Di Indonesia, gerakan buruh dan para pemimpin nasionalis saling bahu membahu dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan bangsa. Akan tetapi geliat mereka tidak berhenti di titik tersebut, karena mereka juga mengejar agenda mereka sendiri. Hal ini sering menyebabkan ketegangan antara golongan pemimpin nasionalis yang pada umumnya menjadi birokrat dan para buruh.
Ketegangan ini nampak jelas terutama setelah berakhirnya rezim kolonial. Kondisi inilah yang terjadi di Jawa, Indonesia, selama beberapa bulan pertama kemerdekaan pada tahun 1945–1946.
Setelah kekalahan tentara pendudukan Jepang dan ancaman pasukan Belanda yang datang untuk mengkolonisasi kembali Indonesia, buruh mulai mengambil alih pabrik, stasiun kereta api, dan perkebunan. Di tengah masa ketikstabilan sosial yang menandai pergeseran politik dari kolonial ke postkolonial, kontrol pekerja meletakkan batu landasan untuk pembentukan gerakan buruh independen (Suryomenggolo, 2011: 213).
Pada 17 Agustus 1945, hari ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditandatangani, para pemimpin nasionalis hanya memiliki sedikit waktu persiapan untuk melahirkan negara baru. Otomatis waktu mereka banyak dicurahkan untuk memformulasikan formasi negara baru. Sementara negara sibuk diorganisir oleh para elite, para aktivis buruh di tingkat nasional mengatur pertemuan umum.
Dalam pertemuan yang diadakan pada 15 September 1945 di Jakarta, dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan tujuan menyatukan dan mengkoordinasikan pekerja dari berbagai industri. Sjamsu Harja Udaja menjadi tokoh sentral gerakan BBI. Selain sebagai pendukung gagasan Tan Malaka, ia juga dikenal sebagai pendukung sistem serikat horisontal. (Brown, 1994: 82)
Dalam Pertemuan ini dan BBI sendiri mendapat dukungan aktif dari Iwa Kusumasumantri, menteri urusan sosial saat itu. BBI dianggap sebagai penyalur dan memobilisasi gerakan dalam perjuangan untuk kemerdekaan (Suryomenggolo, 2011: 214). Karenanya, gerakan buruh di tingkat nasional dipandang sebagai bagian dari perpanjangan tangan negara. Dukungan negara saat itu memberikan sebuah cahaya harapan kerjasama lebih lanjut antara kedua belah pihak di masa depan.
Pengambilalihan Perkebunan, Pabrik dan Jalur Transportasi oleh Gerakan Buruh
Sementara di tingkat nasional para aktivis buruh membentuk aliansi untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan, pekerja di tingkat lokal sudah mulai mengorganisir beberapa minggu sebelumnya untuk tujuan yang sama. Para pekerja ini melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan (yang telah mereka pelajari melalui radio).
Dengan atau tanpa dukungan negara, mereka berkumpul bersama dalam kelompok regional dan siap melindungi kemerdekaan. Di bawah orientasi nasionalis “murni” inilah para pekerja mulai mengambil alih kendali atas pabrik, perkebunan, dan stasiun kereta api dari tentara pendudukan Jepang.
Pekerja kereta api adalah yang pertama melakukan tindakan ini dengan mengambil alih stasiun tempat mereka bekerja. Berawal dari pengambilalihan stasiun di Jakarta, berita mengenai upaya tersebut menyebar ke berbagai daerah lain yang kemudian mengikuti aksi tersebut. Perebutan stasiuan kereta api berlangsung sepanjang Agustus-September 1945. Perebutan ini tidak hanya dilakukan oleh Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), namun juga oleh buruh Jawatan Pos dan Telokomunikasi. Dalam melakukan aksinya, AMKA memperoleh dukungan dari para pemuda seperti kelompok mahasiswa atau kelompok pejuang lainnya (Razif, 2013: 112).
Pada akhir September, para pekerja muda Indonesia menyampaikan bahwa semua stasiun kereta api di seluruh Jawa telah dinyatakan sebagai milik negara. Karena fungsi vital stasiun sebagai ruang publik serta sarana transportasi, maka para pekerja kereta api memiliki tugas keamanan yang penting selama revolusi: untuk menjaga stasiun tetap berada di bawah kontrol republik.
Baca juga: Sepak Terjang sang Raja Mogok, Soerjopranoto
Dalam mengambilalih stasiun, kelompok pekerja kereta api bertindak dengan maksud membantu mewujudukan tujuan nasionalis. Hal serupa dicatat di antara para pekerja perkebunan di Jawa. Tujuan nasionalis yang sama ini memberikan dorongan awal untuk tindakan mereka, serta untuk pengelompokan berikutnya untuk memastikan bahwa proses pengambilalihan tetap di bawah kendali mereka.
Pengambilalihan berjalan cukup mudah, tetapi begitu para pekerja mendapatkan kontrol operasi stasiun, mereka mau tidak mau harus mengatur ke arah yang baru. Tugas mengelola operasi kereta api membuatsegera diperlukan sistem pengorganisasian mandiri yang bertanggung jawab dan dapat diterapkan. Di dalam masing-masing kantor wilayah, mereka membentuk kelompok yang dikenal sebagai dewan pimpinan.
Dewan ini bertugas mengawasi, mengelola, mengoordinasi, dan pada akhirnya memegang otoritas atas sistem kereta api. Sementara itu, para pekerja perkebunan mengikuti jalur yang sama dengan para pekerja kereta api. Pertama-tama, mereka bergerak untuk mengelola operasi perkebunan dengan mengadakan pertemuan untuk mengkonsolidasikan kelompok mereka, kemudian memilih seorang perwakilan untuk mengawasi arahan yang diberikan oleh manajemen.
Contoh-contoh kontrol buruh tampaknya telah muncul secara alami selama periode revolusioner. Para pekerja membingkai mereka dengan tugas nasionalis demi kepentingan terbaik bangsa muda. Manajemen pekerja secara mandiri muncul sebagai respons yang sesuai untuk lingkungan sosial ekonomi yang tidak stabil pada saat itu, dan pekerja akhirnya menetapkan jalur independen untuk mengendalikan fasilitas.
Dengan keterampilan yang diperoleh selama masa pendudukan Jepang, para pekerja muda ini terbukti mampu mengoperasikan dan mengoordinasikan sistem kereta api. Mereka berhasil melayani masyarakat selama beberapa bulan pertama kemerdekaan di bawah pengelolaan dan koordinasi dewan pemimpin mereka sendiri.
Strategi tersebut juga turut menunjukkan perubahan pola pergerakan buruh. Apabila pada masa pergerakan gerakan buruh lebih didominasi oleh sabotase dan pemogokan seperti yang terjadi di stasiun Semarang pada tahun 1923 (Yuliati, 2012: 16), kini pola aksi telah berubah sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh bangsa yang baru merdeka tersebut.
Pada masa kemerdekaan alat-alat produksi yang pernah menjadi milik kapitalis Belanda atau negara kolonial telah diambil alih oleh tangan-tangan buruh. Ketika mereka mengatur sistem manajemen mandiri ini, para pekerja mendorong untuk membuat struktur di mana pembagian kerja tidak didasarkan pada status sosial seseorang tetapi hanya pada fungsi yang dilakukan seseorang.
Ini sangat kontras dengan kondisi kerja hierarkis dan diskriminatif rasial yang sebelumnya membuat para pekerja terbiasa dengan sistem kolonial. Dalam sistem baru koordinasi dan pengelolaan bersama ini, garis komando industri bersifat horizontal, berbeda dengan struktur vertikal organisasi industri yang lazim di bawah sistem kapitalis.
Merenggangnya Hubungan Negara dan Gerakan Buruh
Karena pekerja secara de facto mengendalikan perusahaan tetapi tidak memiliki kepemilikan secara hukum, pengelolaan secara mandiri menciptakan dilema ekonomi bagi negara baru. Negara takut manajemen mandiri pekerja menjadi sumber potensial ketidakstabilan politik. Oleh sebab itu, pada November 1945, kabinet parlemen diperkenalkan sebagai bentuk pemerintahan negara Indonesia yang baru Pada awal 1946 negara berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas stasiun kereta api dan perkebunan di Jawa.
Setelah perkembangan ini, aktivis buruh di kancah nasional mulai memisahkan diri dari negara. Di bawah iklim politik yang tampaknya demokratis untuk negara baru, pemimpin buruh Sjamsu Harja Udaja — terlepas dari perbedaan pendapat dalam BBI — melihat peluang bagi gerakan buruh untuk mengejar agenda politiknya sendiri. Ia memobilisasi gerakan untuk mendirikan Partai Buruh Indonesia (PBI) Dengan bentuk pengorganisasian buruh yang baru ini, para aktivis di tingkat nasional mendorong gerakan buruh ke arena politik untuk mencari kekuatan. Partai politik yang dibentuk oleh gerakan buruh itu sendiri menjadi tanda nyata ketidakpuasan terhadap negara.
Kegiatan-kegiatan industri buruh dalam mengorganisir pengelolaan-diri sekarang disebut sebagai aktivisme “politik”. Berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh menteri Kusumasumantri sebelumnya dengan mendukung dan bahkan mempromosikan kebijakan pro-buruh, negara sekarang khawatir akan kontrol potensial gerakan buruh terhadap ekonomi nasional dan ambisinya di arena politik. Mulai saat ini, tenaga kerja dianggap sebagai entitas terpisah dari negara yang perlu dipantau dan manuver politiknya harus dapat diprediksi.
Dimulai dari kabinet Sjahrir, tenaga kerja dipandang dengan penuh kewaspadaan. Mereka dianggap sebagai lawan yang kekuatannya dapat menantang atau bahkan mengambil alih negara. Di tingkat lokal, para elit yang memerintah menyebut manajemen pekerja secara mandiri sebagai “anarko-sindikalisme” sebuah istilah yang dipinjam dari literatur Marxis untuk menggambarkan bahaya dan resiko pekerja berada di luar kendali negara (Suryomenggolo, 2011: 222).
Dalam konteks revolusi Indonesia, istilah “sindikalisme” itu sendiri bagai pedang bermata dua. Gerakan buruh diakui memiliki kekuatan untuk memasok mobilisasi massa bagi negara, namun juga dianggap sebagai kekuatan yang mampu menggulingkan pemerintah yang masih dalam masa pertumbuhan. Tampaknya ada semacam pandangan konsensual di antara para elit politik dalam memandang fenomena ini sebagai bahaya potensial bagi perekonomian nasional. Selain itu, banyak pemimpin nasional terkemuka, berdasarkan interpretasi mereka terhadap Marx, tidak mendukung praktik kontrol buruh dan hanya mengutuknya sebagai “sindikalisme” (Ibid).
Meskipun kelompok-kelompok pekerja digambarkan sebagai golongan yang sulit dikendalikan di bawah pemerintah daerah, namun tidak ada laporan yang pernah melaporkan bahwa pekerja di tingkat lokal telah mengubah praktik manajemen mandiri menjadi tujuan politik tertentu.
Konflik-konflik yang muncul setelah periode ini menandakan bahwa para elite politik hanya memanfaatkan para buruh sepanjang jalur yang paling menguntungkan untuk tujuan politik mereka sendiri. Mereka enggan mendengarkan langsung aspirasi para pekerja dan menghargai apa yang mereka telah mencapai dan berkorban untuk mendukung kemerdekaan bangsa. Dengan mengabaikan suara buruh, para elit berhasil membatasi manajemen alat produksi secara mandiri dalam batas-batas kosa kata dan tujuan politik mereka sendiri.
Daftar Pustaka
Brown, Colins. “The Politics of Trade Union Formation in the Java Sugar Industry, 1945-I949”. Modern Asian Studies Vol. 28, 1994.
Erman, Erwiza dan Ratna Saptari (editor). Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Suryomenggolo, Jafar. “Workers’ Control in Java, Indonesia, 1945–1946” dalam Ness, Immanuel dan Azzellini, Dario (Ed.). Ours to Master and to Own: Workers’ Councils from the Commune to the Present. Chicago: Haymarket Books, 2011.
Yuliati, Dewi. “Nasionalisme Buruh dalam Sejarah Indonesia”. Humanika, 2012.