Pada abad ke-14, pemerintah Kekaisaran Turki Utsmani membentuk infanteri elit, terdiri atas para budak yang dikenal sebagai Janissari (pasukan baru). Pasukan ini berbeda dengan pasukan kesatuan tradisional yang biasanya merekrut prajurit dari orang-orang merdeka.
Calon-calon pasukan Janisari berasal dari 20% anak muda dari wilayah taklukkan Utsmani, khususnya dari Balkan Kristen. Pada perkembangannya ketika pengaruh pasukan ini semakin kuat, mereka mulai melancarkan konspirasi-konspirasi yang membahayakan kesultanan Utsmani.
Pembentukan Pasukan Janissari
Janissari dibentuk sekitar tahun 1330 M atas prakarsa Alauddin, saudara sulung Orkhan (sultan kedua Utsmani yang memerintah antara tahun 1324-1360 M. Pada awal pembentukannya, anggota Jannisari adalah pemuda-pemuda bukan muslim di daerah taklukan Utsmani khususnya daerah Balkan.
Seluruh anak muda devsirme itu dimasukkan ke dalam sistem pendidikan yang keras. Setiap individu menerima identitas muslim. Selain itu, mereka juga diharuskan mempelajari bahasa Turki, ketrampilan berperang, dan kepemimpinan.
Dalam perkembangan selanjutnya, anggotanya juga diambil dari pemuda-pemuda Yahudi dan Islam. Mereka yang terpilih dibawa ke Istanbul, kemudian dimasukkan ke dalam asrama pelatihan. Di asrama tersebut mereka diajarkan doktrin-doktrin kesetiaan kepada kerajaan serta fanatisme terhadap sultan, dan diajarkan pula tentang Islam dan latihan kemiliteran yang sangat keras.
Tujuan pembentukan Janissari adalah untuk memenuhi keperluan pasukan infantri guna menghadapi Kerajaan Byzantium. Untuk menjamin kesetiaan anggotanya, kelompok ini dididik menjadi orang Islam sejak masa muda.
Perekrutan Pasukan Janissari
Setiap empat-lima tahun, para komandan tentara berkunjung ke Distrik Balkan untuk melaksanakan program wajib militer bagi pemuda Kristen yang berusia di antara 10-15 tahun. Remaja-remaja dari Yunani, Macedonia, Albania, Serbia, Bosnia, Herzegovina, dan Bulgaria tersebut dibawa ke Edirne.
Sebagai budak sultan, mereka dibagi dan menjadi milik para pejabat Istana, penguasa daerah Asia Kecil, dan Sultan sendiri. Setelah bertahun-tahun tumbuh sebagai budak di lingkungan penguasa, mereka kemudian dimasukkan ke barak militer untuk dilatih.
Selesai dari pelatihan, mereka selanjutnya ditempatkan sebagai petugas dan pengawal istana. Sementara mereka yang lulus dengan nilai di atas rata-rata dimasukkan ke sekolah atau pendidikan para pengeran.
Sesudah selesai dari pendidikan para pangeran, mereka mendapat kesempatan untuk menduduki posisi dan jabatan di kerajaan. Kendati pada awalnya mereka ditugaskan sebagai tentara-tentara dalam peperangan, mereka umumnya memegang posisi penting.
Sultan sangat bergantung kepada kesetiaan Janissari. Pasukan elit ini bertanggung jawab menegakkan hukum sultan di provinsi-provinsi dan menjaga perdamaian antara muslim dan non muslim.
Sultan Murad II tercatat sebagai penguasa yang melakukan pengembangan lebih lanjut terhadap pasukan elite tersebut . Pada masa Sultan Salim I, Jannisari memasuki fase kejayaannya dalam sejarah. Pasukan ini digunakan Salim untuk mempertahan kekuasaannya baik dari luar atau pun internal.
Pada tahun 1581, ketika para anggota Jannisari diizinkan menikah, Janissari secara alami menjadi sesuatu yang diwariskan turun temurun.
Konspirasi Janissari
Pada pertengahan abad ke-17 M, ketika perluasa politik Utsmani terhenti dan pemerintah pusat melemah, kendali keamanan atas wilayah-wilayah imperium berangsur-angsur jatuh ke tangan Janissari.
Mereka mulai ikut serta dalam politik setempat, bergabung dengan serikat kerja, bekerja sama dengan ulama lokal, dan menggeluti bisnis. Setelah 1640 M., pembudakan atas anak-anak muda Kristen terhenti, sehingga secara otomatis Janissari baru diambil dari keturunan mereka sendiri atau orang-orang merdeka. Sejak saat itu Janisari menjadi sebuah status istimewa dan terpandang di kalangan Utsmani.
Ketika jumlah mereka bertambah, masalah upah (sering ditunggak karena melemahnya perekonomian) mendorong mereka untuk memberontak, bahkan terhadap para sultan.
Pada masa itu, Janissari menguasai situasi politik, sehingga sering kali memveto kebikjasanaan kerajaan yang tidak mereka setujui, bahkan memaksakan pengaruh besar di lingkungan politik.
Tidak jarang mereka mendikte pergantian perdana menteri, atau mempertahankan kedudukan seorang pejabat tinggi. Kekuatan politik Janisari pun menyebabkan praktik suap dalam pemilihan pejabat istana tidak terhindarkan.
Posisi Janissari semakin kuat karena dukungan spiritual dari Tareka Bektasyi, salah satu tarekat tertua dan terbesar di kalangan masyarakat Turki. Tidak sedikit dari kalangan Janissari menjadi anggota tarekat tersebut.
Selain itu, Janisari juga menjalin kerjasama dengan para ulama lokal yang khawatir terhadap usaha-usaha pembaharuan di kerajaan. Salah satu contohnya, adalah usaha Sultan Salim III yang ingin melakukan pembaharuan, di antaranya militer. Sebelumnya usahanya berhasil, ia telah dijatuhkan dan dibunuh oleh Janissari.
Pembubaran Janissari
Pada masa Sultan Mustafa IV, berlangsung pemberontakan hebat yang dilakukan oleh Jannisari. Pemberontakan tersebut membantai seluruh keluarga kerajaan, termasuk sultan. Pada pemberontakan ini Mahmud II sempat meloloskan diri dan kemudian berhasil naik takhta. Dalam pemerintahannya, Sultan Mahmud II memprioritaskan pada usaha pembentukan satu korps tentara baru yang disebut Muallem Eshkinji.
Pada tahun 1826, Janissari yang tidak senang dengan pembentukan korps tentara baru itu, mengadakan pemberontakan selama beberapa hari. Di sisi lain, Sultan melakukan perlawanan dengan dahsyat sambil membujuk ulama agar mau mendukung gerakan pembasmian Jannisari.
Baca juga: Gerakan Pembaharuan Turki Utsmani
Atas restu Mufti Besar Kerajaan Utsmani, Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah untuk mengepung dan selanjutnya menghancurkan Jannisari. Markas mereka dihancurkan oleh pasukan yang setia, panji-panji perang mereka diangkat, dan dalam suasana perpecahan anggota-anggota Janissari yang masih melawan dibunuh.
Sementara itu, Tarekat Bektasyi yang selama ini menjadi mitra setia Janissari dibubarkan. Pengaruh pasukan elit ini punah tanpa sisa pada tahun 1831, setelah Sultan Mahmud II menghapus sistem feudal, suatu peraturan mengenai penguasaan tanah yang selama ini hanya menguntungkan pihak Janissari. Pembubaran Janissari dianggap sebagai peristiwa yangi sangat penting bagi perkembangan Utsmani, karena menjadi salah satu penanda awal bagi modernisasi Utsmani.
BIBLIOGRAFI
Esposito, John L. 2001. Dunia Islam Modern: Ensiklopedi Oxford. Bandung: Mizan.
Nicolle, David. 1995. The Janissary. London: Reed International Books.
Ridwan, Kafrawi. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.