Bioskop, siapa yang tidak kenal dengan salah satu tempat paling populer abad ini. Hampir semua orang selalu antusias apabila pergi ke tempat itu. Seiring berjalannya waktu, bioskop telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Namun sebelum menjadi populer seperti sekarang, ternyata bioskop di Indonesia memiliki perjalanan cukup panjang hingga terkenal seperti sekarang. Di artikel ini, penulis ingin mengajak pembaca menyelami eksistensi bioskop pada masa kolonial, mulai dari kemunculan hingga perkembangannya.
Kemunculan Bioskop di Hindia-Belanda
Film atau gambar gerak pertama kali ditayangkan di Jawa pada Oktober 1896 (Java-Bode, 9, Oktober1896)atau sekitar 10 bulan setelah pemutaran perdana film Lumière brothers’ di Grand Cafe di Paris. Wartawan Java-Bode mengomentari film/gambar gerak sebagai penemuan pengetahuan modern (Java Bode, 4 Maret 1897).
Pemutaran film pada awalnya hanya dilakukan di teater dan ditonton oleh masyarakat elite. Memasuki tahun 1897, film mulai diputar di lokasi yang memungkin untuk ditonton oleh banyak penonton.
Pemutaran film semakin menjangkau khalayak luas, setelah film diputar di kampung-kampung pecinan dan tenda di alun-alun. Pada tahun 1905, film telah menjadi hiburan umum di pasar malam atau di Pasar Gambir.
Dengan cepat bioskop menjadi hiburan populer di perkotaan. Suasana gegap gempita di sekitar bioskop digambarkan dengan jelas oleh wartawan harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 12 Oktober 1905.
“Kehidupan seakan berputar di sekitar bioskop. Gadis-gadis muda mulai menggoda pada sore hari. Penduduk lokal mencuri dan ketika mereka tertangkap mereka beralasan tidak memiliki uang untuk membeli tiket bioskop. Seorang ayah mengeluh anak gadisnya menghilang setelah sebelumnya pergi ke bioskop. Karyawan meminta bayaran lebih awal bukan karena anggota keluarganya ada yang meninggal, tetapi karena ingin mengajak keluarganya ke bioskop. Bahkan seorang tukang cuci bumiputra meminjamkan celana dan baju putihnya kepada temannya agar bisa pergi ke bioskop.”
Sejak awal kemunculannya bioskop ibarat sebuah magnet yang memiliki kemampuan untuk menarik minat berbagai golongan. Tidak peduli ia pegawai, bangsawan, pedagang, bahkan golongan menengah ke bawah.
Akan tetapi jangan mengira bioskop yang muncul pada transisi pergantian abad ini terlihat megah seperti bioskop zaman sekarang. Bioskop-bioskop yang muncul pada awalnya didirikan di sebuah tenda semi permanen bertiang bambu dan beralaskan tikar.
Baru beberapa tahun kemudian, bioskop mulai dibangun menggunakan dinding bata. East Java Bioscope di Surabaya yang diresmikan pada 1913 menjadi bioskop pertama yang dibangun secara permanen.
Tiket dan Pemutaran Film di Bioskop pada Masa Kolonial
Pada awal kemunculnya, penonton bioskop perlu merogoh kantong cukup dalam. Harga tiket untuk menonton film terbilang masih sangat mahal yakni sekitar 1-2 gulden. Namun seiring bertambahnya minat penonton, harga tiket pun perlahan-lahan diturunkan agar dapat menjangkau lebih banyak penduduk.
Baca juga: Menatap Era Modern: Sejarah Listrik di Hindia-Belanda
Memasuki awal abad ke-20, tiket bioskop menjadi bervariasi dan dikategorisasi berdasarkan ras Eropa, Timur Asing, dan bumiputra.
Tiket termurah diperuntukkan untuk penonton bumiputra dengan harga awal f0,25 yang terus menurun menjadi f0,10, bahkan terkadang hanya dijual f0,002.
Tiket termahal dijual kepada orang Eropa, namun tidak ada catatan spesifik mengenai harga tiket itu. Namun dalam peraturan bioskop pada masa kolonial, penonton Eropa tidak diperbolehkan duduk di kursi penduduk bumiputra.
Kendati demikian, peraturan tersebut sering diabaikan, karena tidak semua penduduk termasuk golongan elite, sehingga seringkali mereka tidak segan untuk duduk berdampingan golongan timur jauh dan bumiputra.
Perbedaan harga tiket sekaligus menandai perbedaan posisi tempat duduk saat menonton. Tentu saja tempat duduk orang Eropa menjadi bagian paling nyaman di dalam bioskop. Segala upaya dilakukan pemilik bioskop untuk memberikan rasa nyaman kepada penonton Eropa.
Nederlandsch-Indische Biograph Compagnie menghadirkan gramofon untuk mengiringi jalannya pertunjukan. Sementara itu, bioskop milik orang Tionghoa, Sirene Bioscope di Surabaya menghias dinding bioskopnya menggunakan wallpaper dan melengkapi tempat duduk penonton Eropa dengan ventilasi dan penerangan. Bioskop lain di Surabaya menyediakan lantai atas yang disebut balcon de luxe untuk memberikan sudut pandang tanpa halangan bagi penonton Eropa.
Kondisi sangat bertolak belakang dialami penonton bumiputra. Di setiap bioskop posisi penonton bumiputra berbeda-beda, ada yang di lantai atas, tepat di depan layar atau yang sering disebut tempat duduk kelas kambing, atau di belakang layar. Tata letak terakhir mirip saat menonton wayang dari belakang sisi belakang layar di mana penonton menonton efek bayangan. Posisi menonton di belakang layar menjadi yang paling murah di antara kelas tempat duduk .
Pada masa ini film-film yang ditayangkan didominasi film impor seperti film Georges Méliès’s berjudul Le voyage dans la lune. Film-film lain seperti Bluebeard, Ali Baba dan 40 pencuri, Nyai Dasima juga ditayangkan.
Film-film tersebut tidak dilihat dalam senyap. Selain gemerincing mesin dan suara penonton lainnya, pertunjukan diiringi oleh gramafon atau perangkat musik otomatis. Selain itu, ditugaskan narator yang mendampingi selama film berlangsung.
Meskipun terlihat sederhana apabila dilihat dengan kacamata masa kini, namun pemutaran film di bioskop-bioskop selalu memunculkan rasa kagum bagi penontonnya. Menurut laporan wartawan Soerabaiasch-Handelsblad 25 November 1904, penonton mengucapkan “waah” setiap kali film dimulai, selain itu mereka juga mengekspresikan emosi mereka saat menonton film seperti mengucapkan “Ya Allah, tobat” saat melihat adegan menegangkan.
Begitulah gegap gempita bioskop pada masa kolonial. Selain menjadi simbol penemuan modern, bioskop juga menjelma menjadi tempat yang begitu menarik perhatian penduduk bahkan hingga masa kini.
Daftar Pustaka
Java-Bode, 9, Oktober1896.
Java Bode, 4 Maret 1897.
Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 12 Oktober 1905
Nordholt, Henk Schulte. “Modernity and middle classes in the Netherlands Indies: Cultivating cultural citizenship” dalam Susie Protschky (ed.), Photography, modernity and the governed in late-colonial Indonesia. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2015.
Ruppin, Dafna. “The Emergence of a Modern Audience for Cinema in Colonial Java.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, vol. 173, no. 4, 2017, pp. 475–502.
Soerabaiasch-Handelsblad 25 November 1904.
Stoler, Ann L. “Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th-Century Colonial Cultures.” American Ethnologist, vol. 16, no. 4, 1989, pp. 634–660.
Taylor, Jean Gelman. Ethical policies in moving pictures: The films of J.C. Lamster dalam Protschky, Susie, editor. Photography, Modernity and the Governed in Late-Colonial Indonesia. Amsterdam University Press, 2015.
Baru tahu kalo bioskop di Indonesia ternyata sudah sangat lama sejak awal abad 20, biarpun mungkin masih seadanya tapi tentu saja sangat canggih untuk masa itu.