Dinamika Minoritas Muslim menjadi salah satu pembahasan menarik di era sekarang. Perjuangan golongan minoritas ini selalu menghadirkan kajian yang berbeda dibanding tema sejarah pada umumnya. Pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba membahas minoritas muslim di Filipina, sebuah negara yang berdekatan dengan negara muslim terbesar di dunia, Indonesia.
Muslim di Filipina dikenal dengan sebutan orang-orang Moro. Berdasarkan sensus 2010, terdapat 5,127,084 muslim di Filipina atau sekitar 5,57% dari total populasi. Mereka tinggal di Pulau Mindanau dan Kepulauan Sulu. Orang-orang Moro jug dikelompokkan ke dalam dua belas kelompok suku bahasa, yang utama adalah Maranao, Maguindanao, Tausug, Samal dan Yakan. Bertani dan menangkap ikan adalah mata pencaharian utama mereka.
Sejarah Masuknya Islam di Filipina
Islam masuk ke Filipina melalui para pedagang dan dai muslim yang mengunjungi Sulu pada abad ke-13 sampai 14. Di antara dai yang paling terkenal pada masa awal ini adalah Syeikh Makhdum yang datang ke Sulu pada tahun 1380 M.
Segera setelah itu, petualang-petualang muslim dari wilayah Melayu menyusul dan mendirikan kesultanan di Sulu dan Mindanao.
Bangsa Spanyol pertama kali menginjakkan kaki di Filipina pada tanggal 16 Maret 1521 di Pulau Samar. Ekspedisi pertama itu dipimpin oleh Ferdinand Magelan. Ia menamai wilayah baru itu dengan “Philippine”, sebagai bentuk penghormatan terhadap Raja Philip II yang berkuasa di Spayol ketika itu.
Tujuan kedatangan bangsa Spanyol adalah untuk mendirikan koloni dan mengubah penduduk menjadi Kristen.
Kehadiran bangsa asing ini ditentang oleh tiga kesultanan muslim di Selatan: Sulu, Maguindanao, dan Bayan.
Bangsa Spanyol mampu menaklukkan Manila, sebuah kesultanan Islam yang diperintah oleh kerabat Sultan Brunei. Namun, mereka tidak mampu menaklukkan kesultanan-kesultanan Islam di selatan.
Dalam perkembangannya, penduduk taklukkan itu dijuluki indios oleh bangsa Spanyol, yang kemuddian mengidentitifikasi diri sebagai pemeluk Katolik dan menjadi warga Kerajaan Spanyol.
Sementara itu, umat Islam di daerah selatan, yang disebut Moro oleh bangsa Spayol (karena mereka mempunyai kepercayaan yang sama dengan orang-orang Moor Spanyol), tidak pernah merasa beridentitas sama dengan orang-orang Kristen.
Akibatnya, selama sekitar 300 tahun terjadi peperangan sporadis antara orang-orang Moro melawan Spanyol yang dibantu penduduk Filipina katolik.
Titik Balik Abad Modern
Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial Spanyol merubah kebijakan kristenisasinya di wilayah selatan Moro. Perubahan ini semata-mata agar wilayah itu tidak dicaplok oleh kekuatan Barat lainnya.
Kemunduran dalam produksi pertanian, kekacauan perdagangan maritim, kerusakan akibat perang dan isolasi wilayah secara perlahan-perlahan akhirnya memaksa sultan dan datu (panglima perang) kesultanan-kesultanan selatan untuk menerima perjanjian damai dengan dengan Spanyol. Meskipun sebenarnya perjanjian tersebut cenderung menjadikan wilayah selatan menjadi koloni.
Pada akhir abad ke-19, situasi di Filipina menjadi sangat rumit. Pada tahun 1896 dan 1898 terjadi Revolusi Filipina, yang menyebabkan Spanyol menarik pasukannya dari wilayah muslim, dan mengkonsentrasikannya di wilayah utara. Revolusi itu mendapat dukungan dari Amerika Serikat yang mulai mengganggu negara jajahan Spanyol di Karibia dan Pasifik Selatan.
Di tengah jalannya revolusi, pemimpin revolusioner Filipina meminta dukungan Moro untuk bersatu melawan Spanyol. Akan tetapi permintaan itu tidak digubris, karena umat Islam memandang baik Spanyol atau Kristen Filipina sebagai musuh tradisional mereka. Penolakan ini nantinya akan menimbulkan konflik saudara di masa depan.
Spanyol akhirnya angkat kaki dari Filipina, setelah menyerahkan kekuasaan atas wilayah itu kepada Amerika Serikat pasca-Perjanjian Paris 1898.
Superioritas militer Amerika memaksa para datu yang gigih untuk tunduk kepada kekuasaan AS. Di lain pihak, pejabat Amerika membiarkan Islam dan hukum adat Moro tidak tersentuh, asalkan tidak bertentangan dengan konstitusi AS.
Saat orang-orang Filipina mulai dilatih untuk memperisapkan pemerintahan sendiri menuju kemerdekaan, para sultan, datu dan pemimpin agama mengajukan petisi kepada para pejabat Amerika. Petisi itu berupa permintaan agar wilayah mereka tidak diikutkan pada negara merdeka yang direncanakan. Mereka menginginkan tetap menjadi negara berbeda dengan Filipina Kristen, bertahan dalam perlindungan AS, sampai mereka dapat mendirikan negara yang terpisah.
Ketika Republik Filipina didirikan pada 1946, orang-orang Moro dimasukkan ke dalam struktur politik tanpa adanya negosiasi terlebih dahulu. Hal ini tentu akan memunculkan masalah baru di Filipina.
Pada 1951, Komite Senat, yang mempelajari sebab-sebab pelanggaran hukum dan ketertiban di wilayah Moro, menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan situasi tersebut adalah karena kebanyakan orang Moro tidak mengidentifikasikan diri mereka dengan bangsa Filipina.
Di tengah ketidakjelasan nasib muslim Filipina, gerakan kesadaran Islam justru meningkat dan semakin tampak. Setiap tahun ratusan orang menunaikan ibadah haji dan kmebali ke masyarakat dengan prestise dan kesadaran agama yang meningkat.
Masjid-masjid dan madrasah baru didirikan, dengan bantuan dari organisasi-organisasi muslim luar. Di antaranya pemerintah Mesir yang menawarkan beasiswa bagi orang-orang Moro untuk belajar diUniversitas al-Azhar di Kairo. Guru-guru muslim dari luar negeri juga datangan untuk mengajar di wilayah Moro dalam beberapa tahun.
Mulai kuatnya gerakan kesadaran Islam di pendidikan juga memunculkan rasa bangga di kalangan anak muda Moro. Akhirnya banyak ulama muda bermunculan dan ikut serta dalam gerakan Islam.
Diskriminasi terhadap Muslim di Filipina
Pada saat yang sama, konflik-konflik antara Kristen Filipina dan Moro diperburuk oleh beberapa faktor.:
- Masuknya pemukim Kristen ke wilayah-wilayah muslim secara tidak terkendali, tetapi didukung pemerintah pusat.
- Penelantaran secara terus menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan orang Moro.
- Diskriminas terhadap msulim Moro di kantor-kantor instansi pemerintah.
- Hilangnya kekuasaan politik para pemimpin Moro di daerah kekuasaan mereka semula.
- Konflik akibat perebutan tanah antara penduduk Moro dan Kristen.
Faktor-faktor ini secara progresif meningkatkan pertikaian bersenjata antara kelompok Kristen dan Moro. Di tengah pertikaian bersenjata ini aparat yang seharusnya menjadi penengah, justru memihak golongan Kristen.
Kemunculan Front Pembebasan Moro (MNLF)
Untuk melindungi kepentingan dan identitas budaya Moro, Front Pembebasan Rakyat Moro, dibentuk pada 1969 oleh sekelompok pemuda progresif. Kelompok ini dipimpin oleh Nur Misuari, seorang mantan aktivis mahasiswa di Universitas Filipina.
Pembentukan MNLF merupakan tanggapan terhadap konflik dan disrkiminasi yang muncul setelah program integrasi dan pembangunan nasional Filipina selama 1950-1960-an. Program itu mengakibatkan masuknya warga Kristen ke daerah Moro (Mindanan, Sulu, dan Palawan). Orang-orang Moro mencurigai mencurigai motif pemerintah di balik integrasi tersebut.
Pada masa itu, MNLF adalah organisasi yang belum membentuk rantai komando yang jelas. Komite Pusat yang beranggotakan tiga belas orang menugasi diri untuk menyusun garis besar kebijakan luar negeri.
Saat Presiden Ferdinand Marcos memaksakan undang-undang keadaan perang di Filipina pada 1972, konflik antara muslim dan kristinani meningkat.
MNLF berhasil menggalang dukungan dari para pemimpin Islam dunia. Pada 1974, Komite Pusat MNLF mengeluarkan sebuah manifesto yang mendeklarasikan niatnya untuk mendirikan Republik Moro yang merdeka.
Dengan dukungan Libya dan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), MNLF berhasil menekan pemerintah Filipina selama (1973-1976). Tekanan itu akhirnya memaksa pemerintah Filipina untuk menandatangai Perjanjian Tripoli yang memberi otonomi penuh bagi daerah Moro.
Konflik bersenjata antara Moro dan pemerintah banyak menimbulkan korban dan sukses yang dicapai MNLF tidak berumur panjang. Pemerintah Filipina tidak bisa mematuhi Perjanjian Tripoli dan genjatan senjata tidak bisa dilanjutkan, sehingga peperangan dimulai lagi pada 1977.
Pada tahun yang sama, kepimimpinan Misuari ditentang faksi-faksi lain di MNLF. Meskipun perpecahan dalam gerakan tersebut mencerminkan perbedaan ideologis dan etnis yang mendasar, berbagai faksi didirikan dengan landasan ideologi sama, yaitu Islam.
MNLF secara sosial lebih progresif dengan dukungan kuat dari etnis Tausug, sementara Kelompok Reformis MNLF (MNLF-RG) mendapat dukungan dari Marano yang lebih konservatif, dan MNLF dari unsur-unsur religius dan konservatif mempunyai basis dukungan di Maguindanao.
Upaya Perdamaian antara Pemerintah Filipina dan Muslim Moro
Perlawanan Moro dibarengi dengan tekanan diplomatik dari negara-negara muslim, perlahan-perlahan melunakkan pemerintah Filipina. Pemerintah Filipina sempat beberapa kali mengeluarkan kebijakan pro muslim, kendati belum bisa langsung memuaskan keinginan MNLF.
Pada 1973, bahasa Arab dipakai sebagai media pengajaran di sekolah-sekolah yang diikuti oleh kaum muslim dan hari raya Islam diakui sebagai hari libur resmi umat Islam.
Pada 1977, Undang-Undang Hukum Perdata Muslim Nasional, dengan satu pasal mengenai mufti disahkan, meskipun tidak semua kantor peradilan dan wilayah syariat memberlakukan undang-undang itu.
Di tahun berikutnya, Otoritas Perjalanan Haji Filipina dibentuk untuk mengatur dan memfasilitasi haji tahunan; selama 1980-an sekitar dua ribu orang berangkat haji setiap tahunnya.
Sampai tahun 1980, kebanyakan pemimpin dan komando lapangan MNLF yang telah menyatakan loyal kepada pemerintah dihadiahi dengna posisi-posisi politik dan kesempatan nasional.
Selanjutnya, pada 1981 sebuah Kantor Urusan Islam dibentuk.
Di bidang pendidikan, sejak 1982, pemerintah berusaha meningkatkan sistem madrasah dengan mengintegrasikan beberapa madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Dewasa ini terdapat ratusan madrasah, kendati kebanyakan tidak lebih dari tingkat menengah.
Selain madrasah, ada juga peningkatan beasiswa pemerintah untuk para pelajar Moro. Umat Islam yang memenuhi syarat juga banyak diterima pada posisi-posisi penting di Departemen Kehakiman dan Departemen Urusan Luar Negeri.
Usaha Pemerintah Filipina untuk terus mengupayakan perdamaian dengan orang-orang Moro perlahan-lahan mulai membuahkan hasil memasuki abad ke-21.
Puncaknya pada 27 Maret 2014, pemerintah dan MNLF akhirnya menandatangani perjanjian damai di istana Presiden di Manila. Perjanjian itu menyebutkan pembentukan pemerintah otonom Moro di Mindanao dengan anggaran dan kepolisian sendiri. Selain itu, ditempatkan pula badan transisi guna melaksanakan pemilihan umum lokal pada 2016.
Pemerintah otonom Moro juga akan menerima 75 persen dari pajak yang dikumpulkan dan 75 persen pendapatan dari mineral logam di wilayah tersebut, seta memiliki hak mengawasi wilayah perikanan.
Sebagai bagian dari kesepakatan, MNLF juga berjanji menyerahkan senjata yang digunakan oleh 10-15 ribu pejuang Moro.
Rekonsiliasi kedua pihak semakin terlihat ketika pejuang MNLF dan Tentara Filipina saling membantu dalam melawan Militan Maute yang meneror wilayah Marawi selama beberapa tahun terakhir.
BIBLIOGRAFI
Buku
Majul, Cesar Adib. 1987. Moro Pejuang Muslim Filipina Selatan. Jakarta: Al-Hilal.
______________. 1989. Dinamika Muslim Filipina. Jakarta: LP3ES.
Nadeak, Kustigar. 1986. Revolusi Damai: Rekaman Kemelut di Filipina. Jakarta: Pustaka Sinar Harpan.
Suaedy, Ahmad. 2012. Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai: Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Jakarta: Puslibang Lektur.
Yusuf, Choirul Fuad. 2013. Dinamika Islam Filipina, Burma, dan Thailand. Jakarta: Puslitbang Lektur.
Internet
https://dunia.tempo.co/read/565905/filipina-dan-muslim-moro-resmi-berdamai