Kemunculan rokok membawa perubahan besar terhadap kehidupan sosial-ekonomi penduduk Hindia-Belanda. Awalnya rokok hanya dinikmati oleh orang-orang Eropa, tetapi lambat laun penduduk bumiputra mulai menirunya dan meninggalkan kebiasaan menyirih.
Kemunculan Tembakau di Nusantara
Bahan utama pembuatan rokok, yakni tembakau bukanlah tanaman asli Indonesia. Sulit dipastikan kapan tembakau mulai masuk ke wilayah Indonesia, tetapi beberapa ahli memiliki pendapat sendiri soal kemunculannya.
Mantan Residen Yogyakarta, John Crawfurd, berpendapat orang-orang Portugislah yang membawa tembakau ke Asia. Sementara itu, beberapa ilmuwan berpendapat orang-orang Spanyol-lah yang memperkenalkan tembakau; mereka membawa tembakau dari Meksiko ke Filipina pada 1575.
Tatkala ekspedisi Belanda pertama menginjakkan kaki di Banten pada 1596, mereka tidak mendapati tembakau di wilayah itu. Komoditas ini baru mulai dikenal di wilayah Banten satu dekade berikutnya.
Babad Kartasura menyebutkan waktu lebih spesifik kemunculan tembakau di Jawa Tengah, yakni pada Saka 1523 (Maret 1601- Februari1602). Kehadiran tembakau di Jawa Tengah bertepatan dengan tahun meninggalnya Panembahan Senopati.
Menurut Antony Reid, peristiwa yang dicatat dalam babad itu mengacu pada praktek yang dilakukan di istana Mataram. Kemungkinan besar tembakau diperkenalkan oleh orang Eropa yang mengonsumsinya menggunakan pipa bambu yang panjang.
Kegiatan ini lantas ditiru oleh kalangan keraton. Di antara tiga puluh perempuan pengiring Amangkurat I (1646-1677), selain membawa sirih-pinang, beberapa ada yang membawa pipa dan tembakau, sedangkan yang lain membawa api untuk menyalakannya.
Kala itu, tembakau hanya berfungsi sebagai pelengkap sirih-pinang. Dalam jamuan kerajaan yang dihadiri orang Eropa, para tamu biasanya diberikan pilihan untuk menyirih atau merokok setelah makan.
Seperti halnya di Filipina dan sebagian besar wilayah lain di Asia Tenggara, budidaya tembakau menyebar dengan cepat di Jawa.
Tembakau Jawa dianggap istimewa, sehingga diekspor ke bagian lain di Nusantara. Pada akhir abad ke-19, budidaya tembakau telah menyebar di hampir semua tempat baik di dataran rendah atau di daerah tinggi.
Pada tahun 1658, sebuah bentuk rokok yang dibuat penduduk Asia muncul. Orang-orang menyebutnya ‘bungkus’ dan terdiri dari parutan tembakau Jawa yang dibungkus dengan daun jagung atau pisang kering.
Kemasan baru ini dianggap lebih murah dan mudah, sehingga dalam waktu singkat menjadi populer di kalangan penduduk biasa. Meskipun demikian, merokok dengan pipa masih dianggap lebih prestise bagi kalangan elit di Batavia dan bangsawan Jawa.
Di Sumatra dan Malaya, orang-orang membungkus tembakau dengan daun palem nipah dan menyebutnya sebagai ‘roko’ atau ‘rokok’. Nama itu diadopsi dari kata roken yang sering digunakan oleh pedagang Belanda. Sementara di Jawa, rokok jenis ini disebut sebagai ‘klobot’.
Meskipun bentuknya mulai berevolusi, rokok masih sulit menyaingi kepopuleran sirih-pinang di Nusantara. Pada paruh kedua abad ke-18, penduduk lokal menemukan cara untuk membuat sirih-pinang menjadi lebih nikmat. Dengan menambahkan tembakau dan gambir, efek yang dihasilkan sirih-pinang menjadi lebih terasa. Hal ini mendorong penduduk lokal untuk tetap menyirih daripada merokok.
Menjadi Gaya Hidup Baru
Walaupun menyirih menggunakan gumpalan tembakau begitu populer pada abad ke-18, orang Eropa tidak pernah mengikuti tren ini. Para pria Eropa telah meninggalkan kebiasaan menyirih sejak paruh kedua abad ke-18, karena menganggap kebiasaan itu menjijikkan.
Sebagai gantinya, mereka beralih ke cerutu Manila. Sekitar 230 juta cerutu Manila diimpor ke Jawa pada periode 1856-1864. Biaya impor tersebut menembus 8 juta gulden dan diperuntukkan untuk golongan elit Eropa, Tionghoa, dan bangsawan Jawa. Selain cerutu, sigaret impor yang dibungkus kertas juga dikonsumsi oleh golongan elit, mengikuti tren di Prancis dan Italia.
Setelah golongan elit terbiasa merokok cerutu atau sigaret impor, penduduk biasa pun mulai tertarik untuk meniru kebiasaan ini. Pada abad ke-19, penduduk yang ingin meniru gaya hidup “modern” ini harus membeli cerutu dan sigaret impor, karena bungkus dianggap terbelakang layaknya sirih-pinang.
Tatkala peminat rokok filter semakin banyak, British American Tobacco (B. A. T) memutuskan mendirikan pabrik di Cirebon pada 1924.
Rokok Kretek
Bertambahnya peminat komoditas ini dimanfaatkan pula oleh para produsen rokok tradisional untuk melakukan comeback melalui rokok kretek, yang berasal dari campuran tembakau dan cengkeh.
Seorang penduduk Kudus (Jawa Tengah) bernama Haji Djamhari, menjadi orang pertama yang mempopulerkan rokok jenis ini di antara teman-temannya pada tahun 1870.
Awalnya ia sering mengoleskan cengkeh ke dadanya untuk meringankan penyakit asma yang dideritanya. Lewat kebiasaan itu, ia kemudian memiliki ide untuk menghirup campuran tembakau dan cengkeh.
Uji coba itu dianggapnya berhasil, karena dapat membuat napasnya lega. Tak lama berselang, ia mulai memasarkan produk baru tersebut sebagai obat asma.
Ia mulai menjual rokok lintingan yang berisi campuran tembakau dan cengkeh itu melalui apotek. Namun, ia tidak memiliki kesempatan untuk mengkomersialkan rokok ini lebih lanjut lantaran meninggal pada tahun 1880.
Setelah kematiannya, beberapa penduduk Kudus lainnya mulai memproduksi rokok kretek mereka sendiri. Berbeda dengan masa sekarang, rokok kretek saat itu tidak dibungkus dengan kertas melainkan dengan kulit jagung.
Kala itu itu tidak ada nama merek atau kemasan yang diasosiasikan dengan merek khusus. Orang-orang melinting kretek di rumah untuk dikonsumsi sendiri. Namun, mereka tidak secara eksklusif merokok hanya untuk tujuan medis, tetapi mulai menggunakannya sebagai obat penenang dan narkotika baru.
Tidak lama berselang, rokok kretek mulai populer di luar kudus. Rasanya yang enak dan harga yang lebih murah dibanding sigaret impor, menjadi alasan mengapa kretek dapat diterima oleh masyarakat luas.
Kala itu, proses produksi rokok kretek masih dilakukan di rumah-rumah penduduk secara manual. Pabrik hanya menjadi tempat pengumpulan, pengemasan, dan pendistribusian produk.
Pada awalnya, orang Jawa mendominasi industri kretek, sebagian besar dari mereka adalah penduduk Kudus dan sekitarnya. Namun, kemudian pengusaha Tionghoa turut terjun ke bisnis ini.
Persaingan antara kedua kubu semakin meningkat memasuki abad ke-20. Hingga mencapai puncaknya pada tahun 1918, saat kericuhan terjadi yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerusakan tempat produksi.
Akibat dari peristiwa ini beberapa pengusaha kretek bumiputra dipenjara, sehingga para pengusaha kretek Tionghoa berada di atas angin.
Memasuki paruh kedua abad ke-20, pengusaha Tionghoa tetap mendominasi pasar rokok hingga akhirnya melahirkan perusahaan-perusahaan rokok besar seperti Djarum, Gudang Garam, dan Sampoerna.
Daftar Pustaka
Budiman, A dan Onghokham. Rokook Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. Kudus: Djarum, 1987.
Crawfurd J. History of the Indian Archipelago. Edinburgh: Archibald Constable and Co, 1820.
Haan, F. de. 1922. Oud Batavia, Vol. 1 and 2. Batavia: G. Kolff.
Raffles, T. S. History of Java, Vol. I. London: John Murray, 1830.
Reid, A. “From Betel-Chewing to Tobacco Smoking in Indonesia” in European Intruders and Changes in Behaviour and Customs in Africa, America and Asia before 1800. London: Routledge, 2017.
Ricklefs, M. C. Modern Javanese Historical Tradition: A Study of the Original Kartasura Chronicle and Related Materials. London: School of Oriental and African Studies, 1978.
Veth, P.J. Java, geographisch, ethnologisch, historisch. Haarlem: de Erven F. Bohn, 1882.