Iklan memiliki posisi penting dalam dunia usaha. Tanpa adanya iklan cukup mustahil sebuah usaha dapat berkembang. Dewasa ini, hampir setiap hari kita melihat iklan berseliweran seolah pemandangan iklan telah menjadi bagian dari kehidupan. Iklan dibuat semenarik mungkin untuk mempengaruhi orang yang melihatnya, dengan kata lain iklan memiliki potensi untuk mempengaruhi pikiran calon konsumen. Mungkin sebagian dari kita mulai bertanya, sejak kapan iklan mulai muncul di Indonesia, mengapa iklan bisa muncul dan berkembang. Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, penulis ingin mengajak pembaca menengok sejarah periklanan pada masa kolonial, mulai dari kemunculannya hingga perkembangannya.
Pertumbuhan Iklan di Hindia-Belanda
Iklan pertama di Hindia Belanda dimuat di surat kabar “Bataviasche Nouvelle” yang digagas oleh Gubernur Jenderal Keempat Vereenigde Oost Indiche Compagnie (VOC), Jan Pieterzoon Coen pada Agustus 1744. Dalam koran tersebut dipromosikan sejumlah produk, namun tampilannya masih begitu sederhana yang hanya didominasi oleh teks.
Memasuki akhir abad ke-19, iklan dalam bentuk visual mulai muncul. Perusahaan Nederlandsch-Indische Stoomvaart Maatschappij (NSM) menjadi perusahaan pertama yang menggunakan iklan bergambar di surat kabar de Locomotief pada 20 Oktober 1870. Iklan itu menampilan kapal laut sederhana yang disertai informasi trayek dan jadwal pelayaran.
Kendati telah lama muncul, tetapi iklan baru berkembang pesat di Hindia-Belanda memasuki abad ke-20. Pertumbuhan industri modern memberi rangsangan tersendiri bagi kemunculan agensi periklanan.
Agen periklanan sebagian besar dijalankan oleh orang Belanda. Akan tetapi penduduk bumiputra, Indo-Eropa dan Cina juga memainkan peran penting dalam proses ini.
Albrecht & Co, Excelsior, De la Mar, N.V. De Reclame, Litjen’s Reclame Bureau, and the Soerabaiasch Administratieen Reclame Kantoor merupakan beberapa agensi periklanan awal abad ke-20 yang dimiliki oleh orang Belanda.
Sedangkan biro iklan Cina terdapat Yap Goan Ho, TjonkHok Lange, Lauw Advertising Bureau Djin, dan Liem Thjang & Co. Penduduk bumiputra juga tidak ketinggalan, mereka mulai aktif terlibat dalam periklanan. Pada awal abad ini Raden Mas Tirto Adhi Soerjo membuka agensinya, disusul oleh beberapa agensi periklanan bumiputra lain seperti NV Hardjo Soediro, NV Soesman, Clear dan NV Doenia Bergerak.
Sementara itu, agensi-agensi periklanan besar di Belanda juga mulai menerima pembuatan iklan yang memang difokuskan untuk wilayah koloni. Kendati demikian, banyak pedagang Belanda memilih untuk tidak menggunakan jasa iklan tersebut karena gaya bahasa yang digunakan dianggap kurang bisa menarik minat penduduk Hindia-Belanda.
Persaingan Dua Agensi Periklanan Terbesar
Salah satu agensi periklanan paling terkenal di Hindia-Belanda adalah Algemeen Nieuws-en Telegraaf- Agentschap atau lebih dikenal dengan sebutan Aneta (Pada 1954 dibuka kembali dengan nama Persbiro, memasuki 1960an dimerger dengan rivalnya Antara). Perusahaan kantor berita pertama di Hindia-Belanda ini didirikan pada tahun 1917 oleh pebisnis Indo-eropa Dominique Willem Berretty.
Sebagai kantor berita, Aneta menyebarluaskan informasi yang diperoleh dari para kapten kapal uap KPM kepada banyak surat kabar dan organisasi lain.
Tiga tahun setelah pendirian Aneta, pada 1920, Berrety memperluas bisnisnya dengan mendirikan agensi periklanan. Aneta tidak hanya menjadi kantor berita, namun juga menjadi agensi periklanan yang mengurusi promosi produk berbagai perusahaan.
Dalam waktu cukup singkat, Aneta hampir memonopoli bisnis periklanan di Hindia-Belanda. Banyak dari pelanggan Aneta adalah perusahaan-perusahaan besar seperti Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN), de Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), de Java-China-Japan-Lijn (JCJL), Kolff dan Hotel des Indes, Goodyear, General Motors, Philips, dan Regnaults Verffabrieken.
Berrety merupakan pengusaha iklan yang berani berinovasi. Pada Februari 1920, ia menyewa sebuah pesawat dan melemparkan ratusan ribu kartu iklan kecil dari langit Batavia.
Di satu sisi kartu tertulis terjemahan: “Aneta, agen publisitas yang dalam waktu singkat telah melakukan penerbangan luar biasa dan telah membawa liputan Hindia-Belanda ke tingkat yang lebih tinggi”. Di sisi lain kartu tertulis “Aneta, raja periklanan di atas segalanya.”
Metode ini merupakan gebrakan baru di dunia periklanan Hindia-Belanda, selain unik tetapi juga modern. Strategi Berrety ini berhasil, seluruh pers di Hindia-Belanda memberitakan aksinya itu.
Dua tahun kemudian, tahun 1922, Willem Grollenberg tiba di Batavia. Di Hindia-Belanda, ia membuka cabang De la Mar salah satu biro iklan terbesar di Belanda. Dalam waktu singkat De la Mar segera menjadi pesaing terbesar Aneta.
Klien De la Mar kebanyakan dari perusahaan Belanda yang dibawa Grollenberg ke Hindia-Belanda, seperti Wybert, Philips dan Coöperatieve Condensfabriek Friesland. De la Mar aktif di bidang periklanan yang sama dengan Aneta, seperti iklan surat kabar, kampanye poster dan bahkan iklan film.
Jenis Iklan pada Masa Kolonial
Hampir mirip dengan masa sekarang, agensi periklanan pada masa kolonial tidak hanya membuat iklan surat kabar atau poster, tetapi mereka membuat iklan hampir di semua tempat.
Transportasi umum menjadi salah satu tempat yang sering dijadikan lokasi pemasangan iklan. Iklan dipasang di gerbong trem, gerbong kereta, serta di stasiun.
Selain transportasi umum, bioskop juga menjadi tempat strategis untuk memasang iklan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kemunculan bioskop di Hindia Belanda bagaikan magnet yang menarik berbagai kalangan.
Karena popularitasnya itu, bioskop menjadi tempat yang tepat untuk beriklan. Menurut majalah Meer Baet (majalah agensi periklanan De la Mar), iklan bioskop harus dalam bahasa Melayu, karena banyaknya pengunjung bioskop dari Cina dan Indonesia. Karena banyak dari mereka yang buta huruf, maka iklan harus didominasi dengan banyak ilustrasi agar dapat menarik minat konsumen.
Pada 1933, De la Mar membuat iklan animasi lucu berjudul De lotgevallen van Ko, de lachendeKoe untuk susu kental manis Tjap Bandera (FriescheVlag) dari Leeuwarden. Iklan ini menjadi satu-satunya iklan yang dibuat untuk pasar Belanda dan Hindia-Belanda sekaligus.
Strategi Agensi Periklanan di Hindia-Belanda
Perusahaan Belanda seperti lampu Philips, bir Heineken, dan biskuit Verkade yang menjual produknya di Hindia-Belanda tentu membutuhkan kampanye iklan yang baik. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana cara menjangkau penduduk koloni yang terdiri dari berbagai etnis dan bahasa.
Kehadiran begitu banyak kelompok masnyarakat ini tentu menyulitkan agensi periklanan saat itu. Untuk mengatasi hal ini, sebelum membuat iklan mereka melakukan penelitian terlebih dahulu.
Tantangan menjadi lebih besar, mengingat lebih dari 50% penduduk Indonesia buta huruf pada periode ini. Jadi agensi periklanan harus memutar otak agar bisa membuat ilustrasi yang menarik.
Contoh kecilnya bisa dilihat dari iklan biskuit Verkade pada 1929 yang menggunakan strategi berbeda sebagai cara menjangkau kelompok tertentu. Dalam promosinya Verkade menggandeng agensi iklan De La Mar dan ilustrator utamanya Frits van Bemmel.
Hampir sama dengan masa sekarang, untuk promosi ke penduduk bumiputra yang mayoritas beragamam Islam, van Bemmel memadukan illustrasinya dengan unsur agama. Di dalam ilustrasinya itu, ia menggambar seorang pemuda yang menggunakan peci, dengan teks yang berbunyi “roti Cap Empat Sinyo halal betul, jadi tiap orang Islam boleh makan”.
Selang beberapa waktu Verkade membuat iklan yang diperuntukkan orang-orang Belanda. Dengan ilustrasi seorang anak berpakaian tradisional Belanda, tertulis “biskuit ini terasa enak seperti biskuit di Belanda”.
Selain menggunakan pendekatan kultural, gaya bahasa yang digunakan agensi periklanan juga disesuaikan dengan sasaran. Seperti strategi yang diterapkan oleh Majalah Kedjawen terbitan Bale Poestaka. Seperti namanya, seluruh isi majalah ini menggunakan bahasa Jawa bahkan di dalam iklan-iklannya, seperti contoh di bawah ini.
Jadi strategi iklan pada masa lalu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang, iklan-iklan tidak dibuat secara serampangan, melainkan melalui penelitian dan disesuaikan dengan pangsa pasar.
Daftar Pustaka
Riyanto, Bejo. Iklan surat kabar dan perubahan masyarakat di Jawa masa colonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang, 2000.
Subakty, Baty. Reka reklame. Sejarah periklanan Indonesia 1744-1984. Yogyakarta: Galang Press, 2005.
Brattinga, Maartje. “Advertising in the Dutch East Indies in Search of a Tropical Style”. Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol. 6 No. 2 Tahun 2014, hlm. 1-20.
Aji, Thomas Nugroho, dkk. “Java Language in Dutch Indies Advertisement 1930 – 1939”. Advances in Social Science, Education and Humanities Research: Proceedings of the 3rd International Conference on Social Sciences (ICSS 2020), volume 473.