Peradaban Islam di Sisilia

Share your love

Pada periode klasik perjalanan sejarah umat Islam, muslim mulai melakukan upaya untuk memperluas pengaruh Islam hingga ke daratan Eropa. Salah satu daerah yang menjadi tujuan dari perluasan pengaruh tersebut adalah pulau Sisilia. Pulau Sisilia yang letak geografisnya strategis ini dipandang sebagai batu loncatan awal jika ingin memperluas pengaruh di benua Eropa. Pada perkembangannya pulau Sisilia sempat dikuasai oleh beberapa dinasti Islam periode klasik, dan puncaknya peradaban islam di Sisilia memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan keilmuwan Barat.

Upaya Ekspansi Awal di Eropa

Ekspedisi muslim pertama di daratan Eropa dimulai pada masa pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan. Pada tahun 649, Khalifah Utsman memberikan izin kepada Muawiyyah untuk memimpin serangan pertama ke kepulauan Cyprus. Serangan ini diikuti dengan penaklukkan singkat pulau Rodes, dan Crete. Pulau Cyprus, Crete, dan Rhodes merupakan markas utama dari angkatan laut Byzantium di timur laut Mediterania.  Penaklukkan pulau-pulau bagian timur ini hanya berlangsung singkat, penaklukkan yang berdampak jauh lebih sigsnifikan terjadi nanti di pulau Sisilia.

Pada tahun 652 M angkatan laut Bizantium di Aleksandria mendapat serangan dan kekuatan maritim beralih ke tangan orang Arab, pada saat yang sama terjadi serangan atas kekuatan Bizantium di Sisilia yang dilakukan oleh panglima perang Mu’awiyah. Akibat dari serangan ini Kejayaan Siracuse (Saraqusah, saraqushshah) runtuh. Rampasan perang yang didapatkan muslim, mengundang para pengembara muslim untuk kembali ke daerah itu pada paruh kedua abad ketujuh.

Pada abad kedelapan, kaum Berber dan para pejuang Arab dari Afrika bagian utara dan timur melakukan ekspansi ke daerah Sisilia, Corsica, dan Sardinia, ekspansi ini menimbulkan keresahan di daerah-daerah tersebut. Perlu diketahui, bahwa pada masa itu, perompakan dan penjarahan dianggap sebagai alat-alat yang sah untuk hidup, baik oleh penduduk muslim maupun Kristen. Tidak ada kebijakan politis yang terencana dalam gerakan-gerakan ekspansi pertama ini.

Penaklukan Dinasti Aglabiyah atas Sisilia

islam di sisilia
WIlayah Sisilia

Penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia (bahasa: Siqilliyah) merupakan gelombang serbuan terakhir yang dibawa bangsa Arab ke Afrika Utara dan Spanyol. Para pemimpin ekspansi ke Sisillia, dan ke daratan Eropa Tengah adalah para panglima perang dinasti Aglabiyah dari Kairawan yang menyerang wilayah itu pada abad ke-9 M. Berkembanganya kekuatan Dinasti Aglabiyah di Kairawan, pada paruh pertama abad ke-9, telah menjadikan Aglabiyah sebagai ancaman bagi Byzantium.

Kronologi penaklukan yang sesungguhnya dimulai pada tahun 825. Euphemius, seorang laksamana Byzantium, mendapati dirinya terancam oleh hukuman kekaisaran untuk beberapa kasus pelanggaran, penyebabnya tidak begitu jelas. Akhirnya, dia memulai pemberontakan melawan kekaisaran, dan mencoba merampas kepulauan. Selanjutnya, ketika dikalahkan oleh pasukan kekaisaran, dia lari ke Tunisia dengan kapalnya, dan meminta bantuan pada Ziyadatullah I (817-838), penguasa dinasti Aghlabiyah di Tunisia. Euphemius memberinya dukungan untuk menaklukkan pulau Sisilia.

Pada tahun 827, pemberontak Siracuse mencoba melakukan perlawanan terhadap gubernur Bizantium, momentum ini memberikan peluang kepada Dinasti Aghlabiyah untuk melakukan penaklukan. Ziyadatullah I, khalifah Aghlabiyah ketiga, yang sebelumnya sempat ragu-ragu untuk menaklukkan Sisilia, langung mengirim tujuh puluh armada yang membawa sekitar 10.000 tetara, dan 7000 ekor kuda di bawah pimpinan Qadhi-Wazir, Asad ibn al-Furath, yang pada saat itu berusia 70 tahun..

Pasukan Afrika yang berlabuh di Masara kemudian bergerak ke Siracuse. Suatu wabah yang menyebar di perkemahan pasukan muslim membunuh Asad dan banyak prajuritnya. Sisa-sisa prajurit tersebut akhirnya  mendapat suntikan kekuatan baru dari Spanyol, sehingga mereka berhasil menguasai kota Palermo pada tahun 831. Penaklukkan Palermo merupakan titik tolak untuk penaklukkan berikutnya serta menempatkan gubernur baru di sana.

Pertempuran antara pasukan Byzantium, Siracuse dan dinasti Aglabiyah terus bergejolak baik di laut atau daratan pulau Sisilia. Sekitar tahun 843 kota Messina jatuh ke tangan muslim, yang diikuti kota Castrogiovanni pada tahun 859. Pada tahun 878, benteng Siracuse yang menjadi pertahanan terakhir pemberontak Siracuse menyerah setelah sembilan bulan dikepung. Benteng itu dihancurkan pada masa kekuasaan Ibrahim II (874-902).

Sementara itu pasukan muslim telah berhasil mendarat di daratan utama Italia, dan menempatkan pasukan di kota Bari, dan Taranto. Pada tahun 846-849, dengan mulai masuknya pasukan muslim di pulau Italia dan mengancam Roma, membuat Paus Yohanes VIII (872-882) dengan hati-hati mempertimbangkan untuk membayar pajak selama dua tahun. Namun penempatan pasukan di dataran utama Italia tersebut berlangsung antiklimaks, karena pada 871 kota Bari, dan tahun 880 Taranto berhasil direbut kembali oleh kaisar Byzantium hingga akhirnya mengusir pasukan muslim keluar dari dataran utama Italia.

Antara tahun 895-896 Byzantium menyetujui perdamaian dengan muslim, yang mana mereka harus meninggalkan Sisilia. Akhirnya, pada tahun 902 pulau Sisilia jatuh sepenuhnya pada kekuasaan penguasa muslim. Untuk masa selanjutnya, Sisilia menjadi titik tolak penyebaran pengaruh peradaban Islam di Eropa.

Perkembangan Peradaban di Sisilia

Ketika Sisilia berhasil ditaklukkan, pulau Sisilia menjadi wilayah ekspansi pertama dinasti Aglabiyah. Amir pegnuasa pada awalnya mengendalikan kekuasaan mengikuti kekuasaan dinasti Aglabiyah di Kairawan. Namun, dengan runtuhnya dinasti Aglabiyah pada tahun 909 akibat serangan dari dinasti Fatimiyah, wilayah Sisilia menjadi bagian dari dinasti baru tersebut.

Empat tahun setelah wilayah Sisilia jatuh kepada kekuasaan dinasti Fatimiyah, muncul perlawanan terhadap dinasti Fatimiyah. Beberapa muslim Sisilia di bawah pimpinan Ahmad ibn Qurhub menyatakatan kemerdekaan mereka, dan menyebutkan nama khalifah Abbasiyah al-Muqtadir, dalam khutbah-khutbah Jumat mereka. Pada tahun 917, amir Ahmad yang mulai ditinggalkan pasukan Berbernya, dieksekusi atas perintah al-Madi, kemudian Sisilia kembali pada kekuasaan dinasti Fatimiyah.

Pada masa transisi ini, situasi dalam negeri Sisilia tidak sepenuhnya harmonis. Elemen masyarakat Spanyol, dan Afrika di tengah masyarakat muslim terus berada dalam pertikaian, yang kemudian makin rumit karena munculnya pertikaian kuno antara bangsa Yaman, dan bangsa Arab Utara. Pada tahun 948 Khalifah ketiga Fatimiyah, al-Manshur menunjuk al-Hasan ibn Ali ibn Abi al-Husain al-Kalbi sebagai gubernur Sisilia. Sebagai gubernur Hasan mampu membangun Sisilia menjadi lebih mandiri dan kokoh.

Pindahnya pusat pemerintahan dinasti Fatimiyah pindah ke Cairo, Mesir pada tahun 972, menyebabkan kontrol dari pemerintah pusat melemah, dan jabatan gubernur menjadi turun temurun berdasarkan keturunan Hasan ibn al-Kalbi. Di bawah kekuasaan dinasti Kalbiyah, benih-benih kebudayaan Arab mendapatkan kesempatan untuk berkembang di kepulauan multi-etnis ini.

Dinasti Kalbiyah yang menjadi penguasa pulau Sisilia, memerintah dengan toleransi tinggi sehingga kondisi Sisilia yang sempat memanas karena konflik etnis dapat kembali stabil. Beragam suku, dan etnis, seperti orang Sisilia, Arab, Yahudi, Barbar, Persia, Tartar, dan Negro dapat berbaur dalam toleransi dan keharmonisan. Tidak ada pembantain terhadap salah satu etnis atau agama. Penduduk yang berbeda agama dilindungi, dan dihormati kebebasannya dalam menjalankan aktivitas peribadatan.

Sejak berada dalam kekuasaan Islam, Sisilia menjelma menjadi salah satu magnet peradaban Eropa, setelah Cordova. Seorang ahli geografi, dan pengembara dari Timur, Ibnu Hawqal (943-977) menjelaskan di Palermo terdapat sekitar 300 masjid yang megah. Di masjid-masjid Jami ini terdapat sekitar 60 baris jamaah, yang masing-masing baris disi sekitar 200 orang, sehingga jumlahnya mencapai 7000 jamaah. Dia juga menghitung terdapat sekitar 300 guru sekolah umum.

Dinasti Kalbiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Abu al-Futuh Yusuf ibn Abdullah (989-998). Para amir Kalbiyah hidup dalam istana-istana yang megah, dan membangun kastil-kastil yang indah di kota-kota yang sedang berkembang. Pada puncak kejayaan ini, kegiatan intelektual mengalami perkembangan pesat bersamaan dengan kemajuan intelektual dinasti Fatimiyah.

Terdapat beberapa lembaga pendidikan Islam terkemuka pada masa itu, salah satunya Universitas Balerm, sebuah perguruan tinggi Islam terkemuka di kota Palermo. Sekolah-sekolah di wilayah Sisilia dilengkapi dengan asrama  siswa, dan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan banyak pemuda dari berbagai penjuru dunia menimba ilmu di sekolah, dan Universitas Sisilia.

Ibnu Jubair yang dalam perjalanannya ke Sisilia, memberikan gambaran bagaimana kemajuan peradaban Islam di Sisilia. Dalam buku perjalanannya, Ibnu Jubair menggambarkan kemajuan pesat Palermo, ibu kota Sisilia. “Palermo adalah sebuah kepulauan metropolis yang mengkombinasikan kekayaan, dan kemuliaan. Sebuah kota kuno yang elegan.”

Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar masyarakat Sisilia. Ibnu Jubair menyaksikan orang-orang di sana berbicara menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Selain memajukan kegiatan intelektual, dinasti Kalbiyah juga memajukan sistem pertanian, dan industri masyarakat Sisilia. Di sektor pertanian buah jeruk merupakan komoditas utama pertanian Sisilia, dan ketika Islam menguasai Sisilia dikembangkanlah sistem saluran irigasi.

Kemajuan di sektor pertanian diikuti oleh sektor industri. Industri tektsil mengalami pertumbuhan yang luar biasa ketika masa dinasti Kalbiyah. Kemajuan di kedua sektor tersebut membuat masyarakat Sisilia merasakan kemakmuran yang luar biasa. Udovitch menjelaskan bahwa Sisilia pada akhir abad ke-10 telah menjadi pusat perdagangan di dunia Mediterania.

Berakhirnya Kekuasaan Umat Islam di Sisilia

Setelah mengalami masa kemakmuran yang luar biasa, rezim pemerintahan muslim di Sisilia harus berhenti. Runtuhnya rezim Kalbiyah disebabkan oleh perang sipil, dan campur tangan kekaisaran Bizantium, yang membantu penaklukan bangsa Norman atas kepulauan Sisilia. Penaklukkan ini dimulai dengan serangan atas kota Messina pada tahun 1060 oleh pangeran Roger, anak Tancred de Hauteville, dan diikuti dengan penaklukan kota Palermo tahun 1071, dan Siracuse tahun 1085. Pada tahun 1091, pasukan Norman telah berhasil menguasai wilyah-wilayah pulau Sisilia.

Namun, meskipun penguasa Sisilia telah beralih ke tangan bangsa Norman, ternyata kebudayaan Islam masih eksis dalam pemerintahan, dan masyarakat Sisilia. Ini menandakan betapa kuatnya pengaruh kebudayaan Islam di Sisilia. Roger I, menyerap semangat infaterinya dari umat Islam, melindungi para cendikiawan muslim, memberi kebebasan penuh kepada masyarakat non-Kristen untuk menjalankan ibadah mereka. Secara umum penguasa Norman mempertahankan sistem administrasi terdahulu, dan mempekerjakan para pejabat tinggi muslim. Bahkan istana dan bangunan bangsa Norman sendiri lebih bernuansa ketimuran.

islam di sisilia
Arsitektur Islam masih kental di bangunan Norman

Selain sistem administrasi politik, militer, dan perpajakan, masih banyak praktik-praktik pengelolaan negara yang meniru model pemerintahan Islam. Praktik yang meniru Islam ini terus bertahan hingga masa Frederick II, seorang raja yang sangat mengenal, dan akrab dengan kondisi internal, dan sistem administrasi negara-negara Islam. Dia memiliki keinginan kuat untuk menghancurkan secara total bentuk negara feodal, yaitu dengan cara yang sampai saat itu dikenal di Barat. Dia memberikan perhatian besar pada pembangunan sistem administrasi politik, dan peradilan. Dalam sektor pajak, dia menarik pajak, dan mendistribusikannya dengan kebiasaan Islam. Frederick II mengakomodir berbagai tradisi intelektual tanpa memandang asal-muasalnya.

Tidak dapat dipungkiri kemajuan intelektual di Sisilia seakan menjadi magnet bagi sarjana-sarjana Eropa untuk menuntut ilmu. Bangsa Eropa yang pada masa itu sedang mengalami masa kegelapan, seakan mendapatkan pencerahan dengan munculnya ilmu-ilmu yang dibawa sarjana-sarjana muslim. Salah satu sarjana Barat yang terpukau dengan kemajuan keilmuwan muslim adalah Michael Scot. Dia membuat ringkasan karya-karya Aristoteles tentang biologi dan zoologi dalam bahasa latin yang ia terjemahkan dari bahasa Arab, disertai komentar dari Ibnu Sina. Berawal dari Scot ini lah, makin banyak sarjana-sarjana Barat yang mencoba menerjemahkan literatur-literatur berbahasa Arab ke Bahasa Latin. Masa ini menjadi awal sebelum dimulainya masa Renaisans Eropa, yang kerap luput dari perhatian sejarawan.

Demikian pemaparan peradaban Islam di Sisilia. Peradaban yang mempunyai arti penting bagi perkembangan sejarah umat manusia.

BIBLIOGRAFI

Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.

Hassan, Hassan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.

Hitti, Philip. K. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi.

Lewis, Bernard. 1966. The Arabs in History. New York: Harper Colophon Books.

Makdisi, George Abraham. 2005. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Ui Press.

Ruslan, Heri, dkk. 2011. Menyusuri Kota Jejak Kejayaan Islam. Jakarta: Harian Republika.

Wat, W. Montgoery. 1995. Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *