Sejarah perbudakan tidak hanya diwarnai dengan eksploitasi dan perdagangan budak, lebih jauh dari itu, pemberontakan seringkali mewarnai sejarah perbudakan. Saat manusia ditindas dan diperlakukan secara tidak manusiawi maka keinginan untuk melawan pun muncul, hal yang sama juga dialami para budak.
Pemberontakan Zajn pada masa Daulah Abbasiyah merupakan salah satu bentuk perlawanan yang diakibatkan oleh kesewenangan para penguasa masa itu. Sayangnya, perlawanan kelas bawah ini sering luput dari historiografi Islam masa Abbasiyah yang lebih banyak membahas tentang kemegahan negeri 1001 malam.
Perbudakan di Daulah Abbasiyah
Saat pemberontakan Zajn meletus pada tahun 869, Baghdad merupakan pusat dari perekonomian Abbasiyah. Pada masa itu, pertanian menjadi salah satu sumber pendapatan utama. Pertanian mengandalkan irigasi buatan di Irak Selatan.
Meluasnya penggunaan tenaga kerja budak di pertanian dan irigasi dianggap sangat penting bagi perekonomian. Para budak bertugas mengairi tanah baru, mengeringkan rawa-rawa, membersihkan ladang garam, memanen garam, dan menambang logam.
Baca juga: Perbudakan pada periode klasik Islam
Kota Basra memainkan peran penting dalam pendistribusian budak pada masa itu. Kota ini selain menjadi pelabuhan internasional utama, juga menjadi kota tujuan eksport budak dari Afrika Timur. Orang-orang Afrika yang diperbudak ini dikenal sebagai Zanj. Mereka berasal berasal dari pantai Afrika Timur yang membentang dari Ethiopia, Somalia, hingga ke Mozambik (Belyaev, 1969).
Istilah “Zanj” tidak merujuk pada kelompok etnis tertentu, melainkan istilah tersebut diberikan kepada orang Afrika oleh orang asing Arab dan Persia yang mengunjungi Pantai Timur Afrika. Catatan penyebutan Zanj paling awal di Afrika ditemukan dalam kutipan astronom Arab, al-Fazari, sekitar tahun 780 (Tolmacheva, 1986).
Awalnya, istilah itu ditujukkan kepada orang-orang Afrika yang berasal dari Afrika Timur dan mempraktekkan agama pagan. Saat perluasan pengaruh Islam berlanjut, definisi dari istilah itu menjadi lebih luas, yakni untuk semua orang kulit hitam terlepas darimana daerah asalnya.
Pada abad ke-9, saat Pemberontakan Zanj meletus, istilah “Zanj” secara tegas digunakan oleh Khalifah untuk merujuk pada budak dan kelompok orang Afrika yang termasuk dalam kategori sosial ekonomi tertentu. Dalam banyak kasus istilah “Zanj” memiliki konotasi negatif dengan implikasi inferioritas. Di bahasa Persia, kata “Zangi” diartikan sebagai orang bodoh.
Sejumlah penjelajah dan sarjana Arab pada abad pertengahan meninggalkan catatan tentang Zanj. Sebagian besar informasi yang menggambarkan karakteristik Zanj bersifat anekdot. Terinspirasi oleh dokter Yunani abad kedua, Galen, ahli geografi Arab al-Musudi mengaitkan sepuluh karakteristik khusus Zanj: “kulit hitam, rambut keriting, hidung pesek, bibir tebal, tangan dan kaki ramping, bau busuk, kecerdasan terbatas, kesuburan ekstrem, kebiasaan kanibalisme (Popovic, 1999).”
Dehumanisasi terhadap kelompok Zanj menjadi hal yang lumrah dipaparkan para sarjana Arab masa Abbasiyah. Zanj juga sering kali digambarkan sebagai manusia jahat, kanibal, buruk rupa, kejam, hingga telanjang sepanjang waktu.
Perlawanan Para Budak
Seperti sejarah budak di wilayah lainnya, budak Zanj tidak dapat dilepaskan dari perlakuan tidak manusiawi dari para pemiliknya.
Di Irak selatan, Zanj dipaksa bekerja di lingkungan dengan iklim ekstrem dan rawa-rawa yang dipenuhi nyamuk malaria. Kondisi ini mengakibatkan banyak dari mereka jatuh meninggal.
Di lingkungan tersebut, mereka ditugaskan menggali parit, mengeringkan rawa yang ditumbuhi alang-alang, membersihkan dataran garam, mendapatkan kalium nitrat dan mengekstraksi garam dari air laut (Belyaev, 1969).
Selain ladang garam, mereka juga dipaksa untuk menggarap lahan pertanian di perkebunan kapas dan tebu. Untuk bertahan hidup, Zanj hanya diberikan beberapa genggam tepung terigu, semolina, dan kurma.
Solidaritas kelompok ini tumbuh seiring dengan kondisi buruk yang mereka hadapi. Kelaparan, perlakuan kasar pemilik mereka, menjadi korban penyakit malaria dan penyakit lainnya akhirnya mengobarkan semangat pemberontakan dari Zanj.
Ketegangan mulai mencapai puncaknya pada bulan September 869, saat Ali ibn Muhammad memimpin pemberontakan Zanj. Ali yang didampingi jenderal kepercayaannya, Sulayman ibn Jami, memulai aksi pemberontakannya dengan membebaskan dan merekrut ratusan budak (Noldeke, 1892).
Dalam proses perekrutan budak, Ali menjanjikan kekayaan dan bersumpah tidak akan mengkhianati mereka.
Setelah dimulai, pemberontakan menyebar dengan cepat dan berhasil memperkuat pasukan Zanj. Pada akhir tahun pertama pemberontakan, sekitar 15.000 budak bergabung dengan tentara pemberontak Zanj (Belyaev, 1969: 242).
Dalam salah satu pertempuran signifikan pertama mereka, Zanj yang tidak dilengkapi dengan persenjataan yang mumpuni berhasil menghalau pasukan kekaisaran yang terdiri dari 4 ribu orang. Kemenangan ini semakin memompa semangat pemberontakan, dari kemenangan itu juga diperoleh senjata, kuda, perahu, dan bahan makanan.
Setelah kemenangan pertama ini, Ali berbicara kepada para pemberontak Zanj melalui beberapa penerjemah, bahwa ia bersumpah tidak akan mengembalikan satu pun dari mereka ke mantan tuan mereka berapa pun harganya.
Setiap kali pemberontak memenangkan pertempuran, ratusan budak bergabung dengan kelompok Zajn (Popovic, 1999). Tidak hanya budak, beberapa buronan dan pasukan budak kekhalifahan turut bergabung ke dalam pemberontakan.
Tentara Zanj terdiri dari tiga korps, angkatan laut, infanteri, dan kavaleri. Ketiganya dipimpin oleh seorang jenderal yang ditunjuk oleh Ali.
Mereka bertempur di rawa-rawa dan kanal-kanal selatan yang sudah mereka kenal. Di medan berawa itu, Zanj menemukan lingkungan yang ideal untuk perang gerilya.
Serangan malam menjadi ciri khas Zanj. Pengetahuan mereka tentang daerah tersebut membuat pertahanan mereka hampir tidak bisa diterobos oleh pasukan kavaleri besar Khilafah yang terdiri dari orang-orang Turki (Kennedy, 2003).
Bahkan, wanita Zanj ditugaskan untuk mengumpulkan dan melempar batu bata dalam pertempuran. Para wanita juga ditugaskan untuk menjaga pasokan kebutuhan selama pertempuran.
Di lain pihak, pasukan kekhilafahan yang sejak awal meremahkan kekuatan Zanj, kesulitan untuk memadamkan perlawanan. Bahkan mereka banyak mengalami kekalahan di pertempuran yang berlangsung di daerah rawa-rawa.
Setelah gagal merebut Basra, Zanj mendirikan ibu kota mereka sendiri bernama al-Mukhtara (Kota Pilihan). Kota itu terletak di selatan Basra di tepi barat Tigris dan berpotongan dengan kanal Abil-khasib, dan banyak kanal lain mengelilinginya.
Sebuah rantai besi besar dan dua penghalang besar menutup pintu masuk ke kanal utama yang dipisahkan oleh dua jembatan. Dinding-dinding yang dilengkapi dengan ketapel mengelilingi kota, yang dipenuhi dengan rumah-rumah dari batu bata dan daun palem, dan beberapa istana yang terbuat dari batu bata dari tanah liat yang dibakar.
Di tengah kota terdapat masjid, penjara, dan beberapa pasar. Zanj juga mencetak mata uang mereka sendiri pada tahun 871. Uang itu berfungsi untuk memfasilitasi dan meningkatkan perdagangan dengan petani dan pedagang Badui di sekitarnya.
Meskipun mendapatkan rampasan perang, Zanj sangat bergantung pada pedagang Badui untuk hasil pertanian, buah-buahan, ternak, dan ikan (Popovic, 1999). Ketergantungan terhadap pedangan Badui ini menjadi titik lemah pertahanan Zanj.
Pada tanggal 7 September 871, setelah sebulan berperang, Zanj akhirnya berhasil merebut kota Basra dan beberapa desa di sekitarnya. Zanj membakar kota tersebut dan ketika tidak ada lagi korban mereka meninggalkan Basra.
Menurut al-Musudi, tentara Zanj membantai sebanyak tiga ratus ribu orang saat merebut kota itu. Zanj kemudian menyabotase pasokan ke Baghdad dari selatan dengan mencegat kapal-kapal di Tigris.
Pada tahun 878, beberapa anggota tentara Zanj dilaporkan menghadang dan merampas kiswah (kain penutup) untuk Ka’bah. Satu tahun berikutnya, para pemberontak telah berhasil merebut kota Wasit.
Wilayah yang dikuasai Zanj pun semakin meluas ke utara hingga 70 mil dari Baghdad. Periode ini merupakan puncak dari pemberontakan.
Padamnya Pemberontakan Zanj
Memasuki tahun 880, Khalifah mulai mengambil langkah lebih serius untuk memadamkan pemberontakan. Pasukan militer dibebaskan dari ekspedisi lain dan difokuskan untuk memulai serangan terakhir terhadap Zanj.
Pasukan militer kekhalifahan dipimpin oleh saudara khalifah sendiri, al-Muwaffaq. Tentara yang dibawanya didukung oleh armada sungai dalam jumlah besar, termasuk kapal geladak, tongkang dan perahu terbuka yang akan digunakan untuk menembus saluran dan kanal di benteng Zanj.
Serangan total dari kekaisaran membuahkan hasil, mereka mampu merebut kota-kota yang dikuasai Zanj, selain ibu kota al-Mukhtara. Al-Muwaffaq, bersama dengan putranya Abul-‘Abbas (calon Khalifah Mu’tadid), mendorong Zanj kembali ke selatan, hingga akhirnya membangun blokade ibu kota Zanj.
Strategi blokade memberi pukulan telak bagi Zanj. Al-Muwaffaq membangun sebuah kota yang dinamai menurut namanya, al-Muwaffaqiyya, tepat menghadap kota al-Mukhtara dan mulai menghancurkan benteng ibu kota Zanj.
Ia memerintahkan ke pasukannya untuk melemparkan timah cair ke benteng al-Mukhtara dan menggunakan kapal yang berisi peledak untuk menabrak ke jembatan sekitar kota tersebut.
Selanjutnya, ia memanfaatkan kelemahan utama Zanj dengan merebut pedagang Badui yang memasok kebutuhan Zanj dan secara efektif memotong sumber daya pemberontak.
Selain itu, Al-Muwaffaq juga berhasil memikat beberapa pasukan Zanj untuk bergabung ke barisannya dengan menawarkan amnesti, tempat di militer kekaisaran, dan yang paling penting menjanjikan bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke mantan tuan mereka (Noldeke, 1892).
Meskipun dikepung, Zanj tetap gigih bertahan. Ibu kota mereka terus diserang oleh al-Muwaffaq selama dua tahun. Pada 12 Juni 883, Lu’lu, komandan di Suriah Utara, meminta izin kepada al Muwaffaq untuk bergabung dengannya dengan pasukannya.
Al-Muwaffaq menyetujui permintaan tersebut dan memutuskan untuk tidak memulai serangan terakhir sampai Lu’lu tiba dengan 10.000 pasukannya (Popovic, 1999).
Pada tanggal 5 Agustus 883 al-Muwaffaq memimpin 50.000 orang untuk melakukan serangan terakhir ke ibu kota Zanj. Setelah enam hari pertempuran, al Mukhtara berhasil direbut.
Ali bin Muhammad ditangkap, dipenggal dan kepalanya dikirim ke Baghdad untuk dipresentasikan kepada khalifah. Pemberontakan Zanj, yang telah meneror kekaisaran Abbasiyah selama hampir lima belas tahun, akhirnya dapat dipadamkan.
Kendati imperium Abbasiyah saat itu memiliki sistem administrasi terkuat di dunia muslim, namun mereka harus berjuang selama 15 tahun untuk memadamkan pemberontakan Zanj.
Selain revolusi Haiti, tidak ada pemberontakan budak lain dalam sejarah Afrika yang terbukti sesukses pemberontakan Zanj.
Setelah pemberontakan dipadamkan, kekaisaran Islam tidak lagi menggunakan budak perkebunan dalam skala besar. Basra yang sebelumnya dianggap sebagai kota pelabuhan terpenting jatuh ke dalam kemunduran akibat pemberontakan yang melumpuhkan jalur perdagangan. Di sisi lain, Daulah Abbasiyah pelan tapi pasti jatuh ke dalam periode kemunduran.
Daftar Pustaka
Belyaev, E. A. The Arabs, Islam, and the Arab Caliphate in the Early Middle Ages. New York: Frederick a. Praeger Inc., Publishers, 1969.
Donner, Fred McGraw., The Early Islamic Conquests. Princeton: Princeton University Press, 1981.
Kenney, Jeffrey T. Muslim Rebels. Oxford: Oxford University Press, 2006.
Nöldeke, Theodor. Sketches from Eastern History. London: Adam and Charles Black, 1892.
Popovic, Alexandre. The Revolt of African Slaves in Iraq in the 3rd/9th Century. Princeton: Markus Wiener Publishers, 1999.
Tolmacheva, Marina. “Toward a Definition of the Term Zanj,” Azania: the Journal of the British Institute of History and Archaeology in East Africa Azania, 21:1, 198