama Barisan Penyadar PSII. Namun, satu tahun berikutnya barisan tersebut secara resmi dikeluarkan dari PSII.
Sikap non-kooperatif PSII berakhir pada tahun 1942, seiring dengan berhasilnya Jepang mengusir Belanda. Jepang melakukan penghapusan lembaga-lembaga yang dibentuk pada masa pemerintahan Belanda. PSII termasuk organisasi yang dihapus pemerintah Jepang pada masa itu.
Jepang hanya memberi kelonggaran kepada Majelas Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai federasi umat Islam yang telah dibentuk PSII pada 1930. Meskipun telah dibubarkan perjuangan anggota PSII terus berlanjut di MIAI, mereka mengupayakan pembentukan Bait al-mal (rumah zakat). Namun, sebelum rumah zakat berhasil terbentuk, pemerintah Jepang membubarkan MIAI pada tahun 1943.
Pada perumusan dasar negara, Sarekat Islam masih menurunkan kadernya dalam pembentukan tersebut. Salah satunya adalah Abiekoesno yang menjadi anggota panitia sembilan. Sehingga kader-kader Sarekat Islam masih terus berjuang meskipun wadah organisasinya telah dibubarkan.
Semangat Pan-Islamisme Sarekat Islam
Semangat Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Turki Utsmani, ternyata dibawa oleh para Haji yang kembali ke tanah air setelah menunaikan ibadah haji di Mekah. Para haji yang telah bermukim di Mekah menyaksikan pentingnya wacana Islam dan politik bagi mereka. Melalui para haji yang pulan ke daerahnya masing-masing ikut menyebarkan semangat Pan-Islamisme ke berbagai penjuru daerah. Semangat Pan-Islamisme telah menarik simpati kalangan umat Islam Indonesia untuk bersatu di bawah panji-panji Islam dan di bawah naungan Turki Utsmani.
Semangat kebangkitan Islam yang dibawa oleh para haji tersebut menjadi media untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam di Indonesia. Hubungan semangat Pan-Islamisme dan pembentukan Sarekat Islam, sudah terlihat sejak pendirian SI. Hal ini terbukti dengan para tokoh SI yang melakukan kontak dengan Turki. Turki sangat mendukung perjuangan SI dalam memperjuangkan kepentingan Islam bumiputera untuk melawan kolonialisme Belanda.
Pan-Islamisme tidak sekedar menginspirasi terbentuknya persatuan bumiputera dan umat Islam Indonesia, melainkan menjadi penguat basis ideologis Islam dalam membentuk persatuan Islam Nasional. Pada tahap ini, semangat gerakan Pan-Islamisme semakin tampak menjadi bagian penting dalam perjuangan Sarekat Islam.
Pasca Tjokroaminoto membentuk CSI, Tjokroaminoto beserta para aktivis SI lainnya kembali menyuarakan Islam sebagai basis pergerakan SI. Gagasan Islam yang disuarakan oleh Tjokroaminoto seperti halnya pedang bermata dua. Satu sisi, Islam dijadikan sebagai isu untuk mengikat kembali para pemodal asal Arab dan keturunannya yang sejak 1914 keluar sebagai donatur tetap SI.
Di sisi lain, Tjokroaminoto menggunakan Islam sebagai media pengikat bumiputera untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Sehingga jelas sudah peran vital semangat Pan-Islamisme dalam gerakan Sarekat Islam.
SI Putih dan SI Merah
Pada tahun 1917, pasca revolusi Bolshevik pada bulan Oktober, Sneesvliet selaku pengasuh para aktis SI menarik ISDV menjadi sebuah organisasi yang lebih radikal. Pada 23 Mei 1920, secara resmi ISDV merubah bentuk menjadi PKI. Sejak terbentuknya PKI, para kader SI yang sebelumnya juga anggota ISDV melebur dalam PKI. Para anggota Sarekat Islam dengan keanggotaan ganda ini berpusat di Semarang.
Ketika kongres tahun 1921 berlangsung, arah pembicaraan justru terfokus pada ideologi perjuangan. Masing-masing pihak saling bersikukuh terhadap arah perjuangan melalui keyakinan ideologi masing-masing. Darsono dan kawan-kawan (Semaoen berada di Rusia) sebagai wakil dari SI Semarang, tetap bersikukuh terhadap ideologi Komunisme dan Islam hanya menjadi simbol agama. Sementara Tjokroaminoto, Agus Salim, Moeis, serta Suryopranoto tetap pada pendirian awal yaitu Islam tetap menjadi ideologi dan cita dasar pergerakan SI dalam menentukan dasar kebangsaan menuju Indonesia yang merdeka.
Cita dasar pergerakan SI Semarang berpijak pada dua kaki yang masing-masing tergabung dalam lembaga yang berbeda, ternyata menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam tubuh organisasi. Model ideologi Komunis dinilai sangat bertentangan dengan ide dan gagasan Tjokroaminoto dan Agus Salim. Perdebatan terus berlanjut, berbagai kecaman dari kedua belah terus muncul, sehingga tidak menemukan persamaan di antara keduanya. Dari konflik ini bahkan muncul sebutan nama SI Putih dan SI Merah.
Untuk menghindari perselisihan lebih lanjut, dan keinginan untuk melanjutkan perjuangan Sarekat Islam menentang kolonialisme Belanda. Akhirnya mempertegas keinginan Agus Salim, Moeis, dan Suryopranoto untuk mengakhiri hubungan dengan SI Semarang, dengan cara mengesahkan disiplin partai yang telah disepakati oleh para peserta kongres lainnya.
Pihak SI Semarang yang telah memprediksi hasil keputusan tersebut tetap tenang dan menerima hasil keputusan tersebut. Disiplin partai sendiri berisi himbauan untuk memilih salah satu lembaga bagi anggota SI yang sebelumnya memiliki keanggotaan ganda dengan PKI. Agus Salim dan Moeis menerapkan disiplin partai dalam SI untuk menghilangkan unsur ideologi Komunis yang telah menyebar dalam SI Semarang dan beberapa SI di sekitarnya.
Dengan berlakunya disiplin partai, sekaligus menyingkirkan anggota SI yang mempunyai keanggotaan ganda. Beberapa kelompok yang telah menentukan sikap keluar dari SI adalah SI Semarang, Kudus, Ambarawa, dan Sukabumi. SI Semarang dan beberapa cabang yang mendukungnya merubah nama menjadi Sarekat Rakyat, dan tetap melebur di dalam PKI.
Sarekat Islam dan Sosialisme Islam
Perpecahan yang sempat muncul di dalam Sarekat Islam, membutuhkan proses restrukturisasi dalam kelembagaan. Pada tahun 1923 tepatnya pada kongres ketujuh Sarekat Islam, memutuskan untuk membentuk organisasi pergerakan baru yang secara tegas bergerak di jalur politik dengan membentuk Partai Sarekat Islam (PSI). Dalam Kongres ini juga menetapkan secara tegas sosialisme Islam sebagai ideologi organisasi.
Dalam Kongres ketujuh ini Tjokroaminoto juga menjelaskan, hubungan antara Islam dan Sosialis. Nilai Sosialisme di sini mempunyai arti terciptanya sebuah masyarakat yang adil tanpa penindasan satu oleh lainnya, serta terwujudnya sama rasa dan sama rata. Perlu diketaui, usaha untuk menuju tujuan tersebut tidak serta merta seperti yang dipikirkan para pemikir Sosialisme Barat, melainkan sebuah perwujudan kehidupan sama rata yang didasari oleh nilai-nilai ketauhidan, serta sebuah sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw.
Pada konges al-Islam ke-2 tahun 1924 di Garut, Tjokroaminoto menyerukan Sosialisme Islam kepada seluruh umat Islam, sebagai landasan ideologis PSI menuju cita-cita Indonesia merdeka. Sosialisme Islam bersandarkan pada al-Qur’an dan Hadis. Salah satu ayat yang menjadi dasar utama Sosialisme Islam adalah “kaanan nasu umatan wahidatan” yang artinya peri kemanusian adalah menjadi satu persatuan.
Islam dimaksudkan sebagai sebuah frame untuk mengawal pergerakan nasional menuju kesempurnaan di akhirat dan Sosialisme menjadi mesn penggerak menuju kesempurnaan kehidupan dunia. Sehingga ideologi Sosialisme Islam digunakan untuk mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat.
Cita-cita besar inilah yang menjadi semangat bagi para tokoh PSI untuk terus berjuang dalam melawan berbagai bentuk penindasan pemerintahan kolonial. Selain itu dengan sosialisme Islam yang ditegaskan sebagai ideologi partai, sekaligus membuang unsur Marxisme yang sebelumnya ada di dalam organisasi. Karena pada dasarnya Sosialisme Islam dan Sosialisme Marxis sangatlah berbeda. Pada perkembangannya Sosialisme Islam menjadi ideologi gerakan yang jelas dalam Sarekat Islam, hingga organisasi ini dibubarkan oleh pemerintahan Jepang.
BIBLIOGRAFI
Abdul Gani, Muhammad. 1980. Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Benda, Harry. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Huda, Nor. 2014. Islam Indonesia: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3S
Materu, Mohamad Sidky Daeng. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Nasihin. 2012. Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M. C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suhartono. 1994. Sejarah Pegerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2013. Api Sejarah. Bandung: Salamadani.
makasih infonya om
Assalamualaikum
Saya Rika Ruvaida Mahdami
Founder dan Ketua Bangkit Pengusaha Muslim (BPM)
Perkumpulan nonprofit yang bertujuan menciptakan Pengusaha Muslim bernilai Rabbani
Kegiatan Bangkit Pengusaha Muslim adalah memberikan ruang -ruang kepada calon pedagang dan pedagang muslim.
Dengan menyediakan medsos, membuka EXPO EXPO tanpa sewa Infaq terbaik.BPM juga membuat Tabloid ruang dakwah dan Perdagangan yang dibagikan secara gratis
Terkait tulisan tentang Sarikat Dagang Islam, BPM mohon Izin untuk dapat memuat tulisan diatas pada Tabloid yang akan terbit akhir September 2017.
Terimakasih
Wassalam
Rika
wa’alaikumussalam
terima kasih atas kunjungannya. silahkan jika anda ingin memuat tulisan ini di dalam tabloid. Klo bisa saya ingin membaca majalahnya setelah diterbitkan
Data saya malah menyebutkan bahwa pembentukan SDI surakarta atas dorongan Tirto Adhisoerjo sbg founder SDI di jawa barat.
Perkumpulan yang didirikan oleh H.Samanhoedi sebelum menjadi SDI bernama Rekso Rumekso
https://nafanakhun.wordpress.com/2021/12/23/komunisme-islam-hingga-komunis-vs-islam-dalam-sejarah-berdirinya-indonesia/