Pencurian bukanlah hal yang baru di Indonesia. Tidak ada yang tahu pasti kapan pencurian pertama kali terjadi di Indonesia, namun yang pasti pada masa kolonial, bandit atau pencuri telah muncul dan melakukan aksinya. Berbicara tentang perbanditan masa kolonial maka sulit dilepaskan dari kondisi yang dihadapi penduduk Hindia-Belanda saat itu. Kondisi ekonomi yang serba sulit menjadi pemicu suburnya aksi perbanditan di tanah Jawa masa kolonial. Namun masalah ekonomi bukanlah satu-satunya faktor tumbuh suburnya perbanditan di Hindia-Belanda.
Sepak Terjang Bandit-Bandit Masa Kolonial
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perbanditan telah menjadi salah satu dari sedikit sumber pendapatan yang menguntungkan di pedesaan Jawa.
Angka pencurian di Jawa terbilang cukup tinggi. Sayangnya angka pasti tindak kriminalitas sulit dilacak, karena menurut Welvaartsrapporten (laporan kolonial tentang masalah kesejahteraan), pejabat administrasi berpangkat rendah cenderung tidak melaporkan tindak kejahatan.
Pada umumnya orang akan berasumsi bahwa perbanditan muncul dan berkembang karena faktor ekonomi. Asumsi tersebut tidak salah, namun di Hindia Belanda dan khususnya Batavia perbanditan tidak hanya tumbuh karena masalah ekonomi.
Apabila melihat data statistik kolonial, sebelum tahun 1880an pencurian cukup jarang terjadi di wilayah Batavia meskipun beberapa kali terjadi kelangkaan pangan.
Perbanditan yang terjadi pada akhir abad ke-19 memang masih terkait masalah kelangkaan dan mahalnya harga pangan, namun di sisi lain modernisasi senjata api dan meningkatnya kesenjangan kelas sosial juga berperan penting terhadap munculnya perbanditan.
Margreet van Till (2011: 50) menyatakan pencurian terus tumbuh bahkan saat Hindia-Belanda sedang mengalami periode yang relatif cukup makmur. Pada periode tersebut terjadi peningkatan jumlah orang yang mampu mengkoleksi barang-barang mewah. Golongan inilah yang sering menjadi target perbanditan.
Beberapa daerah di Jawa terkenal karena menjadi markas para bandit. Pantai Utara Jawa, Kediri-Madiun, Banyumas dan Batavia menjadi daerah-daerah yang terkenal karena rawan terjadi perampokan. Pada tahun 1919 dan 1920, jumlah bandit semakin banyak, di daerah Meester Cornelis (Jatinegara) saja terdapat total 170 rampokpartijen (kelompok perampok) (Cribb, 1991: 18-19).
Di dunia kriminal atau sering disebut alam peteng, bandit dapat dibagi ke dalam tiga jenis utama, yakni maling krowdan, maling tengah dan maling ketut. Sebagian besar pencuri termasuk dalam maling krowdan atau penjahat non-profesional. Maling tengah biasanya beroperasi secara individual dan ruang gerak mereka terbatas di suatu wilayah. Sementara maling ketut atau kecu merupakan perampok yang beroperasi secara berkelompok. Seringkali kecu berkelana ke tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka (Quinn, 1975: 37)..
Sebelum menjadi pencuri, kebanyakan dari para bandit tersebut berprofesi sebagai petani. Kendati sebelumnya mereka adalah petani bukan berarti sasaran utama perampokan mereka adalah golongan kelas atas. Realitas yang terjadi malah sebaliknya, terkadang korban perampokan justru berasal dari kalangan petani.
Anton Blok (2001: 33) dalam tulisannya berjudul Honour and Violence memaparkan bahwa para bandit justru tinggal berdekatan dengan para korbannya. Bahkan beberapa tinggal di desa yang sama dan kenal dekat dengan para korban.
Dalam melakukan aksinya para bandit tidak segan menggunakan kekerasan kepada para korbannya apabila melawan. Bahkan seringkali menyebabkan korban jiwa seperti yang dilaporkan harian Java Bode 4 Juni 1918.
Dalam artikel berjudul rampok, dilaporkan perampokan yang terjadi di kampung pecinan. Perampok yang membawa senjata api itu menembak penghuni rumah yang melakukan perlawanan, dua orang terbunuh akibat peristiwa ini. Perampok berhasil mengambil 2000 gulden, sementara polisi yang menuju ke lokasi datang terlambat karena sempat salah rumah.
Walaupun tindak kekerasan terkadang ditemui dalam aksi pencurian, namun para bandit berupaya untuk menggunakan metode non-kekerasan dalam operasi mereka. Para bandit lebih memilih menggunakan mantra untuk membuat tidur yang dikenal sebagai aji sirep.
Seorang kepala bandit atau yang disebut juga benggol biasanya memiliki jimat yang diyakini memberikan kekebalan dan kekuatan. Karena dianggap sakti dan berkharisma, para benggol di pedesaan Jawa seringkali memimpin kelompok perampok hingga usia tua.
Tidak dapat dipungkiri dalam setiap aksinya para bandit memperoleh uang dalam jumlah banyak. Karena itu tidak mengherankan apabila seorang bandit yang sukses dapat hidup bergelimang harta. Di sebuah kampung bernama Dukuh Gabus Batavia, seorang bandit sukses dilaporkan memiliki banyak sawah, kerbau dan beberapa rumah. Bahkan ia juga memiliki 56.000 gulden tabungan di bank di Batavia.
Upaya Memberantas Perbanditan
Membasmi para bandit bukanlah perkara mudah, bahkan pemerintah kolonial pun kesulitan untuk menangani bandit yang semakin merajalela pada awal abad ke-20.
Baca juga: Krisis Malaise dan Dampaknya bagi Hindia-Belanda
Pemerintah kolonial memang memiliki satuan polisi di bawah komando Algemeene Politie (Polisi Umum) yang terdiri dari Stadspolitie (Polisi Kota), Veldpolitie (Polisi Lapangan), Gewestelijke Recherche dan Bestuurspolitie, namun jumlah mereka tidaklah mencukupi (Sierevelt, 1932: 387).
Untuk mengatasi para bandit, pasukan keamanan setempat yang disebut jagabaya dikerahkan. Mereka secara resmi merupakan asisten polisi.
Jagabaya memiliki peran sebagai agen rahasia, tetapi tugas utama mereka adalah menjaga keamanan desa. Karena itu mereka memiliki peran penting menangani perkara kriminal, termasuk perbanditan (Pribad, 2014i: 56).
Jagabaya bukanlah warga biasa, banyak dari mereka diyakini memiliki kesaktian, sehingga mereka disegani. Namun, posisi jagabaya di masyarakat bisa dibilang ambigu. Kehidupan mereka yang akrab dengan dunia kejahatan membuat masyarakat takut, di sisi lain mereka juga dikagumi karena berani menentang kesewenangan pejabat kolonial.
Sebagai agen rahasia, jagabaya sering berkumpul di sarang opium. Mereka juga terlibat dalam perjudian dan prostitusi. Dunia kriminal bukanlah dunia yang bisa ditembus oleh sembarang orang, bahkan polisi sekalipun, karena itu jagabaya memerankan penting untuk menghimpun informasi dari dunia kriminal.
Polisi dan jagabaya biasanya bekerjasama dalam menangkap bandit. Mereka menangkap para bandit dengan cara brutal. Mereka tidak mengenal rasa takut, karena percaya mereka tidak akan mati sebelum waktunya. Semangat untuk menangkap bandit semakin bertambah karena mereka dijanjikan insentif 1000 gulden apabila berhasil menangkap bandit. Akibat kebrutalan polisi dan jagabaya para bandit seringkali tewas di tempat.
Daftar Pustaka
Blok, Anton. Honour and Violence. Cambridge: Polity Press, 2001.
Cribb, Robert. Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People`s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949. Sydney: Asian Studies Association of Australia, 1991.
Java Bode 4 Juni 1918
Nordholt, Henk Schulte. “The Jago in the Shadow: Crime and `Order` in the Colonial State in Java.” Review of Indonesian and Malayan Affairs, Vol. 25/1, 1991.
Pribadi, Yanwar. Strongmen dan Kelompok Kekerasan di Jawa. Banten: FTK Banten Press.
Sierevelt, S. M. “Leger en Politie.” Indisch Militair Tijdschrift, 1932.
Till, Margreet van. Banditry in West Java 1862-1942. Singapura: National University of Singapore Press, 2011.