Sejarah Kesultanan Banten

Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia mempunyai bagian penting di dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Kerajaan Islam menjadi salah satu bagian pendukung dalam penyebaran Islam di Nusantara, karena dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga membawa dampak yang sangat nyata dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia sendiri.  Salah satu kerajaan/kesultanan yang cukup menonjol pengaruhnya dalam perkembangan Islam di tanah jawa adalah Kesultanan Banten.

Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang terletak di wilayah pesisir barat pulau Jawa. Pada awalnya Banten merupakan bagian dari kerajaan Sunda. Sebelum akhirnya pada tahun 1525, Sultan Trenggono mengutus Nurullah atau Syarif Hidayatullah, untuk menaklukan kawasan Banten ini. Tidak hanya untuk memperluas wilayah Demak tetapi Syarif Hidayatullah juga mempunyai misi untuk penyebaran agama Islam.

Setelah Islam berkembang di wilayah banten, wilayah banten yang pada awalnya hanya sebuah kadipaten bagian wilayah bagian Demak. Seiring berjalannya waktu berubah menjadi Negara bagian Demak. Hingga pada akhirnya menjadi suatu kesultanan yang merdeka dan independent, setelah kerajaan Demak runtuh akibat kekalahan dari kerajaan Pajang.

Akan tetapi seperti kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya yang mengalami kemunduran setelah masa keemasannya. Hal ini juga dialami oleh kerajaan Banten, faktor yang paling berpengaruh dalam kemunduran Kesultanan Banten adalah karena mulai masuknya bangsa-bangsa eropa untuk menjajah dan menanamkan pengaruhnya di Nusantara. Selain karena faktor penjajahan bangsa eropa, faktor perang saudara  juga mempunyai andil dalam kemunduran Kesultanan Banten ini.

Awal Berdirinya Kesultanan Banten

 kesultanan bantenSebelum tahun 1400an wilayah Banten boleh dikatakan sebagai wilayah yang sepi dari perdagangan. Hal ini dapat dipahami karena Selat Sunda pada waktu itu berada diluar jalur pelayaran dan perdagangan. Laut Jawalah yang lebih berperan sebagai jalur penghubung perlayaran dan perdagangan. Menjelang datangnya Islam peranan Banten mulai agak berarti, Banten yang saat itu masih dalam kekuasaan pajaran berperan sebagai pelabuhan lada. Kedudukannya menempati urutan kedua setelah Sunda Kelapa.

Portugis sangat berkempentingan dengan kedua pelabuhan lada di Sunda itu. Sebaliknya kerajaan Pajajaran pun memandang Portugis akan dapat membantunya dalam menghadapi orang Islam yang di Jawa Tengah telah berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja bawahan maharaja Majapahit. Karenanya pada 1522 Raja Pajajaran yang mengambil gelar Samiam (Sang Hyang atau Sang Dewa) bersedia mengadakan perjanjian persahabatan dengan Portugis yang diwakili oleh Palnglima Henrique Leme.

Namun sebelum orang-orang portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian yang menguntungkan mereka, yaitu mendirikan pos perdaganan, kedua pelabuhan Pajajaran itu telah diduduki oleh orang-orang Islam Nurullah atau Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati telah berhasil menduduki Banten beberapa tahun sesudah 1522 dan pada tahun 1527 berhasil merebut Bandar Sunda kelapa.

Nurullah sendiri datang ke Banten pada tahun 1525 atau 1526 atas perintah dari Sultan Demak saat itu yaitu Sultan Trenggono. Kedatangannya, di Jawa bagian barat itu membawa misi menyebarkan Islam, dan memperluas wilayah kekuasaaan Demak. Menurut cerita Jawa-Banten, sesudah sampai di Banten, ia segera berhasil meningkirkan bupati Sunda disitu untuk mengambil pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dalam hal itu ia mendapat bantuan militer dari Demak.

Langkah berikutnya untuk mengislamkan Jawa Barat ialah menduduki kota pelabuhan yang sudah tua, Sunda Kelapa, kira-kira tahun 1527. Perebutan kota yang sangat penting bagi perdagangan kerajaan Padjajaran ini berlangsung cukup sengit, karena letaknya tidak telalu jauh dari pusat kerajaan di Pakuan (Bogor). Sebagai tanda kota ini penting bagi masa depan Agama Islam, maka kota itu diberi nama Jayakarta. Orang Portugis yang tidak tahu kota itu telah diduduki orang-orang Islam, datang pada tahun 1527 untuk mendirikan pos perdagangan sebagai realisasi perjanjian dengan Sang Hyang pada tahun 1522 mendapat perlawanan bersenjata.

kesultanan banten
Sunan Gunung Jati

Sebagai tanda penghargaan atas hasil yang dicapai oleh penguasa baru Banten, Sunan Gunung Jati, pada 1528-1529 Sultan Trenggana menghadiahkan sepucuk meriam besa buatan Demak yang dibubui dengan anja tahun itu juga. Meriam ini dinamakan Para Banya yang kemudian hari selalu disebut Ki Jimat.

Sunan Gunung Jati sesudah mengusai Banten dan Jayakarta rupanya tidak berusaha menyerang ibu kota Pajajaran, Pakuan. Bahkan ia tinggal di Banten hanya sampai 1552. Ini disebabkan puteranya Pangeran Pasareyan yang dijadikan sebagai wakilnya di Cirebon meninggal, semenjak itu Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon untuk selama-lamanya dan menyerahkan Banten kepada putera keduanya Hasanuddin.

Hasanuddin diangkat dan dipandang sebagai Raja Banten yang pertama. Dalam tradisi Banten memang Hasanuddin dianggap sebagai pendiri dinasti sultan-sultan Banten, bukannya Sunan Gunung Jati. Dua alasan mungkin menjadi penyebabnya. Pertama, Sunan Gunung Jati tidak lama berkedudukan di Banten dan Kedua, selama masa pemerintahan Sunan Gunung Jati di Banten, kedudukan Banten masih terikat oleh Demak dan Hasanuddin lah yang mulai melepaskan diri dari segala ikatan Demak, sejak sekitar tahun 1568 saat Demak mengalami kekacauan.

Perkembangan Kesultanan Banten

  1. Maulana Hasanuddin

Hasanuddin penguasa kedua Banten,  melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan pengaruh Islam di tanah Banten. Banyak tindakan progresif yang ia lakukan dalam rangka memberikan arah terhadap kesultanan yang baru muncul tersebut. Masjid agung Banten, dan sarana pendidikan berupa pesantren di Kasunyatan merupakan karya nyata yang monumentalnya terhadap generasi penerusnya.

Dalam hal perluasan wilayah kerajaan dan menyebarkan agama Islam, sultan Hasanuddin memperluas wilayahnya ke Lampung dan daerah-daerah disekitarnya di Sumatera selatan. Daerah-daerah taklukan pada Maulana Hasanuddin ini ternyata adalah daerah penghasil utama merica. Perdagangan merica itu membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting, yang disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari Cina, India, dan Eropa.

Hasanuddin memperbesar dan memperindah kota pelabuhan Banten yang diberinya nama Sura-Saji (Surosuwan). Kota ini lebih penting kedudukannya dibanding kota lama Banten Girang. Pada tahun 1570 M sultan pertama Banten itu wafat dan digantikan putra sulungnya, Pangeran Yusuf. Setelah meninggal Maulana Hasanuddin terkenal dengan nama anumerta “Pangeran Saba Kingking”.

  1. Maulana Yusuf

Periode pemerintahan Pangeran Yusuf, kharisma Banten naik selangkah lebih tinggi dari sebelumnya. Proses Islamisasi pun nampak bertambah sempurna. Seluruh wilayah Banten, baik di pusat kota Banten Girang, Banten Surosuwan maupun daerah selatan telah mengikuti agama Islam.

Pesantren Kasunyatan yang telah dirintis oleh Sultan Hasanuddin dikembangkannya secara intensif sehingga mampu mengorbitkan kader-kader agama yang handal dan bertanggungjawab. Pada masa ini Masjid Agung Banten bukan saja sebagai saran ibadah mahdah tetapi juga difungsikan sebagai tempat dakwah dan diskusi problematika agama, bagi ulama-ulama saat itu.

Sultan Maulana Yusuf merupakan Sultan yang giat dalam perluasan wilayah. Maulana Yusuf dikenal sebagai penguasa yang gagah perkasa dan memiliki ketrampilan istimewa dalam berperang. Dengan bantuan prajurit dan tokoh agama Maulana Yusuf menyerang Pajajaran, hasilnya pada 1579 Pakuan, ibu kota Pajajaran berhasil direbut oleh kerajaan Banten. Penyerangan ini dilakukan pada waktu panembahan Yusuf sudah 9 tahun memerintah.

Setelah berhasil merebut Pakuan, Panembahan Yusuf mulai membangun Banten Surosowan sebagai ibu kotanya yang baru. Pada tahun 1980 tepatnya satu tahun setelah pelah penaklukan Pakuwan, Maulana Yusuf meninggal dan dikenang dengan nama Pangeran Pasareyan.[9] Dan meninggalkan pewaris tahta yang baru berusia 9 tahun.

  1. Maulana Muhammad

Pengganti Maulana Yusuf ialah putranya Maulana Muhammad. Akan tetapi karena Malulana Muhammad masih berumur 9 tahun. Selama Maulana masih di bawah umur kekuasaan pemerintahan dipegang oleh seorang mangkubumi. Sebelum Maulana beranjak dewasa, terjadi peperangan antara Banten dengan Jepara.

Pangeran Aria Jepara (adik Maulana Yusuf yang diasuh dan menggantikan Ratu Kalimanyat) datang di Banten dan menuntut diakui sebagai pewaris tahta kerajaan Banten. Pangeran Jepara yang datang melalui laut membawa pasukan bersenjata untuk mengakuisisi kekuasaan, namun sesampainya disana ternyata penobatan Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten, telah dilakukan, hal ini membuat Pangeran Jepara naik pitam, sehingga perang tidak bisa dihindarkan. Dalam peperangan ini Demang Laksamana Jepara gugur, yang menyebabkan Pangeran Aria Jepara mengurungkan niatnya dan kembali ke Jepara.[10]

Setelah Maulana Muhammad dewasa ia terkenal sebagai orang yang shalih dan memiliki gairah yang kuat untuk menyebarluaskan Islam, ia banyak mengarang kitab  serta membangun sarana ibadah sampe ke pelosok desa. Walaupun kemajuan yang diperoleh Maulana Muhammad tidak setinggi ayahnya, tapi ada peristiwa yang menonjol pada masanya, yaitu ekspansi ke Palembang.

Palembang pada masa itu sangat maju dibawah kekuasaan Ki Gede Ing Suro. Pada saat ekspansi tersebut, hampir saja Palembang dapat dikuasai, namun pada saat kemenangan hampir diraih, Sultan Banten gugur terkena peluru. Maka serangan terpaksa dihentikan, dan tentara kembali pulang. Maulana Muhammad yang gugur pada usia relatif muda, karena baru bertahta 5 bulan.[11]

  1. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir

Sultan Abdul Mufhakir dinobatkan ketika ia masih balita, maka untuk yang kedua kalinya kesultanan Banten diserahkan kuasanya kepada Mangkubumi Jayanegara, ia termasuk abdi yang mempunyai loyalitas tinggi, sehingga Banten tetap dalam kondisi stabil.

Akan tetapi semenjak Mangkubumi Jayanegara wafat tahun 1602, otomatis jabatan Mangkubumi menjadi incaran, banyak pangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi itu.[12]Mangkubumi pengganti Jayanegara, membuat kebijakan yang sangat terbuka dengan hubungannya dengan bangsa Barat. Hal ini menyebabkan kecurigaan dan iri hati beberapa pangeran lain, sehingga pengkhianatan pun banyak terjadi dimana-mana. Aksi pengkhianatan ini berhasil melumpuhkan Mangkubumi dan membunuhnya.

Aksi pemberontakan baru bisa diredam berkat kerja sama antara pasukan Sultan, pasukan Pangeran Ranumganggala,dan bantuan Pangeran Jayakarta, sehingga pemberontakan tersebut berhasil ditumpas. Sebagai pengganti jabatan Mangkubumi diangkatlah Pangeran Arya Ranumanggala.

Setelah menjabat sebagai Mangkubumi ia segera mengadakan penertiban-penertiban, baik keamanan dalam negeri maupun merekontruksi kebikjasanaan Mangkubumi sebelumnya terhadap pedagang-pedagang Eropa. Pajak ditingkatkan terutama untuk kompeni, tindakan ini dilakukan agar para pedagang asing pergi dari Banten. Karena ia sudah mengetahui maksud lain mereka selain berniaga mereka juga ingin mencampuri urusan dalam negeri.

Tindakan tegas Arya Ranumanggala ini memaksa kompeni untuk memalingkan orientasi niaganya ke Jayakarta. Di Jayakarta mereka disambut ramah Pangeran Wijayakrama, ia berdalih kedatangan mereka mampu meramaikan perlabuhan Sunda Kelapa.

Melihat hubungan erat Pangeran Jayakarta dengan Kompeni membuat Mangkubumi Arya terusik. Sebagai pemegang kendali Banten yang membawahi Jayakarta, ia mengutus Pangeran Upatih untuk menghancurkan benteng-benteng asing yang ada di kawasan Banten. Dalam upaya ini orang-orang Inggris dapat didesak hingga kembali ke kapal, pasukan juga dapat mendesak Belanda, akan tetapi Belanda tetap defensif dan tidak mau menyerah, hingga bantuan dari Maluku tiba.

Setelah bantuan datang (dipimpin J.P. Coon) pada bulan maret 1619 kepungan banten tak ada artinya lagi dan mereka kembali dengan membawa kekecewaan. Saat itulah secara resmi Jayakarta dikuasai oleh Kompeni dan dirubah namanya menjadi Batavia.[13]

Sejak peristiwa itu kontak senjata antara Banten dengan kompeni agak tenang, walaupun secara kecil-kescilan masih tetap berlanjut. Hal ini disebabkan oleh faktor intern istana, peralihan kekuasaan dari Mangkubumi Arya kepada Sultan Abdul Mufakhir yang sudah menjadi dewasa, serta adanya usaha Mataram untuk mengambil alih Banten melalui perantaraan Cirebon (1650).[14]

Pada masa Sultan Abdul Mufakhir inilah penguasa Banten yang bergelar sultan, ia juga dikenal sebagai pribadi yang menentang VOC, ia menolak keinginan Belanda untuk memonopoli perdagangan. Kemudian terjadi konflik  akibat hal tersebut, VOC memblokade jalur ke pelabuhan Banten sehingga terjadi perang pada november 1633, perang berakhir dengan perjanjian damai kedua pihak. Meskipun setelahnya masih muncul ketegangan-ketegangan kedua belah pihak.[15]

  1. Sultan Ageng Tirtayasa

kesultanan banten

Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun 1651. Banten mengalami perkembangan pesat semenjak diperintah Sultan Ageng Tirtayasa, baik di bidang politik, sosial budaya, dan terutama perekonomiannya.

Hubungan dagang dengan Perisa, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan China cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia.[16] Pada masa ini juga dibangun sebuah sistem pengairan besar, yang mana ini bertujuan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30km dan 40km kanal dibangun untuk pengairann 40 ribu hektar lahan sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa.[17]

Sebagai seorang yang taat dalam beragama ia sangat antipati kepada Belanda. Penyerangan secara gerilya beliau lancarkan melalui darat dan laut untjuk mematahkan pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi teror dan sabotase yang diarahkan ke kapal-kapal dagang sangat membahayakan Belanda. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya Banten dalam suasanan aman dan tentram dibawah kekuasaan Sulten Ageng Tirtayasa.

Akan tetapi, ketentraman itu berbah setelah putranya sulungnya, Sultan Haji kembali dari tanah suci (1676) sebab ia lebih berpihak terhadap Belanda ketimbang orang-orang yang dekat dengan ayahnya. Sultan Haji yang ditunjuk membantu urusan dalam negeri, malah berkompromi dengan Kompeni untuk menghancurkan ayahnya sendiri.

Pada tahun1681, Sultan Ageng Tirtayasa benar-benar mengalami kesulitan sebab putranya melakukan kudeta ke istana dengan bantuan pasukan VOC dari Batavia. Akhirnya, karena dirasa sulit untuk meluruskan jalan pemikiran anaknya yang sudah terseret rayuan kompeni. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya memutuskan hijrah ke Tirtayasa dan membentuk front disana beserta pengikut setianya. Keadaan ini adalah hasil nyata keberhasilan politik adu domba Belanda.[18]

Meskipun harus berhadapan dengan putranya sendiri, ia tetap tegar pada pendiriannya. Front bentukan Sultan Ageng Tirtayasa ini terus melancarkan serangan kepada Belanda yang pengaruhnya di istana Surosowan semakin kuat. Pada 27 februari 1682 istana Surosuwan diserbu, dan berhasil diduduki untuk sementara waktu, akan tetapi berkat bantuan Belanda Sultan Haji berhasil mempertahankan kekuasaanya.[19]

Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa baru berhenti setelah ia ditangkap dan dipenjarakan oleh Kompeni sampai wafatnya tahun 1692. Dengan ditanda tanganinya perjanjian antara Kompeni dan Sultan haji pada agustus 1682, maka kekuasaan mutlak sultan atas daerahnya berakhir. status Sultan di sini hanya sebagai simbol boneka pemerintahan Belanda.[20] Sehingga pada perkembangan kerajaan Banten, hal ini terus berlanjut hingga runtuhnya kesultanan tersebut.

  PENUTUP

  •  Kesimpulan

 Dari pemaparan pembahasan di atas mengenai perkembangan Kerajaan Banten, kita bisa menarik beberapa point penting dalam perkembangan Kerajaan tersebut. Di sini kami membagi perkembangan Kerajaan Banten menjadi 5 fase. Fase pertama ialah fase perintisan/, fase ini dimulai dari penaklukan Banten dan Bandar Sunda Kelapa yang saat itu masih masuk sebagai wilayah Pajajaran, oleh Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon kekuasaan diserahkan ke anaknya Hasanuddin. Yang mendeklerasikan Kerajaan Banten sebagai Kerajaan independent bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Demak.

Kemudian fase kedua yaitu fase perkembangan. Pada masa Maulana Yusuf Banten berkembang dengan pesat, Seluruh wilayah Banten sudah mengikuti Islam. Semakin berkembangnya Pesantren Kasunyatan dan Masjid Agung Banten sebagai sarana pendidikan dan dakwah. Moment yang luar biasa pada masa Maulana Muhammad ialah keberhasilannya menaklukan Pakuan ibu kota Pajajaran Saat itu dengan bantuan para Ulama.

Setelah itu masuk ke fase ketiga yaitu fase krisis politik. Pada masa ini terjadi peperangan antara pasukan Pangeran Jepara yang menginginkan kekuasaan Banten, karena putra Maulana Yusuf yang masih 9 tahun. Selain perang Banten melawan pangeran Jepara, juga terjadi perebutan jabatan Mangkubumi yang menyebabkan pemberontakan disana-sini. Pada fase keempat ini juga Jayakarta berhasil dikuasai Belanda.

Kemudian Fase ke empat, fase ini dinamakan fase kejayaan. Naik tahtanya Sultan Ageng Tirtayasa membawa perubahan di Banten, langkah awalnya ialah membenahi dan menertibkan aparatur pemerintahan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai sosok anti asing, dapat dilihat beliau begitu getolnya melancarkan perlawanan-perlawanan gerilya terhadap Belanda, hal ini ditunjukan agar Belanda keluar dari wilayah Banten. Pada masa ini Perdagangan sangat berkembang pesat.

Fase terakhir ialah fase lepasnya kesultanan Banten ke tangan Belanda. Fase ini dimulai ketika Sultan Haji putra Sultan Tirtayasa kembali dari tanah suci (1676). Sultan Haji dikenal lebih berpihak terhadap Belanda ketimbang ayahnya sendiri. Arah politik Banten pun dibelokkan Sultan Haji dan malah bekerjasama dengan VOC untuk mengkudeta ayahnya sendiri, hingga akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan hijrah ke Tirtayasa dan membentuk front untuk melakukan penyerangan ke Wilayah dudukan Belanda. Perlawan ini mulai surut dengan tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa. Dan dengan disepakatinya perjanjian antara Sultan Haji dan Belanda, maka kekuasaan mutlak Banten diambil alih oleh Belanda, kesultanan sendiri hanya simbol boneka belaka.

Daftar Pustaka

Daliman, A. Islamisasi dan Perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta:  Ombak. 2012M

de Graaf dan Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Perama di Jawa. Jakarta: Pustaka Grafitipers. 1974M

Yahya, Harun. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVVII. Yogyakarta: PT.Kurnia Kalam Sejahtera. 1995M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *