Jika membicarakan sejarah Indonesia, terdapat dua nama Masyumi yang terdapat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Masyumi yang dibentuk Jepang pada tahun 1943. Kedua, partai Masyumi yang dibentuk pada 7-8 November 1945, yang sepenuhnya merupakan gagasan pemimpin-pemimpin Islam masa itu. Partai Masyumi merupakan partai politik pertama di Indonesia yang mempersatukan organisasi-organisasi Islam di Indonesia (kecuali Perti), sehingga dapat dikatakan Masyumi merupakan partai politik yang bertujuan menyampaikan aspirasi muslim saat itu. Pada pembahasan kali ini kita akan mengkaji lebih lanjut mengenai perkembangan Partai Masyumi, mulai awal berdiri hingga pembubarannya.
Latar Belakang Berdirinya Partai Masyumi
Tanggal 23 Agustus 1945 atau satu minggu setelah kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno mengusulkan pembentukan organisasi resmi pembantu presiden, namun mempunyai fungsi partai dan parlemen, organisasi tersebut nantinya dikenal sebagai Komite Nasional. Pada saat yang bersamaan, Soekarno juga menginginkan pembentukan partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia sebagai motor perjuangan rakyat dalam segala suasana, dan lapangan.
Ide tersebut ditentang keras oleh tokoh-tokoh lain yang menginginkan kehidupan demokratis, di mana partai ada, dan berfungsi sebagai artikulator rakyat. Salah satu tokoh yang paling lantang menolak ide tersebut adalah Muhammad Syahrir, dia berpendapat ide tersebut hanya akan menyeret iklim politik Indonesia menuju otoritarisme. Karena itu dia berusaha menggalang dukungan dari anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk menuntut agar Komite Nasional dirombak, sehingga mempunyai kekuatan legislatif.
Usaha yang dilakukan Syahrir tersebut ternyata mendapat sambutan positif, dia memperoleh dukungan 50 dari 150 anggota KNIP saat itu, yang kemudian membuat Soekarno menyetujui permintaan Syahrir. Akhirnya terbitlah Maklumat Negara Republik Indonesia No. X, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945.
Mulai dilakanakannya sistem parlementer, berarti membuka kesempatan parpol untuk memainkan perannya di legislatif. Partai yang bisa memperoleh suara terbanyak di legislatif, akan mendominasi kabinet. Kemudian, pada tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah yang berisi anjuran untuk mendirikan partai politik.
Maklumat tersebut disambut dengan antusias berbagai kalangan, salah satu kalangan yang antusias dengan keluarnya Maklumat tersebut, adalah kalangan umat Islam. Mereka menyambutnya dengan mengadakan Kongres Umat Islam Indonesia pada 7-8 November 1945, di gedung Muallimin Muhammadiyah di Yogyakarta.
Hadir dalam kesempatan ini sekitar lima ratus utusan organisasi-organisasi keagamaan Islam, tokoh-tokoh aliran utama, dan tokoh-tokoh politik Islam. Pada tanggal 7 November 1945, para peserta kongres menyepakati pembentukan partai politik Islam yang resmi dinamakan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.
Gagasan pembentukan partai Masyumi berasal dari tokoh-tokoh pergerakana Islam yang sudah aktif sejak zaman penjajahan, diantaranya: Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Abdul Wahid Hasyim, Prawoto Mangkusasmito, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Tujuan dari pendirian Partai Masyumi tercantum dalam Anggaran Dasar : “Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan ilahi.” Dari rumusan tersebut, Masyumi mempunyai tujuan menciptakan Indonesia yang bercorak Islam, tetapi juga ingin memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat, dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan agama, dan ideologinya masing-masing.
Ideologi Partai Masyumi
Pada awal berdirinya Masyumi, tidak ada penjelasan secara terperinci mengenai ideologi yang dianut Partai Masyumi. Namun, ideologi Partai Masyumi dapat mudah dibaca dari menonjolnya unsur-unsur keislaman yang dianut Masyumi. Identitas keislaman Masyumi sangat terlihat, baik dalam kebijakan, dan pola pikir yang bersumber dari ajaran Islam dengan seringnya menggunakan kata-kata Islam dalam Anggaran Dasar Partai, dan resolusi-resolusi yang dikeluarkan.
Untuk resolusi, dapat mengambil contoh dari resolusi yang dikeluarkan Partai Masyumi saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Resolusi tersebut menyerukan kepada seluruh muslim Indonesia untuk melakukan jihad fi sabilillah dalam menghadapi kedatangan sekutu di Indonesia.
Ideologi partai Masyumi baru diungkapkan dengan adanya kata-kata ideologi Islam, dalam manifesto politik Masyumi yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 1947. Manifesto politik ini disusun oleh Soekiman, Samsuddin, dan Taufiqurrahman. Walupun, terdapat ideologi Islam dalam manifesto tersebut, namun secara terperinci belum dipaparkan secara jelas.
Kurangnya penjelasan mengenai ideologi Masyumi pada masa awal pendiriannya, lebih dikarenakan para pimpinan Masyumi yang lebih fokus menghadapi ancaman sekutu, dan Belanda. Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan tentunya dibutuhkan perhatian khusus dari seluruh masyarakat Indonesia, termasuk dari para pimpinan Masyumi.
Selain itu, tidak dijelaskannya ideologi Partai secara terperinci bertujuan untuk menghindari konflik ideologi dengan kelompok-kelompok lain, seperti yang diketahui negara yang umurnya masih sangat muda sangat lah rawan akan konflik-konflik antar ideologi. Dengan munculnya konflik, tentu saja memecah persatuan yang telah terbentuk sebelumnya, ini lah yang dikhawatirkan pemimpin Masyumi pada saat itu.
Baru setelah Indonesia memasuki masa stabil, pada tahun 1950-an, para pemimpin Masyumi merumuskan asas kepartaian Masyumi secara jelas. Penjelasan secara jelas mengenai asas Masyumi tertuang pada Anggaran Dasar Partai Masyumi yang disahkan pada muktamar Masyumi ke-6 pada bulan agustus 1952. Selain, menyatakan asas Partai Masyumi adalah Islam, dalam muktamar ini juga dikeluarkan tafsir asas Masyumi, yang merupakan rumusan resmi ideologi partai.
Perkembangan Partai Masyumi
Salah satu hasil kongres November 1945 adalah menjadikan Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam yang akan menyalurkan, dan mengartikulasi kepentingan umat Islam. Tekad untuk menjadikan Partai Masyumi sebagai partai tunggal Islam diwujudkan dengan membentuk dua jenis keanggotaaan di dalam partai. Dari model keanggotaan ini diharapkan dapat menampung semua elemen di dalam masyarakat.
Dua jenis keanggotaan partai Masyumi adalah anggota perseorangan (biasa), dan anggota organisasi (istimewa). Anggota perseorangan mempunyai syarat minimal berusia 18 tahun, dan tidak menjadi anggota di partai lain. Pada awalnya anggota istimewa Masyumi terdiri dari empat organisasi yakni: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Dalam perkembangannya jumlah anggota istimewa ini terus bertambah dengan masuknya Persatuan Islam tahun 1948, disusul dua organisasi asal Sumatera Utara yaitu Al-Jamiatul Wasliyah, dan Al-Ittihadiyah tahun 1948, Persatuan Ulama Seluruh Aceh 1949, dan Al-Irsyad tahun 1950.
Walaupun Masyumi telah didukung oleh banyak organisasi Islam, tetapi langkah Masyumi untuk memperluas pengaruhnya tidak berhenti begitu saja. Masyumi tetap melakukan usaha untuk merekrut anggota baru dengan mendirikan berbagai organisasi yang bersifat otonom, contohnya mendirikan Serikat Tani Islam Indoneia (STII) pada tanggal 26 Oktober 1946 di Yogyakarta.
Masyumi juga mendirikan sayap organisasinya di kalangan buruh, dengan Serikat Islam Indonesia (SBII) pada tanggal 27 Novemberi 1947 di Solo, pendirian SBII sekaligus bertujuan untuk menyaingi Serikat Buruh Komunis. Untuk golongan nelayan, Masyumi mendirikan Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII) pada tahun 1950an.
Dengan dukungan berbagai organisasi Islam, dan dukungan berbagai profesi yang tergabung dalam STII, SBII, dan SNII mempercepat laju pertumbuhan keanggotaan Partai Masyumi. Pengaruh Masyumi telah sampai ke desa-desa dengan dibentuknya ranting-ranting Masyumi. Pada 31 Desember 1950, tercatat Masyumi sudah memiliki 237 cabang, 1080 anak cabang, 4982 ranting, dan anggota berjumlah kurang lebih 10 juta.
Keluarnya Organisasi-Organisasi Islam dari Partai Masyumi
Pada periode 1947-1952 beberapa elemen pendukung awal Masyumi memisahkan diri, dan membentuk partai politik sendiri. Keluarnya organisasi Islam dari keanggotaan Partai Masyumi, dimulai oleh unsur Sarekat Islam yang melepaskan diri dari keanggotaan Masyumi pada 30 Juli 1947. Akhirnya, unsur SI tersebut mendirikan Partai Sarekat Islam Indonesia.
Keluarnya unsur Sarekat Islam sebenarnya tidak memberikan pengaruh yang terlalu signifikan terhadap keanggotaan Masyumi. Baru pada tahun 1952, dengan keluarnya Nahdlatul Ulama dari Masyumi memberikan dampak yang signifikan terhadap keanggotaan.
Faktor utama yang menyebabkan keluarnya NU dari Masyumi dikarenakan kurang terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam Masyumi. Sejak Muktamar IV Masyumi, sebenarnya NU sudah tidak nyaman berada dalam Masyumi. Hasil muktamar yang merubah status Majelis Syuro menjadi badan penasehat. NU merasa kedudukannya dalam Masyumi sudah tidak penting dalam pengambilan keputususan, karena mayoritas orang-orang NU hanya duduk dalam majelis Syuro, sementara kedudukan wakil NU dalam jajaran pimpinan partai Masyumi, kurang terakomodir.
Faktor lainnya adalah tidak dipenuhinya permintaan kalangan NU, agar posisi menteri agama diserahkan kepada mereka. Penolakan tersebut merupakan puncak kekecewaan NU terhadap Masyumi.
Dari beberapa faktor tersebut, maka keinginan untuk mengkaji ulang kedudukan NU dalam Masyumi pun muncul. Pada rapat NU tanggal 5 April 1952, dihasilkan keputusan mengenai keluarnya NU dari keanggotaan Masyumi. Keputusan tersebut diperkuat dalam Muktamar NU ke-19 pada 28-1 Mei 1952 di Palembang.
Partisipasi Partai Masyumi dalam Pemilu 1955
Dengan keluarnya NU dari kenggotaan Masyumi, maka otomatis hanya tinggal Muhammadiyah yang menjadi motor utama partai Masyumi dalam menjaring massa. Ketika menghadapi pemilu pertama tahun 1955, Muhammadiyah menyerukan kepada warga Muhammadiyah untuk memberikan dukungan kepada partai Masyumi. Pemilu 1955 dianggap sebagai momentum krusial bagi perjuangan umat Islam dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
Dalam sidang Tanwir Muhammadiyah 11-14 April 1954, memutuskan bahwa dasar dan tujuan pemilu adalah kemenangan Islam, keutuhan Masyumi, dan kemaslahatan Muhammadiyah. Muhammadiyah menyelenggarakan sidang tanwir pada 21-24 1955, sebagai momen kegiatan nasional untuk mempertajam instrumen politik yang digunakan dalam pemilu 29 September 1955 untuk DPR, dan 15 Desember 1955 untuk Konstituante.
Dalam pemilu 1955, Partai Masyumi berhasil memperoleh suara terbanyak kedua setelah PNI. Sekaligus menjadi partai Islam dengan suara terbanyak. Dalam pemilhan anggota DPR Masyumi memperoleh 7.908.886 suara, sehingga memperoleh 57 kursi legislatif sama dengan PNI, dari 227 kursi yang diperebutkan.Pada pemilihan Konstituante, Masyumi memperoleh 7.789.619 suara. Perolehan tersebut menempatkan 112 anggota Masyumi di Konstituante.
Dalam pemilihan ini Masyumi mengumpulkan suara terbanyak yakni 10 dari 14 daerah pemilihan. Sementara PNI dan NU hanya menang di masing-masing dua daerah pemilihan. Ini menunjukan pengaruh Partai Masyumi yang merata di seluruh Indonesia, dan kesuksesan Muhammadiyah sebagai motor utama dalam melakukan kampanye.
Perseteruan dengan PKI dan Pembubaran Partai Masyumi
Konflik antara Mayumi, dan PKI berawal dari pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Perseteruan ini diawali dengan perang selebaran dan perkelahian antara pendukung Masyumi dan Front Demokrasi Rakyat pimpinan Muso yang beraliran Komunis, berawal dari peristiwa tersebut hubungan antara Masyumi, dan PKI menjadi memanas.
Masyumi mengutuk keras pemberontakan Front Demokrasi Rakyat, dan menuduh kaum Komunis sebagai pengkhianat Bangsa, dan Negara. Pada dasarnya ideologi yang dianut kedua parpol tersebut sudah bertentangan, PKI dengan prinsip komunismenya yang tidak mempercayai tuhan, dan Masyumi dengan prinsip-prinsip Islamnya. Pernyataan PKI pada tahun 1954 yang menyatakan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan sesuatu yang aneh bagi Masyumi, karena Komunisme tidak mengenal ketuhanan.
Pada masa demokrasi terpimpin, hubungan PKI dan Soekarno yang semakin dekat, PKI mencoba mempengaruhi Soekarno untuk membubarkan Masyumi, Muhammadiyah, dan HMI karena dianggap sebagai penghalang bagi terwujudnya Demokrasi Terpimpin. PKI yang telah menganggap Masyumi sebagai saingan terkuatnya, melihat momentum tersebut sebagai peluang untuk melenyapkan Masyumi.
Pada saat yang bersamaan, muncul kesadaran anggota istimewa Masyumi mengenai meningkatnya konlik antara Soekarno dan pimpinan Masyumi. Konflik tersebut dikhawatirkan berimbas kepada anggota istimewa. Untuk menghindari akibat dari konlik, anggota istimewa mulai berpikir untuk melepaskan diri dari Masyumi. Maka mulailah pembicaraan mengenai penghapusan anggota Istimewa, dari struktur keanggotaan Masyumi. Meskipun sempat terjadi pro dan kontra dalam pembicaraan ini, akhirnya pada 8 September 1959 secara resmi keanggotaan istimewa dihapuskan.
Penghapusan anggota istimewa tersebut berdampak besar bagi keanggotaan Masyumi, anggota Masyumi secara keseluruhan berkurang drastis. Perlu dicatat berkurangnya keanggotaan Masyumi bukan saja dimulai saat Demokrasi Terpimpin berlangsung, namun berkurangnya anggota Masyumi sudah terjadi sejak pemberontakan PRRI pecah.
Berkurangnya jumlah anggota Masyumi, dilihat lawan politik Masyumi untuk semakin menekan partai tersebut. Soekarno yang telah memberi tekanan besar terhadap Masyumi sejak Demokrasi Terpimpin berlaku, akhirnya membubarkan Masyumi pada 17 Agustus 1960, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960. Dengan keluarnya Kepres tersebut, pada 13 September 1960 pimpinan Masyumi menyatakan partainya bubar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam keputusan presiden.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Taufik. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Dhakidae, Daniel. 1995. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia”, dalam Pilihan Artikel Prisma, Analisa Kekuatan Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Djoened Pusponegoro, Marwati. 1992. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta Balai Pustaka.
Jurdi, Syarifudin. 2010. Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Dalam Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Bandung: Mizan.
Noer, Deliar. 1987. Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti Press.