Pada abad ke-19, ketika pemerintahan Dinasti Qing tengah mengalami kemunduran, terjadi tiga pemberontakan besar yang dilakukan oleh muslim Cina. Ketiga pemberontakan muslim Cina itu disebabkan oleh masalah ekonomi, etnis, dan agama. Pemberontakan tersebut sempat membuat pemerintah Dinasti Qing kewalahan, hingga akhirnya mereka harus berjuang mati-matian untuk memadamkan pemberontakan. Di sisi lain muslim menerima konsekuensi berat dari pemberontakan yang terjadi.
Pemberontakan Panthay
Pemberontakan muslim pertama kali di wilayah Cina adalah pemberontakan di Yunnan, yang dikenal di Barat dengan nama Pemberontakan Panthay (1856-1873). Pemberontakan yang juga dikenal orang Tionghoa sebagai Pemberontakan Du Wenxiu, adalah pemberontakan muslim Hui (kelompok etnis Tionghoa, yang sebagian besar terdiri dari penganut agama Islam dan ditemukan di seluruh China. Pada umumnya mereka terkonsentrasi di provinsi-provinsi barat laut negara ini dan Zhongyuan.), dan etnis minoritas muslimnya lainnya melawan penguasa Manchu, Dinasti Qing.
Istilah panthay berasal dari kosa kata Burma untuk menyebut “muslim.” Antara 20-30 persen populasi Yunnan, yang terletak di Cina barat daya, beragama Islam. Penduduk muslim tersebut merupakan keturunan dari pasukan muslim Asia Tengah yang dikirim oleh Kubilai Khan untuk menduduki daerah tersebut pada abad ke-13.
Mereka didiskriminasi oleh mayoritas non-muslim dan pejabat Manchu setempat karena gaya hidup mereka yang berbeda. Perselisihan mengenai hak penambangan menyebabkan pemberontakan pada tahun 1855 di bawah pimpinan Du Wenxiu. Selain memulai memimpin pemberontakan, ia juga memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Sulieman dari sebuah kerajaan muslim dengan ibu kota di Dali (Tali).
Namun, kekuasaan Kesultanan mengalami kemunduran setelah tahun 1868. Semntara itu, Pemerintah Imperial China telah berhasil memulihkan dirinya.
Pada 1871, pemerintah QIng mengarahkan sebuah kampanye militer untuk menghancurkan muslim Hui di Yunnan. Kesultanan terbukti tidak stabil begitu pemerintah Kekaisaran membuat serangan terhadapnya.
Kota demi kota jatuh di bawah serangan terorganisir dengan baik dari pasukan kekaisaran. Dali sendiri dikepung oleh pasukan kekaisaran. Sultan Sulayman (juga dieja Suleiman) mendapati dirinya terdesak di dalam dinding kerajaannya. Dengan putus asa, ia mencari bantuan dari luar, ia beralih ke Inggris untuk mendapatkan bantuan militer. Ia menyadari bahwa hanya intervensi militer Inggris yang bisa menyelamatkan Kesultanannya.
Sultan punya alasan untuk beralih ke Inggris. Otoritas Inggris di India dan Inggris Burma telah mengirim sebuah misi yang dipimpin oleh Mayor Sladen ke kota Tengyue di Yunnan sekarang pada bulan Mei-Juli 1868. Tujuan utama misi itu adalah menghidupkan kembali rute delegasi antara Bhamo dan Yunnan, sekaligus menghidupkan kembali perdagangan di perbatasan, yang telah hampir berhenti sejak tahun 1855, terutama karena pemberontakan muslim Yunnan.
Sultan ingin mengambil keuntungan dari hubungan persahabatan yang dihasilkan dari kunjungan Sladen. Untuk mempertahankan eksistensi Kesultanan Pingnan Guo, maka ia membutuhkan pengakuan formal dan bantuan militer dari Inggris.
Pada tahun 1872, Suleyman mengirim anak angkatnya Pangeran Hassan ke Inggris dengan surat pribadi kepada Ratu Victoria. Pengiriman Hasan semata-mata agar mendapatkan pengakuan resmi atas Kekaisaran Panthay sebagai kekuatan independen. Namun, Inggris menolak melakukan intervensi secara militer di Yunnan melawan Qing. Bagaimanapun, misi tersebut juga terlambat, karena ketika Hassan dan partainya berada di luar negeri, Dali direbut oleh pasukan Imperial pada bulan Januari 1873.
Pemerintah Imperial telah mengobarkan perang secara total melawan Kesultanan dengan bantuan ahli persenjataan Prancis. Pemberontak yang tidak mempunyai sekutu bukan tandingan untuk peralatan modern mereka. Jadi, dalam dua dekade kebangkitannya, kekuatan Panthay di Yunnan jatuh.
Melihat tidak ada jalan keluar dan tidak ada belas kasihan dari musuhnya yang tak kenal ampun, Sultan Sulayman mencoba bunuh diri sebelum direbutnya Dali. Namun, sebelum opium yang diminumnya berpengaruh penuh, dia dipenggal oleh musuh-musuhnya.
Pasukan Manchu kemudian memulai membantai pemberontak, membunuh ribuan warga sipil, mengirim telinga yang putus dengan kepala korban mereka.
Tubuh Suleyman dimakamkan di Xiadui di luar Dali. Sementara kepala Sultan diawetkan dalam madu dan dikirim ke istana di Peking sebagai saksi kemenangan Imperial Manchu Qing atas kaum Muslim Yunnan
Pemberontakan Dungan Shaanxi dan Gansu
Pemberontakan muslim kedua terjadi di Provinsi Shaanxi dan Gansu di barat laut Cina antara tahun 1862-1877. Perlawanan ini juga dikenal dengan nama Pemberontakan Dungan (Dungan adalah istilah untuk merujuk pada sekelompok orang muslim asal Tionghoa). Pemberontakan ini meletus setelah sekitar 14 juta muslim China di provinsi-provinsi ini menderita diskriminasi.
Pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1862, sebagai akibat dari serangan pemberontak Taiping ke Shaanxi. Saat pasukan Taiping mendekati Shaanxi tenggara pada musim semi tahun 1862, orang Cina Han setempat, yang didukung oleh pemerintah Qing, membentuk milisi Yong Ying untuk membela wilayah tersebut terhadap para penyerang. Takut Han yang sekarang bersenjata, kaum muslim membentuk unit milisi mereka sendiri sebagai respon.
Pemberontakan muslim sebenarnya bukan sebagai pemberontakan yang direncanakan, namun sebagai suksesi perkelahian dan kerusuhan lokal yang dipicu oleh sebab-sebab sepele.
Salah satu dari kerusuhan yang menyebabkan pemberontakan tersebut diprakarsai oleh sebuah perkelahian yang dipicu oleh harga tiang bambu yang dijual pedagang Han ke Hui. Banyak orang Hui dibantai do banyak desa ketika mereka menolak untuk menyetujui harga tersebut.
Setelah itu, massa Hui menyerang Han dan orang Hui lainnya yang tidak bergabung dengan mereka dalam pemberontakan. Perselisihan ini tampaknya sepele dan tidak penting mengenai tiang bambu yang memulai pemberontakan skala penuh.
Pejabat Manchu mencatat bahwa ada banyak Muslim non-pemberontak yang merupakan warga negara yang setia, dan memperingatkan pemerintah Qing bahwa membasmi semua muslim akan memaksa orang-orang yang setia untuk mendukung pemberontak dan membuat situasi semakin buruk.
Gubernur Jenderal daerah, En-lin, menasehati pemerintah Qing agar tidak mengasingkan umat Islam. Ia secara resmi menjelaskan bahwa tidak ada penganiayaan atau diskriminasi terhadap umat Islam, sehingga tidak diperlukan kebijakan rekonsiliasi.
Sementara itu, pemberontak muslim mencoba merebut Lingzhou (sekarang Lingwu) dan Guyuan dalam beberapa serangan. Serangan ini diakibatkan oleh desas-desus palsu yang disebarkan oleh beberapa muslim bahwa pemerintah akan membunuh seluruh umat Islam Cina.
Pada tahun 1867, pemerintah Qing mengirim salah satu komandannya yang paling cakap, Jenderal Zuo Zongtang—berperan penting dalam pemberontakan Taiping—ke Shaanxi. Pendekatan Zuo adalah untuk memadamkan pemberontakan wilayah tersebut sambil mempromosikan pertanian, terutama pertumbuhan kapas dan gandum, serta mendukung pendidikan Konghucu ortodoks. Kemiskinan ekstrem di kawasan ini memaksa Zuo harus bergantung pada dukungan finansial dari luar daerah. Zuo Zongtang meminta pemerintah untuk mendukung tentaranya di barat laut dengan sumber daya dari tenggara.
Zuo tidak dapat langsung menjalankan tugas ini sampai ia memadamkan Pemberontakan di Nian pada tahun 1868, dan kemudian ia menghabiskan enam tahun sebelum berhasil mengalahkan pemberontakan muslim di dua provinsi ini.
Pemberontakan Muslim Cina di Xinjiang
Pemberontakan muslim ketiga muncul di Xinjiang. Xinjiang terletak di bagian barat laut Cina dan merupakan pintu gerbang bersejarah menuju barat di sepanjang Jalan Sutra kuno.
Pada 1860-an, Xinjiang berada di bawah pemerintahan Qing selama satu abad. Daerah tersebut telah ditaklukkan pada akhir 1750-an dari Dzungar Khanate yang populasi intinya bernama, Oirats, kemudian menjadi sasaran genosida.
Namun, karena Xinjiang sebagian besar terdiri dari tanah semi-kering atau padang pasir, ini tidak menarik bagi pemukim Han kecuali beberapa pedagang, jadi orang lain seperti Uighur menetap di daerah tersebut.
Pada 1759 Xinjiang diperintah oleh seorang gubernur militer dari Ili, yang mendelegasikan kepala suku setempat untuk mengendalikan kaum muslim yang disebut orang-orang Uighur.
Dengan dimulainya pemberontakan di Gansu dan Shaanxi pada tahun 1862, rumor menyebar di antara Hui (Dungans) Xinjiang bahwa pihak berwenang Qing akan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Hui di Xinjiang, atau di komunitas tertentu. Pendapat mengenai kebenaran rumor ini beragam: sementara Kaisar Tongzhi menggambarkan mereka sebagai “tidak masuk akal” dalam dekritnya pada 25 September 1864, sejarawan muslim pada umumnya percaya bahwa pembantaian memang direncanakan, jika bukan oleh pemerintah kekaisaran maka oleh berbagai pemerintah daerah .
Dari rumor itu maka mulailah pemberontakan muslim Cina di sebagian besar kota Xinjiang. Seiring berjalannya waktu, orang-orang Turki lokal-Taranchis, Kyrgyzs, dan Kazakh ikut bergabung dalam keributan ini.
Letusan pertama pemberontakan di Xinjiang dimulai pada tanggal 17 Maret 1863. Sekitar 200 dungan dari desa Sandaohe (beberapa mil di sebelah barat Suiding), diduga diprovokasi oleh desas-desus tentang pembantaian muslim, menyerang Tarchi, salah satu dari Sembilan Benteng di Ili Basin.
Pemberontak mengambil senjata dari gudang senjata benteng tersebut dan membunuh tentara garnisunnya. Namun, mereka segera dikalahkan oleh pasukan pemerintah dari benteng lain dan mereka dibantai.
Pemberontakan pecah lagi pada tahun berikutnya. Kali ini, hampir bersamaan di ketiga daerah Xinjiang – dalam skala yang membuat pihak berwenang kewalahan.
Pemimpin pemberontakan yang paling berpengaruh di Xinjiang adalah Yakub Beg (1820-77). Ia adalah seorang petualang Khokandian, yang memimpin penyerangan muslim ke Xinjiang.
Disibukkan dengan pemberontakan di tempat lain, pemerintah Qing tidak dapat langsung merespon pemberontakan. Dengan demikian Yakub Beg menguasai bagian-bagian Xinjiang utara (Kashgaria) dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa. Sementara itu, Rusia yang bekerjasama dengan Yakub, memanfaatkan kekacauan Cina untuk menduduki wilayah Ili. Xinjiang menjadi bagian dari permainan besar antara Inggris Raya dan Rusia untuk menguasai Asia Tengah.
Pemerintah Qing memutuskan untuk merebut kembali Xinjiang pada akhir 1870-an. Zuo Zongtang, yang sebelumnya adalah seorang Jenderal di Angkatan Darat Xiang, menjadi komandan di semua pasukan Qing yang berpartisipasi dalam pemberontakan ini. Bawahannya adalah Jenderal Cina Han Liu Jintang dan Manchu Jin Shun.
Ketika Zuo Zongtang pindah ke Xinjiang untuk menghancurkan pemberontak muslim di bawah Yakub Beg, ia bergabung dengan Jenderal Dungan (Hui) , Ma Anliang dan Jenderal Dong Fuxiang. Pasukan Qing memasuki Ürümqi tanpa perlawanan. Bawahan Yaqub membelot ke Qing atau melarikan diri saat pasukannya mulai berantakan, dan oasis itu jatuh dengan mudah ke pasukan Qing.
Yakub Beg sendiri memilih untuk bunuh diri, dan Xinjiang kembali ke dalam kendali pemerintahan Qing. Rusia sendiri dipaksa untuk mengembalikan Ili ke China dalam Traktat St. Petersberg pada tahun 1881. Atas rekomendasi Zuo, Xinjiang menerima status provinsi dan sepenuhnya terintegrasi ke dalam Kekaisaran Qing.
Bibliografi
Dillon, Michael. 1999. China’s Muslim Hui Community: Migration, Settlement and Sects. Surrey: Curzon Press.
Mynt-U, Thant. 2006. The River of Lost Footsteps: A Personal Histories of Burma. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Kim, Hodong. 2004. Holy War in China: the muslim rebellion and state in chinese central asia, 1864–1877. Stanford: stanford university press.