Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Share your love

Organisasi kerjasama antar bangsa memainkan peran penting dalam hubungan internasional saat ini. Di dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah salah satu organisasi antarbangsa yang sangat aktif. Awalnya, OKI bertujuan menyelesaikan konflik di Timur Tengah antara Dunia Arab dan Israel. Namun, seiring waktu, OKI juga mengurusi berbagai permasalahan di negara-negara mayoritas atau minoritas muslim.

Latar Belakang Berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Kemunculan OKI tidak dapat dilepaskan dari adanya semangat Pan-Islamisme. Pan-Islamisme sendiri  merupakan teori politik yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid-muridnya.Teori ini menekankan solidaritas antar umat Islam, dalam menghadapi dominasi ekonomi dan politik Barat.

Pada tahun 1940-an sampai 1950-an, Arab Saudi dan wilayah muslim di Anak Benua India memimpin upaya-upaya untuk mendirikan badan Islam internasional. Upaya ini digalakkan untuk menghadapi oposisi dari rezim-rezim sekuler di Mesir, Turki, dan Iran.

Konferensi Ekonomi Islam Internasional pertama berlangsung di Karachi pada 1949, dan yang kedua di Teheran pada 1950. Sementara Konferensi Ulama Muslim diselenggarakan pada 1952 di Karachi atas inisiatif mufti besar Palestina, Amin al-Husaini. Di dalam konferensi itu, ia menyerukan kesatuan Islam.

Meskipun seruan-seruan kesatuan Islam atau Pan-Islamisme telah dikumandangkan di tahun-tahun tersebut, tetapi kaum sekularis, sosialis, dan nasionalis regional belum siap mengatasi perbedaan dan menempa kesatuan atas dasar iman yang sama.

Baru pada tahun 1960-an, muncul upaya-upaya baru dalam membangun ikatan antar negara-negara muslim.  Pangeran mahkota Saudi, yang nantinya menjadi Raja Faishal memimpin upaya baru ini. Ia berambisi membendung nasionalisme Arab.

Situasi berubah drastis pasca-Perang Arab-Israel atau sering disebut Perang Enam Hari. Dalam perang tersebut, Israel mengalahkan aliansi negara Arab yang terdiri dari Mesir, Yordania, dan Suriah. Kekalahan aliansi Arab berbuntut pada pendudukan di beberapa wilayah Arab dan tempat-tempat suci di Yerusalem, salah satunya adalah Masjid al-Aqsha.

Di tengah kondisi yang semakin mendesak, Amin al-Husaini dan Raja Faishal segera menyerukan konferensi tingkat tinggi Islam. Seruan itu mendapat sambutan hangat dari beberapa pemimpin muslim lain, salah satunya adalah Tunku Abdul Rahman dari malaysia.

Pada 21 Agustus 1969, Israel secara brutal membakar Masjid al-Aqsha. Tentu saja tindakan tersebut memicu protes keras dari negara-negara muslim lain, desakan untuk segera diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pun semakin menguat. Nasser dan golongan nasionalis lain pun tidak dapat lagi mengabaikan seruan pan-Islamisme.

organisasi konferensi islam
Kolonel Qadhafi dan Presiden Gamal Abdul Nasser tiba di Rabat. The Guardian

KTT Islam pertama akhirnya terselenggara pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Para pemimpin di Rabat yakin bahwa rakyat mereka dapat membentuk suatu umat yang tidak dapat dipecah dan bertekad mengerahkan upaya bersama untuk membela kepentingan antar negara muslim. Tekad ini melahirkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau Organization of the Islamic Conference (OIC), yang secara resmi diproklamasikan pada bulan Mei 1971.

Pada awal pembentukannya, terdapat empat tujuan utama dari OKI:

  1. Untuk menggalang solidaritas Islam di kalangan para anggotanya.
  2. Konsolidasi dan kerjasama di kalangan para anggotanya di bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, iptek, dan bidang-bidang lain yang dianggap penting.
  3. Melakukan konsultasi dan kerja sama di kalangan negara-negara anggota di berbagai organisasi internasional.
  4. Mengeliminasi diskriminasi rasial dan kolonialisme dalam segala bentuknya.

Struktur Keanggotaan Organisasi Konferensi Islam

organisasi konferensi Islam
Bendera OKI

Berdasarkan Pasal VIII Piagam OKI, maka negara-negara yang secara otomatis menjadi anggota adalah yang memenuhi tiga persyaratan berikut:

  1. Semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Islam pertama di Rabat.
  2. Semua negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri negara-negara Islam di Jeddah, Arab Saudi (23-25 Maret 1970) dan di Karachi Pakistan (26-28 Desember 1970).
  3. Semua negara yang ikut menandatangani dan mengesahkan Piagam OKI.

Sementara negara-negara Islam yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan di atas, tetap dapat menjadi anggota OKI dengan mengajukan permohonan untuk bergabung dan permohonan itu harus disetujui minimal dua pertiga negara anggota OKI lainnya pada saat berlangsungnya Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri pertama setelah perhomohan diajukan.

Selain syarat untuk menjadi anggota, OKI juga memiliki prinsip-prinsip keanggotaan sebagai berikut:

  1. Adanya persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban di antara negara-negara anggota.
  2. Menghormati hak menentukan sendiri dan tidak campur tangan dalam masalah-masalah domestik yang terjadi di negara-negara anggota.
  3. Menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah setiap negara anggota.
  4. Menyelesaikan setiap konflik yang muncul dengan menggunakan cara-cara damai seperti negosiasi, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi.
  5. Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah, persatuan nasional atau kemerdekaan politik negara anggota.

Di dalam OKI terdapat tiga badan utama pengambil keputusan: pertama, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT); kedua, Konferensi Para Menteri Luar Negeri; Ketiga, Sekretariat Jenderal. Namun, pada KTT di Taif, Arab Saudi (Januari 1981) diputuskan untuk mendirikan Mahkamah Hukum Islam Internasional sebagai organ keempat OKI. Mahkamah ini dirancang sebagai organ hukum utama dalam organisasi, dan untuk menyelesaikan sengketa di antara anggota.

Fungsi pengambil keputusan tertinggi ada pada KTT. Di bawahnya adalah konferensi para Menlu. Tingkat ketiga adalah Sekretariat Jenderal yang berkedudukan di Jeddah. Jabatan Sekjen dipilih oleh konferensi tingkat Menlu untuk jabatan empat tahun dan maksimal dua periode kepemimpinan.

Selain keempat badan tersebut, OKI juga membentuk komite khusus untuk menindaklanjuti kebijakan yang telah dibuat. Keenam badan tersebut adalah:

  1. Komite al-Quds.
  2. Komite Tetap Bidang Keuangan.
  3. Komite Islam untuk Masalah-Masalah ekonomi, Kebudayaan dan Sosial.
  4. Komite Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknik.
  5. Komite Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan.
  6. Komite kerja untuk Masalah-Masalah Informasi dan Kebudayaan.

Selain enam komite khusus yang telah disebutkan, OKI juga membentuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang ekonomi dan pembangunan, yakni:

  1. Bank Pembangunan Islam (IDB)
  2. Kamar Dagang, Industri dan Pertukaran Komoditi Islam.
  3. Yayasan Islam bagi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan.
  4. Pusat Latihan dan Riset Statistik, Ekonomi, dan Sosial Negara-Negara Islam.
  5. Pusat Islam bagi Riset dan Latihan Teknik dan Kejuruan.
  6. Pusat Islam bagi Pembangunan dan Perdagangan.
  7. Dewan Penerbangan Sipil Islami.
  8. Asosiasi Pemilik Kapal Islami.

Perkembangan Organisasi Konferensi Islam

Pada awal pembentukannya, pendanaan OKI berasal dari sumbangan negara-negara anggota. Semula disepakati bahwa ukuran untuk menghitung sumbangan adalah pendapatan per kapita. Akan tetapi dalam praktiknya, banyak negara yang tidak membayar sehingga OKI selalu kekurangan dana.

Dilaporkan, pada tahun 1986 Sekretaris Jenderal OKI telah bersiap membeberkan dalam KTT tahun 1987, jika para anggota OKI tidak bersedia membayar sumbangan maka ia dan stafnya akan dengan senang hati menutup organisasi dan kembali kepada pekerjaan masing-masing.

Terkait kabar tersebut, Arab Saudi menolong OKI apabila sedang kekurangan dana, dan terus berlanjut hingga sekarang. Saudi juga memberikan bekas istana kerajaan sebagai kantor sekretariat. Saudi sendiri memandang OKI sebagai tempat yang tepat untuk memberikan pengaruh lebih aktif dan luas dibandingkan di forum-forum lain.

organisasi konferensi Islam
anggota Organisasi Konferensi Islam

Hingga tahun 2016, OKI mempunyai 57 anggota, termasuk Palestina,  Nigeria, Azerbaijan dan Albania. Siprus Turki dan Front Pembebasan Bangsa Moro (MNLF) secara teratur hadir sebagai peninjau. PBB, Organisasi Persatuan Afrika, dan Liga Arab juga secara teratur mengirimkan utusan tingkat tingginya. Selain itu Liga Dunia Muslim, Masyarakat Dakwah Islami, dan Majelis Pemuda Muslim se-Dunia, masuk sebagai anggota OKI dari unsur non-pemerintah.

Sampai tahun tahun 2016, OKI telah mengadakan 13 kali KTT, yaitu di Rabat (1969, Lahore (1974), Ta’if/Mekkah (1981), Casablanca (1984), Kuwait (1987), Dakar (1991), Casablanca (1994), Teheran (1997), Doha (2000), Putrajaya, Malaysia (2003), Dakar (2008), Kairo (2013), dan Turki (2016). Selain KTT rutin, OKI tercatat telah 5 kali menyelenggarakan KTT luar biasa, yakni di Islamabad (1997), Doha (2003), Mekkah (2005 dan 2012), dan Jakarta (2016). KTT luar biasa diselenggarakan jika ada masalah-masalah mendesak yang perlu segera diselesaikan.

Dalam perkembangannya OKI seringkali dianggap hanya mewakili kepentingan negara-negara Arab yang kaya (yang notabene lebih pro-Barat)), karena dari sisi finasnial, OKI memang sangat bergantung pada mereka. Oleh karena itu, OKI lebih sering terlihat bersikap pasif terhadap persoalan-persolan yang dihadapai negara-negara Islam, seperti kasus-kasus Bosnia, Kashmir, Palestina, dan Chechnya. Sikap pasif ini lah yang menyebabkan OKI belum mampu menunjukkan diri sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan dalam peta politik internasional.

Setidaknya terdapat dua hambatan, yang dihadapi OKI hingga saat ini. Keanggotaan OKI meskipun sama-sama mendasarkan diri atas pan-Islamisme (yang belakangan mulai abu-abu dengan diterimanya Suriname sebagai anggota ke-54 OKI), dalam kenyataannya sangat heterogen, baik secara kultural, geografis, bahkan ideologis.

Kedua, dominasi pendanaan OKI dari negara-negara Arab kaya (pro-Barat), menyebabkannya menjadi organisasi pasif apabila berbenturan dengan kepentingan Barat. Hal ini terlihat jelas dari ketidakberdayaan OKI dalam menghadapi kasus-kasus konflik Iran-Libya-Irak-Sudan-Suriah di satu sisi dan Barat di sisi lain.

OKI sebenarnya sudah menggariskan sembilan agenda kerja untuk menghadapi tantangan abad ke-21, yang dituangkan dalam bentuk “Deklarasi Islamabad” (1997). Isi deklarasi tersebut mencangkup:

  1. Memperkuat kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan memberi peluang seluas-luasnya kepada sektor swasta; memberi kemudahan tarif pajak; peningkatan investasi; alih teknologi; kerjasama proyek-proyek industri; serta membuka lebih luas jaringan transportasi dan telonomunikas darat, udara, atau pun laut di antara kota-kota di dunia Islam.
  2. Kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknolgi dengan memanfaatkan potensi sumber daya manusia dan kekayaan alam sebaik-baiknya, serta menjalin kerjasama dengan para ahli dari negara-negara maju, guna mengambil manfaat keunggulan pihak lain.
  3. Meningkatkan kerjasama negara-negara anggota dengan lembaga-lembaga di bawah naungan OKI.
  4. Memusatkan kebijakan dan usaha negara-negara OKI dalam mebangkitkan kembali tradisi dan budaya Islam, serta menanamkan etika dan nilai-nilai luhur budaya Islam kepada generasi muda muslim.
  5. Menyebarkan nilai-nilai universil Islam, khusunya yang berkaitan dengan pesan-pesan kemanusiaan, seperti toleransi, keadilan, saling pengertian, sikap moderat, kerjasama antar umat beragama dalam membangun kehidupan yang harmonis, dan bebas dari penindasan.
  6. Bekerjasama membendung gejala terorisme yang telah dimanfaatkan pihak luar untuk mencemarkan keagungan nilai dan ajaran Islam.
  7. Memperjuangkan hak-hak minoritas muslim di negara-negara nonmuslim.
  8. Mendukung hak-hak rakyat yang sedang berada dalam praktik penjajah atau monopoli asing.
  9. Bekerjasama dengan masyarakat internasional dalam mencari penyelesaian yang efektif atas permasalah bersama, dan selanjutnya turut serta menciptakan perdamaian, keamanan, dan ketentraman dunia.

Deklarasi Islamabad tampak cukup menjanjikan untuk menghadapi tantangan abad ke-21, yang patut ditunggu adalah apakah Deklarasi tersebut dapat diimplementasikan atau hanya akan menjadi wacana.

Sementara itu, Indonesia juga telah menyarankan empat langkah konkret untuk menghadapi tantangan abad ke-21:

  1. Memanfaatkan database yang berada di Jaringan Informasi dan Perdagangan Negara-Negara Islam (TINIC), dan di Sistem Jaringan Informasi OKI (OICIC-NET)
  2. Menciptakan program-program untuk memfasilitasi investasi dan perdagangan secara efektif.
  3. Memobilisasi sektor swasta dalam upaya kerjasama ekonomi.
  4. Menerapkan lahkah evolusioner sehingga tidak perlu menunggu seluruh anggota siap berpartisipasi dalam suatu proyek.

Kontribusi OKI

Jika menelaah resolusi yang telah dikeluarkan oleh OKI selama ini, terlihat bahwa organisasi tersebut telah menjadi forum alami untuk mengangkat masalah-masalah yang mempengaruhi dunia Islam. Namun, OKI sangat selektif dalam memilih masalah mana yang akan ditanganinya jika permasalahan itu di luar isi resolusi.

Di bidang politik, Oki secara teratur menyerukan penarikan tentara Israel dari wilayah Palestina, pengakuan hak orang Palestina, dan Palestine Liberation Operation (PLO) sebagai perwakilan sahnya. Oki juga bekerja aktif meski tanpa banyak efektif praktis melalui Komite Perdamaian Islam yang didirikan pada 1981, untuk mencoba mengakhiri konflik Israel dan Dunia Arab.

OKI berpengaruh pula dalam mengkordinasi gerakan oposisi internasional terhadap serbuan Soviet ke Afghanistan. Di tempat lain, sekretaris jenderal menawarkan untuk menengahi perang saudara di Somalia dan mengecam pemerintah India atas ketidakmampannya melindungi kaum muslim setelah perusakan Masjid Babri di Ayodzya pada akhir 1992.

Di bidang budaya, OKI secara aktif mendukung pendidikan bagi komunitas muslim di seluruh dunia. Melalui dana Soidaritas Islam, organisasi ini telah membantuk mendirikan universitas Islam di Malaysia, Niger, Uganda, dan Bangladesh.  Selain bidang politik dan budaya, OKI juga mendukyng minoritas muslim di seluruh dunia, terutama mereka yang didiskriminasi. Oleh karena itu, OKI aktif mendukung kaum minoritas di Bulgaria dan Filipina.

BIBLIOGRAFI

Esposito, John L. 1990. Islam and Politics. Terj. Joesoef Sou’yh. Jakarta: Bulan Bintang.

Esposito, John L. 2000. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Terj. Eva Y.N Bandung: Mizan.

Noor, Yusliani. 2014. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya). Yogyakarta: Ombak.

Sihbudi, Riza. 2007. Menyandera Timur Tengah. Bandung: Mizan.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *